• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan tentang teori – teori yang melandasi penbahasan permasalahan dan tinjaun keputusan lainnya yang turut mendukung permasalahan.

BAB III : METODE PENELITIAN

Berisikan penjelasan mengenai metode – metode yang digunakan selama penelitian berlangsung dan dapat dipertanggungjawabkan.

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Memuat tentang pengumpulan data dan pengolahannya yang diperoleh dari penelitian yang akan digunakan sebagai dasar bagi pembahasan masalah yang sedang dihadapi.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Berisikan kesimpulan dari pembahasan dan analisa serta saran-saran yang berupa alternatif pemecahan yang diharapkan membantu kemajuan perusahaan yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengukuran kerja

Suatu pekerjaan akan dikatakan diselesaiakan secara efisien apabila waktu penyelesaian berlangsung penting singkat, dengan mengaplikasikan prinsip dan teknik pengaturan cara kerja yang optimal dalam system kerja, maka akan diperoleh alternatif pelaksanaan kerja yang dianggap memberikan hasil yang paling efektif dan efisien.

Pengukuran kerja adalah metode penetapan keseimbangan antara kegiatan manusia yag dikontribusikan dengan unit output yang dihasilkan. Pengukuran waktu kerja ini akan berhubungan dengan usaha-usaha untuk menetapkan waktu baku yang dibutuhkan guna menyelesaikan suatu pekerjaan. Waktu baku ini sangat diperlukan terutama sekali untuk :

a. Man Power Planning (perencanaan kebutuhan tenaga kerja) b. Estimasi biaya-biaya untuk upah karayawan atau pekerja. c. Penjadwalan produksi dan pengangguran.

d. Perencanaan system pemberian bonus dengan insentif bagi karyawan atau pekerja yang berprestasi.

e. Induksi keluaran (output) yang mampu dihasilkan oleh seorang pekerja.

Waktu baku ini merupakan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Waktu baku yang dihasilkan dalam aktivitas pengukuran kerja akan dapat digunakan sebagai alat untuk rencana penjadwalan rencana kerja yang

menyatakan berapa lama suatu kegiatan itu harus berlangsung dan berapa output yang dihasilkan serta berapa jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Teknik pengukuran kerja ini dapat dibagi atau dikelompokkan kedalam dua bagian, yaitu pengukuran kerja secara langsung dan pengukuran kerja secara langsung, yaitu pengukurannya dilakukan secara langsung ditempat dimana pekerjaan yang diukur dijalankan, sedangkan pengukuran tidak langsung dilaksanakan tanpa si pengamat harus ditempat pekerjaan yang diukur. (Wignjosoebroto Sritomo, 1992)

2.1.1. Pengukuran Waktu Kerja Dengan Jam Henti (Stop Wacth)

Tujuan utama dari aktifitas pengukuran kerja adalah waktu baku yang harus dicapai oleh seorang pekerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Waktu kerja yang dilakukan hendaknya merupakan waktu kerja yang diperoleh dari kondisi dan metode kerja yang baik. Dengan lain perkataan pengukuran waktu kerja hendaknya dilaksanakan apabila kondisi dan metode kerja dari pekerjaan yang diukur akan diukur sudah baik. Pengukuran waktu kerja dengan jam henti diperkenalkan pertama kali oleh Frederick W. Tailor sekitar abad 19 yang lalu. Metode ini baik sekali diaplikasikan untuk pekerjaan yang berlangsung secara berulang-ulang. Dari pengukuran maka akan diperoleh waktu baku untuk menyelesaikan suatu siklus pekerjaan, yang mana waktu ini dipergunakan sebagai standart penyelesaian pekerjaan bagi semua pekerjaan yang sama seperti itu.

Pengukuran kerja dengan jam henti ini merupakan cara pengukuran yang objektif karena disini waktu yang ditetapkan berdasarkan fakta yang terjadi dan tidak cuma sekedar diestimasikan secara objektif.

Satu hal yang penting dalam pelaksanaan kerja ini ialah bahwa semua pihak yang nantinya akan dipengaruhi oleh hasil studi (waktu baku) haruslah diinformasikan mengenai maksud dan tujuan dari studi, sehingga nantinya bisa tercapai kerja sama yag sebaik-baiknya didlam pelaksanaan pengukuran secara garis besar langkah-langkah untuk melakukan pengukuran dengan stop watch

adalah :

1. Definisikan pekerjaan yang akan diteliti untuk diukur dan diberitahukan maksud dan tujuan pengukuran ini kepada pekerja yang akan dipilih untuk diamati dan supervisor yang ada.

2. Mencatat semua informasi yang berkaitan erat dengan penyelesaian pekerjaan, seperti layout planning, karakteristik / spesifikasi mesin atau peralatan lain yang digunakan.

3. Membagi operasi kerja dalam setiap elemen-elemen kerja.

4. Mengamati, mengukur dan mencatat waktu yang dibutuhkan operator untuk menyelesaikan elemen-elemen tersebut.

5. Menetapkan jumlah siklus yang diukur dan dicatat. Meneliti apakah jumlah siklus kerja yang akan dilaksanakan ini sudah memenuhi atau tidak. Menguji keseragaman data yang diambil.

6. Menetapkan performance rating dari operator saat melaksanakan aktifitas kerja yang diukur dan dicatat waktunya tersebut.

7. Menyesuaikan waktu pengamatan berdasarkan kriteria yang ditujukan operator, sehingga akhirnya akan diperoleh waktu kerja yang normal.

8. Menyelesaikan Allowance waktu longgar untuk memberikan fleksibilitas. 9. Menetapkan waktu kerja baku, yaitu jumlah total antara waktu normal dan

waktu longgar. (Wignjosoebroto Sritomo, 1992)

2.1.2. Cara Pengukuran dan Pencatatan waktu kerja

Ada tiga metode yang umum dipakai untuk mengukur elemen-elemen kerja yang menggunakan jam henti (Stop Wacth) yaitu pengukuran waktu kerja secara terus menerus (Continous timing), pengukuran waktu berulang-ulang (repetitive timing), dan pengukuran waktu secara penjumlahan (accumulative timing).

1. Pengukuran waktu kerja terus menerus (Continous timing).

Dalam pengukuran ini pengamat kerja akan menekan tombol stop watch

pada saat elemen kerja pertama dimulai dan membiarkan jarum petunjuk stop watch berjalan terus menerus sampai periode atau siklus kerja selesai berlangsung. Disini pengamat kerja terus menerus mengamati jalannya jarum stop wcth dan mencatat waktu yang ditunjukkan setiap akhir dari elemen-elemen kerja pada lembar pengamatan. Waktu sebenarnya dari masing-masing elemen diperoleh dari pengurangan dari pada saat waktu selesai dilaksanakan. 2. Pengukuran waktu kerja secara berulang-ulang (repetitive timing).

Pengukuran ini kadang-kadang disebut sebagai snop back methods. Pada metode ini jarum penunjuk stop watch akan dikembalikan (snop back) ke posisi semula nol pada setiap akhir dari elemen kerja yang diukur. Setelah dilihat dan

dicatat waktu kerja yang diukur kemudian tombol ditekan lagi dan segera jarum penunjuk bergerak untuk mengukur elemen kerja berikutnya. Dengan cara demikian maka data waktu untuk setiap elemen kerja yang diukur akan dapat dicatat secara langsung tanpa ada pekerjaan tambahan untuk pengurangan seperti yang dijumpai dalam metode (continous timing).

3. Pengukuran waktu kerja akumulatif.

Pada waktu kerja ini memungkinkan pembaca pembaca secara langsung untuk masing-masing elemen kerja yang ada. Didalam cara ini akan digunakan dua atau lebih stop watch akan bekerja secara bergantian. Stop watch ini akan didekatkan sekaligus pada papan-papan pengamatan dan dihubungkan pada suatu tuas. Apabila stop watch pertama dijalankan maka stop watch kedua ketiga akan berhenti dan jarum akan tetap pada posisi nol. Metode accumulative memberikan keuntungan tersendiri didalam hal akan pembacaan akan lebih mudah dan lebih teliti karena jarum stop watch tidak dalam keadaan bergerak pada saat pembacaan data. (Wignjosoeboto Sritomo, 1992).

2.1.3. Langkah – Langkah Pelaksanaan Pengukuran Waktu Kerja.

Persiapan sebelum pengukuran waktu kerja adalah sangat penting. Karena hal tersebut sangat mempengaruhi kualitas pengukuran yang dilaksanakan. Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan dengan jam henti yaitu :

1. Menetapkan tujuan pengukuran.

Sebagaimana halnya dengan berbagai kegiatan lainnya tujuan melakukan kegiatan ini harus ditetapkan terlebih dahulu. Dalam pengukuran waktu, hal-hal

penting yang harus diperhatikan adalah untuk apa hasil pengukuran dipergunakan, berapa tingkat ketelitian dan keyakinan yang diinginkan dari hasil pengukuran. 2. Melakukan penelitihan pendahuluan.

Penelitihan pendahuluan diakukan untuk mempelajari sistem dan kondisi kerja yang ada dengan maksud malakukan perbaikan jika diperlukan agar diperoleh kerja yang baik.

3. Memilih operator

Operator yang akan melakukan pekerjaan yang diukur bukanlah orang yang begitu saja diambil. Operator haruslah mempunyai persyaratan tertentu agar didapatkan hasil pengukuran yang baik, seperti berkemampuan normal dan dapat diajak bekerja sama.

4. Melatih operator

Operator harus dilatih terlebih dahulu, terutama pada kondisi dan cara kerja yang dipakai tidak sama dengan yang biasa dijalankan operator.

5. Mengurangi pekerjaan atas elemen pekerjaan.

Pekerjaan dipecahkan menjadi elemen pekerjaan yang merupakan gerakan bagi orang yang bersangkutan. Elemen inilah yang diukur waktunya (waktu siklus). Tujuan dilakukan pengamatan atas elemen-elemen yaitu untuk menjelaskan catatan tentang tata cara yang dilakukan, untuk memungkinkan melakukan penyesuaian bagi elemen, untuk memudahkan mengamati terjadinya elemen yang tidak baku dan memungkinkan dikembangkan data waktu standart ataupun tempat kerja yang bersangkutan.

6. Menyiapkan alat pengukuran.

Setelah kelima langkah-langkah tesebut diatas dijalankan dengan baik. Langkah terakhir sebakum malakukan pengukuran yaitu menyiapkan alat-alat yang diperlukan yaitu :

a. Jam henti

b. Lembaran-lembaran pengamatan. c. Pena atau pensil

d. Papan pengamatan (Sutalaksana 1982).

2.1.4. Melakukan Pengukuran Waktu

Setelah melakukan langkah-langkah persipan tersebut, kemudian dilaksanakan pengukuran waktu kerja. Pengukuran waktu adalah pekerjaan mengamati dan mencatat waktu–waktu kerjanya baik setiap elemen ataupun siklus dengan menggunakan alat yang telah disiapakan,. Adapun langkah-langkah yang telah dikerjakan selama pengukuran berlangsung.

1. Pengukuran pendahuluan.

Pengukuran pendahuluan dimaksudkan untuk mengetahui berapa kali pegukuran harus dilakukan untuk tingkat-tingkat ketelitian dan keyakinan yang didapat dari hasil perhitungan waktu pengamatan. Biasanya pengukuran waktu dilakukan sebanyak 25 kali pengukuran

Tabel 2.1. Pengukuran Waktu Kerja

Sub

Group Waktu Pengamatan

Rata-rata Sub Group Jumlah Sub Group

 x

ij 1. X11 X12 X13 …. X1n X1

Σ

X1n

Σ

X1n 2 2. X21 X22 X23 …. X2n X2n

Σ

X2n

Σ

X2n 2 3. X31 X32 X33 …. X3n X3n

Σ

X3n

Σ

X3n 2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . L XL1 XL2 XL3 …. XLn XLn

Σ

XLn

Σ

XLn2

n l j L i 1

X

ij

 

      L l i L l i ij n l j

X  

      L l i L l i ij n l j

X

2 Keterangan :

Xij = Waktu pengamatan berturut turut (I = 1,2,3,….,1 ; = 1,2,3,…,n) Xij = Rata rata pengamatan berturut-turut n = Jumlah sub group

L = Ukuran sup group 2. Uji keseragaman data.

Tugas mengukur adalah mendapatkan data yang seragam, karena ketidak seragaman data dateng tanpa disadari maka diperlukan suatu alat yang didapat “mendeteksi” batas-batas kontrol yang dibentuk dari data merupakan batas seragam tidaknya data. Data dikatakan seragam, yaitu berasal dari sistem sebab yang sama, bila diantara kedua batas kontrol, dan tidak seragam berasal dari

sistem sebab yang sama, bila berada diantara kedua batas kontrol, dan tidak seragam, yaitu berasal dari sistem yang berbeda, jika berada diluar batas kontrol, sistem sebab yang sama, bila berada diantara kedua batas kontrol, dan tidak seragam, yaitu berasal dari sistem yang berbeda, jika berada diluar batas kontrol. Yang diperhatikan dalam pengujian keseragaman adalah data yang berbeda didalam batas-batas kontrol tersebut.

a. Menghitung harga rata dari rata-rata sup group dengan

L xij

X

ij

 (2.1)

b. Menghitung standart deviasi dari waktu pengamatan

1       

N

x

x

ij ij

c. Menghitung standar deviasi sebenarnya dari waktu pengamatan.

L

  (2.2)

d. Menghitung derajat ketelitian tiap operator.

% 100

x X S

x

e. Menghitung tingkat keyakinan (confidence level) CL = 100% - S%

f. Menghitung batas kontrol atas (BKA) dan batas kontrol bawah (BKB)

x x K X BKB K X BKA    

Data yang dihasilkan dapat dikatakan seragam, jika harga rata-rata dari sub group berada dalam batas kontrol atas (BKA) dan batas kontrol bawah (BKB). Setelah dua berkumpul maka diteruskan dengan mengidentifikasi data yang terlalu besar atau data yang terkecil, dan menyimpang dari harga rata-ratanya yang disebabkan hal-hal tertentu. Data ekstrim ini dikeluarkan dan tidak diikutsertakan dalam perhitungan selanjutnya.

h. Uji kecukupan data dapat dilakukan setelah seluruh data dari hasil pengukuran telah seragam. Uji kecukupan data dapat dihitung dengan rumus :

 

x

x

x

n

s

k

ij ij ij N 2 2 ' 2 (2.3)

N’ = Jumlah pengamatan teoritis yang harus dilakukan/diperlukan. N = Jumlah pengamatan yang dilakukan

S = Tingkat ketelitian

K = Koefisien distribusi normal sesuai dengan tingkat keyakinan. Untuk harga K secara tepat dapat dilihat pada Tabel Appendix Kesimpulan dari perhitungan yang diperoleh yaitu :

a. Apabila N’ < N, berarti jumlah pengamatan yang kita butuhkan sudah cukup.

b. Apabila N’ < N, berarti jumlah pengamatan yang kita butuhkan harus ditambah lagi sesuai dengan tingkat kepercayaan dan tingkat ketelitian yang diharapkan.

2.1.5. Perhitungan Waktu Baku

Perhitungan output standart merupakan langkah berikutnya setelah dilakukan pengukuran waktu kerja dan dilakukan uji keseragaman dan kecukupan data. Untuk mendapatkan out standart perlu ditempuh langkah-langkah sebagai beriku :

a. Menghitung waktu siklus rata-rata setiap elemen kegiatan (Ws) :

N Ws

x

ij

(2.4)

b. Menghitung waktu normal (Wn) :

Wn = Ws x p (2.5)

Di mana p adalah faktor penyesuaian yang digunakan untuk menormalkan waktu pengamatan yang diperoleh, jika pekerja dinilai bekerja secara tidak wajar.

c. Menghitung waktu baku (Wb) :

allowance Wn Wb (%) % 100 % 100    (2.6) (Wignjosoebroto Sritomo, 1992)

2.1.6. Faktor penyesuaian (Rating Performance)

Aktivitas untuk menilai atau mengevaluasi kecepatan kerja operator dikenal sebagai “Rating Performance”. Dengan melakukan rating ini diharapkan waktu kerja yang diukur bisa “dinormalkan” kembali. Ketidaknormalan dari waktu kerja ini diakibatkan oleh operator yang bekerja secara kurang wajar yaitu bekerja dalam tempo atau kecepatan yang tidak sebagaimana semestinya.

Waktu normal bukanlah waktu yang disediakan untuk pekerjaan yang bersangkutan, karena angka ini harus dinaikkan dengan suatu waktu tambahan yang disediakan untuk gangguan-gangguan, kebutuhan-kebutuhan pribadi operator, dan penunda-penunda yang berada di luar keluasaannya.

Westing house system’s Rating adalah sistem untuk memberikan rating performance yang umumnya diaplikasikan di dalam aktivitas pengukuran kerja. Selain kecakapan (skill) dan usaha (effort) sebagai faktor yang mempengaruhi

performance manusia, maka Westing house menambahkan lagi dengan kondisi kerja (working condition) dan keuletan kerja (consistency) dari operator dalam melakukan kerja. Tabel performance rating westing house dapat dilihat pada tabel 2.2

Tabel 2.2

Performance Rating dengan System Westing House

SKILL EFFORT + 0,15 AI Superskill + 0,13 AI Superskill + 0,13 A2 + 0,12 A2 + 0,11 B1 Excellent + 0,10 B1 Excellent + 0,08 B2 + 0,08 B2 + 0,06 C1 Good + 0,05 C1 Good + 0,03 C2 + 0,02 C2 0,00 D Average 0,00 D Average - 0,05 E1 Fair - 0,04 E1 Fair - 0,10 E2 - 0,08 E2 - 0,16 F1 Poor - 0,12 F1 Poor - 0,22 F2 - 0,17 F2 CONDITION CONSISTENCY + 0,06 A Ideal + 0,04 A Ideal + 0,04 B Excellent + 0,03 B Excellent + 0,02 C Good + 0,01 C Good 0,00 D Average 0,00 D Average - 0,03 E Fair - 0,02 E Fair - 0,07 F Poor - 0,04 F Poor

Metode westing house ini mempertimbangkan empat buah faktor dalam mengevaluasi performance ranting, antara lain :

1. Keterampilan (skill) adalah “kecakapan atau kemampuan dalam mengerjakan suatu metode yang diberikan”. Selanjutnya berhubungan dengan pengalaman, ditunjukkan dengan koordinasi yang baik antara pikiran dan tangan.

2. Usaha (effort) adalah “kesungguhan yang ditunjukkan atau diberikan oleh seorang operator saat melaksanakan pekerjaannya”. Usaha ditunjukan oleh kecepatan pada tingkat kemampuan yang dimiliki dan dapat dikontrol pada tingkat yang tinggi oleh operator.

3. Kondisi (condition) adalah “kondisi fisik lingkungan di tempat kerja.” Yang meliputi keadaan pencahayaan, temperatur dan kebisingan ruangan. Kondisi merupakan suatu prosedur performance rating yang berpengaruh pada operator dan bukan pada operasi.

4. Konsisten (consistensi) adalah “Suatu keadaan yang stabil dari operator dalam melaksanakan pekerjaannya”. Faktor konsistensi ini perlu diperhatikan, karena pada kenyataannya setiap pengukuran tidak pernah terjadi angka yang sama pada pencatatan, waktu penyelesaiaan yang ditunjukkan pekerja selalu berubah dari satu siklus ke siklus yang lain. Konsistensi dikatakan sempurna (perfect) jika waktu penyelesaian selalu sama setiap saat.

Skill dan effort” di bagi menjadi superskill, excellent, good, average, fair, dan poor. Sedangkan “Condition dan Consistency” di bagi menjadi ideal, excellent, good, average, fair dan poor. (Wignjosoebroto Sritomo, 1992)

2.1.7. Faktor Kelonggaran (Allowance)

Waktu normal untuk suatu elemen operasi kerja adalah semata-mata menunjukkan bahwa operator yang berkualifikasi baik akan bekerja menyelesaikan pekerjaan pada kecepatan/tempo kerja yang normal. Waktu normal untuk suatu operator menggambarkan lamanya waktu yang diperlukan oleh operator rata-rata bila bekerja pada langkah normal dan tanpa menghiraukan suatu waktu tambahan untuk kebutuhan-kebutuhan pribadi, istirahat, dan penundaan-penundaan lain di luar kekuasaannya.

Waktu longgar yang dibutuhkan dan akan menginterupsikan proses produksi ini bisa diklasifikasikan menjadi kebutuhan pribadi (personal allowance). Melepas lelah (fatique allowance) dan keterlambatan yang tidak dapat dihindari (delay allowance). Tabel faktor kelonggaran dapat dilihat pada lampiran. (Wignjosoebroto Sritomo, 1992)

2.1.7.1. Kelonggaran Untuk kebutuhan pribadi

Yang termasuk ke dalam kebutuhan pribadi di sini adalah hal-hal yang seperti minum sekedarnya untuk menghilangkan rasa haus, ke kamar kecil, bercakap-cakap dengan teman sekerja untuk menghilangkan ketegangan ataupun kejenuhan dalam bekerja.

Kebutuhan-kebutuhan ini jelas-jelas sebagai sesuatu yang mutlak tidak bisa, misalnya seseorang diharuskan terus bekerja dengan rasa olahraga, atau melarang pekerja untuk sama sekali tidak bercakap-cakap sepanjang jam kerja. Larangan demikian tidak saja merugikan pekerja (karena merupakan tuntutan psikologis dan fisiologis yang wajar) tetapi juga merugikan perusahaan karena

dengan kondisi demikian pekerja tidak akan dapat bekerja dengan baik bahkan hampir dipastikan produktivitasnya menurun.

Besarnya kelonggaran yang diberikan untuk kebutuhan pribadi seperti itu berbeda-beda dari satu pekerjaan yang lainnya karena setiap pekerjaan mempunyai karakteristik sendiri-sendiri dengan “tuntutan” yang berbeda-beda. Penelitian yang khusus perlu dilakukan untuk menentukan besarnya kelonggaran ini dengan tepat seperti sampling pekerjaan ataupun secara fisiologis.

Berdasarkan penelitian ternyata besarnya kelonggaran ini bagi pekerja pria berbeda dengan pekerja wanita. Misalnya untuk pekerjaan-pekerjaan ringan pada kondisi kerja normal pria memerlukan 2 - 2,5%. Dan wanita membutuhkan 5% (prosentasi ini adalah waktu normal). (Wignjosoebroto Sritomo, 1992)

2.1.7.2. Kelonggaran untuk menghilangkan rasa fatique

Rasa Fatique tercermin antara lain dari menurunnya hasil produksi baik jumlah maupun kualitasnya. Karena salah satu cara untuk menentukan besarnya kelonggaran ini adalah dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja dengan mencatat pada saat-saat dimana hasil produksi menurun. Tetapi masalahnya adalah kesulitan didalam menentukan pada saat-saat dimana menurunnya hasil produksi disebabkan oleh timbulnya rasa fatique karena masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain.

Jika rasa fatique telah datang dan pekerja harus bekerja untuk menghasilkan performance normalnya, maka usaha yang dikeluarkan pekerja lebih besar dari normal dan ini akan menambah rasa fatique. Bila ini berlangsung terus menerus pada akhirnya akan terjadi rasa fatique yang total yaitu jika anggota

badan yang bersangkutan sudah tidak dapat melakukan gerak kerja sama sekali walaupun sangat dikehendaki.

Hal demikian jarang terjadi karena berdasarkan pengalamannya pekerja dapat mengatur kecepatan kerjanya sedemikian rupa, sehingga lambatnya gerakan-gerakan kerja ditunjukan untuk menghilangkan rasa fatique. (Wignjosoebroto Sritomo, 1992)

2.1.7.3. Kelonggaran untuk hambatan-hambatan tak terhindari

Dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerja tidak lepas dari berbagai “hambatan”. Ada hambatan yang dapat dihindari seperti mengobrol yang berlebihan dan menganggur dengan sengaja, ada pula hambatan yang tidak dapat dihindari karena berada diluar kekuasaan pekerja untuk mengendalikannya.

Bagi hambatan yang pertama jelas tidak ada pilihan selain untuk menghindarkannya, sedangkan bagi yang terakhir walaupun harus diusahakan serendah mungkin, hambatan akan tetap ada karena harus diperhitungkan dalam perhitungan waktu baku.

Beberapa contoh yang termasuk ke dalam hambatan tidak terhindari adalah : a. Menerima atau meminta petunjuk kepada pengawas.

b. Melakukan penyesuaian-penyesuaian mesin

c. Memperbaiki kemacetan-kemacetan singkat seperti mengganti alat potong yang patah, memasang kembali ban yang lepas dan sebagainya

d. Mengasah peralatan potong

e. Mengambil alat-alat khusus atau bahan-bahan khusus dari gudang f. Hambatan-hambatan dari kesalahan pemakai alat ataupun bahan

g. Mesin berhenti karena matinya aliran listrik.

Besarnya hambatan untuk kejadian-kejadian seperti ini sangat bervariasi dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain bahkan satu stasiun kerja lain karena banyaknya penyebab, seperti mesin, kondisi, prosedur kerja, ketelitian suplai alat dan bahan, dan sebagainya.

(Wignjosoebroto Sritomo, 1992).

2.2. Peramalan

Usaha untuk melihat situasi dan kondisi pada masa yang akan datang merupakan suatu usaha untuk memperkirakan pengaruh situasi dan kondisi yang berlaku terhadap perkembangan dimasa yang akan datang, kita kenal dengan apa yang kita sebut dengan peramalan (forecasting).

Peramalan ini akan menunjukan kecenderung-kecenderung dalam kebutuhan manufaktur di kemudian hari. Kebijakan-kebijakan pergantian regu kerja, rencana untuk peningkatan atau penutunan aktivitas menufaktur, atau kemungkinan perluasan pabrik sering dapat didasarkan pada ramalan-ramalan tersebut. Setiap kebijakan perusahaan tidak akan terlepas dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau meningkatkan keberhasilan perusahaan untuk mencapai tujuannya pada masa yang akan datang.

2.2.1. Jenis-jenis peramalan

Pada umumnya peramalan dapat dibedakan dari berbagai segi tergantung dari cara melihatnya. Apabila dilihat dari sifat penyusunan, maka peramalan dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu :

1. Peramalan subyektif, yaitu peramalan yang didasarkan atas perasaan atau intuisi dari orang yang menyusunnya.

2. Peramalan Objektif, yaitu peramalan yang didasarkan atas data yang relevan pada masalah, dengan menggunakan teknik dan metode dalam penganalisaan data tersebut.

Jika di lihat dari jangka waktu ramalan yang disusun, maka peramalan dapat dibedakan atas 2 mcam, yaitu

1. Peramalan jangka panjang, yaitu peramalan yang dilakukan untuk penyusunan hasil ramalan yang jangka waktunya lebih dari satu setengah tahun. Peramalan ini biasanya diperlukan dalam penyusunan rencana pembangunan daerah, atau rencana ekspansi suatu pekerjaan.

2. Peramalan jangka pendek yaitu peramalan yang dilakukan untuk penyusunan hasil ramalan dengan jangka waktu yang kurang dari satu setengah tahun. Peramalan seperti ini diperlakukan dalam penyusunan rencana tahunan, rencana produksi, rencana penjualan, dan anggaran perusahaan.

2.2.2. Karakteristik Peramalan yang Baik

Peramalan yang baik mempunyai beberapa kriteria yang penting, antara lain akurasi, biaya, dan kemudahan. Penjelasan dari kriteria – kriteria tersebut adalah sebagai berikut :

1. Akurasi

Akurasi dari suatu hasil peramalan diukur dengan kebiasaan dan kekonsistensian peramalan tersebut. Hasil peramalan dikatakan bias bila peramalan tersebut terlalu tinggi atau terlalu rendah. dibandingkan dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi. Hasil peramalan dikatakan konsisten bila besarnya kesalahan peramalan relative kecil. Peramalan yang terlalu rendah akan mengakibatkan kekurangan persediaan, sehingga permintaan konsumen tidak dapat dipenuhi dengan segera, akibatnya adalah perusahaan dimungkinkan kehilangan pelanggan dan kehilangan keuntungan penjualan. Peramalan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan terjadinya penumpukan persediaan, sehingga banyak modal terserap sia – sia. Keakuratan dari hasil

Dokumen terkait