• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab isi berisikan tentang Kesimpulan dan Saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA

A. Perjanjian Kredit

1. Pengertian Perjanjian Kredit

Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut sistem Eropa Kontinental (Civil Law Legal System), istilah kontrak dikenal dengan Perjanjian (Overrenkomst). Menurut Pasal 1313 BW (KUH Perdata), “Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.13

Pengertian perjanjian sebagaimana diatur Pasal 1313 BW (KUH Perdata) tersebut dalam pandangan para sarjana mengandung kelemahan. Ketidak-sempurnaan dan tidak lengkap. Sehubungan dengan hal tersebut Mariam Darus Badrulzaman mengungkapkan :

Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan BW di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas. Tidak lengkap, karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu terlalu luas, karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuanketentuan tersendiri sehingga Buku III BW (KUH Perdata) secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan terhadap perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuannya.14

13

Rai Widjaja, I G A, Dikutip dari Black Law Dictionary, Merancang Suatu Kontrak, Teori dan Praktek, (Jakarta : Mega Poin, 2003), hal. 8.

14

Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku II Hukum

Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, (selanjutnya disebut Mariam Darus

Menurut Abdulkadir Muhammad, kelemahan-kelemahan ketentuan Pasal 1313 BW (KUH Perdata) adalah sebagai berikut :15

a. Hanya menyangkut satu pihak. Jika dilihat rumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata Kerja ”mengikatkan” mempunyai sifat hanya datang dari satu pihak saja. Seharusnya rumusannya itu harus saling mengikatkan diri sehingga ada consensus para pihak.

b. Kata ”Perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan pekerjaan tanpa kuasa (Zaakwaneming) yang tidak mengandung konsensus antara para pihak. Seharusnya digunakan kata ”persetujuan”.

c. Pengertian ”perjanjian” dalam pasal tersebut mempunyai arti yang terlalu luas karena dapat juga mencakup kelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam hukum keluarga. Padahal ”perjanjian” yang dimaksud oleh buku III hanya perjanjian yang bersifat kebendaan.

d. Perumusan pasal tersebut tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga tidak jelas untuk apa para pihak mengadakan perjanjian itu.

Mengingat adanya kelemahan-kelemahan dari ketentuan Pasal 1313 BW (KUH Perdata), maka untuk memahami pengertian perjanjian, maka dipandang penting untuk mengetengahkan pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh para sarjana. Pandangan sarjana dimaksud dapat dijadikan scbagai pembanding dan bahan analisis dalam memahami perjanjian secara lebih mendetail dan lengkap.

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan Hukum Kekayaan.16 Sedangkan Prof. R. Soebekti, merumuskan perjanjian ini adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.17

15

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung) Alumni, 1982) hal. 78.[

Pendapat ini perlu mendapat perhatian dan penegasan, sebab tidak semua peristiwa itu akan menimbulkan adanya perjanjian, tetapi hanya peristiwa hukum

16

Ibid.

17

yang dapat menimbulkan perjanjian. R. Setiawan berpendapat perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.18

Hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban, yang mengikatkan mereka untuk ditaati dan dijalankan, kesepakatan itu adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan kalau kesepakatan itu dilanggar maka ada akibat hukumnya, si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi.

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo menyatakan :

19

Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah peristiwa hukum yang telah disepakati oleh para pihak dalam rangka melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum kekayaan yang telah diatur menurut hukum. Perjanjian itu merupakan peristiwa yang menimbulkan suatu hubungan hukum di antara para pihak yang terlibat di dalamnya atau dikenal dengan perikatan (Verbintenis).

Di dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat, bank akan menuangkan dalam suatu perjanjian yang namanya perjanjian kredit. Sebelum memahami tentang perjanjian kredit, perlu diketahui terlebih dahulu apa itu kredit. Secara etimologi perkataan kredit berasal dari bahasa latin “Credere” yang berarti

18

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta,1979) hal. 5.

19

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta : Liberty, 1999 (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), hal. 96.

kepercayaan, sehingga berpijak dari arti kata tersebut. Dapat dikatakan bahwa pengertian dasar dari pemberian kredit adalah kepercayaan.20

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 butir 11, kredit adalah:

”Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Dengan demikian, kredit bank adalah merupakan kredit yang diberikan bank kepada nasabahnya berdasarkan kepercayaan dengan menyerahkan sejumlah uang tertentu kepada debiturnya, untuk dipergunakan sesuai dengan tujuannya, dalam jangka waktu tertentu, dan dengan imbalan berupa bunga. Istilah perjanjian kredit berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract credit. Dalam hukum Inggris, perjanjian kredit bank termasuk loan of money.21

Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam instruksi pemerintah dan berbagai surat edaran, antara lain:

1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EKA/10/96, yang berisi instruksi kepada bank bahwa dalam memberikan kredit bentuk apapun, bank-bank wajib mempergunakan ”akad perjanjian kredit”;

2. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb/1996; dan

20

Bambang Sunggono, Pengantar Hukum Perbankan, (Jakarta : Mandar Maju, 1995) hal. 127.

21

3. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Nomor 2/643/Pemb/1996 tentang Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan.

Dalam ketentuan itu tidak kita temukan pengertian perjanjian kredit. Namun, dalam Pasal 1 angka 3 Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan, telah ditentukan pengertian perjanjian kredit. Perjanjian kredit adalah: ”Persetujuan dan atau kesepakatan yang dibuat bersama antara kreditur dan debitur atas sejumlah kredit dengan kondisi yang telah diperjanjikan, hal mana pihak debitur wajib untuk mengembalikan kredit yang telah diterima dalam jangka waktu tertentu disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati”.

Unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian kredit adalah : 1. Adanya persetujuan dan/atau kesepakatan;

2. Dibuat bersama antara kreditur dan debitur; 3. Adanya kewajiban debitur.

Kewajiban debitur adalah:

1. Mengembalikan kredit yang telah diterimanya; 2. Membayar bunga; dan

3. Biaya-biaya lainnya.

Para ahli juga memberikan pengertian perjanjian kredit. Sutarno mengartikan perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian pokok atau perjanjian induk yang mengatur hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur”.22

Definisi ini terlalu singkat karena hanya difokuskan pada hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur, padahal dalam perjanjian kredit itu sendiri

22

yang paling prinsip adalah kesepakatan para pihak. Definisi lain dikemukakan Sutan Remy Syahdeini. Sutan Remy Syahdeini mengartikan perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”. 23

Definisi yang dikemukakan oleh Sutan Remy Syahdeini terlalu luas karena tidak hanya mengemukakan tentang hak dan kewajiban kreditur dan debitur, namun juga mengemukakan tentang ciri-ciri perjanjian kredit. Karena adanya kelemahan dari kedua definisi di atas, maka perlu dilengkapi dan disempurnakan. Menurut H. Salim HS yang diartikan dengan perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, di mana kreditur berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan debitur berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biaya-biaya lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya”.24

Perjanjian kredit merupakan dasar kewenangan bank untuk dapat mengendalikan penggunaan kredit oleh nasabah. Yang menyangkut pemberian kreditnya, bank sangat berkepentingan dengan hal-hal yang menyangkut hak-hak bank dan kewajiban-kewajiban nasabah, baik pada saat sebelum kredit diberikan, selama kredit diberikan, dan setelah kredit jatuh tempo. Di dalam perjanjian kredit kepentingan-kepentingan bank yang demikian itu tetap terjaga. Namun meskipun

23

Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit, hal. 14.

24

Salim, HS, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2006, (selanjutnya disebut Salim HS I), hal. 80.

demikian, diharapkan hak-hak dan kepentingan nasabah sebagai pihak penerima kredit seyogyanya juga harus diberikan perhatian, dalam konteks perjanjian kredit dimaksud.

2. Sifat Perjanjian Kredit

Berbicara tentang sifat perjanjian kredit ada berbagai pendapat dari para sarjana dengan mengkaitkannya dengan ketentuan Pasal 1754 BW. Pasal 1754 BW menentukan sebagai berikut :

“Perjanjian pinjam rnengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah ketentuan barang-barang yang menghabis karena pemakaian. dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Selanjutnya dalam Pasal 1765 BW disebutkan, bahwa diperbolehkan memperjanjikan, bunga atau peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. Dari pengertian ini, terlihat bahwa unsur-unsur pinjam-meminjam adalah :

1. Adanva persetujuan antara peminjam dengan yang memberi pinjaman; 2. Adanya suatu jumlah barang tertentu habis karena memberi pinjaman; 3. Pihak yang menerima pinjaman akan mengganti barang yang sama; 4. Pinjaman wajib membayar bunga bila diperjanjikan.25

Para ahli mencoba untuk memberikan tafsiran terhadap Pasal 1754 KUH Perdata dan dikaitkan dengan perjanjian kredit bank. Hal ini disebabkan karena di

25

dalam KUH Perdata sendiri tidak kita temukan istilah perjanjian kredit. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sendiri tidak mengenal istilah perjanjian kredit, yang ada hanya pengertian kredit. Dalam penjelasan Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan ditegaskan bahwa perjanjian bersifat konsensual dan riil, berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang hanya bersifat riil. Marhainis Abdul Hay menyatakan sebagai berikut:

“Ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam mengganti, mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank.”26

Subekti berpendapat bahwa dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diberikan atau diadakan. dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur oleh BW, Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769.

27

Begitu pula menurut Muhammad Djumhana, bahwa perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia adalah salah satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam seperti diatur Pasal 1754 BW.28

Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai perjanjian kredit, dapat disimpuikan bahwa dasar perjanjian

Dengan demikian, pembuatan suatu perjanjian kredit dapat mendasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang ada pada BW maupun atas dasar kesepakatan para pihak. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Madam Darus Badrulzaman :

26

Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 1975) hal. 67.

27

R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum

Indonesia,Bandung :Alumni, 1978 (selanjutnva disebut Subekti II), hal. 13.

28

kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754.29

Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan.

Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah.30

Djuhaendah Hasan berpendapat lain, yaitu bahwa perjanjian kredit tidak tepat dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III KUHPerdata, sebab antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terletak pada beberapa hal, antara lain:

a. Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program pembangunan, biasanya dalam pemberian kredit sudah ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur dapat menggunakan uangnya secara bebas.

29

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangannya Di Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar), Bandung : Alumni, 1981, (selanjutya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), hal. 110-111.

30

b. Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan (lihat ketentuan Pasal 1 ayat (12) UU Nomor 7 Tahun 1992) dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam pemberian pinjaman dapat oleh individu. c. Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian

pinjam-meminjam. Bagi perjanjian pinjam-meminjam berlaku ketentuan umum dari Buku III dan Bab XIII Buku III KUHPerdata. Sedangkan bagi perjanjian kredit akan berlaku ketentuan dalam UUD 1945, ketentuan bidang ekonomi dalam GBHN, ketentuan umum KUHPerdata, UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Paket Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Bidang Ekonomi terutama bidang Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI), dan sebagainya.

d. Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman itu harus disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam hanya berupa bunga saja dan bunga inipun baru ada apabila diperjanjikan.

e. Pada perjanjian kredit bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan debitur akan pengembalian kredit yang diformulasikan dalam bentuk jaminan baik materiil maupun immaterial, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam jaminan merupakan pengamanan bagi kepastian pelunasan hutang dan inipun baru ada apabila diperjanjikan, dan jaminan itu hanya merupakan jaminan secara fisik atau materiil saja.

Apapun yang merupakan pendapat dari para sarjana tentang sifat dari perjanjian kredit, namun tetap tidak bisa dilepaskan bahwa akar dari perjanjian kredit itu adalah perjanjian pinjam-meminjam. Seperti dirumuskan oleh Undang-Undang Perbankan tentang pengertian “kredit”, adalah; “. . ., berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminiam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.31

Memahami sifat perjanjian kredit berbagai peraturan perlu ditelaah, seperti BW, Undang-Undang Perbankan dan ketentuan-ketentuan lainnya. Seperti disampaikan oleh Edy Putra Tje'Aman, untuk mengetahui sifat perjanjian kredit bank, tidak cukup hanya melihat KUH Perdata (BW dan Undang-Undang Perbankan saja, tetapi juga harus memperhatikan ketentuanketentuan yang berlaku/dipakai dalam praktek perbankan.32

3. Bentuk Perjanjian Kredit

Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan, karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah di

31

Djuhaendah Hasan, Op. Cit, hal. 174.

32

kemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun seyogyanya dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti, termasuk perjanjian kredit.

Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat (11) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata : Penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun menurut pendapat Sutarno dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis.33

Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No. 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan keputusan-keputusan tersebut, maka pemberian kredit oleh Bank kepada nasabah harus diiniat secara tertulis. Perjanjian kredit

33

merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur, sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Dalam praktek perbankan ada 2 (dua) bentuk perjanjian kredit, yaitu :

1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan

Yang dimaksud dengan perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara mereka (bank dan nasabah), tanpa Notaris.34

Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan, artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank kemudian ditawarkan kepada Debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja Bank, biasanya Bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh Bank tersebut termasuk jenis Akta Di Bawah Tangan. Dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan Bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon Debitur untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan pemberian kredit tersebut. Syarat-syarat dan ketentuan dalam formulir perjanjian kredit tidak pernah diperbincangkan atau dirundingkan atau dinegosiasikan dengan calon Debitur. Calon Debitur mau atau tidak mau dengan terpaksa atau sukarela harus menerima semua persyaratan yang

34

tercantum dalam formulir perjanjian kredit. Seandainya calon Debitur melakukan protes atau tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit maka Kreditur tidak akan menerima protes tersebut karena isi perjanjian memang sudah disiapkan dalam bentuk cetakan oleh lembaga Bank itu sehingga bagi petugas Bank pun tidak bisa menanggapi usulan calon Debitur. Calon Debitur menyetujui atau menyepakati isi perjanjian kredit karena calon Debitur dalam posisi yang sangat membutuhkan kredit (posisi lemah) sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon Debitur dapat menyetujui.

Perjanjian kredit bank yang hanya dibuat secara di bawah tangan dalam beberapa hal mengandung kelemahan. Adapun kelemahannya adalah :

a. Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi oleh debitur, yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan menyangkali atau memungkiri tanda tangannya, akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut. Dalam Pasal 1877 KUH Perdata disebutkan bahwa jika seorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan.

b. Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana formulirnya telah disediakan oleh bank (form standar/baku), maka bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit/pemberian bank garansi. Bahkan, bukan tidak mungkin, atas dasar pelayanan, penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir perjanjian masih dalam bentuk blangko/kosong.

Kelemahan-kelemahan ini pada akhirnya akan merugikan bank jika suatu saat berperkara dengan nasabahnya. Oleh sebab itu, pembuatan perjanjian kredit

bank yang selama ini banyak dipraktekkan kalangan perbankan, perlu untuk ditinjau kembali, terutama bila melihat sisi-sisi kelemahannya tersebut.35

2. Perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta Otentik (Akta Notaris) Yang dimaksud dengan perjanjian kredit Notaris, adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris.

Perjanjian kredit yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang Notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh Bank kemudian diberikan kepada Notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang Notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik.36

Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja. kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu Kreditur atau lebih dari satu Bank). Antara perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta di bawah tangan dengan

Dokumen terkait