• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dry socket adalah salah satu komplikasi yang dapat terjadi setelah pencabutan gigi, baik pencabutan secara sederhana maupun pencabutan yang dilakukan dengan cara pembedahan. Dry socket biasanya terjadi 2-3 hari setelah pencabutan yang ditandai dengan rasa nyeri yang hebat pada soket bekas pencabutan gigi dan biasanya menyebar sampai ke telinga. Dari penelitian yang dilakukan di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU didapat bahwa prevalensi dry socket pada tahun 2014 sebesar 0,9% dari 3.417 kasus pencabutan gigi dan pada tahun 2015 sebesar 0,7% dari 3.778 kasus pencabutan gigi. Dari penelitian ini juga didapatkan prevalensi dry socket pada rahang atas dan rahang bawah yaitu, pada tahun 2014 prevalensi dry socket pada rahang atas sebesar 45,5% dan pada rahang bawah sebesar 54,5%. Sedangkan pada tahun 2015 prevalensi dry socket pada rahang atas sebesar 35,7% dan pada rahang bawah sebesar 64,3%. Dari penelitian ini didapat kesimpulan bahwa prevelensi terbesar terdapat pada rahang bawah.

6.2 Saran

1. Diharapkan penelitian dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di kedokteran gigi dan perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat prevalensi dry socket berdasarkan faktor resiko lainnya.

2. Berdasarkan hasil penelitian prevalensi dry socket pada rahang atas dan rahang bawah pada tahun 2014 dan 2015 sudah mengalami penurunan, namun sangat diharapkan prevalensi tersebut dapat ditekan menjadi lebih kecil lagi.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencabutan Gigi

Pencabutan gigi adalah prosedur yang menggabungkan prinsip-prinsip bedah dan mekanik fisik dasar. Pencabutan gigi juga melibatkan penggunakan kekuatan yang dikendalikan dengan cara sedemikian rupa. Ketika prinsip-prinsip ini diterapkan dengan benar, gigi biasanya dapat dicabut dari tulang alveolar.9,10

Pencabutan gigi yang ideal didefinisikan sebagai minimalnya rasa sakit pencabutan gigi dan minimalnya trauma ke jaringan, sehingga luka dapat sembuh tanpa masalah pasca pencabutan gigi.1

Pencabutan gigi dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu yang pertama dengan teknik tertutup atau intra alveolar, pada teknik ini pencabutan gigi dilakukan dengan cara yang sederhana dengan kekuatan yang terkontrol. Teknik yang kedua adalah dengan teknik terbuka atau transalveolar, pada teknik ini pencabutan gigi dilakukan dengan cara pembedahan. Pencabutan gigi dengan pembedahan dilakukan apabila pencabutan dengan teknik tertutup tidak dapat dilakukan. Tahap-tahap pembedahan biasanya relatif sama, yaitu diawali dengan pembuatan flep, lalu pengambilan tulang, kemudian pengambilan gigi. Pengambilan gigi dapat dilakukan secara utuh atau separasi. Pada akhir pembedahan jaringan lunak dikembalikan ke tempatnya dengan cara penjahitan.1,9,10

2.2 Proses Penyembuhan Soket

Proses penyembuhan soket pencabutan gigi hampir sama dengan penyembuhan secara umum, hanya saja ada sedikit karakteristik khusus karena melibatkan tulang dan jaringan lunak. Tahap penyembuhan dari soket setelah pencabutan gigi adalah: 1. Sesaat setelah dilakukan pencabutan gigi, soket akan diisi dengan darah dari pembuluh darah yang terputus, yang mengandung protein dan sel-sel yang rusak. Sel-sel yang rusak bersama dengan platelet memulai serangkaian peristiwa yang

mengarah pada pembentukan jaringan fibrin, kemuadian membentuk gumpalan darah atau koagulum dalam 24 jam pertama. Gumpalan ini bertindak sebagai matriks yang mengarahkan perpindahan sel mesenkimal dan growth factors.

2. Pada minggu pertama, fase inflamasi akan terjadi, sel darah putih masuk ke soket untuk menghilangkan bakteri dan mulai menghilangkan debris seperti fragmen tulang yang tersisa di dalam soket. Tahap fibroplasia juga dimulai pada minggu pertama dengan pertumbuhan yang belum sempurna dari fibroblas dan pembuluh kapiler. Epitel bermigrasi ke dinding soket sampai berkontak dengan epitel dari sisi lain dari soket (jaringan terisi dengan pembuluh kapiler dan fibroblas yang belum matang). Selama minggu pertama penyembuhan, osteoklas berakumulasi di pada puncak tulang alveolar.

3. Pada minggu kedua, penyembuhan ditandai dengan banyaknya jaringan granulasi yang mengisi soket. Deposisi osteoid telah dimulai di sepanjang lapisan tulang alveolar pada soket.

4. Pada minggu ketiga penyembuhan, proses penyembuhan yang terjadi pada minggu kedua akan terus berlanjut dengan epitelisasi pada soket sudah sempurna pada minggu ini. Tulang kortikal akan diresorpsi dari puncak dan dinding soket dan tulang trabekula terbentuk pada soket.

5. Setelah 4 atau 6 bulan pasca pencabutan gigi, tulang kortikal sepenuhnya akan diresorpsi, epitel bergerak ke arah puncak dan akhirnya menjadi sejajar dengan puncak gingiva yang berdekatan.10

2.3 Komplikasi Pencabutan Gigi

Berikut ini beberapa komplikasi dari pencabutan gigi, yaitu : 1. Cedera jaringan lunak

a. Laserasi flep mukosa

Cedera jaringan lunak yang paling umum adalah laserasi flep mukosa selama pencabutan gigi. Ini biasanya dikarenakan ukuran flep yang tidak tepat, sehingga jaringan tertarik dan dipaksa untuk meregang mengakibatkan laserasi flep.

b. Luka tusuk

Instrumen di bidang bedah, seperti elevator dapat tergelincir ketika digunakan dan dapat menusuk atau merobek jaringan lunak yang berdekatan. Cedera ini dikarenakan kita menggunakan kekuatan yang tidak terkendali.

2. Masalah dengan gigi yang diekstraksi a. Fraktur akar

Akar yang melengkung susah untuk dilakukan pencabutan dan dapat menyebabkan ketika dicabut mengalami fraktur.

b. Perpindahan akar gigi

Akar gigi molar rahang atas, terkadang dapat masuk ke sinus maksila. Jika akar gigi molar maksila dicabut dengan menggunakan elevator dengan tekanan yang berlebih ke arah apikal, akar gigi dapat masuk ke sinus maksila

c. Gigi hilang ke orofaring

Terkadang ketika pencabutan gigi, gigi dapat masuk ke dalam orofaring. 3. Cedera gigi yang berdekatan

a. Fraktur dari restorsi yang berdekatan

Cedera paling umum untuk gigi yang berdekatan adalah fraktur dari restorasi dan gigi dengan karies yang parah, ini terjadi ketika dokter gigi berupaya untuk meluksasi gigi yang akan dicabut dengan menggunakan elevator.

b. Dislokasi dari gigi yang berdekatan

Dislokasi dari gigi yang berdekatan selama pencabutan ini dapat dihindari dengan menggunakan elevator yang tepat.

c. Ekstraksi gigi salah

Mencabut gigi yang salah ini biasanya terjadi ketika dokter gigi diminta untuk mencabut gigi dengan tujuan ortodonti, terutama dari pasien yang berada dalam tahap pertumbuhan gigi bercampur.

4. Cedera tulang

a. Fraktur tulang alveolar

Pencabutan gigi mengindikasikan untuk pengambilan tulang alveolar sebagian untuk menghilangkan hambatan ketika pencabutan gigi. Namun, dalam beberapa

situasi, tulang alveolar dapat mengalami fraktur dan tercabut bersama dengan gigi. Penyebab dari fraktur tulang alveolar adalah penggunaan kekuatan yang berlebihan, yang mana fraktur tulang sebagian besar dari cortical plate.

b. Fraktur tuberositas maksila

Fraktur tuberositas maksila terkadang dapat terjadi karena penggunaan elevator yang tidak terkontrol.

5. Cedera struktur yang berdekatan a. Cedera syaraf

Cabang-cabang syaraf kranial kelima yang mensyarafi pada mukosa dan kulit. Cabang tertentu yang paling sering terlibat adalah syaraf mental dan lingual. Jika pencabutan dilakukan pada area syaraf mental dan foramen mental harus dilakukan dengan hati-hati. Jika syaraf ini terluka akan mengalami parastesi pada bibir dan dagu. Syaraf lingual yang secara anatomis terletak langsung terhadap aspek lingual mandibula di wilayah retromolar pad. Syaraf lingual jarang beregenerasi jika mengalami trauma. Syaraf alveolar inferior dapat mengalami trauma sepanjang kanalnya. Tempat yang paling umum dari cedera adalah area molar ketiga rahang bawah. Pencabutan molar ketiga yang impaksi dapat mencederai saraf di kanalnya. b. Cedera pada sendi temporomandibula

Sendi temporomandibula dapat mengalami trauma ketika pencabutan gigi mandibula. Pencabutan gigi molar mandibula sering membutuhkan kekuatan yang besar. Jika rahang tidak cukup didukung selama ekstraksi, pasien mungkin mengalami rasa sakit pada daerah ini.

6. Perdarahan pasca bedah

Ekstraksi gigi adalah prosedur pembedahan yang menghadirkan tantangan berat untuk mekanisme hemostatik bagi tubuh. Pertama, jaringan mulut dan rahang sangat vaskular. Kedua, pasien cenderung memainkan lidah pada daerah bekas pencabutan dan kadang-kadang mengeluarkan gumpalan darah, yang memulai perdarahan sekunder. Lidah juga dapat menyebabkan perdarahan sekunder dengan menciptakan tekanan negatif yang menghisap bekuan darah dari soket. Ketiga, obat-obatan seperti

antikoagulan dapat menyebabkan perdarahan setelah pencabutan. Keempat, beberapa penyakit sistemik juga dapat menyebabkan perdarahan.

7. Penyembuhan yang tertunda dan infeksi a. Infeksi

Infeksi disebabkan karena masuknya mikroorganisme yang patogen. b. Wound dehiscence

Jika flep jaringan lunak dikembalikan ke posisi semula dan dijahit tanpa landasan tulang yang memadai, flep jaringan lunak yang tidak didukung sering mengendur dan terpisah sepanjang garis sayatan. Penyebab kedua dari wound dehiscence adalah menjahit dibawah tegangan, jahitan menyebabkan iskemia dari flep margin dengan nekrosis jaringan berikutnya, ini yang menungkinkan jahitan untuk tertarik sepanjang flep margin dan meyebabkan wound dehiscence.

c. Dry socket

Pada pemeriksaan, soket gigi tampak kosong dengan bekuan darah sebagian atau seluruhnya hilang dan permukaan tulang alveolar terlihat.9,10

2.4 Dry Socket

Dry socket merupakan komplikasi paling umum setelah pencabutan gigi. Dry socket terjadi karena disintegrasi bekuan darah dengan fibrinolisis. Dry socket didefinisikan sebagai nyeri pasca pencabutan gigi di dalam dan disekitar lokasi pencabutan gigi dan rasa nyeri ini meningkat keparahannya pada setiap waktu antara hari kedua sampai hari ketiga setelah pencabutan gigi, disertai dengan hancurnya gumpalan darah sebagian atau seluruhnya akibatnya tulang alveolar terekspos.11-14

2.4.1 Etiologi dan Patofisiologi

Etiologi dari dry socket multifaktorial dan sampai saat ini masih belum jelas diketahui, tetapi terdapat beberapa faktor predisposisi. Etiologi yang diketahui adalah terjadinya peningkatan aktivitas fibrinolisis sehingga melarutkan bekuan darah yang sudah terbentuk.

Birn mengungkapkan dua teori terjadinya dry socket, yaitu: 1. Teori fibrinolitik

Studi klinis dan eksperimental Birn telah menjelasakan mengenai peningkatan aktivitas lokal fibrinolitik sebagai faktor terjadinya dry socket. Birn mengamati terjadinya peningkatan aktivitas fibrinolitik pada alveolus dengan dry socket dibandingkan dengan alveolus normal. Birn memperkuat pernyataannya bahwa lisis total atau sebagian dan hancurnya bekuan darah disebabkan oleh pelepasan mediator selama inflamasi oleh aktivasi plasminogen direct atau indirect ke dalam darah.

Ketika mediator dilepaskan oleh sel-sel pada tulang alveolar pasca trauma, plasminogen akan berubah menjadi plasmin yang menyebabkan pecahnya bekuan darah oleh disintegrasi fibrin. Perubahan ini terjadi oleh adanya proaktivator selular atau plasmatik atau aktivator lainnya. Aktivator-aktivator tersebut diklasifikasikan menjadi direct (fisiologik) dan indirect (nonfisiologik) aktivator dan juga telah dibagi ke dalam subklasifikasi berdasarkan sumbernya, yaitu aktivator intrinsik dan ekstrinsik.

Aktivator direct intrinsik berasal dari komponen plasma seperti aktivator faktor XII dan urokinase. Direct aktivator ekstrinsik berasal dari luar plasma dan termasuk aktivator jaringan dan plasminogen endothelial. Indirect aktivator termasuk streptokinase dan stafilokinase. Substansi-substansinya dihasilkan dari interaksi antara bakteri dengan plasminogen dan bentuk aktivator kompleks tersebut yang mengubah plasminogen menjadi plasmin.

Rasa sakit yang khas pada dry socket berhubungan dengan pembentukan senyawa kinin di dalam alveolus. Kinin mengaktifkan terminal nervus primer afferen yang peka terhadap mediator inflamasi dan substansi allogenik lainnya yang pada konsentrasi 1ng/ml dapat menyebabkan rasa sakit yang hebat. Plasmin juga

menyebabkan perubahan kallikrein menjadi kinin di dalam sumsum tulang alveolar. Sehingga, adanya plasmin dapat menjelaskan kemungkinan terjadinya dry socket dari berbagai aspek.1,4,13,15

2. Teori bakterial

Teori ini didukung dengan adanya jumlah yang tinggi dari bakteri disekitar lokasi pencabutan gigi pada pasien yang menderita dry socket dibandingkan dengan yang tidak menderita dry socket. Mikroorganisme anaerob umumnya ditemukan dan nyeri alveolar adalah karena efek dari racun bakteri pada ujung syaraf alveolar. Dry socket juga lebih sering terjadi pada pasien dengan oral hygiene yang buruk.

Sebuah penelitian mengemukakan bahwa bakteri anaerob penyebab terjadinya dry socket yang dilihat dari aktivitas fibrinolitik dari bakteri treponema denticola. Actinomyces viscous dan streptococcus mutans dapat memperlambat penyembuhan pasca pencabutan gigi.1

2.4.2 Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari dry socket adalah : 1,4,6,12,15-18

1. Dry socket ditandai dengan timbulnya rasa nyeri antara hari kedua sampai ketiga, rasa nyeri ini menyebar sampai ke telinga dan leher.

2. Soket kosong yang tidak memiliki gumpalan darah dan tulang alveolar terlihat. Soket dapat terisi oleh sisa-sisa makanan dan air liur.

3. Permukaan tulang sangat sensitif, ditutupi oleh lapisan kuning keabu-abuan dan jaringan nekrotik.

4. Oedema disekitar gingiva 5. Bau mulut

2.4.3 Faktor Predisposisi 1. Daerah tempat ekstraksi

Dry socket lebih sering terjadi pada rahang bawah daripada rahang atas karena tulang kortikal pada rahang bawah tebal yang mengakibatkan perforasi pasokan darah

pada rahang bawah sedikit. Hal ini lebih sering terjadi pada pencabutan gigi molar ketiga.

2. Jenis kelamin

Dry socket lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki karena kemungkinan penyebab hormon.

3. Usia

Sebagian besar literatur menyatakan bahwa dry socket lebih sering terjadi pada kelompok usia 30 dan 40 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Umar K dkk (2012), menyatakan bahwa dry socket terjadi sebesar 2,2% pada usia 11-20 tahun, 22,2% pada usia 21-30 tahun, 36,6% terjadi pada usia 31-40 tahun, 16,7% terjadi pada usia 41-50 tahun, 13,4% pada usia 51-60 tahun dan 8,9% pada usia lebih dari 60 tahun. Dry socket lebih sering terjadi pada usia 31-40 tahun dikarenakan pembentukan tulang alveolar sudah sempurna dan banyak terjadi penyakit periodontal sehingga adanya trauma pencabutan yang kemungkinan menimbulkan terjadinya dry socket. 4. Trauma

Trauma bedah yang cukup besar menyebabkan tulang alveolar melepaskan aktivator-aktivator jaringan dan mengubah plasminogen menjadi plasmin yang menghancurkan bekuan fibrin sehingga soket kering dan terasa nyeri.

5. Merokok

Merokok menyebabkan kemotaksis neutrofil dan fagositosis sehinga mengganggu produksi immunoglobulin. Nikotin dalam tembakau diserap melalui enterococcus, streptococcus viridians, bacillus coryneform, proteus vulgaris, pseudomonas aeruginosa, citrobacter freundi, escheria coli ke mukosa mulut. Nikotin dapat mengganggu suplai oksigen yang menyebabkan berkurangnya aliran darah pada jaringan, sehingga resiko dry socket semakin besar.

6. Vasokonstriktor

Vasokonstriktor dalam anastesi lokal yang digunakan untuk pencabutan gigi juga dapat menyebabkan dry socket. Vasokonstriktor menyebabkan iskemia lokal sementara yang meningkatkan resiko dry socket.

7. Mikroorganisme

Tertundanya penyembuhan dapat terjadi karena adanya mikroorganisme. Nisan et al (1983) menyatakan bahwa bakteri anaerob treponema denticola menunjukkan plasminogen seperti aktivitas fibrinolisis.

8. Kontrasepsi oral

Lily (2014) mengamati bahwa dry socket terjadi tiga kali lebih sering pada wanita yang mengkonsumsi obat kontrasepsi oral dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsi. Kontasepsi oral meningkatkan aktivitas fibrinolitik yang mempengaruhi stabilitas bekuan darah setelah pencabutan gigi. Kontrasepsi oral meningkatkan faktor II, VII, VIII, X dan plasminogen sehingga meningkatkan lisis dari bekuan darah.

9. Radioterapi

Radioterapi head and neck menurunkan suplai darah ke mandibula.8,13,18-20

2.4.4 Pencegahan

Ada beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya dry socket, yaitu:

1. Lakukan pembersihan rongga mulut sebelum operasi untuk mengurangi jumlah plak di dalam rongga mulut.

2. Riwayat klinis dan pemeriksaan radiografi disarankan khususnya pada pencabutan gigi yang sulit.

3. Profilaksis antibiotik yang tepat untuk pasien immunocompromise, pencabutan molar tiga yang sulit dan pada pasien dengan riwayat perikoronitis.

4. Untuk pasien yang merokok disarankan sebelum dan sesudah operasi untuk tidak merokok.

5. Bagi pasien wanita yang mengkonsumsi obat kontrasepsi oral, pencabutan gigi harus dilakukan pada hari ke 23 melalui 28 siklus tablet.

6. Disarankan untuk tidak berkumur-kumur terlalu keras dan menyikat gigi dengan lembut.

7. Penggunaan klorheksidin

Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa penggunaan pra dan perioperatif dari 0,12% klorheksidin dapat mengurangi frekuensi terjadinya dry socket setelah pencabutan molar tiga rahang bawah.1

2.4.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dry socket dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Irigasi

Irigasi soket dengan normal salin dan pemberian analgesik yang potensial telah digunakan dalam penatalaksanaan dry socket. Pemeliharaan kebersihan rongga mulut yang baik dan berkumur dengan normal salin hangat membantu dalam penyembuhan soket. Irigasi soket dengan larutan salin berguna untuk membuang fragmen gigi dan tulang, membuang jaringan nekrotik dan debris makanan. Nyeri dapat dikontrol dengan pemberian analgesik yang potensial.4,15

2. Medicated dressing

Turner berpendapat bahwa kemasan dari soket dapat menunda penyembuhan luka dan meningkatkan kemungkinan infeksi. Fazakerley dan Field menyarankan pelepasan jahitan lalu irigasi dengan larutan salin hangat dibawah anastesi lokal sebelum aplikasi dari bahan dressing. Bahan dressing mengandung zinc oxide, eugenol, anastetik dan antibiotik diaplikasikan ke kasa. Setiap 2-3 hari, kasa harus diganti dan dilepas setelah nyeri reda. 1,4,13,15

2.5 Kerangka Teori

Pencabutan Gigi

Proses Penyembuhan Soket

Komplikasi Pencabutan Gigi

Dry Socket

Etiologi dan Gambaran Faktor Pencegahan Penatalaksanaan Patofisiologi Klinis Predisposisi

2.6 Kerangka Konsep

Prevalensi Dry Socket

Prevalensi pada Prevalensi pada rahang atas rahang bawah

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pencabutan gigi merupakan hal yang paling umum akan dilakukan oleh seorang dokter gigi. Pencabutan gigi yang ideal didefinisikan sebagai minimalnya rasa sakit ketika pencabutan gigi dan minimalnya trauma ke jaringan, sehingga luka dapat sembuh tanpa masalah pasca pencabutan gigi. Namun dalam melakukan pencabutan gigi dapat mengalami kesulitan yang kemudian menimbulkan komplikasi pasca pencabutan gigi.1

Ada beberapa hal yang dapat terjadi pada pasien pasca pencabutan gigi, seperti perdarahan, pembengkakan, infeksi, dry socket, perforasi sinus, ujung akar di sinus maksilaris, cedera saraf, dll.2

Dry socket pertama kali dijelaskan oleh Crawford pada tahun 1896. Nama dry socket digunakan karena soket memiliki penampilan yang kering setelah bekuan darah dan debris hilang. Istilah lain yang digunakan adalah osteitis alveolar, alveolitis, localized osteitis, alveolitis sicca dolorosa, localized alveolar osteitis, fibrinolytic alveolitis, socket septic, necrotic socket, alveolagia.3,4

Dry socket merupakan komplikasi yang paling umum setelah pencabutan gigi. Dry socket adalah peradangan akut pada tulang alveolar di sekitar gigi yang diekstraksi dan ditandai dengan sakit parah, kerusakan bekuan darah dalam soket membuat soket kosong dan sering penuh dengan sisa-sisa makanan, bau tidak sedap pada mulut, terpaparnya tulang, dan timbul gejala pembengkakan ringan di sekitar gingiva.1,5,6 Biasanya rasa sakit dimulai hari kedua atau ketiga pasca ekstraksi, tapi ketika nyeri menjadi lebih buruk dan terus terjadi melebihi satu minggu setelah prosedur dan soket tidak ada tanda penyembuhan maka terjadi dry socket.1,5

Ada beberapa faktor predisposisi terjadinya dry socket, yaitu daerah tempat pencabutan gigi, mengkonsumsi obat kontrasepsi oral, jenis kelamin, merokok, trauma, mikroorganisme dan usia.1,3

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khitab U dkk (2012), berdasarkan data pada klinik pribadi di Mardan dari Januari 2008 sampai Maret 2011 terdapat 90 pasien mengalami dry socket, dimana berdasarkan rahang, bahwa dry socket lebih sering terjadi pada rahang bawah daripada rahang atas, dengan persentase pada rahang bawah sebesar 73,3% dan pada rahang atas sebesar 26,7%.3

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Uphadaya C dkk (2010), berdasarkan data dari Januari 2007 – Desember 2008, dengan total 2.640 gigi permanen yang diekstraksi yang berasal dari 1.640 total pasien. Dimana berdasarkan rahang, rahang bawah lebih terlibat dibandingkan dengan rahang atas, dengan persentase pada rahang bawah sebesar 60,22% (1590 pasien) dan pada rahang atas sebesar 39,77% (1050 pasien).7

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Momeni H dkk (2011), yaitu dari bulan Mei sampai Juni 2010, memiliki hasil 28 pasien dari total 4.779 pasien didiagnosis dengan dry socket. Dimana berdasarkan rahang, rahang bawah lebih terlibat dibandingkan dengan rahang atas, dengan persentase pada rahang bawah sebesar 0,07% dan pada rahang atas sebesar 0,05%.8

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai prevalensi dry socket pada rahang atas dan rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU.

1.2 Rumusan Masalah

1. Berapa prevalensi dry socket di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015?

2. Berapa prevalensi dry socket pada rahang atas di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015?

3. Berapa prevalensi dry socket pada rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui prevalensi dry socket di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui prevalensi dry socket pada rahang atas di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015.

2. Mengetahui prevalensi dry socket pada rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Dapat mengetahui prevalensi dry socket pada rahang atas dan rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015.

2. Dapat menjadi masukan tentang perencanaan program pelayanan kesehatan gigi dan mulut khususnya dalam hal komplikasi pasca pencabutan gigi, yaitu dry socket di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU.

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pencabutan gigi merupakan hal yang paling umum akan dilakukan oleh seorang dokter gigi. Pencabutan gigi yang ideal didefinisikan sebagai minimalnya rasa sakit ketika pencabutan gigi dan minimalnya trauma ke jaringan, sehingga luka dapat sembuh tanpa masalah pasca pencabutan gigi. Namun dalam melakukan pencabutan gigi dapat mengalami kesulitan yang kemudian menimbulkan komplikasi pasca pencabutan gigi.1

Ada beberapa hal yang dapat terjadi pada pasien pasca pencabutan gigi, seperti perdarahan, pembengkakan, infeksi, dry socket, perforasi sinus, ujung akar di sinus

Dokumen terkait