• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecenderungan Bullying 1. Definisi Kecenderungan Bullying - Pengaruh Persepsi Iklim Sekolah Terhadap Kecenderungan Bullying Pada Siswa SMA X Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecenderungan Bullying 1. Definisi Kecenderungan Bullying - Pengaruh Persepsi Iklim Sekolah Terhadap Kecenderungan Bullying Pada Siswa SMA X Medan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecenderungan Bullying

1. Definisi Kecenderungan Bullying

Dalam Bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia kata bully

berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah (Echols, 1976). Bullying

diartikan sebagai suatu tindakan negatif dan agresif atau tindakan yang disengaja atau berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain, biasanya terjadi secara berkala. Merupakan tindakan yang kejam dan berdasarkan ketidakseimbangan kekuatan (Sullivan, 2005).

Menurut American Psychiatric Association (APA), bullying adalah perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku negatif atau jahat yang dimaksud untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku yang diulang selama jangka waktu tertentu (c) hubungan yang melibatkan ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat (dalam Stein dkk, 2006).

Selain itu, menurut Rigby (dalam Astuti, 2008) bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecenderungan bullying

(2)

kepada seseorang atau lebih dengan maksud menyakiti orang tersebut yang dilakukan secara berulang-ulang dan disebabkan karena ketidak seimbangan kekuasaan antara kedua belah pihak tersebut.

2. Bullying Di Sekolah

Menurut Rudi (2010) bullying dapat terjadi di lingkungan mana saja dimana terjadi interaksi sosial antar manusia, antara lain di sekolah (school

bullying), tempat kerja (workplace bullying), pada internet dan teknologi digital

(cyber bullying), lingkungan politik (political bullying), lingkungan militer

(military bullying), dan perpeloncoan.

Bullying yang terjadi di sekolah (school bullying) adalah perilaku agresif

yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.

(3)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecenderungan Bullying

Beane (2008), dalam bukunya menjelaskan bahwa ada beberapa faktor sosial yang menyebabkan bullying, diantarany yaitu:

a. Media

Beane (2008) menyebutkan bahwa media memiliki dampak yang cukup signifikan bagi anak-anak saat ini. Beberapa penelitian mengidentifikasikan bahwa anak-anak yang melihat banyak kekerasan di televisi, video, game, dan film lebih sering menjadi agresif dan kurang empati terhadap yang lainnya. Dalam kenyataannya, diantara penelitian yang meneliti kekerasan di televisi melihat terdapat peningkatan pengukuran dari 3% menjadi 15% pada perilaku agresif individu setelah melihat kekerasan di televisi.

Selain itu siaran olahraga yang sering di tayangkan oleh media juga menjadi contoh yang mengajarkan kekerasan pada anak. Beberapa bentuk kekerasan oleh raga tim diantaranya seperti ice hockey, sepak bola, dan rugby. Terkadang media memperlihatkan pemain yang melakukan kekerasan, kontroversial dan agresif. Anak-anak sering memilih pahlawan olahraga tersebut seperti role model atau meniru perilaku mereka (Beane, 2008).

b. Keluarga

Selain media, Beane (2008) juga menyebutkan bahwa orang tua juga memiliki pengaruh terhadap perilaku agresif anak tersebut. Orang tua merupakan

role model pertama bagi anak-anak mereka. Tak jarang bahwa penyebab dari

(4)

sehingga sering kali mereka menggunakan kekerasan untuk membuat anak-anak mematuhi mereka.

c. Teman Sebaya

Beane (2008) menyebutkan bahwa anak-anak mungkin ditolak bukan karena perilaku atau karakteristik yang mereka miliki, namun karena peer group

membutuhkan target untuk ditolak. Penolakan tersebut membantu kelompok menentukan batas-batas penerimaan mereka dengan membawa kesatuan dalam kelompok. Dengan kata lain, individu-individu yang ditargetkan menjadi kambing hitam berfungsi untuk kepentingan kepaduan kelompok. Ini adalah salah satu alasan siswa begitu bersemangat untu bergabung di dalam kelompok bahkan ketika mereka tidak sama seperti orang yang ada di dalam.

d. Lingkungan Masyarakat

(5)

e. Sekolah

Kemudian lingkungn sosial yng terakhir adalah sekolah. Beane (2008) menyebutkan bahwa kondisi sekolah juga dapat memberi pengaruh terhadap perilaku agresif anak. Beberapa faktor yang terkait diantaranya yaitu:

- Rendahnya moral staf

- Ketidakjelasan standar perilaku

- Ketidakkonsistenan metode pendisiplinan - Buruknya organisasi

- Supervisi yang tidak memadai

- Anak-anak tidak diperlakukan sebagai individu - Tidak memadainya fasilitas

- Kurangnya dukungan untuk murid baru - Tidak ada kebijakan anti-bullying

- Tidak ada prosedur yang jelas mengenai penanganan dan penyelesaian

kejadian bullying

- Pengabaian bullying oleh warga sekolah - Kelas yang kacau

- Kurangnya dukungan untuk murid berkebutuhan khusus - Tidak ada ruang untuk aktifitas yang tenang

(6)

Menurut Ariesto (dalam Mudjijanti, 2011) penyebab terjadinya bullying antara lain:

a) Keluarga

Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah: orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stres, agresi, dan permusuhan. Anak akan mempelajari

bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua

mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa mereka yang memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku agresif itu dapat meningkatkan status dan kekuasaan seseorang. Dari sini anak mengembangkan bullying tersebut.

b) Sekolah

Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak lain. dan menghormati antar sesama anggota sekolah.

c) Faktor kelompok sebaya

(7)

nyaman dengan perilaku tersebut. Bullying termasuk tindakan yang disengaja oleh pelaku pada korbannya, yang dimaksudkan untuk menggangu seorang yang lebih lemah. Faktor individu dimana kurangnya pengetahuan menjadi salah satu penyebab timbulnya bullying, Semakin baik tingkat pengetahuan remaja tentang bullying maka akan dapat meminimalkan atau menghilangkan perilaku bullying.

4. Jenis-jenis Kecenderungan Bullying

Kecenderungan bullying dapat dilihat dari jenis-jenis bullying yang dikemukakan oleh Sullivan (2005), diantaranya adalah:

a. Bullying Fisik

Bullying fisik adalah bentuk bullying yang paling nyata dan terjadi ketika

seseorang terluka secara fisik, yang meliputi menggigit, memukul, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, mendorong, menjambak, atau bentuk serangan fisik lainnya.

b. Bullying Nonfisik

Bullying nonfisik terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal

1) Bullying verbal meliputi: telepon ancaman, meminta uang atau

barang dengan paksa, mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengintimidasi, memberi panggilan nama (

name-calling), mencela/mengejek ras, memaki, dan menyebarkan gosip.

2) Bullying non-verbal. Bullying non-verbal dibagi menjadi secara

langsung dan tidak langsung.

(8)

kasar, melihat dengan sinis, menampilkan ekspresi muka yang jahat.

Bullying non-verbal tidak langsung meliputi: mendiamkan

seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng, dan membuat orang dibenci oleh orang lain.

c. Merusak Benda Milik Orang Lain

Merusak benda milik orang lain meliputi: menyobek pakaian, merusak buku, menghancurkan, dan mengambil benda milik orang lain.

B. Persepsi Terhadap Iklim Sekolah

1. Definisi Persepsi

Robbins (1996) menyatakan persepsi merupakan suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera untuk memberi makna kepada lingkungan. Persepsi merupakan upaya mengamati dunia, mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian (Chaplin, 1999). Persepsi adalah proses mengatur dan menginterpretasikan informasi sensoris untuk memberikan makna (King, 2010).

Menurut Walgito (1994), persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap ransangan yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang

(9)

2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Walgito (1994), diantaranya:

1) Perhatian yang selektif

Individu memusatkan perhatiannya pada rangsang-rangsang tertentu saja. Dengan demikian, objek-objek atau gejala lain tidak akan tampil ke muka sebagai objek pengamat.

2) Ciri-ciri rangsang

Rangsang yang bergerak diantara rangsang yang diam akan lebih menarik perhatian. Demikian juga rangsang yang paling besar diantara yang kecil; yang kontras dengan latar belakangnya dan yang intensitas rangsangnya paling kuat.

3) Nilai-nilai dan kebutuhan individu

Seorang seniman mempunyai pola dan citra rasa yang berbeda dalam pengamatannya dibanding dengan orang yang bukan seniman.

4) Pengalaman terdahulu

Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsi dunianya.

3. Aspek-aspek Persepsi

Beberapa aspek-aspek dalam dunia persepsi menurut Walgito (1994) diantaranya adalah:

1) Sensor sel dasar

(10)

yaitu sifat sensori dasar dari masing-masing indera cahaya untuk penglihatan, bau untuk penciuman, suhu untuk perasa, bunyi untuk pendengaran dan sifat permukaan bagi peraba.

2) Dimensi ruang

Dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang). Kita dapat menyatakan atas bawah, tinggi rendah, luas sempit, depan dan belakang. 3) Dimensi waktu

Dunia persepsi mempunyai dimensi waktu seperti cepat, lambat, tua dan muda.

4) Konteks

Objek-objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan mempunyai struktur yang menyatu dengan konteksnya. Struktur dan konteks ini merupakan keseluruhan yang menyatu. Kita melihat meja tidak berdiri sendiri tetapi dalam ruang tertentu di saat tertentu, letak atau posisi tertentu. 5) Tujuan

Dunia persepsi merupakan dunia penuh arti, kita cenderung melakukan pengamatan atau persepsi pada gejala-gejala yang mempunyai makna bagi kita, yang ada hubungannya dengan diri kita.

4. Definisi Iklim Sekolah

(11)

lingkungan sekolah tersebut, baik aspek personal, sosial, maupun kultural. Kedua, iklim sekolah menyangkut afeksi yang membentuk pola perilaku yang selanjutnya menjadi karakteristik sekolah yang mempengaruhi atau membentuk perilaku warga di dalam sekolah.

Iklim sekolah adalah perasaan pribadi setiap anggota sekolah yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam membentuk tujuan (goal

orientation), membantu meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi

belajar siswa, serta kepuasan guru atas keberhasilannya mengajar (Pintrich & Shunck, 1996).

Sergiovanni dan Starrat (dalam Hadiyanto, 2004) berpendapat bahwa iklim sekolah merupakan karakteristik yang ada (the enduring characteristics), yang menggambarkan ciri-ciri psikologis (psychological character) dari suatu sekolah tertentu, yang membedakan suatu sekolah dari sekolah yang lain, mempengaruhi tingkah laku guru dan peserta didik dan merupakan perasaan psikologis

(psychological feel) yang dimiliki guru dan peserta didik di sekolah tertentu.

Mengutip pendapat Litwin dan Stringer, Sergiovanni dan Starrat (dalam Hadiyanto, 2004) juga mengatakan bahwa iklim sekolah merupakan efek subyektif yang dirasakan (perceive subjective effects) dari sistem formal, gaya informal dari manajer, dan faktor penting yang lain dari lingkungan pada sikap

(attitude), kepercayaan (beliefs), nilai (values) dan motivasi (motivation)

orang-orang yang bekerja pada suatu lembaga tertentu (sekolah).

(12)

guru, guru dengan guru, guru dengan peserta didik atau hubungan antar peserta didik yang menjadi ciri khas sekolah yang ikut mempengaruhi proses belajar mengajar di sekolah.

Hoy dan Miskel (dalam Ulfah, 2009) menyebutkan bahwa iklim sekolah adalah situasi, suasana atau atmosfer, suatu karakteristik internal dalam suatu sekolah yang membedakannya dengan sekolah lain dan mempengaruhi perilaku orang-orang di dalamnya. Iklim sekolah juga dapat diartikan sebagai bentuk dasar dari pengalaman orang-orang dalam kehidupan sekolah dan refleksi dari norma, tujuan, nilai, hubungan interpersonal, prakter belajar mengajar, dan stuktrur organisasi (Thapa dkk, 2012).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa iklim sekolah adalah perasaan pribadi setiap anggota sekolah tentang pengalaman personel terhadap situasi dan kondisi lingkungan sekolah tersebut yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam membentuk tujuan (goal

orientation), membantu meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi

belajar siswa, serta kepuasan guru atas keberhasilannya mengajar.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Iklim Sekolah

Faktor-faktor yang mempengaruhi iklim sekolah menurut Owens (1991) terdiri dari :

1) Ekologi yaitu lingkungan fisik seperti gedung, bangku, kursi, alat elektronik, dan lain-lain.

(13)

Di dalam sekolah juga terjadi kontak secara fisik dimana siswapun akan berhubungan dengan segala fasilitas yang ada di dalam sekolah tersebut. Oleh karena itu sekolah harus di desain sedemikian rupa oleh warga sekolah sehingga sekolah merupakan lingkungan yang menyenangkan bagi siswa dalam tugas dan peranannya di dalam sekolah sebagai peserta didik dan tugas serta peranannya dalam perkembangan fisik maupun emosionalnya. 2) Hubungan sosial

Hubungan sosial adalah cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya. Hubungan sosial ini juga menyangkut penyesuaian diri terhadap lingkungan, seperti makan dan minum sendiri, mentaati peraturan, membangun komitmen bersama dalam kelompok atau organisasinya, dan sejenisnya. Hubungan sosial juga merupakan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan mengandung kesadaran untuk saling menolong. Hubungan sosial terjadi karena ada interaksi sosial yang melibatkan emosi atau perasaan. Hubungan sosial yang positif antar warga sekolah akan mempengaruhi terciptanya iklim yang kondusif.

3) Sistem sosial yakni ketatausahaan, perorganisasian, pengambilan keputusan dan pola komunikasi

(14)

perorganisasian, pengambilan keputusan dan pola komunikasi antar warga yang ada di dalam sekolah. Jika fungsi tersebut telah dilaksanakan dengan baik maka akan membantu terciptanya iklim sekolah yang positif.

4) Budaya yakni nilai-nilai, kepercayaan, norma dan cara berpikir orang-orang dalam organisasi

Budaya sekolah diartikan sebagai sistem makna yang dianut bersama oleh warga sekolah yang membedakannya dengan sekolah lain. Budaya sekolah yang baik akan mendorong seluruh anggota masyarakat sekolah untuk meningkatkan kinerjanya agar tujuan sekolah dapat tercapai. Karena nilai, moral, sikap dan perilaku siswa selama di sekolah dipengaruhi oleh struktur dan kultur sekolah, serta interaksi mereka dengan aspek-aspek dan komponen yang ada di dalamnya, seperti kepala sekolah, guru, materi pelajaran dan hubungan antarsiswa sendiri. Budaya sekolah adalah salah satu faktor yang mempengaruhi terciptanya iklim atau suasana sekolah. Iklim atau suasana sekolah merupakan bagian dari kultur sekolah yang dipandang dan dipahami oleh anggota sekolah tersebut.

6. Persepsi terhadap Iklim Sekolah

Persepsi terhadap iklim sekolah adalah proses penginterpretasian terhadap informasi mengenai perasaan pribadi setiap anggota sekolah tentang pengalaman personel terhadap situasi dan kondisi lingkungan sekolah tersebut yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam membentuk tujuan (goal

orientation), membantu meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi

(15)

Shunck, 1996).

Persepsi siswa terhadap hubungan antar warga sekolah akan mempengaruhi keterlibatan siswa secara emosional. Persepsi siswa terhadap kemampuan warga sekolah mengatasi kegagalan akan mempengaruhi keterlibatan siswa secara kognitif. Sedangkan persepsi siswa terhadap kejelasan peraturan dan lingkungan sekolah mempengaruhi keterlibatan siswa secara behavior (Purwita, 2013).

Bagaimana siswa memandang atau mempersepsikan sekolah juga menentukan perilaku mereka di sekolah. Persepsi warga sekolah terhadap lingkungan sekolahnya dapat menjadi prediktor terhadap afeksi siswa, kognitif

dan behavioral engagement (Wang & Halcombe dalam Voight, dkk 2011).

Pandangan atau persepsi siswa terhadap sekolahnya adalah subyektif, sehingga penilaian siswa terhadap norma dan kondisi lingkungan sekolahnya bisa berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Iklim sekolah yang positif ternyata dapat dipersepsi siswa secara negatif. Perbedaan ini juga mempengaruhi tingkah laku dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013).

7. Indikator Pengukuran Persepsi Terhadap Iklim Sekolah

Aspek-aspek iklim sekolah dikemukakan oleh Pintrich dan Schunk (1996) yaitu:

a. Rasa memiliki dan menjadi bagian dari komunitas (a sense of community and belongingness)

(16)

organisasi tersebut. Sebaliknya, organisasi dalam hal ini sekolah, juga peduli dan memberikan perhatian yang sepenuhnya terhadap kebutuhan setiap anggota di dalamnya.

Pada sekolah staf administrasi, staf pengajar dan para siswa saling menghormati dan peduli satu sama lainnya, akan berhubungan erat dengan kinerja positif guru dan siswa, yaitu orientasi tujuan (goal orientation), self

efficacy, usaha (efforts), ketekunan (persistence), dan pretasi yang positif (Lee

dkk dalam Pintrich & Schunk, 1996).

b. Kehangatan dan kesopanan dalam hubungan personal (warmth and civility in personal relation)

Dimensi ini merefleksikan kehidupan afektif sekolah yang berkenaan dengan kehangatan dan kesopanan yang diekspresikan dalam hubungan antar pribadi di sekolah. Berkaitan dengan hubungan guru dan siswa, perasaan kepedulian, perhatian, dukungan, dan hormat terhadap siswa serta interaksi yang positif antara guru dan siswa, akan berhubungan positif dengan hasil motivasional. Perhatian terhadap kesejahteraan orang lain atau terciptanya masyarakat yang peduli terhadap sesama dapat menciptakan pengaruh yang positif bagi seluruh siswa, bahkan bagi siswa yang beresiko mengalami kegagalan dalam sekolah (Bryk, Lee, dan Holland dalam Pintrich dan Schunk, 1996).

c. Perasaan aman dan nyaman(feelings of safety and security)

(17)

beraktivitas. Saat ini ada beberapa sekolah yang mengabaikan kebebasan siswa dalam mengemukakan ide dan pendapatnya. Sekolah lebih memusatkan perhatian dan penciptaan rasa aman dan bebas dari rasa takut serta cemas terhadap kejahatan secara fisik. Oleh karena itu sekolah seharusnya memperhatikan kedua aspek tersebut, yaitu rasa aman dalam menuangkan pendapat dan rasa aman dari ancaman fisik.

Selain itu aspek-aspek iklim sekolah juga dikemukakan oleh Thapa, dkk (2012) yaitu :

a. Rasa Aman (safety)

Terbagi menjadi 3 bagian yaitu : aturan dan norma (roles and norms),

keamanan fisik (physical safety), danemosional sosial (social emotional).

1) Aturan dan Norma (roles and norms)

Mengkomunikasikan peraturan tentang kekerasan fisik secara jelas, mengkomunikasikan peraturan tentang kekerasan verbal, pelecahan dan tindakan pemaksaan secara jelas, serta konsisten dalam memberikan intervensi dalam hal tersebut

2) Keamanan Fisik (physical safety)

Keadaan dimana siswa merasa aman dari kekerasan fisik di sekolah. 3) Emosional Sosial (social emotional)

(18)

b. Hubungan (relationship)

Hubungan (relationship) terbagi atas: menghargai keberagaman (respect

fordiversity), hubungan dan keterikatan sekolah (school connectedness/

engagement), dukungan sosial (social support), dan kepemimpinan (leadership).

1) Menghargai keberagaman (respect for diversity)

Saling menghormati terhadap perbedaan individu seperti: gender, ras, suku, agama dan sebagainya dalam lingkungan sekolah baik antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, guru dengan guru, dan semua norma yang berlaku.

2) Hubungan dan keterikatan sekolah (school connectedness/engagement)

Identifikasi positif pada norma-norma sekolah untuk seluruh anggota sekolah seperti siswa, staff, guru, dan keluarga dari siswa tersebut

3) Dukungan Sosial (social support)

Bentuk dukungan dari teman sebaya pada siswa seperti berteman untuk bersosialisasi, untuk memecahkan masalah, untuk kebutuhan akademik, dan untuk penyesuaian diri siswa baru.

4) Kepemimpinan (leadership)

Menciptakan dan mengkomunikasikan pandangan secara jelas, agar tujuan mudah dicapai dan mendapat dukungan dari staff sekolah.

c. Belajar dan mengajar (teaching and learning)

(19)

pengetahuan profesional (support for professional learning)

d. Lingkungan instututional (institutional environmental)

Lingkungan instututional (institutional environmenta)l terbagi atas hubungan sekolah (school connectedness) dan keadaan sekolah (surrounding of

school).

1) Hubungan sekolah (school connectedness)

The Centre for Desease Control and Prevention (2009) mendefinisikan

hubungan sekolah (school connected) adalah ketika siswa percaya bahwa orang-orang di sekelilingnya seperti guru dan teman sekolahnya peduli terhadap proses belajar siswa tersebut

2) Keadaan sekolah (surrounding of school)

Kebutuhan akan kebersihan, susunan, dan fasilitas yang memadai.

C. Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)

Masa Sekolah Menengah Atas (SMA), umumnya di Indonesia dimulai dari usia 15 tahun atau 16 tahun sampai usia 17 tahun atau 18 tahun. Pada usia tersebut, individu berada pada masa remaja.

1. Pengertian Remaja

(20)

2. Ciri-ciri Masa Remaja

Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan. Menurut Hurlock masa remaja mempunyai ciri–ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut akan diterangkan secara singkat di bawah ini (Hurlock, 2004)

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Kendatipun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode yang lebih penting daripada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat-akibat jangka panjangnya.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

(21)

perubahan tubuh, dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah dan sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk mobil, pakaian dan pemilikan barang-barang lain yang mudah terlihat. Dengan cara ini remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

(22)

orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri awal masa remaja.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan usia belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa.

D. Dinamika Antara Persepsi Terhadap Iklim Sekolah dan Kecenderungan

Bullying

(23)

Menurut Edwards (2006) bullying paling sering terjadi pada masa-masa Sekolah Menengah Atas (SMA), dikarenakan pada masa ini remaja memiliki egosentrisme yang tinggi. Piaget (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa egosentrisme remaja ditandai dengan ciri-ciri bahwa remaja merasa segala sesuatu masih terpusat pada dirinya, dari sinilah akan munculnya perilaku menyimpang. Perasaan remaja yang meyakini bahwa segala sesuatu berpusat pada dirinya membuat para remaja melakukan tindakan kekerasan seperti bullying (Edward, 2006).

Dalam Bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia kata bully

berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah (Echols, 1976). Bullying

diartikan sebagai suatu tindakan negatif dan agresif atau tindakan yang disengaja atau berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain, biasanya terjadi secara berkala. Merupakan tindakan yang kejam dan berdasarkan ketidakseimbangan kekuatan (Sullivan, 2005).

Beane (2008) menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab munculnya

bullying adalah kondisi sekolah, seperti: ketidakjelasan standar perilaku, tidak ada

(24)

Menurut Thapa (2012) kejelasan aturan tentang kekerasan fisik dan hubungan antar warga sekolah merupakan salah satu aspek-aspek dari iklim sekolah. Iklim sekolah menurut Pintrich & Shunck (1996) adalah perasaan pribadi setiap anggota sekolah yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam membentuk tujuan (goal orientation), membantu meningkatkan self

efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi belajar siswa, serta kepuasan guru atas

keberhasilannya mengajar.

Kassabri dkk, (2008) menyebutkan bahwa iklim sekolah yang positif berhubungan dengan rendahnya tingkat korban kekerasan di sekolah. Hal ini juga turut mendukung pernyataan Adam dan Corner (2008) yaitu adanya hubungan negatif yang sangat signifikan antara lingkungan psikososial sekolah terhadap prediksi perilaku bullying.

Pandangan atau persepsi siswa terhadap sekolahnya adalah subyektif, sehingga penilaian siswa terhadap norma dan kondisi lingkungan sekolahnya bisa berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Iklim sekolah yang positif ternyata dapat dipersepsi siswa secara negatif. Perbedaan ini juga mempengaruhi tingkah laku dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013). Persepsi atas kualitas iklim sekolah yang baik, dapat menjaga remaja dari resiko pengalaman peningkatan tingkat emosi dan masalah perilaku (Loukas dkk, 2004).

(25)

dan mencegah agresivitas dari sesama siswa (Syvertsen, Flanagan & Stout, 2009). Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh persepsi iklim sekolah terhadap kecenderungan bullying, sehingga peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai hal tersebut.

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori yang telah peneliti paparkan di atas maka peneliti menjadikan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: Ada pengaruh persepsi terhadap iklim sekolah terhadap kecederungan bullying

Referensi

Dokumen terkait

However, it should be noted that a comparison across multiple species with only a single 'measurement' is problematic since individual crop species can exhibit largely

Nama awal dan kedua penulis pertama dan nama awal dan kedua penulis kedua. Kota {meliputi negara, provinsi, atau kota}: Penerbit.. Dalam teks: Penulis Pertama dan Kedua

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan data primer.. Data primer merupakan sumber data yang langsung diberikan

Tabel 4.17 Metode 5W-1H untuk Menggembangkan Rencana Tindakan untuk Mengatasi Keretakan pada Cangkang Telur, Telur Busuk, Penyusutan Bobot Telur dan Bintik Darah pada

Pada penelitian sekarang variabel yang digunakan adalah kepercayaan, kemudahan, dan persepsi resiko terhadap penggunaan e-banking bank BRI di Surabaya, sedangkan

Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada pemberian ekstrak belimbing wuluh dengan madu dan kelompok pemberian captopril 25 mg tidak terdapat perbedaan efektivitas terhadap

Namun para ilmuwan memberi suatu kompromi, artinya ilmu merupakan pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan kehidupan praktis sehari-hari dan tidak