• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dari pembahasan-pembahasan dari permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini dan mencoba memberikan beberapa saran kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI INDONESIA.

A. Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia

Kepentingan-kepentingan konsumen telah lama menjadi perhatian, yang secara tegas telah dikemukakan pada tahun 1962 oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang menyampaikan pesan di depan Kongres tentang pentingnya kedudukan konsumen di dalam masyarakat.23 Peristiwa berikutnya

yang merupakan perhatian atas kepentingan konsumen, secara tegas telah ditetapkan dalam putusan Sidang Umum PBB pada sidang ke-106 tanggal 9 April 1985. Resolusi PBB tentang Perlindungan Konsumen (Resolusi 39/248) telah menegaskan enam kepentingan konsumen, yaitu sebagai berikut.24

1. Perlindungan konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.

2. Promosi dan perlindungan pada kepentingan ekonomi konsumen.

3. Tersedianya informasi yang mencukupi sehingga memungkinkan dilakukannya pilihan sesuai kehendak.

4. Pendidikan konsumen.

5. Tersedianya cara-cara ganti rugi yang efektif.

23 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahan

(Bandung : Alumni, 1981) hal. 47.

24 Az. Nasution “Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen”, Majalah Hukum dan Pembangunan, Fakultas Hukum UI, No. 6 tahun ke XVI, Desember 1986. hal. 57.

6. Kebebasan membentuk organisasi konsumen dan diberinya kesempatan kepada mereka untuk menyatakan pendapat sejak saat proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.

Pada masa kini, kecenderungan untuk memperluas ruang lingkup Hukum Perlindungan Konsumen telah dilakukan oleh The Economic Law Procurement System Project (ELIPS), yang mengemukakan 9 materi rumusan hukum perlindungan konsumen, yakni :25

1. Ketidaksetaraan dalam kekuatan tawar-menawar;

2. Kebebasan berkontrak versus keadilan dalam berkontrak;

3. Persyaratan untuk memberikan informasi kepada konsumen, yang meliputi hukum pengumuman yang umum dan hukum tentang keuangan;

4. Peraturan tentang perilaku/tindakan penjual, yang meliputi petunjuk, arahan yang salah dan kelicikan dalam perdagangan;

5. Peraturan tentang mutu produk, yang meliputi garansi dan keamanan produk;

6. Akses terhadap kredit (pelaporan, kredit, nondiskriminasi); 7. Batas-batas hak mengakhiri masa jaminan;

8. Peraturan tentang harga; 9. Pembetulan;

Gerakan perlindungan konsumen internasional juga telah memiliki wadah yang cukup berwibawa, yang disebut Internasional Organization of Consumers Unions

(IOCU). Setiap tanggal 15 Maret organisasi ini menjadikan sebagai hari Hak Konsumen sedunia.26

Untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas produk-produk barang yang dibeli, sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen lahir, peraturan perUndang-Undangan yang mengaturnya adalah sebagai berikut :27

1. Kitab Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan produk peninggalan penjajahan Belanda, tetapi telah menjadi pedoman dalam menyelesaiakan kasus-kasus untuk melindungi konsumen yang mengalami kerugian atas cacatnya barang yang dibelinya.

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang. Penerbitan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk menguasai dan mengatur barang-barang apapun yang diperdagangkan di Indonesia. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri.

Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961. Salah satu tujuan dari standar itu adalah meningkatkan mutu dan hasil industri.

4. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 81/M/K/SK/2/1974 tentang Pengesahan Standar Cara-Cara Analisis dan Syarat-Syarat Mutu Bahan Baku dan Hasil Industri.

26 Imelda Martinelli, “Tiga Isu Penting Dalam Transaksi Konsumen”, Era Hukum No.

11/Th 3/1997, hal.66.

Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bulan Mei 1973. Secara teoritis , pada awalnya Yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan suara-suara dari masyarakat, kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen ini, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu.

Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik Indonesia masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen (seperti yang dilakukan YLKI) dilakukan melalui koridor resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen.

Setelah itu , sejak dekade 1980-an, gerakan atau perjuangan untuk mewujudkan sebuah Undang-Undang tentang perlindungan konsumen (UUPK) dilakukan selama bertahun-tahun. Pada masa Orde Baru, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki greget besar untuk mewujudkannya

karena terbukti pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) selalu ditunda. Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan BJ. Habibie, tepatnya pada tanggal 20 April 1999, Rancangan Undang Perlindungan Konsumen disahkan secara resmi menjadi Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan adanya UUPK, jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan dalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen, yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.

Untuk hadirnya suatu Undang-Undnag tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri atas 15 bab dan 65 Pasal, ternyata dibutuhkan waktu tidak kurang dari 25 tahun sejak gagasan awal tentang Undang-Undang ini dikumandangkan(tahun 1975 sampai dengan tahun 2000). Tak dapat disangkal, sebagai hasil kerja buatan manusia, terdapat beberapa hal yang kurang lengkap atau kurang sempurna dari Undang-Undang ini (selanjutnya merupakan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Sekalipun demikian, ia merupakan suatu kebutuhan seluruh rakyat Indonesia yang kesemuanya adalah konsumen pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen. Apalagi pikiran globalisasi telah melanda dunia. Keternukaan pasar saat ini dan kedudukan konsumen yang

lebih lemah dibanding dengan pelaku usaha, maka kebutuhan perlindungan konsumen tersebut merupakan suatu “conditio sine qua non”28.29

Dalam penjelasan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa peranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, sebab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat, serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.

Dalam aktivitas kegiatan usaha, kepentingan-kepentingan konsumen itu lahir karena adanya peranan konsumen yang telah memberikan sumbangan besar kepada pengusaha sebagai penyedia dan produk. Konsumen juga telah memberikan sumbangan besar kepada pelaku usaha dari barang –barang dan jasa yang dibelinya, yang merupakan pihak yang menentukan dalam pemupukan modal yang diperlukan oleh pengusaha untuk mengembangkan usahanya, dan pada akhirnya konsumen menjadi penentu dalam menggerakkan roda perekonomian.

Hukum perlindungan konsumen sangat berpengaruh dalam era globalisasi yang kehidupan masyarakatnya semakin maju baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi. Dalam setiap kemajuan tersebut terdapat berbagai permasalahan yang beraneka ragam dan kompleks. Mengingat sedemikian

28 “Setiap fakta atau peristiwa merupakan suatu hal yang tidak dapat ditiadakan tanpa

meniadakan kerugian itu sendiri, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanpa kenyataan/fakta termaksud, kerugian tidak akan terjadi”, sumber Hukum Asuransi & Perusahaan Asuransi, Sri Rejeki Hartono, Sinar Grafika, Jakarta, 1997,http://kamushukum.com., diakses pada tanggal 16 Januari 2011.

kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di dalam masyarakat maka dilakukanlah berbagai upaya hukum guna memberikan solusi dalam setiap permasalahan tersebut,o!eh karena itu dibuatlah hukum perlindungan konsumen. Pelanggan merupakan konsumen dari jasa pelayanan telekomunikasi, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu tuntutan yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Dalam dunia komunikasi, pihak pelanggan merupakan unsur yang sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia komunikasi bersandar pada kepercayaan dari pihak masyarakat atau pelanggan.30

Kegiatan penyediaan produk oleh pengusaha dan penggunaan produk oleh konsumen, dalam berbagai kemungkinan bentuk hukumnya , dijalankan oleh subjek hukum pengusaha, baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan subjek hukum konsumen. Hubungan hukum tersebut tentu saja harus diatur oleh peraturan perUndang-Undangan agar konsumen dapat dilindungi hak-hak dan kepentingannya.

Untuk menarik minat konsumen dalam membeli produknya, para penyedia layanan (provider) telekomunikasi membuat berbagai cara dan strategi demi terpenuhinya target produksi dari perusahaan, yang juga memberikan keuntungan yang signifikan agar dapat menguasai pasar. Dengan berdasar hal tersebut, para provider telekomunikasi menjadi lebih profit oriented dalam menjalankan bisnisnya dan mulai menerobos etika maupun koridor-koridor periklanan.

Iklan sudah berkembang dari aktifitas bisnis kecil-kecilan hingga didominasi bisnis raksasa, ketika pendapatan iklan telah mencapai 100 milyar dolar, atau 2

30 Indah Suri Oliviarni “Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap pelanggan

Sambungan Telekomunikasi di PT. Telkom Riau Daratan.” http://www.researchgate.net, di akses pada tanggal 10 Mei 2011.

persen dari produk nasional bruto AS, eksekutif periklanan yang terdahulu, melihat kembali pada praktik-praktik mereka dan mengakui bahwa satu-satunya nilai riil dari profesi adalah menimbun uang.31

Di Indonesia, dalam kuartal pertama tahun 2009, pembelanjaan iklan telah mencapai ratusan milyar. Sector industri telekomunikasi, tercatat menghabiskan uang sebanyak Rp.253 miliar untuk belanja iklan di media televisi pada kuartal tahun 2009. Hal tersebut mencerminkan bahwa, iklan merupakan sebuah pengeluaran yang sangat besar bagi para perusahaan demi mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Keluhan terhadap layanan telekomunikasi menduduki peringkat tertinggi untuk tahun 2010, disusul disusul industri perbankan, perumahan, listrik dan transportasi. Ini harus menjadi perhatian karena per tahun, peringkat keluhan terhadap jasa layanan telekomunikasi terus meningkat yaitu, keenam di 2008, keempat di 2009 dan pertama di 2010.

Menkominfo sendiri pernah memberikan langkah-langkah untuk menjadi “Konsumen Telkom Yang Cerdas”, jika terjadi gangguan layanan telekomunikasi adalah:

1. Menghubungi layanan konsumen operator yang digunakan dengan berbagai saluran yang disediakan.

2. Jika keluhan belum terlayani, pengguna bisa menghubungi lembaga konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan lainnya, untuk mengadvokasi keluhan tersebut.

31 Val E. Limburg, Electronic Media Etics- Etika Media Elektronik, (Yogyakarta :

3. Jika masih belum puas, tidak ada larangan untuk menuliskannya ke media massa, sosial media, atau media lainnya sebagai pengingat.

4. Hubungi layanan pengaduan yang dimiliki oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), baik melalui situs resmi mereka, SMS melalui nomor telepon 08158930000, atau melalui email ke pengaduan@brti.or.id.

Sejatinya di negara ini, konsumen telekomunikasi belum mendapatkan perlindungan yang optimal atas penggunaan jasa layanan telekomunikasi. Beberapa regulasi yang ada tidak serta merta menguatkan implementasi di lapangan tentang penegakan hukum yang berlaku. Konsumen atau pelanggan selama ini masih dijadikan obyek bukan subyek.

B. Pengertian dan Cakupan Hukum Perlindungan Konsumen.

Pengertian perlindungan konsumen termaktub dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.

Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab.32

32 Bandingkan konsideran huruf d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Apabila diperhatikan dalam penjelasan Bab sebelumnya, dapat di perhatikan bahwa sangat penting untuk dapat melindungi konsumen dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kerugian bagi mereka. Konsumen perlu dilindungi, karena konsumen dianggap memiliki suatu “kedudukan” yang tidak seimbang dengan para pelaku usaha. Ketidakseimbangan ini menyangktu bidang pendidikan dan posisi tawar yang dimiliki oleh konsumen. Sering kali konsumen tidak berdaya menghadapi posisi yang lebih kuat dari para pelaku usaha.

Pelindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menetukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha. Pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan kesadaran kemampuan, dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen.

Di samping itu juga ada kemudahan dalam proses menjalankan sengketa konsumen yang timbul karena kerugian harta bendanya, keselamatan/ kesehatan tubuhnya, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen. Perlu diingat bahwa sebelum ada Undang-Undang ini ,”konsumen umumnya lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan daya tawar”.33 Terdapat tiga pengertian

konsumen yang ingin mendapat perlindungan :

33 UN General Assembly Resolution 39/248 tanggal 9 April 1985, “...recognizing that consumers often face imbalance in economic terms, educational levels and bargaining power”.

1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/ jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

3. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya, tidak untuk diperdagangkan kembali.

Konsumen (akhir) inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut. Selanjutnya, apabila digunakan istilah konsumen dalam Undang-Undang, yang dimaksudkan adalah konsumen akhir. Undang-Undang ini mendefenisikan konsumen (Pasal 1 angka 2) sebagai berikut : ”setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.”

Sedangkan pelaku usaha adalah istilah yang digunakan pembuat Undang-Undang yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut :34

1. kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak penyedia dana lainnya, dan sebagainya.

2. produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri atas orang/ badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuat pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan sebagainya. 3. Distibutor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, hypermarket, rumah sakit, klinik, warung dokter, usaha angkutan (darat, laut udara), kantor pengacara dan sebagainya.

C. Asas dan Tujuan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen.

Asas perlindungan konsumen terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 2 dimana berbunyi “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.Dimana yang dimaksud dengan asas-asas diatas adalah :35

1. Asas manfaat

35 Wibowo Tunardi, Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen,http://www. Tunardy.com/asas-dan-tujuan-hukum-perlindungan-konsumen./. diakses pada tanggal 12 Januari 2011.

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.

2. Asas keadilan

Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

3. Asas keseimbangan

Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum

Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Kelima asas yang disebutkan yang disebutkan dalam Pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :

1. asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,

2. asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. asas kepastian hukum.

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”,36 yang berarti dapat

dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.37

Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perUndang-Undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu

36 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, 1950, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta, Chandra Pratama, 1996), hal. 95.

37 Peter Mahmud Marzuki, The Need for the Indonesian Economic Legal Framework,

dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.38

Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan :39

“bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum.”

Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut, sebagaimana dikatakannya :40

“Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.”

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus.

Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik

38 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Chandra Pratama, 1996), hal. 95-96. 39Ibid., hal. 96.

yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetap melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perUndang-Undangan.

Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan fungsi hukum yang menurut Rescoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana control social.41

Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Secara umum hubungan-hubungan hukum baik yang bersifat publik maupun privat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas. Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban social. Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu. Sedangkan prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari asas kebebasan. Apabila dalam

Dokumen terkait