BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (dalam Siswanti, 2009). Guna mencapai
tujuan tersebut, diperlukan kondisi belajar yang kondusif dan jauh dari kekerasan.
Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah
saat ini sangat memprihatinkan bagi pendidik dan orang tua. Sekolah yang
seharusnya menjadi tempat bagi anak menimba ilmu serta membantu membentuk
karakter pribadi yang positif ternyata malah menjadi tempat tumbuh suburnya
praktek-praktek bullying, sehingga memberikan ketakutan bagi anak untuk
memasukinya (Usman, 2013).
Dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia kata bully
berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah (Echols, 1976). Menurut
American Psychiatric Association (APA) bullying adalah perilaku agresif yang
dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku negatif atau jahat yang
dimaksudkan untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku yang diulang
selama jangka waktu tertentu (c) hubungan yang melibatkan ketidakseimbangan
Pada bulan Agustus 2014 lalu, seorang pelajar berusia 16 tahun kelas X
SMAN 9 Serua Ciputat Tangerang Selatan dengan inisial CE di-bullying oleh
kakak kelasnya di sekolah dengan cara dilepas kancing bajunya serta
seragamnya dicoret-coret dengan kata-kata kotor (Ali, 2014). Selain itu kasus
yang serupa juga terjadi pada 13 siswa SMA Negeri 70 di Jakarta, para siswa
tersebut akhirnya dikeluarkan dari sekolah karena diduga melakukan tindak
penindasan atau bullying terhadap adik kelasnya pada Juli 2014 (Marbun, 2014).
Pada sekolah yang berada di kota Medan sendiri tidak terlepas dari
bullying yang terjadi di sekolah, seperti yang dikemukakan oleh S, seorang
mahasiswa yang pernah magang di SMA X Medan, S mengemukakan:
“Saat kami sedang magang disana banyak siswanya yang berperilaku
kasar kepada temannya, misalnya memukul kepala temannya saat mereka sedang bercanda, walaupun mereka sedang bercanda tetapi kami melihat teman yang dipukul tersebut merasa tidak nyaman dan bahkan meringis
kesakitan” (Komunikasi Personal, 22 Maret 2014)
Peneliti kemudian menyebar kuesioner awal untuk menambah data yang
didapat dari asumsi tersebut. Kuesioner diberikan pada 76 siswa dari 3 kelas yang
mewakili kelas I, kelas II IPA dan kelas II IPS, kuesioner ini berisi
pertanyaan-pertanyaan mengenai pengertian dan ciri-ciri bullying ini yang sebagian diambil
berdasarkan aitem dari Olweus bullying questinnare (Olweus, 2006). Hasil
Tabel 1. Hasil kuesioner 6 Saya pernah diejek oleh teman-teman saya 66 10 7 Ejekan tersebut membuat saya merasa tersakiti 49 27 8 Ejekan tersebut saya terima lebih dari sekali 47 29 9 Teman saya menjauhi saya karena saya
berbeda dari mereka
26 50
10 Saya pernah mendapat ancaman dan gangguan dari teman saya
30 46
11 Saya pernah melihat teman saya mendapat perlakuan kasar dari teman yang lain
45 31
Jawaban yang diberikan siswa-siswi SMA X tersebut menunjukkan bahwa
mereka pernah melakukan bullying dan mengalami bullying. Selain itu peneliti
juga melakukan wawancara pada seorang siswa kelas XI dengan inisial B, B
mengatakan:
“Kalau udah pukul-pukulan baru dibawa ke ruangan BP kak, tapi kalau cuma ejek-ejekan paling cuma dinasehati sebentar aja, terus paling
diulangi lagi kak, kawan-kawan kan pada ngejek dia dengan “bencong”
jadi udah kebiasaan sih ngejek-ngejek dia kayak gitu, anak yang diejek paling cuma bisa diem aja kak, trus dia nampakku jadi makin bencong
kak. (Komunikasi Personal, 29 Maret 2014).
Dari wawancara di atas dapat dilihat bahwa fenomena bullying yang tidak
disadari guru mengakibatkan efek yang negatif untuk siswa-siswanya, seperti
yang disebutkan oleh B bahwa temannya mulai meniru perilaku seperti hal nya
ejekan yang Ia terima. Selain itu, sikap guru dalam menangani bullying yang
dengan pendapat Beane (2008) bahwa tidak adanya prosedur yang jelas mengenai
penanganan dan penyelesaiaan kejadian bullying ini merupakan salah satu faktor
penyebab munculnya bullying.
Menurut Edwards (2006) bullying paling sering terjadi pada masa-masa
Sekolah Menengah Atas (SMA), dikarenakan pada masa ini remaja memiliki
egosentrisme yang tinggi. Piaget (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa
egosentrisme remaja ditandai dengan ciri-ciri bahwa remaja merasa segala sesuatu
masih terpusat pada dirinya, dari sinilah akan munculnya perilaku menyimpang.
Perasaan remaja yang meyakini bahwa segala sesuatu berpusat pada dirinya
membuat para remaja melakukan tindakan kekerasan seperti bullying (Edward,
2006).
Kebanyakan bullying terjadi secara tersembunyi (covert) dan sering tidak
dilaporkan sehingga kurang disadari oleh kebanyakan orang (Glew dkk, 2000).
Bullying dapat terjadi di lingkungan mana saja dimana terjadi interaksi sosial
antar manusia seperti di sekolah (school bullying). Dalam hal ini bullying di
sekolah adalah kasus yang sering dilupakan, padahal bullying di sekolah dapat
menyebabkan efek yang sangat serius baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang bagi para korbannya (Rudi, 2010).
Beane (2008) menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab munculnya
bullying adalah kondisi sekolah, seperti: ketidakjelasan standar perilaku,
ketidakkonsistenan metode pendisiplinan, tidak ada kebijakan anti-bullying, tidak
ada prosedur yang jelas mengenai penanganan dan penyelesaian kejadian
sekolah yang menghina murid di depan teman-temannya, dan lain-lain. Salah satu
faktor yang menyebabkan munculnya bullying yang dikemukakan oleh Beane
(2008) terdapat juga pada SMA X dimana hal ini dikemukakan oleh seorang guru
BP yang berinisial I, dimana beliau menyebutkan bahwa :
“Bagi kami mungkin anak-anak yang berantam adalah hal yang wajar, dikatakan tidak wajar apabila telah menimbulkan adu jotos atau keributan. Kami memiliki beratus-ratus siswa di sekolah ini, jadi jika hanya sebatas ejek-ejekan atau sindir-sindiran mungkin kami kurang bisa langsung turun tangan mengatasinya, kami langsung serahkan itu kepada wali kelas masing-masing. Dan baru-baru ini memang kami kecolongan dimana ada dua orang siswi yang sampai jambak-jambakkan hanya
karena sindir-sindiran.” (Komunikasi Personal, 29 Maret 2014)
Dari wawancara di atas, peneliti berpendapat bahwa pihak sekolah sudah
mengetahui adanya bullying di kalangan para siswanya namun masih
mengabaikan keberadaan bullying yang terjadi dan belum adanya kebijakan
anti-bullying dari pihak sekolah tersebut, sehingga hal ini menjadi pemicu munculnya
bullying pada SMA tersebut.
Astuti (2008) menambahkan bahwa sekolah yang mudah terdapat kasus
bullying pada umumnya berada dalam situasi sebagai berikut: pertama, sekolah
dengan ciri perilaku diskriminatif di kalangan guru dan siswa. Kedua, kurangnya
pengawasan dan bimbingan etika dari para guru dan satpam. Ketiga, sekolah
dengan kesenjangan besar antara siswa kaya dan siswa miskin. Keempat, adanya
kedisiplinan yang sangat kaku atau yang terlalu lemah. Kelima, bimbingan yang
tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten.
Hal yang diungkapkan Astuti (2008) juga peneliti temukan melalui
mengatakan bahwa:
“Di sekolah ini para guru dan siswa sering sekali bercanda kelewat batas
kak, kelewat batas yang saya maksud adalah tak jarang guru memukul kepala siswanya yang melanggar peraturan, sehingga dari situ kami merasa bahwa guru saja sudah mengajarkan hal yang tidak baik bagi siswanya, tentu tanpa guru
sadari beberapa siswa juga meniru perilaku kasar seperti itu.”
(Komunikasi personal, 18 Februari 2015).
Dari wawancara tersebut, peneliti berpendapat bahwa cara guru menghukum para
siswa yang melanggar aturan dengan memukul kepala siswanya merupakan
bimbingan etika yang tidak tepat dari guru sehingga dapat memicu munculnya
bullying pada siswa di sekolah tersebut.
Menurut Thapa (2012) kejelasan aturan tentang kekerasan fisik dan
hubungan antar warga sekolah merupakan salah satu aspek-aspek dari iklim
sekolah. Iklim sekolah adalah bentuk dasar dari pengalaman orang-orang dalam
kehidupan sekolah dan refleksi dari norma, tujuan, nilai, hubungan interpersonal,
prakter belajar mengajar, dan stuktrur organisasi (Thapa dkk, 2012).
Iklim sekolah juga dapat diartikan sebagai perasaan pribadi setiap anggota
sekolah yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam
membentuk tujuan (goal orientation), membantu meningkatkan self efficacy,
usaha, ketekunan dan prestasi belajar siswa, serta kepuasan guru atas
keberhasilannya mengajar (Pintrich & Shunck, 1996).
Pintrich & Shunck (1996) juga menyebutkan bahwa salah satu aspek dari
iklim sekolah adalah perasaan aman dan nyaman dalam menuangkan ide, opini
dan beraktivitas. Pada SMA X Medan rasa aman dan nyaman dalam menuangkan
ide, opini dan beraktivitas itu masih sangat sulit dirasakan oleh siswanya, hal ini
A, A menyebutkan bahwa:
“Kalau guru nyuruh menjawab pertanyaan yang beliau kasih, saya sering malas angkat tangan kak, soalnya sering kena ejekin sama teman-teman kalau jawabannya salah, kadang juga ditertawakan rame-rame, jadi biarin aja yang
lain yang jawab kak.” (Komunikasi personal, 18 Februari 2015).
Perasaan yang A alami dalam menuangkan ide dan pendapatnya di dalam kelas
yang masih sering mendapat respon negatif dari temannya membuat A merasa
tidak nyaman dalam beraktivitas, dan hal ini mempengaruhi iklim sekolah yang
dirasakan oleh A tersebut.
Kassabri dkk, (2005) menyebutkan bahwa iklim sekolah yang positif
berhubungan dengan rendahnya tingkat korban kekerasan di sekolah. Hal ini juga
turut mendukung pernyataan Adam dan Corner (2008) yaitu adanya hubungan
negatif yang sangat signifikan antara lingkungan psikososial sekolah terhadap
prediksi perilaku bullying.
Pandangan atau persepsi siswa terhadap sekolahnya adalah hal yang
subyektif, sehingga penilaian siswa terhadap norma dan kondisi lingkungan
sekolahnya bisa berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Iklim sekolah yang
positif ternyata dapat dipersepsi siswa secara negatif. Perbedaan ini juga
mempengaruhi tingkah laku dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013).
Persepsi atas kualitas iklim sekolah yang baik, dapat menjaga remaja dari resiko
pengalaman peningkatan tingkat emosi dan masalah perilaku seperti bullying
(Loukas dkk, 2004).
Menurut Barnes (2012) semakin baik persepsi terhadap iklim sekolah akan
semakin rendah tingkat kekerasan (agresivitas) yang terjadi di sekolah. Siswa
mungkin untuk bertindak dan menunjukkan sikap saling peduli terhadap sesama
dan mencegah agresivitas dari sesama siswa (Syvertsen, Flanagan & Stout, 2009).
Way dkk (2007) menemukan bahwa ada hubungan antara persepsi siswa
terhadap iklim sekolah dengan kecenderungan munculnya masalah perilaku siswa,
persepsi siswa terhadap iklim sekolah berkaitan dengan perilaku siswa. Siswa
memiliki persepsi tersendiri terhadap apa yang dirasakannya di sekolah.
Interpretasi siswa terhadap iklim sekolahnya bisa saja berbeda dengan keadaan
sekolah yang sebenarnya.
Dari uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa persepsi terhadap iklim
sekolah memiliki hubungan dengan kecenderungan bullying. Melalui penelitian
ini, peneliti tertarik untuk melihat adakah pengaruh yang ditimbulkan persepsi
terhadap iklim sekolah terhadap kecenderungan bullying pada siswa SMA X
Medan.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
apakah ada pengaruh iklim sekolah terhadap kecenderungan bullying?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh iklim sekolah
D. Manfaat Penelitian
Dengan diadakannya penelitian ini, diharapkan akan mendatangkan dua
manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah, dan
memberikan informasi agar dapat mengembangkan ilmu Psikologi,
terutama Psikologi Pendidikan yang berkaitan dengan bullying.
b. Hasil penelitian ini bisa bermanfaat untuk dijadikan bahan
perbandingan bagi penelitian-penelitian selanjutnya, terutama yang
berhubungan dengan iklim sekolah dan bullying.
2. Manfaat praktis
a. Manfaat bagi sekolah
1) Sebagai masukan untuk mengambil kebijakan-kebijakan mengenai
bullying disekolah yang didasarkan pada faktor-faktor penyebab
dari bullying itu sendiri.
2) Agar pihak sekolah lebih sadar akan pentingnya iklim sekolah bagi
pembentukan perilaku siswa-siswa yang ada didalam sekolah.
3) Agar pihak sekolah yang merupakan sebuah sistem diharapkan
mampu untuk mengawasi dan mengurangi tingkat perilaku
siswa-siswanya yang menyimpang seperti bullying.
b. Manfaat bagi siswa sekolah
Agar para siswa-siswi dapat mengurangi tingkat bullying di
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Bab I : Pendahuluan berisikan latar belakang masalah diadakannya
penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan teori berisikan mengenai tinjauan kritis yang menjadi
acuan dalam pembahasan permasalahan, landasan teori yang
mendasari tiap-tiap variabel, hubungan antar variabel dan
pembentukan hipotesa (hipotesis penelitian).
Bab III : Metode penelitian berisikan mengenai metode-metode dasar dalam
penelitian yaitu metode penelitian yang digunakan, identifikasi
variabel, definisi operasional variabel, populasi dan sampel
penelitian, alat ukur yang digunakan, metode pengambilan data dan
metode analisis data.
Bab IV : Analisa data dan pembahasan berisikan mengenai analisa data dan
pembahasan berisi uraian singkat hasil penelitian, interpretasi data
dan pembahasan.
Bab V : Kesimpulan dan saran berisikan mengenai kesimpulan berdasarkan
hasil penelitian. Kemudian berdasarkan kesimpulan akan diajukan