• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Terdapat perbedaan ketinggian maxillary alveolar ridge secara signifikan pada wanita edentulus dan bergigi kecuali gigi molar kanan.

2. Rata-rata ketinggian maxillary alveolar ridge pada wanita edentulus adalah 33,35mm ± 3,43mm dan pada wanita bergigi adalah 35,66mm ± 3,21mm.

6.2 Saran

1. Diharapkan pada penelitian selanjutnya dilakukan pengukuran

maxillary alveolar ridge secara khusus pada regio anterior dan posterior dengan

menggunakan pesawat radiograf yang lain seperti CBCT.

2. Diharapkan pada penelitian selanjutnya dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar mendapatkan hasil lebih akurat.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tulang Maksila

2.1.1 Definisi dan Anatomi Tulang Maksila

Tulang maksila adalah tulang wajah primitif yang akan membagi wajah menjadi dua bagian yaitu orbita dan tulang rahang yang ada dibawahnya. Tulang maksila menyokong gigi pada rahang atas, namun pada saat pengunyahan berlangsung, maksila tidak bergerak seperti madibula. Tulang maksila terdiri atas dua buah maksila yang menyatu di tengah yang terdiri atas 4 prosesus dan badan maksila.

Badan maksila ini biasanya berbentuk pyramid, dimana dasarnya adalah kavum nasi dan bagian puncaknya dibatasi oleh processus zigomatikus. Badan maksila terdiri dari 4 permukaan utama yaitu:

11

1. Permukaan anterior (fasial)

11

Permukaan anterior maksila akan membentuk pipi. Disini terdapat 2 fosa yaitu fosa insisivus yang merupakan lubang dangkal yang terletak antara soket gigi insisivus dan kavum nasi, dan fosa kanina yang merupakan lubang dalam bagian belakang, yang ditandai oleh foramen infraorbitalis di bagian atas, tepi alveolaris di bagian bawah, dan prosesus zigomatikum di bagian depan.

2. Permukaan posterior

Permukaan posterior dari badan maksila akan membentuk dinding anterior dari fosa infratemporal. Disini juga terdapat sebuah penonjolan, yang sering disebut tuberositas maksillaris.

3. Permukaan medial

Permukaan ini yang akan membentuk dinding lateral kavum nasi. Ciri penting yang ada disini adalah groove lacrimalis. yaitu groove vertikal yang terdapat didepan sinus maksila.

4. Permukaan Superior

Permukaan superior dari maksila akan membentuk dinding bawah orbita. Tulang maksila terdiri atas 4 prosesus yaitu:

1. Prosesus frontalis

12

Terletak pada bagian atas maksila berada diantara tulang hidung dengan tulang lakrimalis.

2. Prosesus zigomatikus

Terletak pada bagian lateral maksila. 3. Prosesus alveolaris

Terletak pada bagian inferior badan maksila, yang akan menyokong gigi geligi pada soketnya.

4. Prosesus palatines

Terletak pada bagian horizontal dari permukaan mesial dari maksila dimana badan maksila akan bertemu dengan processus alveolaris.

Gambar 1. Gambaran anatomi maksila dari sisi kiri13

2.2 Alveolar Ridge

Tulang alveolar (alveolar bone) atau yang biasa disebut prosesus alveolaris adalah bagian dari tulang maksila dan mandibula yang terbentuk menebal seperti dinding (ridge) dan mendukung soket gigi (alveoli).Tulang alveolar terbentuk pada saat gigi erupsi untuk menyediakan perlekatan tulang pada ligamen periodontal. Seluruh dinding tulang alveolar membentuk kesatuan atau lengkungan rahang yang dapat disebut dengan alveolar ridge.

Secara anatomis tulang alveolar dibagi menjadi dua bagian, yaitu alveolar

bone proper dan supporting alveolar bone. Supporting alveolar bone ini terdiri dari

dua bagian yaitu yang kompak, yang membentuk keping oral dan vestibular dan tulang spongi, yang terletak diantara lempeng kortical dan alveolar bone proper. Periousteum adalah lapisan yang menghubungkan jaringan lunak yang menutupi permukaan luar tulang yang terdiri dari jaringan kolagen dan bagian dalam terdiri dari serabut elastik lempeng kortical oral maupun vestibular langsung bersatu dengan maksila dan mandibula.

Keberadaan tulang alveolar tergantung dari adanya gigi, bila gigi dicabut tulang alveolar akan mengalami resorpsi. Jika gigi tidak erupsi, tulang alveolar tidak berkembang.

Permukaan luar lempeng kortical (cortical plate) merupakan permukaan luar tulang alveolar pada daerah vestibular maupun kortical oral. Pada daerah leher gigi dimana tulang alveolar akan berakhir, bagian ini akan dibentuk oleh persatuan

alveolar bone proper dan tulang kompak yang dikenal dengan nama puncak tulang

alveolar. Baik permukaan luar tulang alveolar maupun puncak tulang alveolar konturnya sangat bervariasi.

Bagian tulang alveolar yang berada diantara dua gigi dikenal dengan nama septum interdental. Septum interdental ini dibentuk oleh alveolar bone proper, permukaan proksimal gigi geligi, tulang spongi dan tulang kompak yang berada diantara gigi serta puncaknya dibentuk oleh penyatuan alveolar bone proper maupun tulang kompak.14

Gambar 2. Tulang Alveolar15

2.2.1 Resorpsi Alveolar Ridge

Resorpsi Alveolar ridge adalah kumpulan dari beberapa penyakit yang bersifat kronis, progressive, irreversible. Resorpsi alveolar ridge terjadi setelah kehilangan gigi. Setelah kehilangan gigi, alveolar ridge akan mengalami proses resorpsi. Dalam situasi ini tidak ada dukungan cukup dari jaringan yang tersisa untuk fungsi gigi tiruan yang benar. Oleh karena itu, karena hilangnya massa tulang yang luas menyebabkan gigi tiruan tidak mempunyai retensi dan stabilitas. Kehilangan gigi distal menyebabkan gangguan neuromuskuler pada rahang bawah, mengurangi efek gigitan dan dimensi vertikal dari gigi tiruan, sehingga terjadi perubahan pada alveolar

ridge.

Resorpsi alveolar ridge dimulai dengan kehilangan gigi dan membran periodontal yang bertanggung jawab untuk pembentukan tulang. Hilangnya gigi menyebabkan penurunan metabolisme dalam alveolar ridge dan menyebabkan resorpsi biokimia tulang yang disebabkan oleh endotoxines plak gigi, faktor prostaglandins, dan produksi osteoklas yang merangsang resorpsi alveolar ridge.16

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Resorpsi Alveolar Ridge 1. Faktor anatomi

Faktor anatomi berpengaruh terhadap resorpsi alveolar ridge yaitu kuantitas dan kualitas tulang dari alveolar ridge. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa jika volume tulang lebih besar, maka resorpsi yang terjadi akan terlihat. Faktor anatomis lain yang sangat penting untuk peningkatan resorpsi adalah kepadatan tulang. Akan tetapi kepadatan tulang pada suatu waktu tidak menunjukkan status metabolisme tulang yang telah terjadi meliputi aktivitas osteoklastik dan osteoblastik.

2. Stres dan efek strain

Hal ini juga diketahui bahwa jaringan osteoid yang menerima rangsangan mekanik konstan dapat menyeimbangkan aktivitas osteoklastik dan aktivitas osteoblastik. Ketika tulang dalam keadaan imobilisasi atau weightlessness, stress mekanik berkurang tidak dapat mempertahankan proses remodeling tulang yang normal yang menghasilkan penurunan massa tulang yang dikenal sebagai atrofi

disuse. Di sisi lain, telah menunjukkan bahwa secara fisiologis, stres mekanik dapat

merangsang aposisi tulang.

3. Peran mediator inflamasi

Berbagai mediator inflamasi, terutama prostaglandin, telah dianggap oleh banyak peneliti memainkan peran dalam meningkatkan tingkat resorpsi alveolar

ridge. Sebuah studi in- vitro menunjukkan bahwa ketika sel-sel osteoblastik menjadi

sasaran tekanan mekanis berulang ada peningkatan yang signifikan dalam sintesis prostaglandin E2. Dalam sebuah studi terpisah yang menggunakan tikus tidak bergigi, pemberian harian indometasin, penghambat siklooksigenase (enzim yang diperlukan untuk sintesis prostaglandin), mengurangi tingkat resorpsi sampai 50% dalam periode eksperimental. Ketika prostaglandin E2 dikeluarkan, efek penghambatan indometasin berkurang. Hubungan langsung antara prostaglandin dan resorpsi tulang merupakan hubungan sebab akibat. Sintesis zat aktif biologis tertentu dengan mukosa rahang tidak bergigi mungkin memainkan peran dalam meningkatkan aktivitas osteoklastik dari resorpsi alveolar ridge, tetapi ini belum diidentifikasi.17

2.3 Rahang Edentulus

Hilangnya beberapa gigi disebut edentulus sebagian dan hilangnya seluruh gigi disebut edentulus total. Edentulus total dapat didefinisikan sebagai keadaan fisik dari rahang diikuti hilangnya seluruh gigi dan kondisi dari jaringan pendukung tersedia untuk terapi penggantian atau rekonstruksi. Edentulus sebagian didefinisikan sebagai hilangnya beberapa tetapi tidak semua gigi asli pada lengkung rahang. 18

Gambar 3. Edentulus sebagian dan edentulus total18

2.3.1 Penyebab Edentulus

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kehilangan gigi seperti penyakit periodontal, trauma, gigi yang terlibat kista dan tumor, gigi yang sudah tidak dapat lagi dilakukan perawatan endodontik dan karies. Sebagian besar penelitian menyatakan bahwa karies dan penyakit periodontal merupakan penyebab utama terjadinya kehilangan gigi. Selain itu, terdapat beberapa faktor bukan penyakit yang dapat menyebabkan kehilangan gigi seperti faktor usia, jenis kelamin, sosio-demografi dan lain-lain.

1. Penyakit periodontal

19

Penyakit periodontal adalah penyakit pada daerah penyangga gigi yang kehilangan kolagennya, sebagai akibat akumulasi plak dan bakteri periodontal. Penyakit periodontal dimulai dari gingivitis yang bila tidak dirawat dapat berkembang menjadi periodontitis. Periodontitis merupakan infeksi yang

menyebabkan hilangnya perlekatan gingival dan kerusakan tulang alveolar, secara umum merupakan penyakit dengan perkembangan ringan sampai moderat. Penyakit yang menyerang pada gingiva dan jaringan pendukung gigi ini merupakan penyakit infeksi yang serius dan apabila tidak dilakukan perawatan yang tepat dapat mengakibatkan kehilangan gigi.

2. Karies

20

Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentine dan sementum yang disebabkan akibat aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang diragikan. Karies ditandai dengan proses demineralisasi jaringan karies gigi yang diikuti oleh kerusakan bahan organiknya.21 Terdapat empat faktor yang menyebabkan karies yaitu substrat makanan (karbohidrat), mikrooragnisme plak, waktu dan gigi atau host.22 Karies akan timbul ketika empat faktor tersebut bekerja secara simultan.23

2.3.2 Dampak Edentulus Pada Kesehatan Gigi dan Mulut

Kehilangan gigi sebagian maupun seluruhnya berdampak pada kesehatan gigi dan mulut seperti:

1. Gangguan mastikasi

Jumlah gigi dipilih sebagai indikator dalam menentukan tingkat fungsional dan kesehatan gigi dan mulut. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa indikator efesiensi system mastikasi di rongga mulut adalah jumlah gigi fungsional.

Gangguan mastikasi secara substansional dapat mempengaruhi kemampuan menggigit, mengunyah dan menelan. Hal ini menyebabkan terjadinya pengaruh negatif pada modifikasi dalam pemilihan makanan tertentu.24

2. Penurunan estetis

Pasien-pasien ini merasa kurang percaya pada diri sendiri. Kurangnya rasa percaya diri ini ini diakibatkan kehilangan gigi dapat menyebabkan perubahan pada profil jaringan lunak seperti terjadinya protrusi pada mandibular, bibir dan dagu.

Resorpsi tulang alveolar akan terjadi pada pasien kehilangan gigi. Resorpsi pada mandibula terjadi empat kali lebih cepat dibandingkan pada maksila.25

2.3.3 Dampak Edentulus Pada Kesehatan

Kehilangan gigi baik sebagian maupun seluruhnya juga memiliki dampak pada kesehatan umum, yaitu:

1. Peningkatan resiko obesitas, penyakit kardiovaskuler dan gastrointestinal akibat kurangnya asupan buah dan sayur, serat dan karoten serta meningkatnya kolesterol dan lemak jenuh.

26

2. Resiko inflamasi kronis pada mukosa lambung, kanker pancreas dan ulcer pada duodenum.

3. Meningkatnya resiko penyakit non-insulin diabetes militus.

4. Peningkatan risiko kelainan elektrokardiografi, hipertensi, gagal jantung, penyakit sistemik, stroke dan sclerosis katup aorta. Penelitian juga menunjukkan hubungan yang mungkin antara edentulism lengkap dan peningkatan risiko coroner penyakit jantung.

5. Penurunan fungsi aktivitas sehari-hari, aktivitas fisik dan domain kualitas kesehatan yang berhubungan dengan kehidupan.

6. Peningkatan risiko penyakit ginjal kronis.

7. Kehilangan gigi juga berpengaruh terhadap gangguan pernafasan saat tidur (obstuktif sleep apnea).

2.4 Tinjauan Umum Radiografi Panoramik

2.4.1 Definisi

Radiografi panoramik, disebut juga pantomography atau dental panoramic

tomography, merupakan teknik radiografi yang menghasilkan satu gambaran

tomografi struktur wajah termasuk lengkung gigi maksila dan mandibula beserta struktur pendukungnya.27 Teknik ini adalah variasi kurvilinier dari tomografi

konvensional dan berlandaskan pada prinsip pergerakan resiprokal sumber sinar-x dan sebuah reseptor gambar di sekitar poin sentral, disebut image layer, yang menjadi lokasi objek berada. Objek pada bagian depan atau belakang layer tidak tertangkap dengan jelas karena pergerakannya relatif menuju pusat rotasi reseptor sinar-x. 28

2.4.2 Indikasi

Indikasi pemakaian radiografi panoramik adalah sebagai berikut: 1. Untuk mendeteksi ada/ tidaknya gigi yang tidak erupsi.

29

2. Melihat hubungan gigi posterior atas dengan sinus maksilaris.

3. Melihat hubungan gigi posterior bawah dengan kanalis alveolaris inferior. 4. Suspek pembengkakan asimptomatik

5. Pemeriksaan radiografi gangguan sendi temporamandibula. 6. Pemeriksaan tumor dan kista odontogenik.

7. Melihat crest alveolar untuk pemasangan implant.

8. Mengevaluasi maxilomandibula yang telah mengalami trauma. 9. Pemeriksaan intervensi bedah maksila/ mandibula.

2.4.3 Kelebihan dan Kekurangan Radiografi Panoramik

Kelebihan utama dari penggunaan radiografi panoramik adalah membahas secara luas mengenai tulang-tulang wajah dan gigi, dosis radiasi yang rendah dan waktu yang singkat dalam pengambilan gambar yaitu sekitar 3–4 menit, termasuk waktu memposisikan pasien dan waktu pemaparan. Kelebihan lainnya dari radiografi panoramik adalah:

1. Gambaran area yang luas dan seluruh jaringan ditampilkan. 29

2. Radiografi panoramik dapat dengan mudah dipahami pasien, sehingga bermanfaat menjadi sarana edukasi bagi pasien.

3. Pengambilan posisi relatif sederhana.

4. Pandangan keseluruhan rahang memberikan penilaian cepat pada penyakit, bahkan mungkin penyakit yang tidak dicurigai sebelumnya.

5. Pandangan kedua sisi mandibula dalam satu film bermanfaat dalam menilai fraktur dan cukup nyaman dilakukan pada pasien yang terluka atau sakit.

6. Dinding dasar antral, juga dinding posterior dan media dapat terlihat dengan baik.

7. Kedua prosesus kondiloideus dimunculkan dalam satu film sehingga memudahkan dalam melakukan perbandingan.

8. Dosis radiasinya hanya sekitar seperlima dari survei full mouth radiografi intraoral.

Kekurangan utama dari radiografi panoramik adalah bahwa gambar tidak menunjukkan detail anatomi yang baik seperti pada radiografi intraoral, sehingga tidak cocok untuk mendeteksi lesi karies yang kecil, struktur marginal jaringan periodonsium, atau penyakit-penyakit periapikal. Terkadang ada jaringan yang

overlap, seperti servikal tulang belakang, dapat menyembunyikan lesi-lesi

odontogenik, khususnya pada daerah insisal. Kerugian lain dari radiografi panoramik adalah:29

1. Gambaran tomografi ini hanya menampilkan satu bagian dari pasien, sehingga struktur atau kejanggalan yang tidak mencolok tidak terlihat jelas.

2. Jaringan lunak dan rongga udara dapat terhalangi jaringan keras.

3. Bayangan artefaktual dapat manghalangi gambaran struktur yang penting. 4. Penggunaan indirect-action film dan intensifying screen menghasilkan penurunan kualitas gambar tapi resolusinya dapat ditingkatkan dengan menggunakan

digital image receptor.

5. Teknik ini tidak cocok pada pasien anak di bawah umur enam tahun atau pasien yang mempunyai kemampuan terbatas karena panjangnya siklus pemaparan.

6. Beberapa pasien tidak dapat menyesuaikan diri sehingga beberapa struktur dapat keluar dari fokus.

7. Pergerakan pasien selama pemaparan dapat menyebabkan distorsi sehingga menyulitkan interpretasi.

2.4.4 Gambaran Radiografi Maxillary Alveolar Ridge

Salah satu struktur yang terlihat pada radiografi panoramik adalah alveolar ridge. Saat terjadi kehilangan gigi, struktur ini mengalami penurunan ketinggian. Pasien dengan rahang tidak bergigi atau kehilangan seluruh geligi pada rahang menyebabkan terjadinya penurunan struktur ini. Ketinggian maxillary alveolar ridge pada pasien edentulus dapat diperkirakan dengan menghitung ketinggian alveolar

ridge melalui radiografi panoramik. Ketinggian maxillary alveolar ridge dapat

dinyatakan sebagai jarak antara garis infraorbita dan alveolar crest pada maksila baik pada pasien edentulus maupun bergigi.6

Gambar 4. Alveolar ridge (tanda panah) dilihat sebagai garis batas tulang alveolar yang tampak radiopak pada rontgen foto28

2.4.5 Pengukuran Alveolar Ridge Rahang Edentulus Pada Radiograf Panoramik

Pengukuran maxillary alveolar ridge pada radiografi panoramik adalah jarak antara titik paling bawah dari ridge infraorbital (garis O) dan alveolar crest pada maksila (Garis A, B, C). Alveolar crest pada pada pasien edentulus terlihat pada gambaran radiografik, sedangkan pasien bergigi terletak 1,2 mm dari cementoenamel junction. Terdapat tiga titik perhitungan, yaitu insisif, premolar, dan molar. Pada pasien edentulus, titik insisif terletak pada midline rahang berpedoman pada septum nasi, foramen nasopalatina dan anterior nasal spine, titik premolar terletak pada mesial foramen

infraorbita dan titik molar terletak pada titik inferior processus zygomaticus. Pada pasien bergigi (kelompok kontrol) gigi yang harus ada yaitu insisif pertama, premolar pertama dan molar pertama.Terdapat tiga titik perhitungan, titik insisif terletak pada midline rahang atau titik tengah kedua insisif sentral, titik premolar terletak pada distal premolar pertama dan titik molar terletak pada distal molar pertama.6

Gambar 5. Pengukuran ketinggian maxillary alveolar ridge pada sampel bergigi. Garis O-garis infraorbital; garis Z–garis zigomatik; garis A, B, C-garis O ke alveolar crest (1,2 mm dari cementoenamel junction) pada midline rahang atau titik tengah kedua insisif sentral (A), distal premolar pertama (B) dan distal molar pertama (C)8

Gambar 6. Pengukuran ketinggian maxillary alveolar ridge pada sampel edentulus. Garis O-garis infraorbital; garis Z–garis zigomatik; garis A, B, C-garis O ke alveolar crest pada midline rahang berpedoman pada septum nasi, foramen nasopalatina dan anterior nasal spine (A), titik premolar pada mesial foramen infraorbita (B) dan titik molar pada titik inferior processus zygomaticus (C)8

2.5 Kerangka Teori Tinjauan umum tulang maksila Definisi dan anatomi maksila Alveolar ridge Faktor-faktor yang mempengaruhi resorpsi alveolar ridge Resorpsi alveolar ridge Rahang edentulus Dampak edentulus pada kesehatan gigi

dan mulut Dampak edentulus pada kesehatan Penyebab edentulus Radiografi Panoramik Definisi Indikasi Kelebihan dan kekurangan Gambaran radiografi

maxillary alveolar ridge

Pengukuran alveolar ridge rahang edentulus pada

2.6 Kerangka Konsep

Radiografi Panoramik

Wanita bergigi Wanita edentulus

Pengukuran ketinggian

maxillary alveolar ridge

Gigi I1, P1 dan M1

Terdapat perbedaan Tidak terdapat

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Edentulus merupakan indikator kesehatan mulut dari suatu populasi.1 Kehilangan gigi merupakan suatu keadaan lepasnya satu atau lebih gigi dari soket tulang alveolar. Kehilangan gigi terjadi akibat penyakit periodontal, trauma, gigi yang terlibat kista dan tumor, gigi yang sudah tidak dapat lagi dilakukan perawatan endodontik dan karies.2 Kehilangan gigi pada wanita lebih banyak dijumpai.1 Menurut laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, edentulus penuh di Indonesia mengalami penurunan dari 2,1% di tahun 2007 menjadi 0,6% di tahun 2013. Demikian juga pada umur 35-54 tahun, dan umur lebih dari 65 tahun diharapkan 20 gigi berfungsi dengan baik.

Saat terjadi kehilangan gigi, alveolar ridge akan mengalami penurunan ketinggian. Penurunan alveolar ridge akan menyebabkan kegangguan stabilitas, retensi dan juga penurunan kemampuan mastikasi.

3

4

Penurunan ketinggian alveolar

ridge terjadi karena struktur ini mengalami resorpsi fisiologis secara perlahan akibat

tidak adanya stimulus gaya mekanis. Tingkat resorpsi alveolar ridge pada mandibula lebih tinggi dari resorpsi alveolar ridge pada maksila karena tulang maksila lebih luas dari mandibula sehingga beban yang diterima oleh mandibula lebih besar.

Penelitian Panchbhai (2013) di India dengan menggunakan radiografi panoramik, mendapatkan hasil bahwa resorpsi alveolar ridge lebih besar terjadi pada pria edentulus dibandingkan dengan wanita edentulus pada maksila dan mandibula.

5

6

Penelitian Canger et al (2010) di Turki dengan menggunakan radiografi panoramik¸ mendapatkan hasil bahwa pada pasien edentulus resorpsi alveolar ridge pada maksila lebih kecil daripada mandibula. Resorpsi lebih besar terjadi pada rahang tidak bergigi dibandingkan dengan rahang bergigi.7

Penelitian Putra (2015) di Indonesia dengan menggunakan radiografi panoramik, mendapatkan hasil bahwa nilai rata-rata ketinggian maxillary alveolar

ridge pada pria kelompok bergigi lebih besar dibandingkan kelompok edentulus.

Penelitian Liang et al (2014) di Korea dengan menggunakan radiografi panoramik, mendapatkan hasil bahwa resorpsi alveolar ridge pada maksila tidak menunjukkan perbedaan signifikan pada jenis kelamin tetapi resorpsi lebih besar terjadi pada mandibula pada pria edentulus.

Penelitian Zhang et al (2015) di USA dengan menggunakan radiografi cone

beam computerized tomography (CBCT), mendapatkan hasil bahwa pada bagian

anterior maksila, resorpsi alveolar ridge pada insisivus lateralis adalah paling kecil. Resorpsi di bagian anterior gigi lebih kecil terjadi pada wanita edentulus dibandingkan dengan pria edentulus.

9

Berdasarkan hal diatas dan belum ada penelitian mengenai perbandingan, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai perbedaan ketinggian maxillary

alveolar ridge pada pasien wanita edentulus dan bergigi menggunakan radiografi

panoramik dengan menggunakan sampel pasien wanita yang datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

10

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka dapat dirumuskan masalah:

1. Apakah terdapat perbedaan ketinggian maxillary alveolar ridge pada wanita edentulus dan bergigi menggunakan radiografi panoramik.

2. Berapakah rata-rata ketinggian maxillary alveolar ridge pada wanita edentulus dan bergigi menggunakan radiografi panoramik.

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui perbedaan ketinggian maxillary alveolar ridge pada wanita edentulus dan bergigi menggunakan radiografi panoramik.

2. Mengetahui rata-rata ketinggian maxillary alveolar ridge pada wanita edentulus dan bergigi menggunakan radiografi panoramik.

1.4 Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan ketinggian maxillary alveolar ridge pada wanita edentulus dan bergigi menggunakan radiografi panoramik.

1.5 Manfaat Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat:

1. Memberikan informasi ilmiah mengenai perbedaan ketinggian maxillary

alveolar ridge pada wanita edentulus dan bergigi dengan menggunakan radiografi

panoramik.

2. Dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

Secara aplikatif, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memperkirakan rata-rata ketinggian maxillary alveolar ridge pada wanita edentulus agar membantu dalam menentukan rencana perawatan untuk pemasangan implan.

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Edentulus merupakan indikator kesehatan mulut dari suatu populasi.1 Kehilangan gigi merupakan suatu keadaan lepasnya satu atau lebih gigi dari soket tulang alveolar. Kehilangan gigi terjadi akibat penyakit periodontal, trauma, gigi yang terlibat kista dan tumor, gigi yang sudah tidak dapat lagi dilakukan perawatan endodontik dan karies.2 Kehilangan gigi pada wanita lebih banyak dijumpai.1 Menurut laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, edentulus penuh di Indonesia mengalami penurunan dari 2,1% di tahun 2007 menjadi 0,6% di tahun 2013. Demikian juga pada umur 35-54 tahun, dan umur lebih dari 65 tahun diharapkan 20 gigi berfungsi dengan baik.

Saat terjadi kehilangan gigi, alveolar ridge akan mengalami penurunan ketinggian. Penurunan alveolar ridge akan menyebabkan kegangguan stabilitas,

Dokumen terkait