• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Beton Bertulang

Beton terdiri atas agregat, semen dan air yang dicampur bersama-sama dalam keadaan plastis dan mudah untuk dikerjakan. Sesaat setelah pencampuran, pada adukan terjadi reaksi kimia yang pada umumnya bersifat hidrasi dan menghasilkan sesuatu pengerasan dan pertambahan kekuatan (Ahmad, 2009). Beton memiliki sifat utama, yaitu relatif kuat menahan beban tekan, namun lemah terhadap beban tarik. Sedangkan baja tulangan memiliki sifat utama, yaitu relatif kuat menahan beban tarik, namun lemah terhadap tekan. Berdasarkan sifat dari kedua bahan tersebut, beton dan baja tulangan dapat dipadukan menjadi satu-kesatuan menjadi material komposit yang disebut beton bertulang.

Beton bertulang mempunyai sifat sesuai dengan sifat bahan penyusunnya, yaitu sangat kuat terhadap beban tarik maupun beban tekan. Beban tarik pada beton bertulang ditahan oleh baja tulangan, sedangkan beban tekan cukup ditahan oleh beton (Asroni, 2010). Sehingga, penggunaan beton bertulang pada komponen strukural bangunan seperti balok, dapat menahan gaya tekan maupun tarik secara bersamaan akibat berat sendiri ataupun pengaruh gaya aksial.

Berdasarkan bahan penyusunnya, beton memiliki ketahanan yang relatif baik terhadap temperatur tinggi jika dibandingkan dengan material lain seperti baja maupun kayu. Hal ini disebabkan bahwa beton merupakan material penghantar panas yang rendah, sehingga dapat menghambat rembetan panas

masuk ke bagian dalam struktur beton tersebut. Pada struktur beton bertulang, tebal selimut beton harus memenuhi kriteria perencanaan tebal selimut minimum yang mana telah diatur nilai untuk masing-masing komponen struktur berdasarkan jenis beton bertulang itu sendiri. Tebal selimut beton sangat berpengaruh terhadap besar nilai tegangan leleh baja jika terjadi peningkatan temperatur pada permukaan struktur. Pada suatu kondisi dimana tingginya temperatur yang dapat mencapai lebih dari 500 0C dapat mengurangi kuat tekan beton dan tegangan leleh baja secara signifikan. Ditambah dengan besar gaya luar yang bekerja pada struktur seperti, gaya aksial, lentur dan geser, maka dapat berpotensi menyebabkan keruntuhan struktur bangunan.

2.2 Elemen Struktur Gedung

Dalam suatu sistem struktur bangunan, terdapat beberapa elemen yang saling merangkai dan membentuk kesatuan unit konstruksi. Struktur yang dibentuk dengan dengan cara meletakkan elemen kaku horizontal di atas dua elemen kaku vertikal merupakan sistem struktur portal sederhana yang sering dijumpai. Elemen horizontal yaitu balok yang biasa disebut juga elemen lentur, karena memikul beban yang bekerja secara transversal yang mana elemen ini dibebani oleh gaya dari berbagai arah seperti, gaya vertikal, horizontal, maupun momen. Pada bangunan gedung, elemen balok akan menerima beban di atasnya seperti, pelat lantai, dinding, dan sebagaimya. Elemen vertikal kolom secara langsung memikul beban aksial dari balok, termasuk berat dari balok itu sendiri, kemudian mentransferkannya bersama dengan berat kolom ke pondasi.

2.2.1 Balok

Balok adalah elemen struktur yang dirancang sebagai pendukung beban vertikal dan horizontal. Beban vertikal yaitu beban mati dan beban hidup yang bekerja di sepanjang bentang balok seperti, pelat, dinding penyekat, termasuk berat sendiri balok tersebut. Sedangkan beban horizontal yaitu beban angin dan beban gempa yang suatu waktu dapat terjadi pada struktur.

Secara umum, pra desain untuk tinggi balok direncanakan L/10 – L/15, dan untuk lebar balok diambil 1/2H – 2/3H, dimana H adalah tinggi balok dan L adalah panjang bentang balok dari tumpuan ke tumpuan. Hal ini dimaksudkan sebagai syarat keamanan untuk menjaga besarnya lendutan yang terjadi akibat pengaruh beban yang bekerja pada balok. Menurut SNI 03-2847-2002, tebal minimum (h) dapat ditentukan tanpa memperhitungkan lendutan berdasarkan tabel berikut.

Tabel 2.1. Tebal Minimum Balok Non-Prategang Atau Pelat Satu Arah Bila Lendutan Tidak Dihitung (SNI 03-2847-2002)

Resultan tegangan tarik baja, T:

T = As fy

dimana As adalah luas penampang tulangan (mm2) dan fy adalah tegangan tarik baja (MPa).

Resultan tegangan tekan beton, c: c = 0,85f’c a b

dimana a adalah tinggi dari tegangan balok segi empat (mm), b adalah lebar balok (mm) dan f’c adalah mutu beton (MPa).

Dengan menerapkan persamaan keseimbangan, diperoleh momen batas (ultimate):

Mn = T x jd = c x jd

Dimana jd adalah tinggidari titik berat gaya c terhadap posisi baja tulangan.

Menurut SNI 03-2847-2002 tentang Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung, persyaratan kekuatan lentur untuk balok dengan tulangan tunggal adalah:

Mu ≤ ϕ Mn

Dimana ϕ untuk lentur murni adalah 0,8

Gaya-gaya pada balok dengan tulangan tunggal akibat lentur dapat dilihat pada gambar berikut.

Dengan menetapkan harga regangan beton, c = 0,003 dalam kondisi batas (ultimate), ada tiga jenis kemugkinan keruntuhan yang terjadi, yaitu:

1) Keruntuhan tarik (under-reinforced)

Keruntuhan tarik terjadi bila regangan pada baja tulangan lebih besar dari regangan lelehnya, yang berarti regangan tarik baja telah mencapai titik leleh sedangkan regangan tekan beton belum mencapai regangan batas 0,003, atau s = y tetapi ccu’. Pada kondisi keruntuhan ini, penampang balok memiliki rasio tulangan (⍴) yang kecil. Persamaan keseimbangan dapat dilihat sebagai berikut.

Maka, dimana

2) Keruntuhan tekan (over-reinforced)

Keruntuhan tekan terjadi bila regangan pada baja tulangan lebih kecil dari regangan lelehnya, yang berarti regangan tekan beton telah mencapai regangan batas 0,003 sedangkan regangan tarik baja tulangan belum mencapai titik leleh, atau c’ = cu’ tetapi s y. Pada kondisi keruntuhan ini, penampang balok memiliki rasio tulangan (⍴) yang besar.

( ) ( ) karena a = β1 c, maka: ( ) Persamaan keseimbangan: ( )

Dari kedua harga di atas, diambil nilai a yang paling kecil, sehingga diperoleh:

3) Keruntuhan seimbang (balanced reinforced)

Keruntuhan seimbang terjadi bila regangan pada baja tulangan mencapai titik leleh bersamaan dengan regangan beton yang telah mencapai regangan batas 0,003, atau c’ = cu’ dan s = y. Pada kondisi keruntuhan ini, beton dan rasio tulangan seimbang (balance).

dimana cb adalah tinggi garis netral pada kondisi seimbang.

Dari persamaan keseimbangan:

Dalam keadaan keruntuhan seimbang:

Jika modulus elastisitas baja, Es = 200000 Mpa, diperoleh:

2.2.2 Kolom

Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang memikul beban dari balok. Kolom meneruskan beban-beban dari elevasi atas ke elevasi bawah hingga akhirnya sampai ke tanah memalui pondasi (Negara, 2009). Berdasarkan bentuk dan susunan tulangan, kolom dibedakan menjadi:

1) Kolom segi empat dengan tulangan memanjang dan sengkang

2) Kolom bulat dengan tulangan memanjang dan tulangan lateral berbentuk spiral

3) Kolom komposit yang terdiri dari beton dan baja profil di dalamnya

Gambar 2.2. Bentuk Penampang Kolom. (a) Kolom Segi Empat; (b) Kolom Bulat; (c) Kolom Bulat dan Segi Empat Komposit Beton-Baja

Keruntuhan pada kolom struktural seharusnya dihindari karena mengakibatkan risiko runtuhnya komponen struktur di atasnya yang dipikul kolom tersebut. Risiko fatal yang dapat terjadi adalah keruntuhan batas total (ultimate total collapse) beserta keseluruhan bangunan. Beban aksial yang terjadi pada kolom sangat dominan, sehingga berpengaruh terjadinya keruntuhan tekan tergantung besarnya beban yang diterima. Apabila beban bertambah, maka akan terjadi perubahan mikrostruktur pada sisi luar kolom berupa retak-retak di lokasi tulangan sengkang. Pada batas keruntuhan (limit state of failure), selimut beton akan terpisah dari tulangan sengkang, sehingga tulangan memanjang mulai terlihat. Apabila beban semakin bertambah, akan terjadi tekuk lokal (local buckling) pada tulangan memanjang, sehingga pada kondisi ini kolom telah mencapai batas keruntuhan, dimana daya lekat beton dan baja tulangan telah hilang.

Kolom dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan angka kelangsingan, yaitu:

o Kolom pendek ;

o Kolom langsing ;

2.2.2.1 Kolom pendek

Kapasitas beban sentris maksimum pada kolom diperoleh dari kontribusi beban yang dipikul beton sebesar Pc = (Ag – Ast) 0,85f’c, dan beban yang dipikul baja sebesar Ps = Ast fy. Dengan demikian, diperoleh beban sentris maksimum sebagai berikut.

P0 = 0,85f’c(Ag – Ast) + Ast fy

dimana, Ag = luas bruto penampang beton

Ast = luas total baja tulangan = As+ A’s

Namun, pembebanan sentris (e = 0) hampir tidak mungkin terjadi pada strukur aktual, karena dipengaruhi beberapa faktor seperti, ketidaktepatan letak dan ukuran kolom, perbedaan besar beban pada pelat di sekitar kolom, dan sebagainya. Berikut persamaan besar beban aksial nominal Pn dengan eksentrisitas e yang bekerja pada kolom dengan penulangan simetris yang mengalami beban eksentris.

Pn = 0,85f’c ba + A’sf’s– As fs Mn = Pne = 0,85f’c ba(y –a

/

2) + A’sf’s(y –d’) – As fs(d - y)

dimana, a = tinggi blok tegangan ekuivalen = β1c

f’s = tegangan baja pada kondisi tekan

fs = tegangan baja pada kondisi tarik

Mn = momen tahanan nominal

Peraturan SNI-03-2847-2002 mensyaratkan faktor reduksi untuk kapasitas beban aksial nominal pada kolom. Besar beban aksial nominal kolom Pn pada kondisi beban sentris (e = 0) maupun kondisi beban eksentris (e ≠ 0), tidak dapat melebihi kekuatan dengan aksial maksimum yang dapat dilihat pada persamaan berikut.

ϕPn (max) = 0,80ϕ [0,85f’c(Ag – Ast) + Ast fy]

untuk kolom bersengkang dengan faktor reduksi sebesar 20 %, dan ϕPn (max) = 0,85ϕ [0,85f’c(Ag – Ast) + Ast fy]

Untuk kolom berspiral dengan faktor reduksi sebesar 15 %.

Gambar 2.3. Tekan Eksentris, Kekuatan Batas (Winter, 1993)

2.2.2.2 Kolom langsing

Kolom langsing memiliki angka kelangsingan melebihi batas dari kolom pendek dimana kolom ini akan mengalami tekuk (buckling) sebelum mencapai batas keruntuhan materialnya. Hal ini dipengaruhi oleh adanya momen tambahan akibat PΔ, dimana P adalah beban aksial yang terjadi pada kolom, dan Δ adalah defleksi kolom yang tertekuk pada penampang yang ditinjau.

Menurut peraturan ACI 318, nilai faktor panjang efektif k dapat ditentukan berdasarkan hal berikut.

1) Batas atas faktor panjang efektif k untuk batang tekan dengan pengaku (braced system) yang tertahan pada kedua ujung kolom.

k = 0,7 + 0,05 (ψA + ψB) ≤ 1,0

k = 0,85 + 0,05 ψ min ≤ 1,0

harga k yang diambil adalah nilai terkecil dari kedua persamaan di atas.

Dimana, ψA = faktor jepitan kolom atas

ψB = faktor jepitan kolom bawah

ψmin = faktor jepitan terkecil antaraψA dan ψB

persamaan untuk faktor jepitan ψ adalah:

balok l EI kolom l EI n u                

Dimana, lu = panjang tak tertumpu kolom

ln = bentang bersih balok

2) Batas atas faktor panjang efektif k untuk batang tekan tanpa pengaku (unbraced system) yang tertahan pada kedua ujung kolom.

Untuk ψ m< 2 m m k 1 20 20 Untuk Ψ m≥ 2 m k 0,9 1

3) Batas atas faktor panjang efektif k untuk batang tekan tanpa pengaku (unbraced system) yang kedua ujung sendi-sendi.

k = 2,0 + 0,3 ψ

2.3 Pengaruh Temperatur Tinggi Terhadap Sifat Fisis Beton Bertulang

Pengaruh yang ditimbulkan kebakaran terhadap struktur terutama beton dapat secara langsung dilihat melalui pengamatan visual. Hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan bangunan secara umum yang terjadi pasca kebakaran. Perubahan kondisi fisik komponen struktur dapat dievaluasi berdasarkan parameter pengamatan yang telah ditentukan sebelumnya seperti, perubahan warna pada permukaan beton, terjadinya spalling dan crazing, serta retak atau cracking. Berikut dijelaskan parameter pengamatan visual yang digunakan, meliputi:

1. Pengamatan permukaan

Jelaga yang melekat pada permukaan beton berupa butir asap yang halus berwarna hitam mengindikasikan bahwa temperatur yang terjadi pada saat kebakaran relatif rendah, karena jika temperatur telah mencapai 800 0C, seluruh jelaga akan terbakar habis tanpa bekas.

2. Perubahan warna

Perubahan warna yang dilihat pada struktur beton setelah proses pendinginan dapat menaksir temperatur maksimum yang dialami beton saat kebakaran terjadi. Untuk beberapa kasus yang telah diteliti bahwa untuk beton yang mengalami pemanasan pada temperatur lebih dari 300 oC menyebabkan perubahan warna menjadi sedikit kemerahan (merah muda), untuk temperatur

Gambar 2.6. Retak (cracking) Pada Balok

5. Pengamatan lendutan

Pengamatan ini dilakukan terhadap lendutan yang terjadi pada komponen struktur seperti balok dan pelat lantai yang kemudian dikontrol terhadap lendutan izin maksimum.

Setelah dilakukan pengamatan visual berdasarkan perameter diatas, dapat diketahui kondisi keseluruhan bangunan dengan mengklasifikasikan kelas kerusakan pada elemen struktur. Berikut ditunjukkan pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Klasifikasi “Visual Damage”

KELAS ELEMEN TAMPAK PERMUKAAN TAMPAK STRUKTURAL Plesteran Warna Crazing Spalling Tulangan Retak Lendutan

1 Kolom Sedikit terkelupa s Normal Mulai

tampak Minor Tidak terekspos Tidak

ada Tidak ada

Pelat

Sedikit terkelupa s

Normal Mulai

tampak Minor Tidak terekspos

Tidak

ada Tidak ada

Balok

Sedikit terkelupa s

Normal Mulai

tampak Minor Sedikit terekspos

Tidak

ada Tidak ada

terlepas sudut 25% tetapi tidak tetekuk

ada

Pelat Banyak

terlepas Pink Tampak

Terlihat setempat Terekspos s/d 10% tetapi semua melekat Tidak

ada Tidak ada

Balok Banyak

terlepas Pink Tampak

Terbatas pada sudut-sudut dan bagian bawah Terekspos s/d 25% Tidak

ada Tidak ada

3

Kolom Total loss Buff/ Triable Tampak jelas Banyak pada sudut-sudut Terekspos s/d 50% tetapi tidak lebih dari 1 batang tertekuk Minor Tidak mencolok

Pelat Total loss Buff/ Triable Tampak jelas Banyak pada bagian bawah Terekspos s/d 20% tetapi semua melekat Kecil Tidak mencolok

Balok Total loss Buff/ Triable Tampak jelas Banyak pada sudut dan bagian bawah Terekspos s/d 50% tetapi tidak lebih dari 1 batang tertekuk Kecil Tidak mencolok (sumber: Sukamta, 2001)

2.4 Pengaruh Peningkatan Temperatur Terhadap Sifat Mekanis Beton

Pada temperatur tinggi, beton akan mengalami perubahan mikrostruktur atau perubahan komposisi penyusun beton dalam skala kecil yang disebabkan reaksi fisik maupun reaksi kimia dari material penyusun beton tersebut dan sejalan dengan peningkatan temperatur dan lama pemanasan. Untuk pemanasan pada temperatur 100 0C atau lebih, mulai terjadi penguapan air pada pori-pori beton yang secara bersamaan menyebabkan retak mikro pada dinding pori. Selanjutnya jika temperatur semakin meningkat pada temperatur antara 400-600 0C, akan terjadi reaksi dekomposisi C-S-H (Calcium Silicate Hydrate) atau kalsium silikat hidrat pada kandungan semen yang terurai menjadi kapur bebas CaO dan SiO2 yang menyebabkan penyusutan pasta semen. Unsur C-S-H merupakan partikel pengikat pada pasta semen yang mana jika reaksi dekomposisi

terus terjadi, juga akan menyebabkan terjadinya perbedaan pemuaian yang sangat besar antara agregat dan pasta semen sehingga retak mikro akan semakin melebar. Penyusutan pasta semen yang disusul dengan retak-retak mikro dalam beton pada pemanasan yang tinggi akan dapat meningkatkan porositas beton, sehingga kekuatan beton menjadi berkurang (Kumaat, 2003). Jika temperatur mencapai lebih dari 1000 0C, maka akan terjadi proses karbonasi yang membentuk unsur kalsium karbonat (CaCO3) yang berwarna keputihan yang memicu perubahan warna pada permukaan beton menjadi lebih terang. Pada kondisi ini, penurunan kekuatan telah mencapai batas terendah karena pengaruh penurunan lekatan antara agregat dan pasta semen secara menyeluruh yang ditandai banyaknya retak pada permukaan beton.

2.4.1 Kuat tekan beton

Perubahan sifat mekanis beton akibat peningkatan temperatur secara langsung akan mempengaruhi penurunan kuat tekan beton tergantung tingkat panas yang dialami serta durasi pemanasan saat kebakaran berlangsung. Menurut ACI 216R-89, kekuatan tekan beton yang mengalami peningkatan temperatur yang tinggi dan sesaat setelah didinginkan pada dasarnya dapat dibedakan berdasarkan tipe agregatnya, yaitu: agregat yang mengandung karbon, agregat yang mengandung silikat, dan agregat ringan. Kuat tekan beton berdasarkan tipe agregat tersebut ditunjukkan berdasarkan gambar berikut.

Grafik 2.1. Kuat Tekan Beton Dengan Agregat yang Mengandung Silika (ACI 216R-89)

Grafik 2.3. Kuat Tekan Beton Dengan Agregat yang Mengandung Karbon (ACI 216R-89)

Grafik 2.4. Hubungan Tegangan Regangan Beton Normal Tanpa Beban Aksial Pada Temperatur Tinggi (Bailey, 2008)

2.4.2 Modulus elastisitas dan modulus geser beton

Selain perubahan kuat tekan, perubahan sifat mekanis beton akibat temperatur tinggi terjadi pada modulus elastisitas dan modulus geser. Modulus elastisitas (E) didefinisikan sebagai perbandingan antara tegangan dan regangan,

yang mana nilainya berbanding lurus dengan kuat tekan beton. Sedangkan modulus geser atau modulus kekakuan (G) didefinisikan sebagai perbandingan tegangan geser dan regangan geser pada dimensi yang sama. Pada gambar di bawah ini dapat dilihat penurunan modulus elastisitas dan modulus geser beton normal untuk ketiga tipe agregat akibat temperatur tinggi. Besarnya penurunan mencapai 50% pada temperatur 300-400 0C dari kondisi semula.

Grafik 2.5. Modulus Elastisitas Beton Pada Temperatur Tinggi (ACI 216R-89)

Grafik 2.6. Modulus Geser Beton Pada Temperatur Tinggi (ACI 216R-89)

2.5 Pengaruh Peningkatan Temperatur Terhadap Sifat Mekanis Baja Tulangan

Material baja tulangan mengandung kadar karbon < 2% dengan titik lebur sekitar 1500 0C. Sama halnya dengan material metal lainnya, baja juga merupakan penghantar panas yang tinggi (high thermal conductivity). Kekuatan ultimit baja cenderung meningkat pada temperatur 300 0C, namun akan menurun seiring meningkatnya temperatur dan durasi pemanasan.

2.5.1 Kuat tarik baja tulangan

Proses pemanasan akibat kebakaran akan melepaskan senyawa karbon pada baja, sehingga kadar karbon semakin berkurang yang menyebabkan menurunnya

kekuatan baja tulangan menahan tarik, tetapi sebaliknya akan menambah nilai regangannya. Kriteria ini menunjukkan bahwa penurunan kadar karbon pada permukaan baja tulangan akan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan mikrostruktur yang sekaligus mempengaruhi perilaku material baja tulangan secara keseluruhan (Kumaat, 2003).

Grafik 2.7. Kuat Tarik Beberapa Jenis Baja Tulangan Pada Temperatur Tinggi (ACI 216R-89)

2.5.2 Modulus elastisitas baja tulangan

Penurunan modulus elastisitas baja tulangan dipengaruhi temperatur yang semakin meningkat pada saat terjadi kebakaran. Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa pada temperatur 400 0C, modulus elastisitas mulai menunjukkan penurunan yang signifikan. Pada saat mencapai temperatur 500 0C, penurunan terjadi semakin besar dan bersifat linear.

Grafik 2.8. Modulus Elastisitas Baja Tulangan Pada Temperatur Tinggi (ACI 216R-89)

2.6 Jenis dan Klasifikasi Kerusakan Struktur Beton Bertulang Pasca Kebakaran

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada berbagai kasus kerusakan struktur beton bertulang akibat kebakaran, tingkat kerusakan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

1) Kerusakan ringan

Kerusakan ini dapat dilihat berupa retak kecil dan pengelupasan pada plesteran luar beton, serta terjadinya perubahan warna menjadi gelap akibat asap kebakaran.

2) Kerusakan sedang

Kerusakan ini dapat dilihat berupa munculnya retak-retak ringan dengan kedalaman kurang dari 1 mm pada bagian luar beton. Retak-retak ini dipengaruhi oleh penyusutan yang terjadi pada pasta semen pada suhu 200 0

C atau lebih, sehingga menimbulkan tegangan lokal pada bidang batas antara pasta semen dan agregat. Hal ini juga akan mempengaruhi daya lekat kedua bahan tersebut menjadi berkurang yang menyebabkan timbulnya retak-retak tersebut.

3) Kerusakan berat

Pada kondisi ini, retak yang terjadi memiliki ukuran lebih lebar dan dalam dari sebelumnya dan letaknya banyak terlihat di dekat sambungan antara kolom dan balok. Retak yang terjadi pada balok kadang-kadang disertai dengan lendutan yang dapat dilihat jelas secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh kebakaran dapat mengurangi kekuatan struktur secara signifikan.

4) Kerusakan sangat berat

Kerusakan ini merupakan kondisi kritis yang dialami oleh struktur, dimana retak banyak terjadi pada seluruh komponen struktur beton bertulang. Hal ini dapat dilihat dari permukaan beton yang pecah/terkelupas sehinggga baja tulangan dapat terlihat, atau bahkan baja tulangan sampai putus atau tertekuk. Pada kondisi ekstrim, beton inti bisa hancur yang memungkinkan terjadinya keruntuhan struktur (collapse) keseluruhan bangunan.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel di lapangan dan pengujian di laboratorium berdasarkan kajian pustaka dari standar lokal, yaitu Surat Keputusan Standar Nasional Indonesia (SK SNI) maupun standar Asing, yaitu

American Concrete Institute (ACI).

Sampel yang diuji berupa sampel beton dan baja tulangan yang diambil langsung di lapangan. Sampel beton yang diuji berbentuk silinder dengan perbandingan diameter dan tinggi adalah 1:1, yang mana ukuran diameter dan tinggi adalah 4 inci. Sampel beton ini diambil pada titik lokasi yang berbeda, dimana pada kolom dan balok di lantai 3 diambil masing-masing 1 buah. Hal serupa juga dilakukan di lantai 2, sehingga total keseluruhan sampel beton yang diambil berjumlah 4 buah. Untuk sampel baja tulangan, diambil dengan panjang 30 cm. Sampel baja tulangan ini diambil di kolom lantai 3 dimana titik yang dianggap paling lemah berdasarkan gejala yang terlihat pada kolom berupa banyaknya spalling, crazing hingga retak yang terjadi pada permukaan kolom. Sampel yang diambil masing-masing 1 buah, yaitu pada tulangan utama (longitudinal) dan tulangan sengkang, sehingga total keseluruhan sampel baja tulangan yang diambil berjumlah 2 buah.

Sampel beton yang diambil sebelumnya diratakan permukaannya pada kedua sisi atas dan bawah, kemudian dilakukan pengujian di laboratorium dengan

alat Compression Testing Machine (CTM) kapasitas 2000 kN. Untuk sampel baja tulangan yang telah diambil disesuaikan dengan ukuran panjang yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu panjang 30 cm, kemudian dilakukan pengujian di laboratorium denga alat Universal Testing Machine (UTM).

Lokasi penelitian untuk pengujian kuat tekan beton dan uji tarik baja tulangan dilakukan di tempat berbeda. Untuk pengujian kuat tekan beton dilakukan di Laboratorium Bahan Rekayasa Universitas Sumatera Utara, sedangkan untuk pengujian kuat tarik baja tulangan dilakukan di Laboratorium/bengkel Mesin Politeknik Negeri Medan.

3.2 Bagan Alir Penelitian

Studi Literatur Kunjungan dan Observasi Lapangan

Pengumpulan Data Sekunder:

 Kronologis dan durasi kebakaran

 Pengukuran dimensi elemen struktur di lapangan

 Fungsi setiap lantai bangunan

 Denah eksisting bangunan

Pengujian dan Pengambilan Sampel di Lapangan:

 Uji kuat tekan dengan Rebound Hammer.

Lantai 3 : 4 titik pada kolom, 7 titik pada balok, dan 7 titik pada pelat atap.

Lantai 2 : 2 titik pada kolom dan 2 titik pada balok.

 Pengambilan sampel beton dengan

Core Drill.

Lantai 3 : 1 sampel pada kolom dan 1 sampel pada balok. Lantai 2 : 1 sampel pada kolom dan 1 sampel pada balok.

 Pengambil sampel baja tulangan. Sampel sebanyak 2 buah. Masing-masing 1 buah untuk tulangan utama dan sengkang pada kolom.

Pengujian di Laboratorium:

 Uji kuat tekan dengan

Compression Testing Machine (CTM) kapasitas 2000 kN.

 Uji baja tulangan dengan

Universal Testing Machine (UTM) kapasitas 100 kN. Mulai

Gambar 3.1. Bagan Alir Penelitian

TIDAK

YA

Rekomendasi Metode Perkuatan dan Material yang Digunakan

Rancangan Perkuatan Kapasitas

Elemen Struktur OK?

Perhitungan Analisa Struktur Gedung dengan menggunakan SAP 2000 versi 14

Selesai

A

Analisis Data Metode Perkuatan dengan Carbon-FRP Metode Perkuatan dengan Concrete Jacketing

3.3 Pengujian Karakteristik Beton Dengan Rebound Hammer

Pengujian dengan alat palu beton atau Hammer ini dimaksudkan untuk

Dokumen terkait