• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Persepsi Iklim Sekolah Terhadap Kecenderungan Bullying Pada Siswa SMA X Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Persepsi Iklim Sekolah Terhadap Kecenderungan Bullying Pada Siswa SMA X Medan"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PERSEPSI IKLIM SEKOLAH TERHADAP

KECENDERUNGAN

BULLYING

PADA SISWA SMA X MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

LIA HAIRANI

101301001

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya

bahwa skripsi saya yang berjudul :

Pengaruh Persepsi Iklim Sekolah Terhadap Kecenderungan Bullying Pada

Siswa SMA XMedan

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk

memperolehgelar kesajarnaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi

ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Januari 2015

LIA HAIRANI

(3)

Pengaruh Persepsi Iklim Sekolah Terhadap Kecenderungan Bullying Pada

Siswa SMA X Medan

Lia Hairani dan Lita Hadiati Wulandari

ABSTRAK

Bullying adalah suatu tindakan negatif dan agresif atau tindakan yang disengaja atau berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain, biasanya terjadi secara berkala. Bullying merupakan tindakan yang kejam dan berdasarkan ketidakseimbangan kekuatan (Sullivan, 2005). Bullying

dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah sekolah (Beane, 2008). Situasi, suasana atau atmosfer, suatu karakteristik internal dalam suatu sekolah yang membedakannya dengan sekolah lain dan mempengaruhi perilaku orang-orang di dalamnya tersebut dikenal sebagai iklim sekolah (Hoy dan Miskel dalam Ulfah, 2009).

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya pengaruh persepsi iklim sekolah terhadap kecenderungan bullying pada siswa SMA X Medan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan populasinya adalah siswa SMA X Medan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 121 orang. Alat ukur yang digunakan adalah skala persepsi iklim sekolah yang disusun berdasarkan 3 aspek dari persepsi iklim sekolah yang terdiri dari 28 aitem dengan reliabilitas sebesar 0,896. Dan skala kecenderungan bullying yang disusun berdasarkan 3 jenis dari kecenderungan bullying yang terdiri dari 38 aitem dengan reliabilitas sebesar 0,889. Hasil dari penelitian ini adalah ada pengaruh persepsi iklim sekolah terhadap kecenderungan bullying pada siswa SMA X Medan.

(4)

The Influence of Perceptions on School Climate against School Bullying Tendencies at SMA X Students

Lia Hairani dan Lita Hadiati Wulandari

ABSTRACT

Bullying is a negative and often aggressive or manipulative act or series of acts by one or more people against another person or people, usually over a period of time. It is abusive and based on imbalance of power (Sullivan, 2005). Bullying is influenced by several factors, one of which is a school (Beane, 2008). Situation, mood or atmosphere, an internal characteristic which distinguishes a school from others and influence the behavior of the people in it are known as school climate (Hoy and Miskel in Ulfah, 2009).

The objective of this study is to determine the influence of perceptions on school climate with bullying tendencies. This study uses a quantitative approach . The population of this study were senior high school students at SMA X Medan. The sampling technique used was simple random sampling with a total sample of 121 students. Measuring instrument used was a scale perceptions of school climate which is based on three aspects of the perception of school climate consists of 28 item with a reliability of 0.896 and bullying tendencies scale which is based on three aspects of bullying tendencies consisting of 38 item with a reliability of 0.889.

The conclusion of this study is that the perceptions of school climate influence bullying tendencies at SMA X Students.

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah

SWT karena atas berkat rahmat dan pertolongan-Nya peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam peneliti ucapkan kepada junjungan

Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin dan suri tauladan dalam hidup.

Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Psikologi

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Pengaruh

Persepsi Iklim Sekolah Terhadap Kecenderungan Bullying Pada Siswa SMA X

Medan”.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta, Ibunda

Atun dan ayahanda Nasrun Efendi yang telah mencurahkan kasih sayangnya

kepada penulis sejak kecil, mendidik, membimbing, dan selalu memotivasi serta

selalu mendoakan penulis dalam setiap aktivitas. Semoga Allah SWT memberikan

kebahagiaan kepada keduanya di dunia maupun di akhirat. Skripsi ini juga penulis

persembahkan kepada adinda tercinta Subur Sanjaya dan Novri Aldi Khairunnas.

Terima kasih atas dukungan dan motivasinya selama ini. Semoga kita menjadi

anak yang berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi bangsa dan agama.

Peneliti juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

memberikan dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran selama peneliti

menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi

(6)

saran, dan arahan yang diberikan kepada saya selama menjalani

perkuliahan di Fakultas Psikologi USU ini.

2. Ibu Rr. Lita Hadiati W., M.Pd., psikolog, selaku pembimbing yang

telah bersedia memberikan waktu, tenaga dan pemikiran untuk

membimbing saya dengan sabar dan memberikan semangat dan saran

yang berarti bagi penyelesaian skripsi ini. Terima kasih banyak bu.

3. Bapak Eka Danta Jaya Ginting, M.A, selaku dosen pembimbing

akademik yang selalu mengarahkan, membimbing dan memotivasi

saya selama menjalani proses perkuliahan.

4. Kepada kak Dian Ulfasari. P, M.Psi, psikolog dan kak Rahmi Putri

Rangkuti, M.Psi, psikolog, selaku dosen penguji pada sidang skripsi

tanggal 06 Februari lalu, terima kasih atas kesediaan kakak dalam

menguji serta membimbing selama proses revisi skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara. Terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan

kepada saya.

6. Kepada staf administrasi pada bagian kemahasiswaan yaitu: pak

Aswan, kak Devi, kak Ari, dan bang Ronal yang telah banyak

membantu proses administrasi selama perkuliahan di Psikologi.

7. Kepada Hans Erawan S.Psi yang selalu menjadi motivasi dan

semangat bagi saya, tidak pernah berhenti membantu, mendukung dan

membimbing saya selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

(7)

8. Teman-teman seperjuangan: Putri, Mentari, Dyta, Juannita, Ami, Rara,

Icha, Dedeg, serta teman-teman angkatan 2010 lain, terima kasih atas

bantuan dan dukungan yang telah diberikan dalam pengerjaan skripsi

ini.

9. Buat kakak dan abang (bang Wanda, kak Irma, dan kak Imel, kak Sari

Amanda S.Psi, dll) yang selalu memberikan semangat dalam

mengerjakan skripsi ini.

10. Semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah membantu

baik langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.

Peneliti berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala

kebaikan saudara-saudara semua dan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi

generasi yang akan datang. Dengan kerendahan hati, saya meminta maaf kepada

semua pihak yang selama ini berhubungan dengan saya jika saya telah melakukan

kesalahan baik disengaja atau tidak selama ini.

Medan, Januari 2015

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR TABEL...ix

DAFTAR LAMPIRAN...x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Kecenderungan Bullying ... 11

1. Definisi Kecenderungan Bullying ... 11

2. Bullying di Sekolah ... 12

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecenderungan Bullying ... 13

4. Jenis-jenis Kecenderungan Bullying ... 17

B. Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 18

1. Definisi Persepsi ... 18

(9)

3. Aspek-aspek Persepsi ... 19

4. Definisi Iklim Sekolah ... 20

5. Faktor yang Mempengaruhi Iklim Sekolah ... 22

6. Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 24

7. Indikator Pengukuran Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 25

C. Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)………...29

1. Pengertian Remaja ... 29

2. Ciri-ciri Masa Remaja ... 30

D. Dinamika Antara Persepsi Iklim Sekolah dan Kecenderungan Bullying .... 32

E. Hipotesis Penelitian ... 35

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian yang Digunakan ... 36

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 36

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 37

D. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 38

E. Metode Pengumpulan Data ... 41

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 46

G. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 49

H. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 52

I. Metode Analisa Data ... 53

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Analisa Data ... 55

(10)

2. Hasil Penelitian ... 56

a. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 57

b. Hasil Uji Hipotesis ... 58

c. Kategorisasi ... 60

B. Pembahasan ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil Kuesioner ... 3

Tabel 2. Blue Print Kecenderungan Bullying... 44

Tabel 3. Blue Print Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 46

Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Bullying Setelah Uji Coba ... 49

Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Bullying Untuk Penelitian ... 50

Tabel 6. Distribusi Aitem Skala Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 51

Tabel 7. Distribusi Aitem Skala Persepsi Terhadap Iklim Sekolah Untuk Penelitian ... 51

Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 55

Tabel 9. Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkatan Kelas ... 56

Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ... 57

Tabel 11. Hasil Uji Linearitas ... 58

Tabel 12. Hasil Ringkasan Analisis Regresi ... 59

Tabel 13. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 61

Tabel 14. Norma Kategorisasi Persepsi terhadap Iklim Sekolah ... 61

Tabel 15. Kategorisasi Data Persepsi terhadap Iklim Sekolah ... 62

Tabel 16. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Kecendrungan Bullying... 62

Tabel 17. Norma Kategorisasi Kecenderungan Bullying ... 63

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A

Data Mentah Skala Try Out

Data Try Out Skala Kecenderungan Bullying ... 77

Data Try Out Skala Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 81

Reliabilitas Skala Try Out Reliabilitas Skala Kecenderungan Bullying ... 85

Reliabilitas Skala Persepsi Terhadap Iklim Sekolah... 93

LAMPIRAN B Data Mentah Skala Penelitian Data Demografik ... 97

Data Penelitian Skala Kecenderungan Bullying... 100

Data Penelitian Skala Persepsi Terhadap Iklim Sekolah ... 105

Hasil Pengolahan Data ... 110

LAMPIRAN C Skala Uji Coba ... 114

Skala Penelitian ... 122

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa

pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (dalam Siswanti, 2009). Guna mencapai

tujuan tersebut, diperlukan kondisi belajar yang kondusif dan jauh dari kekerasan.

Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

saat ini sangat memprihatinkan bagi pendidik dan orang tua. Sekolah yang

seharusnya menjadi tempat bagi anak menimba ilmu serta membantu membentuk

karakter pribadi yang positif ternyata malah menjadi tempat tumbuh suburnya

praktek-praktek bullying, sehingga memberikan ketakutan bagi anak untuk memasukinya (Usman, 2013).

Dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia kata bully

berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah (Echols, 1976). Menurut

American Psychiatric Association (APA) bullying adalah perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku negatif atau jahat yang

dimaksudkan untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku yang diulang

selama jangka waktu tertentu (c) hubungan yang melibatkan ketidakseimbangan

(14)

Pada bulan Agustus 2014 lalu, seorang pelajar berusia 16 tahun kelas X

SMAN 9 Serua Ciputat Tangerang Selatan dengan inisial CE di-bullying oleh kakak kelasnya di sekolah dengan cara dilepas kancing bajunya serta

seragamnya dicoret-coret dengan kata-kata kotor (Ali, 2014). Selain itu kasus

yang serupa juga terjadi pada 13 siswa SMA Negeri 70 di Jakarta, para siswa

tersebut akhirnya dikeluarkan dari sekolah karena diduga melakukan tindak

penindasan atau bullying terhadap adik kelasnya pada Juli 2014 (Marbun, 2014). Pada sekolah yang berada di kota Medan sendiri tidak terlepas dari

bullying yang terjadi di sekolah, seperti yang dikemukakan oleh S, seorang mahasiswa yang pernah magang di SMA X Medan, S mengemukakan:

“Saat kami sedang magang disana banyak siswanya yang berperilaku kasar kepada temannya, misalnya memukul kepala temannya saat mereka sedang bercanda, walaupun mereka sedang bercanda tetapi kami melihat teman yang dipukul tersebut merasa tidak nyaman dan bahkan meringis

kesakitan” (Komunikasi Personal, 22 Maret 2014)

Peneliti kemudian menyebar kuesioner awal untuk menambah data yang

didapat dari asumsi tersebut. Kuesioner diberikan pada 76 siswa dari 3 kelas yang

mewakili kelas I, kelas II IPA dan kelas II IPS, kuesioner ini berisi

(15)

Tabel 1. Hasil kuesioner

No Jawaban dari Kuesioner Ya Tidak

1 Sekolah saya pernah terlibat tawuran antar sekolah

17 59

2 Saya pernah berkelahi dengan teman yang tidak disukai

46 30

3 Setelah saya berkelahi dengan teman yang tidak disukai saya merasa senang

26 50

4 Saya pernah mengejek teman yang tidak saya sukai

24 52

5 Saya mengejek teman saya lebih dari sekali 38 38 6 Saya pernah diejek oleh teman-teman saya 66 10 7 Ejekan tersebut membuat saya merasa tersakiti 49 27 8 Ejekan tersebut saya terima lebih dari sekali 47 29 9 Teman saya menjauhi saya karena saya

berbeda dari mereka

26 50

10 Saya pernah mendapat ancaman dan gangguan dari teman saya

30 46

11 Saya pernah melihat teman saya mendapat perlakuan kasar dari teman yang lain

45 31

Jawaban yang diberikan siswa-siswi SMA X tersebut menunjukkan bahwa

mereka pernah melakukan bullying dan mengalami bullying. Selain itu peneliti juga melakukan wawancara pada seorang siswa kelas XI dengan inisial B, B

mengatakan:

“Kalau udah pukul-pukulan baru dibawa ke ruangan BP kak, tapi kalau cuma ejek-ejekan paling cuma dinasehati sebentar aja, terus paling diulangi lagi kak, kawan-kawan kan pada ngejek dia dengan “bencong” jadi udah kebiasaan sih ngejek-ngejek dia kayak gitu, anak yang diejek paling cuma bisa diem aja kak, trus dia nampakku jadi makin bencong kak. (Komunikasi Personal, 29 Maret 2014).

Dari wawancara di atas dapat dilihat bahwa fenomena bullying yang tidak disadari guru mengakibatkan efek yang negatif untuk siswa-siswanya, seperti

yang disebutkan oleh B bahwa temannya mulai meniru perilaku seperti hal nya

(16)

dengan pendapat Beane (2008) bahwa tidak adanya prosedur yang jelas mengenai

penanganan dan penyelesaiaan kejadian bullying ini merupakan salah satu faktor penyebab munculnya bullying.

Menurut Edwards (2006) bullying paling sering terjadi pada masa-masa Sekolah Menengah Atas (SMA), dikarenakan pada masa ini remaja memiliki

egosentrisme yang tinggi. Piaget (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa

egosentrisme remaja ditandai dengan ciri-ciri bahwa remaja merasa segala sesuatu

masih terpusat pada dirinya, dari sinilah akan munculnya perilaku menyimpang.

Perasaan remaja yang meyakini bahwa segala sesuatu berpusat pada dirinya

membuat para remaja melakukan tindakan kekerasan seperti bullying (Edward, 2006).

Kebanyakan bullying terjadi secara tersembunyi (covert) dan sering tidak dilaporkan sehingga kurang disadari oleh kebanyakan orang (Glew dkk, 2000).

Bullying dapat terjadi di lingkungan mana saja dimana terjadi interaksi sosial antar manusia seperti di sekolah (school bullying). Dalam hal ini bullying di sekolah adalah kasus yang sering dilupakan, padahal bullying di sekolah dapat menyebabkan efek yang sangat serius baik dalam jangka pendek maupun jangka

panjang bagi para korbannya (Rudi, 2010).

Beane (2008) menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab munculnya

bullying adalah kondisi sekolah, seperti: ketidakjelasan standar perilaku, ketidakkonsistenan metode pendisiplinan, tidak ada kebijakan anti-bullying, tidak ada prosedur yang jelas mengenai penanganan dan penyelesaian kejadian

(17)

sekolah yang menghina murid di depan teman-temannya, dan lain-lain. Salah satu

faktor yang menyebabkan munculnya bullying yang dikemukakan oleh Beane (2008) terdapat juga pada SMA X dimana hal ini dikemukakan oleh seorang guru

BP yang berinisial I, dimana beliau menyebutkan bahwa :

“Bagi kami mungkin anak-anak yang berantam adalah hal yang wajar, dikatakan tidak wajar apabila telah menimbulkan adu jotos atau keributan. Kami memiliki beratus-ratus siswa di sekolah ini, jadi jika hanya sebatas ejek-ejekan atau sindir-sindiran mungkin kami kurang bisa langsung turun tangan mengatasinya, kami langsung serahkan itu kepada wali kelas masing-masing. Dan baru-baru ini memang kami kecolongan dimana ada dua orang siswi yang sampai jambak-jambakkan hanya karena sindir-sindiran.” (Komunikasi Personal, 29 Maret 2014)

Dari wawancara di atas, peneliti berpendapat bahwa pihak sekolah sudah

mengetahui adanya bullying di kalangan para siswanya namun masih mengabaikan keberadaan bullying yang terjadi dan belum adanya kebijakan

anti-bullying dari pihak sekolah tersebut, sehingga hal ini menjadi pemicu munculnya

bullying pada SMA tersebut.

Astuti (2008) menambahkan bahwa sekolah yang mudah terdapat kasus

bullying pada umumnya berada dalam situasi sebagai berikut: pertama, sekolah dengan ciri perilaku diskriminatif di kalangan guru dan siswa. Kedua, kurangnya

pengawasan dan bimbingan etika dari para guru dan satpam. Ketiga, sekolah

dengan kesenjangan besar antara siswa kaya dan siswa miskin. Keempat, adanya

kedisiplinan yang sangat kaku atau yang terlalu lemah. Kelima, bimbingan yang

tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten.

Hal yang diungkapkan Astuti (2008) juga peneliti temukan melalui

(18)

mengatakan bahwa:

“Di sekolah ini para guru dan siswa sering sekali bercanda kelewat batas kak, kelewat batas yang saya maksud adalah tak jarang guru memukul kepala siswanya yang melanggar peraturan, sehingga dari situ kami merasa bahwa guru saja sudah mengajarkan hal yang tidak baik bagi siswanya, tentu tanpa guru sadari beberapa siswa juga meniru perilaku kasar seperti itu.”

(Komunikasi personal, 18 Februari 2015).

Dari wawancara tersebut, peneliti berpendapat bahwa cara guru menghukum para

siswa yang melanggar aturan dengan memukul kepala siswanya merupakan

bimbingan etika yang tidak tepat dari guru sehingga dapat memicu munculnya

bullying pada siswa di sekolah tersebut.

Menurut Thapa (2012) kejelasan aturan tentang kekerasan fisik dan

hubungan antar warga sekolah merupakan salah satu aspek-aspek dari iklim

sekolah. Iklim sekolah adalah bentuk dasar dari pengalaman orang-orang dalam

kehidupan sekolah dan refleksi dari norma, tujuan, nilai, hubungan interpersonal,

prakter belajar mengajar, dan stuktrur organisasi (Thapa dkk, 2012).

Iklim sekolah juga dapat diartikan sebagai perasaan pribadi setiap anggota

sekolah yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam

membentuk tujuan (goal orientation), membantu meningkatkan self efficacy,

usaha, ketekunan dan prestasi belajar siswa, serta kepuasan guru atas

keberhasilannya mengajar (Pintrich & Shunck, 1996).

Pintrich & Shunck (1996) juga menyebutkan bahwa salah satu aspek dari

iklim sekolah adalah perasaan aman dan nyaman dalam menuangkan ide, opini

dan beraktivitas. Pada SMA X Medan rasa aman dan nyaman dalam menuangkan

ide, opini dan beraktivitas itu masih sangat sulit dirasakan oleh siswanya, hal ini

(19)

A, A menyebutkan bahwa:

“Kalau guru nyuruh menjawab pertanyaan yang beliau kasih, saya sering malas angkat tangan kak, soalnya sering kena ejekin sama teman-teman kalau jawabannya salah, kadang juga ditertawakan rame-rame, jadi biarin aja yang

lain yang jawab kak.” (Komunikasi personal, 18 Februari 2015).

Perasaan yang A alami dalam menuangkan ide dan pendapatnya di dalam kelas

yang masih sering mendapat respon negatif dari temannya membuat A merasa

tidak nyaman dalam beraktivitas, dan hal ini mempengaruhi iklim sekolah yang

dirasakan oleh A tersebut.

Kassabri dkk, (2005) menyebutkan bahwa iklim sekolah yang positif

berhubungan dengan rendahnya tingkat korban kekerasan di sekolah. Hal ini juga

turut mendukung pernyataan Adam dan Corner (2008) yaitu adanya hubungan

negatif yang sangat signifikan antara lingkungan psikososial sekolah terhadap

prediksi perilaku bullying.

Pandangan atau persepsi siswa terhadap sekolahnya adalah hal yang

subyektif, sehingga penilaian siswa terhadap norma dan kondisi lingkungan

sekolahnya bisa berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Iklim sekolah yang

positif ternyata dapat dipersepsi siswa secara negatif. Perbedaan ini juga

mempengaruhi tingkah laku dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013).

Persepsi atas kualitas iklim sekolah yang baik, dapat menjaga remaja dari resiko

pengalaman peningkatan tingkat emosi dan masalah perilaku seperti bullying

(Loukas dkk, 2004).

Menurut Barnes (2012) semakin baik persepsi terhadap iklim sekolah akan

semakin rendah tingkat kekerasan (agresivitas) yang terjadi di sekolah. Siswa

(20)

mungkin untuk bertindak dan menunjukkan sikap saling peduli terhadap sesama

dan mencegah agresivitas dari sesama siswa (Syvertsen, Flanagan & Stout, 2009).

Way dkk (2007) menemukan bahwa ada hubungan antara persepsi siswa

terhadap iklim sekolah dengan kecenderungan munculnya masalah perilaku siswa,

persepsi siswa terhadap iklim sekolah berkaitan dengan perilaku siswa. Siswa

memiliki persepsi tersendiri terhadap apa yang dirasakannya di sekolah.

Interpretasi siswa terhadap iklim sekolahnya bisa saja berbeda dengan keadaan

sekolah yang sebenarnya.

Dari uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa persepsi terhadap iklim

sekolah memiliki hubungan dengan kecenderungan bullying. Melalui penelitian ini, peneliti tertarik untuk melihat adakah pengaruh yang ditimbulkan persepsi

terhadap iklim sekolah terhadap kecenderungan bullying pada siswa SMA X Medan.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

apakah ada pengaruh iklim sekolah terhadap kecenderungan bullying?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh iklim sekolah

(21)

D. Manfaat Penelitian

Dengan diadakannya penelitian ini, diharapkan akan mendatangkan dua

manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah, dan

memberikan informasi agar dapat mengembangkan ilmu Psikologi,

terutama Psikologi Pendidikan yang berkaitan dengan bullying.

b. Hasil penelitian ini bisa bermanfaat untuk dijadikan bahan

perbandingan bagi penelitian-penelitian selanjutnya, terutama yang

berhubungan dengan iklim sekolah dan bullying. 2. Manfaat praktis

a. Manfaat bagi sekolah

1) Sebagai masukan untuk mengambil kebijakan-kebijakan mengenai

bullying disekolah yang didasarkan pada faktor-faktor penyebab dari bullying itu sendiri.

2) Agar pihak sekolah lebih sadar akan pentingnya iklim sekolah bagi

pembentukan perilaku siswa-siswa yang ada didalam sekolah.

3) Agar pihak sekolah yang merupakan sebuah sistem diharapkan

mampu untuk mengawasi dan mengurangi tingkat perilaku

siswa-siswanya yang menyimpang seperti bullying. b. Manfaat bagi siswa sekolah

(22)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Bab I : Pendahuluan berisikan latar belakang masalah diadakannya

penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan teori berisikan mengenai tinjauan kritis yang menjadi

acuan dalam pembahasan permasalahan, landasan teori yang

mendasari tiap-tiap variabel, hubungan antar variabel dan

pembentukan hipotesa (hipotesis penelitian).

Bab III : Metode penelitian berisikan mengenai metode-metode dasar dalam

penelitian yaitu metode penelitian yang digunakan, identifikasi

variabel, definisi operasional variabel, populasi dan sampel

penelitian, alat ukur yang digunakan, metode pengambilan data dan

metode analisis data.

Bab IV : Analisa data dan pembahasan berisikan mengenai analisa data dan

pembahasan berisi uraian singkat hasil penelitian, interpretasi data

dan pembahasan.

Bab V : Kesimpulan dan saran berisikan mengenai kesimpulan berdasarkan

hasil penelitian. Kemudian berdasarkan kesimpulan akan diajukan

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecenderungan Bullying

1. Definisi Kecenderungan Bullying

Dalam Bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia kata bully

berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah (Echols, 1976). Bullying

diartikan sebagai suatu tindakan negatif dan agresif atau tindakan yang disengaja

atau berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain,

biasanya terjadi secara berkala. Merupakan tindakan yang kejam dan berdasarkan

ketidakseimbangan kekuatan (Sullivan, 2005).

Menurut American Psychiatric Association (APA), bullying adalah perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku

negatif atau jahat yang dimaksud untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku

yang diulang selama jangka waktu tertentu (c) hubungan yang melibatkan

ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat (dalam

Stein dkk, 2006).

Selain itu, menurut Rigby (dalam Astuti, 2008) bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan

seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau

kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan

dilakukan dengan perasaan senang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecenderungan bullying

(24)

kepada seseorang atau lebih dengan maksud menyakiti orang tersebut yang

dilakukan secara berulang-ulang dan disebabkan karena ketidak seimbangan

kekuasaan antara kedua belah pihak tersebut.

2. Bullying Di Sekolah

Menurut Rudi (2010) bullying dapat terjadi di lingkungan mana saja dimana terjadi interaksi sosial antar manusia, antara lain di sekolah (school bullying), tempat kerja (workplace bullying), pada internet dan teknologi digital (cyber bullying), lingkungan politik (political bullying), lingkungan militer (military bullying), dan perpeloncoan.

Bullying yang terjadi di sekolah (school bullying) adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki

kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti

orang tersebut.

Siswa/siswi yang menjadi korban bullying adalah siswa/siswi yang biasanya cenderung pasif, gampang terintimidasi, atau mereka yang memiliki

sedikit teman, memiliki kesulitan untuk mempertahankan diri dan korban bisa

juga lebih kecil dan lebih muda. Para siswi pelaku bullying melakukan tindakannya kepada rekan-rekan perempuannya dengan kreatif, dalam kelompok,

serta tidak kalah kerasnya dibandingkan para pelaku siswa. Umumnya siswi-siswi

yang menjadi korban adalah mereka yang cantik, menarik, anak orang berada,

kurus dan tampak lemah, pandai tapi lemah fisiknya dan disayang guru (Siswanti,

(25)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecenderungan Bullying

Beane (2008), dalam bukunya menjelaskan bahwa ada beberapa faktor

sosial yang menyebabkan bullying, diantarany yaitu: a. Media

Beane (2008) menyebutkan bahwa media memiliki dampak yang cukup

signifikan bagi anak-anak saat ini. Beberapa penelitian mengidentifikasikan

bahwa anak-anak yang melihat banyak kekerasan di televisi, video, game, dan

film lebih sering menjadi agresif dan kurang empati terhadap yang lainnya. Dalam

kenyataannya, diantara penelitian yang meneliti kekerasan di televisi melihat

terdapat peningkatan pengukuran dari 3% menjadi 15% pada perilaku agresif

individu setelah melihat kekerasan di televisi.

Selain itu siaran olahraga yang sering di tayangkan oleh media juga

menjadi contoh yang mengajarkan kekerasan pada anak. Beberapa bentuk

kekerasan oleh raga tim diantaranya seperti ice hockey, sepak bola, dan rugby. Terkadang media memperlihatkan pemain yang melakukan kekerasan,

kontroversial dan agresif. Anak-anak sering memilih pahlawan olahraga tersebut

seperti role model atau meniru perilaku mereka (Beane, 2008). b. Keluarga

Selain media, Beane (2008) juga menyebutkan bahwa orang tua juga

memiliki pengaruh terhadap perilaku agresif anak tersebut. Orang tua merupakan

(26)

sehingga sering kali mereka menggunakan kekerasan untuk membuat anak-anak

mematuhi mereka.

c. Teman Sebaya

Beane (2008) menyebutkan bahwa anak-anak mungkin ditolak bukan

karena perilaku atau karakteristik yang mereka miliki, namun karena peer group

membutuhkan target untuk ditolak. Penolakan tersebut membantu kelompok

menentukan batas-batas penerimaan mereka dengan membawa kesatuan dalam

kelompok. Dengan kata lain, individu-individu yang ditargetkan menjadi kambing

hitam berfungsi untuk kepentingan kepaduan kelompok. Ini adalah salah satu

alasan siswa begitu bersemangat untu bergabung di dalam kelompok bahkan

ketika mereka tidak sama seperti orang yang ada di dalam.

d. Lingkungan Masyarakat

Salah satu lingkungan yang disebutkan oleh Beane (2008) yang juga

mebawa pengaruh besar bagi anak ialah masyarakat, karena bagaimanapun juga

anak hidu dan besar di dalam sebuah masyarakat. Apa yang terjadi di masyarakat

tempat ia tinggal akan mebawa pengaruh yang sangat signifikan, dimana anak

akan belajar untuk berperilaku seperti orang-orang yang ada di dalamnya. Jika

anak dibesarkan dalam lingkungan dan nilai masyarakat yang keras, maka anak

akan tumbuh menjadi anak yang keras juga, namun jika anak dibesarkan dalam

lingkungan yang bermoral dan baik, maka anak juga akan menjadi pribadi yang

bermoral dan baik pula. Lingkungan yang selalu memperlihakan kekerasan pada

anak akan mengajarkan kepada anak bahwa perilaku tersebut diperbolehkan untuk

(27)

e. Sekolah

Kemudian lingkungn sosial yng terakhir adalah sekolah. Beane (2008)

menyebutkan bahwa kondisi sekolah juga dapat memberi pengaruh terhadap

perilaku agresif anak. Beberapa faktor yang terkait diantaranya yaitu:

- Rendahnya moral staf

- Ketidakjelasan standar perilaku

- Ketidakkonsistenan metode pendisiplinan

- Buruknya organisasi

- Supervisi yang tidak memadai

- Anak-anak tidak diperlakukan sebagai individu

- Tidak memadainya fasilitas

- Kurangnya dukungan untuk murid baru

- Tidak ada kebijakan anti-bullying

- Tidak ada prosedur yang jelas mengenai penanganan dan penyelesaian kejadian bullying

- Pengabaian bullying oleh warga sekolah

- Kelas yang kacau

- Kurangnya dukungan untuk murid berkebutuhan khusus

- Tidak ada ruang untuk aktifitas yang tenang

- Warga sekolah yang menggunakan sindiran yang menyakitkan

(28)

Menurut Ariesto (dalam Mudjijanti, 2011) penyebab terjadinya bullying antara lain:

a) Keluarga

Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah: orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah

yang penuh stres, agresi, dan permusuhan. Anak akan mempelajari

bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya. Jika tidak

ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku

coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa mereka yang memiliki kekuatan

diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku agresif itu dapat

meningkatkan status dan kekuasaan seseorang. Dari sini anak

mengembangkan bullying tersebut. b) Sekolah

Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak lain. dan

menghormati antar sesama anggota sekolah.

c) Faktor kelompok sebaya

Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar

(29)

nyaman dengan perilaku tersebut. Bullying termasuk tindakan yang disengaja oleh pelaku pada korbannya, yang dimaksudkan untuk

menggangu seorang yang lebih lemah. Faktor individu dimana kurangnya

pengetahuan menjadi salah satu penyebab timbulnya bullying, Semakin baik tingkat pengetahuan remaja tentang bullying maka akan dapat meminimalkan atau menghilangkan perilaku bullying.

4. Jenis-jenis Kecenderungan Bullying

Kecenderungan bullying dapat dilihat dari jenis-jenis bullying yang dikemukakan oleh Sullivan (2005), diantaranya adalah:

a. Bullying Fisik

Bullying fisik adalah bentuk bullying yang paling nyata dan terjadi ketika seseorang terluka secara fisik, yang meliputi menggigit, memukul,

menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar,

mendorong, menjambak, atau bentuk serangan fisik lainnya.

b. Bullying Nonfisik

Bullying nonfisik terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal

1) Bullying verbal meliputi: telepon ancaman, meminta uang atau

barang dengan paksa, mengancam, mempermalukan,

merendahkan, mengintimidasi, memberi panggilan nama ( name-calling), mencela/mengejek ras, memaki, dan menyebarkan gosip. 2) Bullying non-verbal. Bullying non-verbal dibagi menjadi secara

langsung dan tidak langsung.

(30)

kasar, melihat dengan sinis, menampilkan ekspresi muka

yang jahat.

Bullying non-verbal tidak langsung meliputi: mendiamkan

seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi

retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan,

mengirimkan surat kaleng, dan membuat orang dibenci oleh

orang lain.

c. Merusak Benda Milik Orang Lain

Merusak benda milik orang lain meliputi: menyobek pakaian, merusak

buku, menghancurkan, dan mengambil benda milik orang lain.

B. Persepsi Terhadap Iklim Sekolah

1. Definisi Persepsi

Robbins (1996) menyatakan persepsi merupakan suatu proses dimana

individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera untuk memberi makna

kepada lingkungan. Persepsi merupakan upaya mengamati dunia, mencakup

pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian

(Chaplin, 1999). Persepsi adalah proses mengatur dan menginterpretasikan

informasi sensoris untuk memberikan makna (King, 2010).

Menurut Walgito (1994), persepsi adalah proses pengorganisasian,

penginterpretasian terhadap ransangan yang diterima oleh organisme atau individu

sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang

(31)

2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Walgito (1994),

diantaranya:

1) Perhatian yang selektif

Individu memusatkan perhatiannya pada rangsang-rangsang tertentu saja.

Dengan demikian, objek-objek atau gejala lain tidak akan tampil ke muka

sebagai objek pengamat.

2) Ciri-ciri rangsang

Rangsang yang bergerak diantara rangsang yang diam akan lebih menarik

perhatian. Demikian juga rangsang yang paling besar diantara yang kecil;

yang kontras dengan latar belakangnya dan yang intensitas rangsangnya

paling kuat.

3) Nilai-nilai dan kebutuhan individu

Seorang seniman mempunyai pola dan citra rasa yang berbeda dalam

pengamatannya dibanding dengan orang yang bukan seniman.

4) Pengalaman terdahulu

Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana

seseorang mempersepsi dunianya.

3. Aspek-aspek Persepsi

Beberapa aspek-aspek dalam dunia persepsi menurut Walgito (1994) diantaranya

adalah:

1) Sensor sel dasar

(32)

yaitu sifat sensori dasar dari masing-masing indera cahaya untuk

penglihatan, bau untuk penciuman, suhu untuk perasa, bunyi untuk

pendengaran dan sifat permukaan bagi peraba.

2) Dimensi ruang

Dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang). Kita dapat

menyatakan atas bawah, tinggi rendah, luas sempit, depan dan belakang.

3) Dimensi waktu

Dunia persepsi mempunyai dimensi waktu seperti cepat, lambat, tua dan

muda.

4) Konteks

Objek-objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan mempunyai

struktur yang menyatu dengan konteksnya. Struktur dan konteks ini

merupakan keseluruhan yang menyatu. Kita melihat meja tidak berdiri

sendiri tetapi dalam ruang tertentu di saat tertentu, letak atau posisi tertentu.

5) Tujuan

Dunia persepsi merupakan dunia penuh arti, kita cenderung melakukan

pengamatan atau persepsi pada gejala-gejala yang mempunyai makna bagi

kita, yang ada hubungannya dengan diri kita.

4. Definisi Iklim Sekolah

Menurut Owens (1995), iklim sekolah adalah suasana lingkungan kerja di

sekolah yang dirasakan oleh warga sekolah. Pengertian iklim sekolah tersebut

mengandung dua hal penting, yakni pertama, iklim sekolah merupakan persepsi

(33)

lingkungan sekolah tersebut, baik aspek personal, sosial, maupun kultural. Kedua,

iklim sekolah menyangkut afeksi yang membentuk pola perilaku yang selanjutnya

menjadi karakteristik sekolah yang mempengaruhi atau membentuk perilaku

warga di dalam sekolah.

Iklim sekolah adalah perasaan pribadi setiap anggota sekolah yang dapat

mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam membentuk tujuan (goal orientation), membantu meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi belajar siswa, serta kepuasan guru atas keberhasilannya mengajar (Pintrich &

Shunck, 1996).

Sergiovanni dan Starrat (dalam Hadiyanto, 2004) berpendapat bahwa iklim

sekolah merupakan karakteristik yang ada (the enduring characteristics), yang menggambarkan ciri-ciri psikologis (psychological character) dari suatu sekolah tertentu, yang membedakan suatu sekolah dari sekolah yang lain, mempengaruhi

tingkah laku guru dan peserta didik dan merupakan perasaan psikologis

(psychological feel) yang dimiliki guru dan peserta didik di sekolah tertentu. Mengutip pendapat Litwin dan Stringer, Sergiovanni dan Starrat (dalam

Hadiyanto, 2004) juga mengatakan bahwa iklim sekolah merupakan efek

subyektif yang dirasakan (perceive subjective effects) dari sistem formal, gaya informal dari manajer, dan faktor penting yang lain dari lingkungan pada sikap

(attitude), kepercayaan (beliefs), nilai (values) dan motivasi (motivation) orang-orang yang bekerja pada suatu lembaga tertentu (sekolah).

Hadiyanto (2004) menyimpulkan bahwa iklim sekolah adalah situasi atau

(34)

guru, guru dengan guru, guru dengan peserta didik atau hubungan antar peserta

didik yang menjadi ciri khas sekolah yang ikut mempengaruhi proses belajar

mengajar di sekolah.

Hoy dan Miskel (dalam Ulfah, 2009) menyebutkan bahwa iklim sekolah

adalah situasi, suasana atau atmosfer, suatu karakteristik internal dalam suatu

sekolah yang membedakannya dengan sekolah lain dan mempengaruhi perilaku

orang-orang di dalamnya. Iklim sekolah juga dapat diartikan sebagai bentuk dasar

dari pengalaman orang-orang dalam kehidupan sekolah dan refleksi dari norma,

tujuan, nilai, hubungan interpersonal, prakter belajar mengajar, dan stuktrur

organisasi (Thapa dkk, 2012).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa iklim sekolah

adalah perasaan pribadi setiap anggota sekolah tentang pengalaman personel

terhadap situasi dan kondisi lingkungan sekolah tersebut yang dapat

mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam membentuk tujuan (goal orientation), membantu meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi belajar siswa, serta kepuasan guru atas keberhasilannya mengajar.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Iklim Sekolah

Faktor-faktor yang mempengaruhi iklim sekolah menurut Owens (1991)

terdiri dari :

1) Ekologi yaitu lingkungan fisik seperti gedung, bangku, kursi, alat elektronik,

dan lain-lain.

Sekolah adalah lingkungan sosial bagi anak/siswa, dimana di dalam sekolah

(35)

Di dalam sekolah juga terjadi kontak secara fisik dimana siswapun akan

berhubungan dengan segala fasilitas yang ada di dalam sekolah tersebut.

Oleh karena itu sekolah harus di desain sedemikian rupa oleh warga sekolah

sehingga sekolah merupakan lingkungan yang menyenangkan bagi siswa

dalam tugas dan peranannya di dalam sekolah sebagai peserta didik dan

tugas serta peranannya dalam perkembangan fisik maupun emosionalnya.

2) Hubungan sosial

Hubungan sosial adalah cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang di

sekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya.

Hubungan sosial ini juga menyangkut penyesuaian diri terhadap lingkungan,

seperti makan dan minum sendiri, mentaati peraturan, membangun

komitmen bersama dalam kelompok atau organisasinya, dan sejenisnya.

Hubungan sosial juga merupakan hubungan timbal balik yang saling

mempengaruhi dan mengandung kesadaran untuk saling menolong.

Hubungan sosial terjadi karena ada interaksi sosial yang melibatkan emosi

atau perasaan. Hubungan sosial yang positif antar warga sekolah akan

mempengaruhi terciptanya iklim yang kondusif.

3) Sistem sosial yakni ketatausahaan, perorganisasian, pengambilan keputusan

dan pola komunikasi

Sekolah sebagai sebuah sistem sosial apat diartikan sebagai organiasi sosial

yang mempunyai struktur tertentu yang melibatkan sejumlah orang dengan

tugas melaksanakan suatu fungsi untuk memenuhi suatu kebutuhan.

(36)

perorganisasian, pengambilan keputusan dan pola komunikasi antar warga

yang ada di dalam sekolah. Jika fungsi tersebut telah dilaksanakan dengan

baik maka akan membantu terciptanya iklim sekolah yang positif.

4) Budaya yakni nilai-nilai, kepercayaan, norma dan cara berpikir orang-orang

dalam organisasi

Budaya sekolah diartikan sebagai sistem makna yang dianut bersama oleh

warga sekolah yang membedakannya dengan sekolah lain. Budaya sekolah

yang baik akan mendorong seluruh anggota masyarakat sekolah untuk

meningkatkan kinerjanya agar tujuan sekolah dapat tercapai. Karena nilai,

moral, sikap dan perilaku siswa selama di sekolah dipengaruhi oleh struktur

dan kultur sekolah, serta interaksi mereka dengan aspek-aspek dan

komponen yang ada di dalamnya, seperti kepala sekolah, guru, materi

pelajaran dan hubungan antarsiswa sendiri. Budaya sekolah adalah salah

satu faktor yang mempengaruhi terciptanya iklim atau suasana sekolah.

Iklim atau suasana sekolah merupakan bagian dari kultur sekolah yang

dipandang dan dipahami oleh anggota sekolah tersebut.

6. Persepsi terhadap Iklim Sekolah

Persepsi terhadap iklim sekolah adalah proses penginterpretasian terhadap

informasi mengenai perasaan pribadi setiap anggota sekolah tentang pengalaman

personel terhadap situasi dan kondisi lingkungan sekolah tersebut yang dapat

(37)

Shunck, 1996).

Persepsi siswa terhadap hubungan antar warga sekolah akan

mempengaruhi keterlibatan siswa secara emosional. Persepsi siswa terhadap

kemampuan warga sekolah mengatasi kegagalan akan mempengaruhi keterlibatan

siswa secara kognitif. Sedangkan persepsi siswa terhadap kejelasan peraturan dan

lingkungan sekolah mempengaruhi keterlibatan siswa secara behavior (Purwita, 2013).

Bagaimana siswa memandang atau mempersepsikan sekolah juga

menentukan perilaku mereka di sekolah. Persepsi warga sekolah terhadap

lingkungan sekolahnya dapat menjadi prediktor terhadap afeksi siswa, kognitif

dan behavioral engagement (Wang & Halcombe dalam Voight, dkk 2011). Pandangan atau persepsi siswa terhadap sekolahnya adalah subyektif, sehingga

penilaian siswa terhadap norma dan kondisi lingkungan sekolahnya bisa berbeda

dengan keadaan yang sebenarnya. Iklim sekolah yang positif ternyata dapat

dipersepsi siswa secara negatif. Perbedaan ini juga mempengaruhi tingkah laku

dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013).

7. Indikator Pengukuran Persepsi Terhadap Iklim Sekolah

Aspek-aspek iklim sekolah dikemukakan oleh Pintrich dan Schunk (1996)

yaitu:

a. Rasa memiliki dan menjadi bagian dari komunitas (a sense of community and

belongingness)

Merupakan perasaan pribadi yang setiap orang miliki terhadap kelompok atau

(38)

organisasi tersebut. Sebaliknya, organisasi dalam hal ini sekolah, juga peduli

dan memberikan perhatian yang sepenuhnya terhadap kebutuhan setiap

anggota di dalamnya.

Pada sekolah staf administrasi, staf pengajar dan para siswa saling

menghormati dan peduli satu sama lainnya, akan berhubungan erat dengan

kinerja positif guru dan siswa, yaitu orientasi tujuan (goal orientation), self efficacy, usaha (efforts), ketekunan (persistence), dan pretasi yang positif (Lee dkk dalam Pintrich & Schunk, 1996).

b. Kehangatan dan kesopanan dalam hubungan personal (warmth and civility in personal relation)

Dimensi ini merefleksikan kehidupan afektif sekolah yang berkenaan dengan

kehangatan dan kesopanan yang diekspresikan dalam hubungan antar pribadi

di sekolah. Berkaitan dengan hubungan guru dan siswa, perasaan kepedulian,

perhatian, dukungan, dan hormat terhadap siswa serta interaksi yang positif

antara guru dan siswa, akan berhubungan positif dengan hasil motivasional.

Perhatian terhadap kesejahteraan orang lain atau terciptanya masyarakat yang

peduli terhadap sesama dapat menciptakan pengaruh yang positif bagi seluruh

siswa, bahkan bagi siswa yang beresiko mengalami kegagalan dalam sekolah

(Bryk, Lee, dan Holland dalam Pintrich dan Schunk, 1996).

c. Perasaan aman dan nyaman(feelings of safety and security)

Iklim sekolah mengacu pada perasaan guru dan siswa terhadap keamanan dan

kenyamanan personal. Persepsi ini mengacu pada perasaan seseorang dalam

(39)

beraktivitas. Saat ini ada beberapa sekolah yang mengabaikan kebebasan

siswa dalam mengemukakan ide dan pendapatnya. Sekolah lebih memusatkan

perhatian dan penciptaan rasa aman dan bebas dari rasa takut serta cemas

terhadap kejahatan secara fisik. Oleh karena itu sekolah seharusnya

memperhatikan kedua aspek tersebut, yaitu rasa aman dalam menuangkan

pendapat dan rasa aman dari ancaman fisik.

Selain itu aspek-aspek iklim sekolah juga dikemukakan oleh Thapa, dkk

(2012) yaitu :

a. Rasa Aman (safety)

Terbagi menjadi 3 bagian yaitu : aturan dan norma (roles and norms),

keamanan fisik (physical safety), danemosional sosial (social emotional).

1) Aturan dan Norma (roles and norms)

Mengkomunikasikan peraturan tentang kekerasan fisik secara jelas,

mengkomunikasikan peraturan tentang kekerasan verbal, pelecahan dan

tindakan pemaksaan secara jelas, serta konsisten dalam memberikan

intervensi dalam hal tersebut

2) Keamanan Fisik (physical safety)

Keadaan dimana siswa merasa aman dari kekerasan fisik di sekolah.

3) Emosional Sosial (social emotional)

Keadaan dimana siswa merasa aman dari kekerasan verbal, pelecehan,

(40)

b. Hubungan (relationship)

Hubungan (relationship) terbagi atas: menghargai keberagaman (respect fordiversity), hubungan dan keterikatan sekolah (school connectedness/ engagement), dukungan sosial (social support), dan kepemimpinan (leadership).

1) Menghargai keberagaman (respect for diversity)

Saling menghormati terhadap perbedaan individu seperti: gender, ras,

suku, agama dan sebagainya dalam lingkungan sekolah baik antara siswa

dengan siswa, guru dengan siswa, guru dengan guru, dan semua norma

yang berlaku.

2) Hubungan dan keterikatan sekolah (school connectedness/engagement)

Identifikasi positif pada norma-norma sekolah untuk seluruh anggota

sekolah seperti siswa, staff, guru, dan keluarga dari siswa tersebut

3) Dukungan Sosial (social support)

Bentuk dukungan dari teman sebaya pada siswa seperti berteman untuk

bersosialisasi, untuk memecahkan masalah, untuk kebutuhan akademik,

dan untuk penyesuaian diri siswa baru.

4) Kepemimpinan (leadership)

Menciptakan dan mengkomunikasikan pandangan secara jelas, agar tujuan

mudah dicapai dan mendapat dukungan dari staff sekolah.

c. Belajar dan mengajar (teaching and learning)

(41)

pengetahuan profesional (support for professional learning)

d. Lingkungan instututional (institutional environmental)

Lingkungan instututional (institutional environmenta)l terbagi atas hubungan sekolah (school connectedness) dan keadaan sekolah (surrounding of school).

1) Hubungan sekolah (school connectedness)

The Centre for Desease Control and Prevention (2009) mendefinisikan hubungan sekolah (school connected) adalah ketika siswa percaya bahwa orang-orang di sekelilingnya seperti guru dan teman sekolahnya peduli

terhadap proses belajar siswa tersebut

2) Keadaan sekolah (surrounding of school)

Kebutuhan akan kebersihan, susunan, dan fasilitas yang memadai.

C. Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)

Masa Sekolah Menengah Atas (SMA), umumnya di Indonesia dimulai dari

usia 15 tahun atau 16 tahun sampai usia 17 tahun atau 18 tahun. Pada usia

tersebut, individu berada pada masa remaja.

1. Pengertian Remaja

Remaja (adolescence) diartikan sebagai individu yang sedang pada masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang

mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock,

(42)

2. Ciri-ciri Masa Remaja

Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang

kehidupan. Menurut Hurlock masa remaja mempunyai ciri–ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelumnya dan sesudahnya.

Ciri-ciri tersebut akan diterangkan secara singkat di bawah ini (Hurlock, 2004)

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Kendatipun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting,

namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode

yang lebih penting daripada beberapa periode lainnya, karena

akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi

yang penting karena akibat-akibat jangka panjangnya.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang

telah terjadi sebelumnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya

akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan

yang akan datang.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja

sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja,

ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan

sikap juga berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka

perubahan sikap dan perilaku menurun juga. Perubahan yang sama

(43)

perubahan tubuh, dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka

nilai-nilai juga berubah dan sebagian besar remaja bersikap ambivalen

terhadap setiap perubahan.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi.

Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama, sepanjang masa

kanak-kanak, masalah anak-anak diselesaikan oleh orang tua dan

guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam

mengatasi masalah. Kedua, karena para remaja merasa diri mandiri,

sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak

bantuan orang tua dan guru-guru.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai

individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk

mobil, pakaian dan pemilikan barang-barang lain yang mudah terlihat.

Dengan cara ini remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar

dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia

mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Banyak anggapan populer tentang remaja yang mempunyai arti yang

bernilai, dan sayangnya banyak di antaranya yang bersifat negatif.

Remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya

(44)

orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan

remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik

terhadap perilaku remaja yang normal.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana

yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal

cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya

sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan

meningginya emosi yang merupakan ciri awal masa remaja.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja

menjadi gelisah untuk meninggalkan usia belasan tahun dan untuk

memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa.

D. Dinamika Antara Persepsi Terhadap Iklim Sekolah dan Kecenderungan

Bullying

Remaja (adolescence) dilihat dari tahap perkembangannya adalah individu yang sedang berada pada masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa

yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock,

2007). Salah satu permasalahan yang sering dihadapi para remaja berhubungan

(45)

Menurut Edwards (2006) bullying paling sering terjadi pada masa-masa Sekolah Menengah Atas (SMA), dikarenakan pada masa ini remaja memiliki

egosentrisme yang tinggi. Piaget (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa

egosentrisme remaja ditandai dengan ciri-ciri bahwa remaja merasa segala sesuatu

masih terpusat pada dirinya, dari sinilah akan munculnya perilaku menyimpang.

Perasaan remaja yang meyakini bahwa segala sesuatu berpusat pada dirinya

membuat para remaja melakukan tindakan kekerasan seperti bullying (Edward, 2006).

Dalam Bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia kata bully

berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah (Echols, 1976). Bullying

diartikan sebagai suatu tindakan negatif dan agresif atau tindakan yang disengaja

atau berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain,

biasanya terjadi secara berkala. Merupakan tindakan yang kejam dan berdasarkan

ketidakseimbangan kekuatan (Sullivan, 2005).

Beane (2008) menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab munculnya

bullying adalah kondisi sekolah, seperti: ketidakjelasan standar perilaku, tidak ada kebijakan anti-bullying, warga sekolah yang menggunakan sindiran yang menyakitkan, warga sekolah yang menghina murid di depan teman-temannya, dan

lain-lain. Kejelasan peraturan dan lingkungan sekolah mempengaruhi tingkah laku

dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013). Lingkungan sosial sekolah yang

harmonis membuat kondisi sekolah menjadi nyaman dan menyenangkan,

lingkungan sosial yang harmonis akan tercipta bila seluruh warga sekolah

(46)

Menurut Thapa (2012) kejelasan aturan tentang kekerasan fisik dan

hubungan antar warga sekolah merupakan salah satu aspek-aspek dari iklim

sekolah. Iklim sekolah menurut Pintrich & Shunck (1996) adalah perasaan pribadi

setiap anggota sekolah yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru

dalam membentuk tujuan (goal orientation), membantu meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi belajar siswa, serta kepuasan guru atas keberhasilannya mengajar.

Kassabri dkk, (2008) menyebutkan bahwa iklim sekolah yang positif

berhubungan dengan rendahnya tingkat korban kekerasan di sekolah. Hal ini juga

turut mendukung pernyataan Adam dan Corner (2008) yaitu adanya hubungan

negatif yang sangat signifikan antara lingkungan psikososial sekolah terhadap

prediksi perilaku bullying.

Pandangan atau persepsi siswa terhadap sekolahnya adalah subyektif,

sehingga penilaian siswa terhadap norma dan kondisi lingkungan sekolahnya bisa

berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Iklim sekolah yang positif ternyata

dapat dipersepsi siswa secara negatif. Perbedaan ini juga mempengaruhi tingkah

laku dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013). Persepsi atas kualitas iklim

sekolah yang baik, dapat menjaga remaja dari resiko pengalaman peningkatan

tingkat emosi dan masalah perilaku (Loukas dkk, 2004).

Menurut Barnes (2012) semakin baik persepsi terhadap iklim sekolah akan

semakin rendah tingkat kekerasan (agresivitas) yang terjadi di sekolah. Siswa

yang memiliki persepsi yang positif mengenai iklim sekolahnya akan lebih

(47)

dan mencegah agresivitas dari sesama siswa (Syvertsen, Flanagan & Stout, 2009).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh

persepsi iklim sekolah terhadap kecenderungan bullying, sehingga peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai hal tersebut.

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori yang telah peneliti

paparkan di atas maka peneliti menjadikan hipotesis penelitian ini sebagai berikut:

Ada pengaruh persepsi terhadap iklim sekolah terhadap kecederungan bullying

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian yang Digunakan

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Menurut Azwar (2000)

pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka)

yang diolah dengan metode statistika. Pada dasarnya, pendekatan kuantitatif

dilakukan pada penelitian yang dilakukan dalam rangka menguji hipotesis dan

menyandarkan kesimpulan hasilnya pada suatu probabilititas kesalahan penolakan

hipotesis nihil. Dengan metode kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan

kelompok atau signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti. Pada umumnya,

penelitian kuantitatif merupakan penelitian sampel besar.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah objek yang akan diselidiki (Hadi, 2000). Sesuai

dengan judul penelitian yaitu pengaruh iklim sekolah terhadap kecenderungan

prilaku bullying, maka terdapat 2 (dua) variabel, yaitu persepsi terhadap iklim sekolah dan kecenderungan bullying.

1. Variabel Tergantung

Variabel tergantung penelitian ini adalah kecenderungan bullying

2. Variabel Bebas

(49)

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Kecenderungan Bullying

Kecenderungan bullying adalah keinginan seseorang untuk melakukan tindakan yang negatif secara sengaja yang dilakukan lebih dari sekali terhadap

orang lain dan disebabkan karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara

kedua belah pihak tersebut.

Kecenderungan bullying ini akan diukur dengan menggunakan skala untuk kecenderungan bullying yang dikembangkan melalui jenis-jenis dari bullying yang dikemukakan oleh Sullivan (2005) yang meliputi: bullying fisik, bullying non fisik, dan merusak benda milik orang lain.

2. Persepsi Terhadap Iklim sekolah

Persepsi terhadap iklim sekolah adalah proses pemberian makna terhadap

perasaan yang dimiliki oleh anggota sekolah terhadap situasi dan kondisi sekolah

yang mereka rasakan dan dapat memberi pengaruh kepada anggota sekolah

tersebut.

Iklim sekolah ini diukur dengan menggunakan skala yang disusun

berdasarkan aspek iklim sekolah yang dikemukakan oleh Pintrich dan Shcunk

(50)

D. Populasi, Sample dan Teknik Pengambilan Sampel

1. Populasi dan Sample

Masalah populasi dan sampel yang dipakai dalam penelitian merupakan

salah satu faktor penting yang harus diperhatikan. Populasi adalah wilayah

generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian

ditarik kesimpulannya (Sugiono, 2012).

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi penelitian adalah siswa

Sekolah Menengah Atas (SMA) X Medan yang secara keseluruhan berjumlah 183

orang yang terdiri atas 29 orang siswa kelas X IPS, 24 orang siswa kelas X IPA,

23 orang siswa kelas XI IPS, 29 orang siswa kelas XI IPA 1, 29 orang siswa kelas

XI IPA 2, 30 orang siswa kelas XII IPS dan 19 orang siswa kelas XII IPA.

Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka

peneliti hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai

subjek penelitian, atau yang dikenal dengan nama sampel.

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiono, 2012). Subjek penelitian menurut Azwar (2001)

adalah sumber utama data penelitian, yaitu mereka yang memiliki data mengenai

variabel yang akan diteliti. Karakteristik subjek penelitian diperlukan untuk

menjamin homogenitasnya. Karakteristik subjek penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu siswa-siswi Sekolah Menengah Atas yang ada di SMA X

(51)

2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling adalah teknik yang digunakan untuk mengambil sampel

dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai

dan dengan memperhatikan sifat-sifat serta penyebaran populasi agar diperoleh

sampel yang benar-benar mewakili populasi (Hadi, 2000).

Teknik sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling. Dikatakan simple (sederhana) karena pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada

dalam populasi itu. Cara demikian dilakukan bila anggota populasi dianggap

homogen (Sugino, 2012). Teknik ini akan dilakukan dengan cara tiap unit

populasi diberi nomor. Kemudian sampel yang diinginkan ditarik secara random,

baik digunakan dengan random numbers ataupun dengan undian biasa (Nazir, 1988).

Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan sistem undian dimana nanti

setiap siswa dalam kelas akan diberi nomor undian dan nomor yang terpilih akan

menjadi sampel pada penelitian ini. Teknik sampling yang digunakan dipilih

berdasarkan kesesuaian terhadap fokus penelitian yang akan dilakukan dimana

setiap siswa mempunyai persepsi masing-masing terhadap iklim sekolahnya

sehingga siswa-siswa yang akan menjadi subjek dalam penelitian dianggap

homogen. Siswa-siswi yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini nantinya

(52)

3. Jumlah Sampel Penelitian

Sugiarto (2003) berpendapat bahwa untuk penelitian yang akan

menggunakan analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah

30, walaupun ia juga mengakui bahwa banyak peneliti lain menganggap bahwa

sampel sebesar 100 merupakan jumlah yang minimum. Menurut Azwar (2000),

secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek

Gambar

Tabel 1. Hasil kuesioner
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4. Distribusi aitem skala bullying setelah uji coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya pengaruh persepsi iklim sekolah terhadap student engagement pada siswa SMA Sultan Iskandar Muda Medan.. Penelitian ini

Alat ukur yang digunakan adalah skala persepsi iklim sekolah yang disusun oleh peneliti berdasarkan 4 aspek persepsi iklim sekolah yang dikemukakan oleh Thapa,

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Ritonga (2016) tentang gambaran student engagement di sekolah dengan pendidikan multikultural, dalam hal ini SMA Sultan Iskandar Muda

terdapat pengaruh persepsi iklim sekolah terhadap student engagement pada siswa. SMA Sultan Iskandar

Hubungan antara persepsi siswa terhadap iklim sekolah dengan school engagement di Smk Ipiems Surabaya (Correlation between student's perception of school climate with

Iklim sekolah yang dipersepsikan siswa bersifat subjektif dan berbeda satu sama lain, karena pemberian makna terhadap keseluruhan informasi dari kualitas dan karakter kehidupan

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis data penelitian maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara persepsi siswa terhadap

Ketidakmampuan sekolah dalam menciptakan iklim sekolah yaitu berupa lingkungan sosial yang aman secara fisik maupun psikologis, proses pembelajaran yang kondusif,