• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Saran……….. 68

DAFTAR PUSTAKA……… 69

LAMPIRAN……….. 72

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Keuntungan dan kerugian swamedikasi bagi penderita……….. 15 Tabel II. Beberapa penyebab timbulnya batuk………. 22 Tabel III. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan kategori pengetahuan

dan tingkat pendidikan………..………….. 45

Tabel IV. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan kategori pengetahuan

dan tingkat pendapatan ..………. 46

Tabel V. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan kategori sikap dan

tingkat pendidikan ……….. 48

Tabel VI. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan kategori sikap dan

tingkat pendapatan……….. 48

Tabel VII. Hasil temuan distribusi jumlah responden berdasarkan kategori tindakan dan frekuensi batuk………..……….… 50

Tabel VIII. Bahan aktif dan indikasi……….……….. 53 Tabel IX. Hasil temuan harga obat batuk merek dagang yang di konsumsi 55 Tabel X. Rangkuman keseluruhan tindakan responden dalam melakukan

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Anatomi refleks batuk……….. 18

Gambar 2. Skema tiga fase terjadinya batuk……….…. 21 Gambar 3. Skema hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan dan sikap dalam melakukan swamedikasi untuk penyakit batuk…. 31 Gambar 4. Skema hubungan tingkat pendapatan dengan pengetahuan dan sikap dalam melakukan swamedikasi untuk penyakit batuk.... 31 Gambar 5. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan kategori tindakan

dan frekuensi mengalami batuk..………..…. 49 Gambar 6. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan kategori tindakan

pertama dalam menangani batuk ………...………. 52 Gambar 7. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan kategori tindakan

dan bahan aktif yang digunakan ……… 54 Gambar 8. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan kategori tindakan

dan obat merek dagang yang diminat….……….... 55

Gambar 9. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan kategori tindakan dan bentuk sediaan obat batuk yang disukai ………...….. 57 Gambar 10. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan kategori tindakan

dan informan obat batuk ………...…. 58 Gambar 11. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan kategori tindakan

xix

Gambar 12. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan kategori demografi karakteristik tingkat pendidikan……….... 62 Gambar 13. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan kategori demografi

karakteristik jenis pekerjaan ………..……… 64 Gambar 14. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan demografi karak-

teristik tingkat pendapatan ……….………..………..…... 65 Gambar 15. Distribusi jumlah responden (%) berdasarkan kategori demografi karakteristik tanggungan dalam keluarga …….………. 66

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Kuesioner sebelum validasi……….. 72 Lampiran 2. Hasil uji validitas dan reliabilitas……….. 77

Lampiran 3. Hasil validasi……… 99

Lampiran 4. Kuesioner yang telah di adjustmentahli…….………. 102 Lampiran 5. Demografi karakteristik penduduk………..……… 106 Lampiran 6. Hasil pernyataan pengetahuan………..……… 111 Lampiran 7. Hasil pernyataan sikap………..……… 114 Lampiran 8. Hasil uji statistik pengetahuan………..……… 117 Lampiran 9. Hasil uji statistik sikap………..……… 124 Lampiran 10. Hasil kuesioner tindakan…………..……….. 131 Lampiran 11. Alasan memilih bentuk sediaan……….………….... 143 Lampiran 12. Alasan memperoleh informasi obat tanpa resep……….…... 146 Lampiran 13. Alasan pemilihan tempat membeli obat batuk tanpa resep.... 152

Lampiran 14. Perijinan………..……… 156

1 BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang Penelitian

Kesejahteraan badan, jiwa dan sosial memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis merupakan cermin kesehatan (Undang – Undang No. 23 tahun 1992). Salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai tindakan pembangunan kesehatan (Anonim, 2006).

Pada akhir dekade ini, beberapa penelitian menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kesehatan dan gaya hidup (life style), dimana kebiasaan – kebiasaan seseorang akan mempengaruhi keadaan fisiologis dan seringkali menyebabkan timbulnya masalah kesehatan. Kebiasaan merokok, pola makan (diet) yang salah, dan kurangnya berolahraga berkaitan erat dengan aneka ragam gejala penyakit (Smet, 1994).

Menurut SUSENAS (2001), sebanyak 49,1 % bayi umur <1 dan 54,8 % anak balita umur 1 sampai 4 tahun mengeluh sakit dalam sebulan terakhir. Di antara anak umur 0 sampai 1 tahun tersebut ditemukan adanya prevalensi panas sebesar 33,4 %, batuk 28,7 %, batuk dan nafas cepat 17,0 % dan diare 11,4 %. Prevalensi gejala-gejala penyakit tersebut di perkotaan dan pedesaan tidak berbeda signifikan (Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002).

Perilaku kesehatan merupakan respon seseorang terhadap munculnya stimulus atau objek yang berhubungan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman yang dikonsumsi serta pengaruh lingkungan di sekitarnya (Maulana, 2007). Seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat yang cenderung kurang memperhatikan kesehatan menyebabkan berbagai penyakit sulit di hindari. Penyakit yang terus berkembang mendorong masyarakat untuk mencari alternatif pengobatan yang efektif baik dari segi pengobatan dan biaya (Anonim, 2006).

Swamedikasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri. Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk mengatasi berbagai keluhan – keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lainnya demi keterjangkauan biaya pengobatan (Anonim, 2006).

Berdasarkan data SUSENAS BPS tahun 2009 diketahui sekitar 66 % orang sakit di Indonesia melakukan swamedikasi. Data yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2001 bahwa 77,3 % penduduk yang sakit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan swamedikasi sebagai tindakan awal dalam upaya penyembuhan terhadap sakit (Handayani, 2003). Pada pelaksanaannya, swamedikasi dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunaannya. Obat-obat yang termasuk dalam golongan obat bebas

dan bebas terbatas adalah obat yang relatif aman digunakan untuk pengobatan sendiri (swamedikasi) (Anonim, 2006).

Kecenderungan swamedikasi banyak dilakukan oleh wanita daripada pria baik dalam mengatasi masalah kesehatan keluarga ataupun kesehatan diri sendiri (Holt & Halt, 1990). Melalui survei yang dilakukan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1993 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan ibu – ibu dalam pemilihan dan penggunaan obat berperan penting pada keamanan dan keefektifan swamedikasi (Suryawati, 2003). Fakta di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 82 % wanita dan 71 % pria menggunakan obat tanpa resep dalam upaya mengobati penyakit ringan yang diderita (Pal, 2002).

Batuk merupakan penyakit yang paling umum diderita masyarakat. Mayoritas penyakit batuk yang ada di dalam masyarakat berupa batuk akut dan batuk yang dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga pilihan obat batuk ditangani dengan menggunakan obat-obat over the counter (OTC) (Everett, Kastelik, Thompson, dan Morice, 2007). Pada tahun 2002, batuk menjadi penyakit umum kedua setelah pilek dengan presentase sebesar 45,32 % yang dikeluhkan oleh masyarakat di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Anonim, 2003). Sedangkan berdasarkan riset awal yang dilakukan di Dusun Krodan sebelum penelitian untuk melihat frekuensi sakit oleh masyarakat, didapatkan hasil bahwa dari 31 responden, sebanyak 45,16 % mengalami sakit kepala atau pusing; 25,81 % mengalami pilek atau flu; 16,13 % mengalami batuk; 16, 13% mengalami pegal atau nyeri sendi, dan lain-lain.

Melihat fakta-fakta yang ditemukan diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat perilaku masyarakat di Dusun Krodan, Maguwoharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam melakukan swamedikasi untuk penyakit batuk tahun 2012.

1. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Seperti apa karakteristik demografi responden di Dusun Krodan?

b. Apakah tingkat pendidikan dan pendapatan mempengaruhi pengetahuan masyarakat dalam melakukan swamedikasi untuk penyakit batuk?

c. Apakah tingkat pendidikan dan pendapatan mempengaruhi sikap masyarakat dalam melakukan swamedikasi untuk penyakit batuk?

d. Apakah yang dilakukan masyarakat dalam mengatasi penyakit batuk?

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

Mengetahui cara pengukuran tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan yang akan berguna bagi peneliti yang akan meneliti selanjutnya. b. Manfaat praktis

Sebagai sumber informasi bagi tenaga kesehatan untuk menentukan kebijakan dalam melakukan swamedikasi.

2. Keaslian Penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya adalah :

a. Pada tahun 2008 oleh Yoanna Lisa Mayasari Sugiyarto dengan judul “Hubungan Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pendapatan Dengan Perilaku Swamedikasi Penyakit Batuk Oleh Ibu-ibu Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan bermakna secara statistik terhadap tingkat pendidikan dan pendapatan dengan perilaku swamedikasi. Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini rancangan instrumen yang digunakan menggunakan skala Guttman untuk bagian pengetahuan, skala Likert 4 tingkatan untuk bagian sikap dan pertanyaan terbuka untuk tindakan. Sedangkan pada penelitian sebelumnya hanya digunakan skala Likert 5 tingkatan.

b. Pada tahun 2009 oleh Agnes Endah Perwitasari dengan judul “Pengaruh Pemberian Informasi Obat Terhadap Peningkatan Perilaku Pengobatan Mandiri Pada Penyakit Batuk Di Desa Argomulyo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” didapatkan hasil bahwa pemberian informasi obat menggunakan Leaflet meningkatkan pengetahuan dan tindakan masyarakat dalam swamedikasi batuk. Pada penelitian yang dilakukan menggunakan jenis dan rancangan penelitian yaitu non-eksperimental cross-sectional. Sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan quasi-experimental equivalent pre-test dan post-test. Selain itu teknik sampling yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah

proportionate stratisfied random sampling sedangkan dalam penelitian sebelumnya yang digunakan adalah systematic random sampling.

c. Pada tahun 2010 oleh Nana Kartika dengan judul “Pengaruh Ceramah dan Pemberian Leaflet Terhadap Perilaku Dalam Memilih dan Menggunakan Obat Batuk Anak oleh Ibu-ibu Di Desa Sukorejo Kecamatan Sukorejo Kabupatem Kendal Propinsi Jawa Tengah”. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada jenis dan rancangan penelitian. Dimana pada penelitian ini menggunakan jenis dan rancangan penelitian non-eksperimental cross sectional sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan quasi-experiment dengan rancangan

non randomized pretest-posttest control grup design.

Sehingga sejauh pengetahuan peneliti, penelitian berjudul “Perilaku Masyarakat Dalam Melakukan Swamedikasi Untuk Penyakit Batuk di Dusun Krodan, Maguwoharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012” belum pernah dilakukan oleh peneliti lain.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dalam melakukan swamedikasi untuk penyakit batuk di Dusun Krodan, Maguwoharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui karakteristik demografi responden.

b. Untuk mengukur hubungan tingkat pendidikan dan pendapatan terhadap pengetahuan masyarakat dalam melakukan swamedikasi untuk penyakit batuk.

c. Untuk mengukur hubungan tingkat pendidikan dan pendapatan terhadap sikap masyarakat dalam melakukan swamedikasi untuk penyakit batuk. d. Untuk mengetahui tindakan masyarakat dalam melakukan swamedikasi

8 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Perilaku Konsumen

Perilaku konsumen adalah proses yang terjadi pada konsumen ketika dia memutuskan untuk membeli, apa yang dibeli, dimana dia membeli, kapan dan bagaimana dia membelinya. Konsumen membeli sesuatu barang atau jasa dikarenakan adanya keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) atau campuran keduanya (Ma’ruf, 2005).

Setiap konsumen memiliki dua sifat motivasi membeli yaitu: 1. Emosional

Motivasi yang dipengaruhi emosi berkaitan dengan perasaan, baik itu keindahan, gengsi ataupun hal lainnya termasuk iba dan rasa marah. Faktor indah atau bagus, serta faktor gengsi paling banyak mempengaruhi dibandingkan faktor iba dan rasa marah (Ma’ruf, 2005).

2. Rasional

Sikap belanja rasional di pengaruhi pemikiran rasional dalam pikiran seorang konsumen. Cara berpikir seorang konsumen yang begitu tinggi sehingga menurunkan perasaan seperti gengsi menjadi amat kecil atau hilang (Ma’ruf, 2005).

B. Perilaku Kesehatan

Menurut Skinner, perilaku merupakan hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dengan reaksi (response). Secara operasional, perilaku dapat diartikan sebagai suatu respon atau reaksi seseorang terhadap rangsangan dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan) atau bersifat aktif (dengan tindakan). Bentuk pasif terjadi di dalam diri manusia dan tidak dapat dilihat secara langsung oleh orang lain, misalnya berpikir, berpendapat, bersikap. Bentuk perilaku ini masih terselubung (covert behavior). Bentuk perilaku yang lain adalah bentuk perilaku aktif yang dapat diamati secara langsung, dan sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata (Notoatmodjo, 2007; Sarwono, 1997).

Perilaku kesehatan merupakan suatu respon seseorang terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman serta lingkungan di sekitarnya (Notoatmodjo, 2007). Perilaku kesehatan dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap terhadap kesehatan, serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Termasuk di dalam perilaku kesehatan yang dapat diobservasi adalah perilaku hidup sehat (Sarwono, 2007). Perilaku masyarakat terbagi dalam 3 domain, ranah atau kawasan yakni :

a. Kognitif (cognitive) b. Afektif (affective)

Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk mengukur hasil pendidikan kesehatan, yakni :

1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, pembau, perasa dan peraba. Tetapi sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Effendi dan Makhfudli, 2009).

Pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut penelitian Roger, apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bertahan lama (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (cit., Effendi dan Makhfudli, 2009).

2. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan

tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek (Effendi dan Makhfudli, 2009).

Sikap adalah suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide, atau obyek yang berisi komponen-komponen kognitif, afektif dan behavior. Para ahli menyimpulkan sikap sebagai predisposisi yang dipelajari yang mempengaruhi tingkah laku, berubah dalam hal intensitasnya, biasanya konsisten sepanjang waktu dalam situasi yang sama, dan komposisinya hampir selalu kompleks. Sikap adalah kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap objek atau situasi secara konsisten (Ahmadi dkk, 1991).

3. Praktik atau tindakan (practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan seperti fasilitas. Selain itu, adanya faktor pendukung (support) dari pihak lain juga berpengaruh (Effendi dan Makhfudli, 2009).

Menurut Notoatmodjo, Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa, biasanya dimulai dari ranah kognitif, dimana subyek tahu terlebih dahulu akan adanya stimulus, yang menimbulkan pengetahuan baru. Pengetahuan tersebut akan menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap tertentu. Stimulus

atau obyek yang sudah diketahui dan disadari tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi berupa tindakan. Namun, tindakan seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap, karena juga dapat timbul dari persepsi, yaitu suatu pengalaman yang dihasilkan melalui pancaindera yang membentuk motivasi, yaitu dorongan bertindak untuk mencapai suatu tujuan (Anies, 2006).

Perilaku kesehatan diuraikan sebagai berikut :

1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, adalah bagaimana manusia berespon, baik secara pasif maupun aktif yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakitnya. Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yakni

a. Perilaku peningkatan pemeliharaan kesehatan (health promotion behavior). b. Perilaku pencegahan penyakit (health preventive behavior).

c. Perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). d. Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior).

e. Perilaku seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan, yakni bagaimana seseorang berespon terhadap sistem pelayanan kesehatan, baik yang modern maupun tradisional.

2. Perilaku seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital kehidupan manusia.

3. Perilaku seseorang terhadap lingkungan, sebagai salah satu determinan kesehatan manusia.

Becker (1974) mengklasifikasikan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan sebagai tiga bentuk perilaku :

1. Perilaku kesehatan (health behavior), yaitu tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya.

2. Perilaku sakit (illness behavior), yaitu tindakan atau kegiatan seseorang yang merasa sakit untuk merasakan dan mengidentifikasikan penyakitnya, penyebab penyakit dan usaha-usaha untuk mencegah penyakit tersebut.

3. Perilaku peran sakit (the sick role behavior), yaitu tindakan atau kegiatan seseorang yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan.

(cit., Anies, 2006) Green et al (1980) menyatakan bahwa kesehatan manusia di pengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor non-perilaku. Faktor perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu maupun kelompok dalam masyarakat.

2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, sekolah kesehatan, dan lain sebagainya.

3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan dan petugas lain yang termasuk dalam kelompok referensi dari perilaku masyarakat (cit., Anies, 2006).

Perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan atau tradisi. Disamping itu, ketersediaan

fasilitas, sikap dan perilaku petugas kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku (Anies, 2006).

C. Swamedikasi

Menurut Donatus (1997), pengobatan sendiri (self medication) adalah tindakan mengobati diri sendiri dengan obat tanpa resep (golongan obat bebas dan obat bebas terbatas) yang dilakukan secara tepat guna dan bertanggungjawab. Hal ini mengandung makna bahwa walaupun oleh dan untuk diri sendiri, pengobatan sendiri harus dilakukan secara rasional. Ini berarti bahwa tindakan pemilihan dan penggunaan produk merupakan tanggungjawab yang rasional bagi para penggunanya. Dengan kata lain, seorang pengguna dituntut untuk mampu menegakkan diagnosis penyakit yang dideritanya dan kemudian memilih produk obat yang paling sesuai dengan kondisinya (Anonim, 2006).

Menurut Hott dan Hall (1990) pengobatan mandiri dengan obat tanpa resep hendaknya dilakukan secara tepat dan bertanggungjawab, biasanya pada kasus :

1. Perawatan simptomatil minor 2. Penyakit self-limiting atau paliatif

3. Pencegahan dan penyembuhan penyakit ringan

4. Penyakit kronis yang sebelumnya sudah pernah di diagnosis dokter atau tenaga medis professional lainnya.

Perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang, pengalaman, sikap dalam

mengatasi masalah kesehatan, demografi dan epidemiologi, ketersediaan pelayanan kesehatan, ketersediaan produk obat tanpa resep, dan faktor sosial ekonomi (Holt dan Hall, 1990).

Swamedikasi untuk gejala atau penyakit ringan dirasakan oleh penderita memberi keuntungan antara lain kepraktisan dan kemudahan melakukan tindakan pengobatan dan biaya yang dikeluarkan lebih murah (Rantucci, 1997). Beberapa keuntungan dan kerugian sehubungan dengan peningkatan perilaku swamedikasi terhadap penderita atau pasien (Sihvo, 2000).

Tabel I. Keuntungan dan kerugian swamedikasi bagi penderita (Sihvo, 2000)

Obyek Keuntungan Kerugian

Pasien Kenyamanan dan

kemudahan akses

Diagnosis tidak sesuai atau tertunda

Tanpa biaya periksa atau konsultasi

Pengobatan berlebihan atau tidak sesuai

Hemat waktu Kebiasaan menggunakan OTR

Empowerment Adverse drug reaction

Ada indikasi yang tak terobati Kenaikan biaya berobat

D. Obat

1. Definisi

Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992, Obat adalah bahan atau panduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (Anonim, 1992).

2. Penggolongan obat

Obat dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu : a. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Parasetamol (Anonim, 2006).

b. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : CTM (Anonim, 2006).

c. Obat Keras dan Psikotropika

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Asam Mefenamat (Anonim, 2006).

Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Contoh : Diazepam, Fenobarbital (Anonim, 2006).

d. Obat Narkotika

Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Contoh : Morfin, Petidin (Anonim, 2006).

Sebelum menggunakan obat, termasuk obat bebas dan bebas terbatas harus diketahui sifat dan cara pemakaiannya agar penggunaannya tepat dan aman. Informasi tersebut dapat diperbolehkan dari etiket atau brosur pada kemasan obat bebas dan bebas terbatas (Anonim, 2006).

E. Batuk

1. Definisi

Batuk adalah suatu refleks fisiologi protektif yang bermanfaat untuk membersihkan saluran pernapasan dari dahak, debu, zat-zat perangsang asing yang dihirup, partikel-partikel asing dan unsur-unsur infeksi (Rahardja dan Tjay, 2008).

Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari trauma mekanik, kimia dan suhu. Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan paru yang alamiah untuk menjaga agar jalan napas tetap bersih dan terbuka, dengan jalan :

b. Mengeluarkan benda asing atau sekret yang abnormal dari dalam saluran napas.

(Priyanti, 1993) 2. Patofisiologi

Batuk menjadi tidak fisiologik bila dirasakan sebagai gangguan; batuk semacam ini sering kali merupakan tanda suatu penyakit di dalam atau di luar paru dan kadang-kadang merupakan gejala dini suatu penyakit (Priyanti, 1993). Batuk pada orang sehat adalah reaksi fisiologis terhadap iritan yang dihirup, pada orang sakit merupakan gejala pertama yang paling umum dan sering dari sakit paru-paru. Batuk dapat menunjukkan gangguan mukosiliar, yang

Dokumen terkait