• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Status kebersihan rongga mulut seluruh anak sindrom Down usia 6-18 tahun yang bersekolah di SLB-C Kota Medan memiliki rerata status kebersihan rongga mulut 2,20 ± 1,19 dengan kategori sedang.

2. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan status kebersihan rongga mulut.

3. Rerata OHIS kelompok usia 13-18 tahun lebih tinggi dibandingkan kelompok usia 6-12 tahun pada anak sindrom Down. Pada penelitian ini, ditemukan adanya hubungan antara usia dengan kebersihan rongga mulut.

4. Berdasarkan kebutuhan perawatan periodontal, anak sindrom Down paling banyak membutuhkan perawatan perbaikan OHIS dan skeling.

6.2 Saran

1. Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini adalah jumlah sampel yang sangat terbatas yang disebabkan sulitnya izin penelitian terhadap sekolah maupun izin dari orang tua subjek penelitian. Oleh karena itu, dibutuhkan cakupan yang lebih luas dan kerjasama dengan pemerintah maupun sekolah luar biasa sehingga diharapkan jumlah sampel dapat bertambah banyak.

2. Diharapkan melalui hasil penelitian ini, orang tua maupun pengawas anak dapat lebih memperhatikan kebersihan rongga mulut dan kondisi periodontal karena seperti yang telah diketahui, bahwa rongga mulut dapat menjadi tempat asal penyebaran infeksi dan berkumpulnya bakteri.

3. Ada baiknya bila sekolah luar biasa melaksanakan suatu kegiatan sikat gigi bersama setiap pagi dengan memandu sekaligus mengajari anak menyikat gigi sehingga diharapkan status oral hygiene anak menjadi lebih baik.

4. Diharapkan orang tua dapat lebih sering memeriksakan kesehatan gigi dan mulut anak ke dokter gigi agar dapat membiasakan anak sehingga kedepannya anak terbiasa dan tidak takut lagi ke dokter gigi. Hal ini bertujuan agar dapat dilakukan perawatan gigi dan rongga mulut pada anak.

5. Ada baiknya apabila pemerintah, tenaga medis, dan institusi kesehatan mempunyai program dalam bidang kesehatan gigi dan mulut untuk melakukan penyuluhan berkala ke sekolah luar biasa beserta orang tua maupun pengawas anak sehingga masyarakat dapat memperoleh pengetahuan tentang cara menjaga kesehatan gigi dan rongga mulut.

6. Diharapkan hasil penelitian dapat menjadi bantuan bagi peneliti lainnya unuk melakukan penelitian hubungan penyakit periodontal terhadap kualitas hidup anak sindrom Down.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Down

Sindrom Down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Menurut Lejeune, dkk penyebab utama sindrom Down adalah trisomi 21. Berdasarkan hasil penelitian bahwa terjadi mutasi gen pada kromosom 21, dimana terdapat tambahan bagian pada kromosom tersebut. Sindrom Down merupakan salah satu kelainan kromosom dengan insiden 0,3 – 3,4 dalam 1000 kelahiran pada beberapa bagian di dunia dan merupakan penyebab umum dari 25-30% retardasi mental di dunia. Risiko mempunyai anak dengan sindrom Down pada usia ibu 30 adalah 1:1000 kelahiran, sementara untuk usia 40 adalah 9:1000. Peningkatan usia ibu saat kehamilan sangat menentukan terhadap risiko terjadinya kelainan kromosom pada sindrom Down.1,3,4

2.2 Penyebab Sindrom Down

Sindrom Down terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia. Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan hingga jumlahnya menjadi 46. Pada penderita sindrom Down, kromosom 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga totalnya menjadi 47 kromosom. Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat berupa kromosom bebas yaitu trisomi 21 murni, bagian dari fusi translokasi Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan kromosom akrosentrik lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian dari translokasi resiprokal yaitu timbal balik dengan kromosom lain.9

Faktor-faktor yang berperan terjadinya kelainan kromosom adalah penuaan sel telur wanita,bahwa ada pengaruh intrinksik maupunekstrinsik dalam sel induk, yang menyebabkan pembelahan selama fase meiosis menjadi non-disjunction. Sel telur wanita telah dibentuk pada saatmasih dalam kandungan yang akandimatangkan satu

per satu setiap bulan pada saat wanita tersebut mengalami menstruasi. Pada saat wanita menjaditua kondisi sel telur tersebut kadang-kadangmenjadi kurang baik dan pada waktu dibuahi oleh spermatozoa, sel benih ini mengalami pembelahan yang salah. Seterusnya disebabkan keterlambatan pembuahan, akibat penurunan frekuensi bersenggama pada pasangan tua. Faktor terakhir adalah disebabkan penuaan sel spermatozoa laki-laki pematangan sperma dalam alat reproduksi pria, yang berhubungan dengan akibat penurunan frekuensi bersenggama, berperan dalam efek ekstra kromosom 21 yang berasal dari ayah. Karyotype merupakan susunan kromosom individu berdasarkan panjang dan bentuknya. Karyotype individu dengan trisomi 21 digambarkan pada Gambar 1.4,9-10

Gambar 1. Karyotype individu dengan trisomi 2110

2.3 Ciri-ciri Anak Sindrom Down

Tanda-tanda dan gejala klinis dari sindrom Down dapat bervariasi pada setiap anak. Beberapa orang mungkin memiliki gejala yang parah, sementara yang lain mungkin mengalami yang lebih ringan. Terdapat beberapa ciri-ciri yang dimiliki oleh anak sindrom Down yang membedakan mereka dengan anak yang normal. Sindrom Down memiliki wajah yang khas yaitu wajah mongoloid akibat displasia pada tengah wajah yang sangat mudah dikenali. Selain itu, kepala yang kecil dan belakang kepala yang agak datar dikenali brakisefali, hidung yang kecil dengan jembatan hidung yang datar, kulit berlebih pada pangkal leher dan badan yang sangat hiperfleksibilitas.3

Selain itu, garis kelopak mata yang miring dengan epicanthic lipatan kulit di sudut dalam mata dan terdapat bintik-bintik putih di iris mata yang dikenal sebagai bintik-bintik Brushfield. Malformasi telinga pada anak sindrom Down dimana bentuk telinga yang kecil, letak telinga yang rendah (low seat ear) dan kecil. Selain itu, ruang antara jari kaki pertama dan kedua besar, tonus otot yang lemah, jari kelingking pendek atau bengkok ke dalam, tangan atau kaki pendek tapi lebar, garis palmaris tangan yang khas.1,3

Manifestasi oral yang terjadi pada anak sindrom Down adalah anak sindrom Down memiliki bibir tebal yang tidak kompeten sehingga mulut mereka terbuka, dengan bibir atas dan bawah tidak kontak satu sama lain. Selain itu, makroglosia juga dijumpai dimana lidah kelihatan besar dan menjulur keluar dari mulut anak tersebut. Palatum pada anak sindrom Down berbentuk kubah dan sempit dimana palatum keras memiliki ketebalan yang abnormal, mengakibatkan kekurangan ruangan bagi lidah dalam rongga mulut sehingga mengganggu percakapan dan proses mastikasi pada anak sindrom Down.11,12

2.4 Anomali Gigi pada Anak Sindrom Down

Anak sindrom Down memiliki kelainan bentuk dan struktur gigi yang mengakibatkan kebersihan rongga mulut mereka tidak dapat dijaga dengan baik. Ciri-ciri anomali gigi meliputi mikrodontia, hipodonsia, agenesis, parsial anodonsia, dan maloklusi. Terlambatnya erupsi gigi sulung juga terjadi pada anak sindrom Down. Diastema turut muncul karena adanya mikrodonsia dan bisa dikoreksi dengan restorasi gigi ataupun perawatan ortodonti. Anak-anak dan remaja sindrom Down sering mempunyai insidens penyakit periodontal.13

Maloklusi yang sering terjadi pada anak sindrom Down adalah maloklusi Klas III. Insidens maloklusi ini terjadi karena ketidaksempurnaan pembentukan bagian tengah wajah yaitu meliputi bagian nasal, premaksila dan tulang maksila. Peningkatan insidens maloklusi pada anak sindrom Down ini adalah seperti yang dilaporkan : Klas III, 32-70%; Klas II, 3-32% ; posterior unilateral dan gigitan silang bilateral sebanyak 71% dan gigitan terbuka, 5%.13-14

2.5 Klasifikasi Retardasi Mental pada Anak Sindrom Down

Retardasi mental adalah penurunan fungsi intelektual yang menyeluruh secara bermakna dan secara langsung menyebabkan gangguan adaptasi sosial, dan bermanifestasi selama masa perkembangan. Klasifikasi retardasi mental adalah retardasi mental ringan, sedang, berat dan sangat berat. Karakteristik utama dari retardasi mental adalah kurangnya kemampuan intelektual. Kita menggunakan kemampuan intelektual untuk memperoleh kepandaian, mengingat dan menggunakan informasi yang ada. Sementara anak sindrom Down kurang dapat menggunakan tiga kemampuan intelektual tersebut. Klasifikasi tingkat retardasi mental didasarkan pada hasil pengukuran inteligensia (IQ). Maka, pembagian tingkat retardasi merupakan pembagian tingkat kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan, khususnya menyangkut kemandirian dan tanggungjawab sosial.14-16

a. Retardasi Mental Ringan

Retardasi mental ringan memiliki IQ antara 52-67 dan dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dididik. Anak mengalami gangguan berbahasa tetapi masih mampu menguasainya untuk keperluan bicara sehari-hari dan untuk wawancara klinik. Umumnya mereka juga mampu mengurus diri sendiri secara independen (makan, mencuci, memakai baju, mengontrol saluran cerna dan kandung kemih), meskipun tingkat perkembangannya sedikit lebih lambat dari ukuran normal.

b. Retardasi Mental Sedang

Retardasi mental sedang memiliki IQ Antara 36-51 dan dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dilatih (trainable). Pada kelompok ini anak mengalami keterlambatan perkembangan pemahaman dan penggunaan bahasa, serta pencapaian akhirnya terbatas.

c. Retardasi Mental Berat

Kelompok retardasi mental berat memiliki IQ Antara 20-35 dan ini hampir sama dengan retardasi mental sedang dalam hal gambaran klinis, penyebab organik, dan keadaan-keadaan yang terkait. Perbedaan utama adalah pada retardasi mental berat ini biasanya mengalami kerusakan motorik yang bermakna atau adanya defisit

d. Retardasi Mental Sangat Berat

Retardasi mental sangat berat memiliki IQ kurang dari 20 dan berarti secara praktis anak sangat terbatas kemampuannya dalam mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi. Umumnya anak sangat terbatas dalam hal mobilitas, dan hanya mampu pada bentuk komunikasi nonverbal yang sangat dasar.

2.6 Kebersihan Rongga Mulut Anak Sindrom Down

Kebersihan rongga mulut merupakan suatu tindakan membersihkan gigi dan mulut agar terhindar dari penyakit gigi dan mulut. Oral Hygiene Index Simplified

(OHIS) adalah indeks yang digunakan untuk mengukur tingkat kebersihan gigi dengan cara mengukur indeks debris dan indeks kalkulus. Kemudian kedua indeks ini dijumlahkan untuk mendapatkan indeks OHIS.17

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Sekolah Luar Biasa Chennai menunjukkan anak sindrom Down mempunyai status kebersihan rongga mulut serta status periodontal yang cenderung jelek dibandingkan dengan anak normal. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan kemampuan kognitif dan mobilitas, gangguan perilaku dan otot, refleks muntah dan gerakan tubuh tidak terkontrol. Selain itu, secara praktis anak sindrom Down memiliki keterbatasan dalam mengerti dan menuruti instruksi menjaga kebersihan rongga mulut serta memiliki kelainan bentuk dan struktur gigi yang mengakibatkan kebersihan rongga mulut mereka tidak dapat dijaga dengan baik. Jika kebersihan rongga mulut tidak baik maka akan menimbulkan berbagai penyakit di rongga mulut seperti karies gigi dan penyakit periodontal.9,17-18

2.7 Penyakit Periodontal

Penyakit periodontal adalah suatu inflamasi kronis pada jaringan pendukung gigi (periodonsium). Penyakit periodontal dapat hanya mengenai gingiva (gingivitis) atau dapat menyerang struktur yang lebih dalam (periodontitis).Permulaan terjadinya kerusakan biasanya timbul pada saat plak dan bakteri terbentuk pada mahkota gigi, meluas disekitarnya dan menembus sulkus gingiva yang nantinya akan merusak

gingiva disekitarnya. Plak menghasilkan sejumlah zat yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam perkembangan penyakit periodontal. Inflamasi pada gingiva dan perkembangannya pada bagian tepi permukaan gigi terjadi ketika koloni bakteri berkembang.19

Penyakit periodontal dibagi atas dua golongan yaitu gingivitis dan periodontitis. Bentuk penyakit periodontal yang paling sering dijumpai adalah proses inflamasi jaringan lunak yang mengelilingi gigi tanpa adanya kerusakan tulang, keadaan ini dikenal dengan gingivitis. Apabila penyakit gingiva tidak ditanggulangi sedini mungkin maka proses penyakit akan terus berkembang mempengaruhi tulang alveolar, ligamen periodontal atau sementum, keadaan ini disebut dengan periodontitis.19-20

Anak sindrom Down memiliki prevalensi penyakit periodontal yang tinggi dibandingkan dengan anak normal. Sebagai akibatnya, anak sindrom Down mengalami kehilangan banyak gigi permanen anterior di usia muda. Faktor yang mendukung terjadinya penyakit periodontal pada anak sindrom Down adalah kelainan struktur dan bentuk gigi, status kebersihan rongga mulut yang jelek dan sistem kekebalan yang menurun.20

2.7.1 Gingivitis

Gingivitis merupakan inflamasi pada gingiva tanpa adanya kerusakan perlekatan epitel sebagai dasar sulkus, sehingga epitel tetap melekat pada permukaan gigi di tempat aslinya. Gingivitis bersifat reversible yaitu jaringan gusi dapat kembali normal apabila dilakukan pembersihan plak dengan sikat gigi secara teratur.21

Etiologi utama terjadinya gingivitis adalah plak dental. Plak dental adalah deposit lunak yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan. Dua bakteri yang menyebabkan pembentukan plak adalah Streptococcus dan Actinomyces.

Kemampuannya untuk berikatan dengan bakteri lain menunjukkan bahwa

awal. Meningkatnya keragaman bakteri tertentu dalam plak berkaitan erat dengan peradangan gingiva. Daerah penumpukan plak tersebut berkaitan sekali dengan berbagai proses penyakit pada gigi dan periodonsium. Sebagai contoh, plak marginal berperan penting dalam perkembangan gingivitis.19,21-23

Tanda klinis terjadinya gingivitis adalah adanya perubahan warna lebih merah dari normal, gusi bengkak dan berdarah pada tekanan ringan. Keparahan pendarahan dan mudahnya terjadi pendarahan tergantung pada intensitas inflamasi.23

2.7.2 Periodontitis

Periodontitis merupakan respon inflamasi kronis terhadap bakteri subgingiva yang mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal bersifat irreversible sehingga dapat berakibat kehilangan gigi. Pada tahap perkembangan awal, keadaan periodontitis sering menunjukkan gejala yang tidak dirasakan oleh pasien. Periodontitis didiagnosis karena adanya kehilangan perlekatan antara gigi dan jaringan pendukung (kehilangan perlekatan klinis) ditunjukkan dengan adanya poket dan pada pemeriksaan radiologi terdapat penurunan tulang alveolar. Penyebab periodontitis adalah multifaktor, karena adanya bakteri patogen yang berperan saja tidak cukup menyebabkan terjadi kelainan. Respon imun dan inflamasi pejamu terhadap mikroba merupakan hal penting dalam perkembangan penyakit periodontal yang destruktif dan juga dipengaruhi oleh pola hidup, lingkungan serta faktor genetik dari penderita.24

Pada periodontitis, terdapat plak mikroba negatif gram yang berkolonisasi dalam sulkus gingiva (plak subgingiva) dan memicu respon inflamasi kronis. Sejalan dengan bertambah matangnya plak, plak menjadi lebih patogen dan respon inflamasi pejamu berubah dari keadaan akut menjadi keadaan kronik. Apabila kerusakan jaringan periodontal, akan ditandai dengan terdapatnya poket. Semakin dalamnya poket, semakin banyak terdapatnya bakteri subgingiva yang matang. Poket yang dalam terlindungi dari pembersih mekanik (penyikatan gigi) juga terdapat aliran cairan sulkus gingiva yang lebih konstan pada poket yang dalam dari pada poket yang diangkat.20-21,24

2.8 Perawatan pada Penyakit Periodontal

Perawatan penyakit periodontal komprehensif adalah penyingkiran inflamasi gingiva dan koreksi kondisi yang menyebabkan atau memperparah inflamasi tersebut. Kebutuhan perawatan periodontal meliputi perbaikan kebersihan rongga mulut, skeling professional dan penyerutan akar. Status kebersihan rongga mulut pasien dinilai berdasarkan banyak atau sedikit penumpukan plak, debris makanan, materi alba dan stein pada permukaan gigi. Perbaikan kebersihan rongga mulut dapat dilakukan dengan memberi edukasi cara menyikat gigi yang tepat dan benar. Skeling professional adalah proses penyingkiran kalkulus dan plak dari permukaan gigi, baik supragingival maupun subgingival. Penyerutan akar adalah prosedur untuk menyingkirkan sisa kalkulus yang tertinggal dan sebagian sementum yang tercemar toksin bakteri sehingga didapatkan permukaan akar gigi yang rata, keras dan bersih.

22-24

Indeks periodontal komunitas untuk kebutuhan perawatan menurut WHO dikenal sebagai Community Index of Periodontal Treatment Needs/CPITN. Indeks periodontal digunakan untuk mengetahui jenis kelainan periodontal yang terjadi, sekaligus menetapkan kebutuhan perawatan yang diperlukan. Berbagai perawatan komprehensif yang diperlukan disesuaikan dengan derajat skornya.22,24

2.9 Efek Samping yang Terjadi pada Rongga Mulut Anak Sindrom Down akibat Konsumsi Obat-obatan

Selain memiliki penampilan fisik yang berbeda, anak-anak sindrom Down seringkali memiliki masalah kesehatan yang spesifik. Oleh karena itu, mereka harus mengonsumsi obat tertentu. Namun, obat-obat yang dikonsumsi oleh anak sindrom Down ini telah menimbulkan efek samping pada rongga mulut mereka seperti xerostomia dan pembesaran gingiva.25

Pembesaran gingiva dapat disebabkan karena mengonsumsi obat verapamil

dan dilantin. Bertambah besarnya gingiva merupakan gambaran klinis adanya kelainan gingiva yang disebabkan oleh hiperplasia dan hipertrofi gingiva. Hiperplasia

sindrom Down. Pembesaran gingiva secara berlebih dapat dihilangkan dengan kebersihan rongga mulut anak sindrom Down secara tepat. Pembesaran gingiva berlebih terkadang tidak dapat mengembalikan jaringan periodonsium kembali menjadi normal. Pembesaran gingiva yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada kemampuan anak sindrom Down untuk membersihkan gigi secara adekuat dan menyebabkan terjadinya masalah fungsional. 25

Xerostomia atau dry mouth dapat disebabkan karena konsumsi obat

anticonvulsant seperti carbamazepine dan valproate. Gambaran klinis pada xerostomia sangat tampak pada rongga mulut dimana terlihat ulserasi mukosa, halitosis, dan penyakit periodontal.23,25

2.10 Kerangka Teori

Anak sindrom Down Indeks Oral Hygiene Simplified (OHIS) Karakteristik Fisik Manifestasi Oral Gigi Jaringan lunak Status Kebersihan Rongga Mulut

Indeks Periodontal

Communtiy Index of Periodontal Treatment Needs/CPITN

2.11 Kerangka Konsep Anak sindrom Down - Jenis kelamin - Usia Indeks Oral Hygiene Simplified (OHIS) Indeks Periodontal Communtiy Index of Periodontal Treatment Needs/CPITN Kebutuhan perawatan periodontal

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom Down merupakan suatu kelainan kromosom yang mengakibatkan keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak. Sindrom Down pertama kali ditemukan oleh John Langdon Down pada tahun 1866. Menurut Lejeune, dkk pada tahun 1959 penyebab utama sindrom Down adalah trisomi 21. Keadaan ini disebabkan oleh kegagalan pemisahan sepasang kromosom yang terlibat yaitu kromosom 21 dimana saat proses pembagian sel secara mitosis pemisahan kromosom 21 tidak terjadi dengan sempurna. Sindrom Down terjadi pada satu di antara 800 hingga 1000 kelahiran hidup dan merupakan penyebab umum dari 25-30% retardasi mental di dunia.1-3

Gambaran umum sindrom Down terlihat adanya tubuh dan leher yang pendek, lemahnya kemampuan tonus otot, wajah datar, ujung mata tertarik agak ke atas, kemampuan pergerakan sendi yang berlebihan, bentuk telinga yang tidak beraturan, dan jarak yang lebar antar ibu jari kaki dan jari di sebelahnya. Anak sindrom Down juga menghadapi masalah belajar, penyakit jantung kongenital dan adanya gangguan gastrointestinal.1,4

Gambaran oral meliputi bentuk mahkota gigi disisi labial yang membulat secara abnormal, mikrodonsia, hipodonsia, agenesis dan anodonsia parsial. Keadaan gigi berjejal sering terjadi pada rahang atas, sedangkan pada rahang bawah sering terjadi diastema. Selain itu, erupsi gigi anak sindrom Down terlambat dan terdapat maloklusi gigi seperti cross-bite posterior dan open-bite anterior. Maloklusi yang sering terjadi pada sindrom Down adalah maloklusi Klas III.1,4

Anak sindrom Down memiliki kelainan bentuk dan struktur gigi yang mengakibatkan kebersihan rongga mulut mereka tidak dapat dijaga dengan baik. Selain itu, secara praktis anak sindrom Down sangat terbatas kemampuannya dalam mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi dalam penjagaan kebersihan rongga

individu normal dapat menyebabkan timbulnya penyakit periodontal. Penyakit periodontal yang sering terjadi pada anak sindrom Down adalah gingivitis.3,5 Gingivitis adalah inflamasi pada gingiva sebagai respon terhadap plak dan bakteri pada gigi yang berdekatan ditandai dengan eritema, edema dan pembesaran fibrosa gingiva tanpa resorpsi tulang alveolar yang mendasarinya. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh obat-obatan yang dikonsumsi, seperti dilantin untuk mengatasi kekejangan.5

Suatu penelitian telah dilakukan di Sekolah Luar Biasa di Chennai, India menunjukkan status kebersihan rongga mulut yang baik pada anak sindrom Down lebih sedikit dibandingkan dengan anak normal yaitu sebanyak 50% pada anak sindrom Down dan sebanyak 54% pada anak normal. Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 10% anak sindrom Down membutuhkan perawatan periodontal komprehensif karena kehilangan perlekatan tulang alveolar sedangkan anak normal hanya membutuhkan perbaikan oral hygiene.6

Pada 2011, suatu penelitian telah dilakukan di Sekolah Luar Biasa di Riyadh, Saudi Arabia dan didapati bahwa sebanyak 66% anak sindrom Down mempunyai status kebersihan rongga mulut atau Oral Hygiene Index Simplified (OHIS) yang sedang dan 25% memiliki status kebersihan rongga mulut yang baik. Penelitian lain juga telah dilakukan pada individu retardasi mental usia 12-30 tahun di Sekolah Luar Biasa di kota Udaipur, India dan didapati bahwa rerata kebersihan rongga mulut dan status periodontal lebih jelek pada individu laki-laki dibanding dengan individu perempuan. Rerata kebersihan rongga mulut individu laki-laki 2,64 (95% CI 2,16-3,24) dan individu perempuan 4,04 (95% CI 1,35-10,73).7,8

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran status kebersihan rongga mulut dan kebutuhan perawatan periodontal pada anak sindrom Down. Penelitian ini dilakukan pada anak sindrom Down usia 6-18 tahun yang bersekolah di SLB-C Kota Medan. Pengambilan sampel dilakukan pada SLB-C karena pendataan anak sindrom Down di SLB-C lebih mudah jika dibandingkan dengan pendataan dari rumah ke rumah.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Rumusan Masalah Umum

Bagaimana status kebersihan rongga mulut dan kebutuhan perawatan periodontal pada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di Sekolah Luar Biasa (SLB-C) Kota Medan.

1.2.2 Rumusan Masalah Khusus

1. Bagaimana status kebersihan rongga mulut anak sindrom Down usia 6-18 tahun di Sekolah Luar Biasa (SLB-C) Kota Medan?

2. Apakah ada hubungan antara jenis kelamin dengan status kebersihan rongga mulutpada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di Sekolah Luar Biasa (SLB-C) Kota Medan?

3. Apakah ada hubungan antara usia dengan status kebersihan rongga mulut pada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di Sekolah Luar Biasa (SLB-C) Kota Medan?

4. Bagaimana kebutuhan perawatan periodontal pada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di Sekolah Luar Biasa (SLB-C) Kota Medan?

Dokumen terkait