• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Akibat Paket Penghematan Pulsa Excelcomindo(Studiputusan PN No.206/Pdt/2006)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Akibat Paket Penghematan Pulsa Excelcomindo(Studiputusan PN No.206/Pdt/2006)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN

KONSUMEN AKIBAT PAKET PENGHEMATAN PULSA

EXCELCOMINDO(STUDIPUTUSAN PN No.206/Pdt/2006)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas

dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

YOPIE HANDOKO

NIM :060200066

Departemen Hukum Ekonomi

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN AKIBAT PAKET PENGHEMATAN PULSA EXCELCOMINDO(STUDIPUTUSAN PN No.206/Pdt/2006)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas

Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

YOPIE HANDOKO

060200066

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha S.H., M.Hum

NIP. 197501122005012002

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Sunarmi, SH. M.Hum. Windha S.H., M.Hum

NIP. 196302151989032002 NIP. 197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas segala

petunjuk Rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN

KONSUMEN AKIBAT PAKET PENGHEMATAN PULSA EXCELCOMINDO(STUDIPUTUSAN

PN No.206/Pdt/2006)” yang disusun guna memenuhi persyaratan mencapai gelar

Sarjana Hukum di Fakutas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun

dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan yang bersifat

mendidik dan membangun dari berbagai pihak.

Dalam kesempatan kali ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, S.H, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, dan juga sebagai Dosen Pembimbing II

yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan dan masukan bagi

(4)

4. Bapak Muhammad Husni, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

5. Prof. Dr. Sunarmi, SH. M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak

membantu memberikan arahan, bimbingan dan masukan bagi Penulis;

6. Ibu Windha S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan selaku

dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan membantu Penulis;

7. Bapak Ramli Siregar S.H., M.Hum sebagai Sekretaris Departemen Fakultas Hukum

Ekonomi yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan, masukan

dan nasehat bagi penulis;

8. Ibu Keriahen Purba, SH sebagai Dosen Wali dari Penulis;

9. Bapak dan Ibu Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan kritik;

10. Seluruh staff pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu Penulis selama

masa perkuliahan;

11. Teristimewa persembahan kepada kedua orang tuaku : H. Haryono S.E. dan Hj.

Nurzaimah S.E. Terima kasih atas cinta dan kasih sayangnya yang tak terbatas,

doa-doa yang tak pernah putus, motivasi yang selalu membangun, bantuan moriil dan

materi yang tak akan mungkin terbalaskan;

12. Kepada kakak ku Kerry Desiana, terima kasih atas dukungannya selama ini dan selalu

menghibur Penulis, juga kepada Saudara-Saudaraku, yang tidak bisa disebutkan satu

persatu;

13. Kepada sahabat-sahabatku angkatan 2006: Rizky Alisyahbana, Indra Tarigan Silangit,

(5)

selanjutnya penulis harapkan persahabatan ini tidak akan berakhir sampai akhir usia

kita dan mereka-mereka ini dapat menjadi pembesar-pembesar negeri ini, Amin.

14. Kepada teman-teman seperjuangan, Egi Arjuna Ginting, Tessa Yudistira, Anggi

Iskandar Nst, Atika Ayu Pulungan, Milki, Ivan Najjar Alavi, Jhon Hendrik Hasibuan,

Sheila Lydia, Irene Kartika Sari Siregar, Ahmad Parlindungan Hsb., dan semua

teman-teman angkatan 2006 yang tidak bisa disebutkan satu- persatu terima kasih atas doa

dan dukungan kepada saya;

15. Kepada Teman-teman sepermainan Dhany, Azlan, Andri, Andika, Poethra dan Satria

semoga persahabatan ini terus terjalin;

16. Rekan-rekan juang di Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia;

17. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat

disebutkan satu per satu;

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap agar karya tulis ini

dapat bermanfaat bagi semua. Semoga Allah SWT, selalu memberikan Rahmat

Karunia-Nya kepada kita semua. Amin.

Medan, Juni 2011

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

A. Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia... 20

B. Pengertian dan Cakupan Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia... 28

C. Asas dan Tujuan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen... 31

D. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen di Indonesia……40

BAB III TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN MENURUT UU No.8 TAHUN 1999 tentang Perlindungan Konsumen... 49

A. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha... 49

B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha...55

(7)

BAB IV IMPLEMENTASI PENEGAKAN UNDANG-UNDANG No.8 TAHUN 1999 dalam hal TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA MENGENAI GANTI RUGI TERHADAP KONSUMEN BERDASARKAN PUTUSAN PN No. 206/PDT.

G/2006... 68

A. Posisi Kasus Sengketa Antara Konsumen dan Excelcomindo...68

B.Putusan pengadilan Negeri Terhadap Sengketa Konsumen dan Excelcomindo...73

C.Implementasi Penegakan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Dalam Hal Tanggung Jawab Pelaku Usaha Mengenai Ganti Rugi Terhadap Konsumen……….77

BAB V KESIMPULAN dan SARAN... 82

A. Kesimpulan... 82

(8)

ABSTRAKSI

Berkembangnya ekonomi suatu negara dan masyarakat yang aktif dalam mencari informasi menuntut perkembangan telekomunikasi suatu negara secara tidak langsung. Di Indonesia perkembangan telekomunikasi juga terjadi dengan pesat, hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya pelaku usaha yang mendirikan banyak sekali perusahaan jasa telekomunikasi khususnya kartu seluler. Posisi konsumen yang dahulunya sebagai subyek telah berubah menjadi obyek bagi pelaku usaha untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk melindungi hak-hak konsumen maka dibentuk dan disahkanlah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam skripsi ini dirumuskan beberapa permasalahan di antaranya yaitu bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia, tanggung jawab pelaku usaha menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dan bagaimana implementasi penegakan tanggung jawab pelaku usaha apabila terjadi kerugian terhadap konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini metode yuridis normatif, dimana penelitian hukum normatif biasanya dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan maka disebut juga dengan metode kepustakaan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.

Bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia yaitu perlindungan hukum melalui perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak dan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara melalui ketentuan yang mengatur tentang Perlindungan Konsumen dimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi yang diberikan oleh pelaku usaha hanya dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan implementasi

(9)

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap Putusan PN No.206/Pdt/2006 telah sesuai dengan ketentuan yang ada.

(10)

ABSTRAKSI

Berkembangnya ekonomi suatu negara dan masyarakat yang aktif dalam mencari informasi menuntut perkembangan telekomunikasi suatu negara secara tidak langsung. Di Indonesia perkembangan telekomunikasi juga terjadi dengan pesat, hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya pelaku usaha yang mendirikan banyak sekali perusahaan jasa telekomunikasi khususnya kartu seluler. Posisi konsumen yang dahulunya sebagai subyek telah berubah menjadi obyek bagi pelaku usaha untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk melindungi hak-hak konsumen maka dibentuk dan disahkanlah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam skripsi ini dirumuskan beberapa permasalahan di antaranya yaitu bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia, tanggung jawab pelaku usaha menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dan bagaimana implementasi penegakan tanggung jawab pelaku usaha apabila terjadi kerugian terhadap konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini metode yuridis normatif, dimana penelitian hukum normatif biasanya dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan maka disebut juga dengan metode kepustakaan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.

Bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia yaitu perlindungan hukum melalui perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak dan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara melalui ketentuan yang mengatur tentang Perlindungan Konsumen dimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi yang diberikan oleh pelaku usaha hanya dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan implementasi

(11)

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap Putusan PN No.206/Pdt/2006 telah sesuai dengan ketentuan yang ada.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia jauh tertinggal dari pada negara maju lainnya, khususnya dalam bidang teknologi. Seiring dengan berkembangnya suatu negara maka manusia ingin mendapatkan informasi tentang apa saja yang terjadi baik di negaranya maupun di negara lain. Oleh sebab itu negara berkembang dan negara maju terus-menerus melakukan penemuan baru di bidang teknologi informasi. Kemajuan teknologi informasi di negara India dan Cina yang luar biasa terjadi karena sumber daya manusia yang mampu mengembangkan dan mengendalikan teknologi tersebut.4

Di Indonesia tradisi pendidikan, pengembangan, termasuk penelitian di bidang ilmu pengetahuan belum begitu mendarah daging, tradisi penemuan-penemuan baru di segala bidang kurang berkembang. Salah satu teknologi informasi yang masuk ke Indonesia adalah telepon seluler yang awalnya hanya bisa di pakai oleh segelintir orang yang dapat menggunakannya misalnya seorang direktur perusahaan, pejabat pemerintahan dan golongan ekonomi menengah ke atas. Hal tersebut disebabkan harga alat komunikasi tersebut relatif mahal dan harga kartu seluler yang digunakan juga memiliki harga yang tinggi. Secara perlahan-lahan, seiring semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi juga banyaknya pelaku usaha penyedia kartu seluler maka

4 Atik Triratnawati, “Aspek Simbolisme Telepon Genggam”, Majalah Humaniora

(13)

telpon seluler yang awalnya merupakan barang tersier berubah menjadi barang primer.

Pentingnya telekomunikasi untuk mendukung kegiatan perekonomian masyarakat membuat bisnis telekomunikasi pada masa mendatang usaha komunikasi data akan meraup untung yang sangat besar. Tidaklah mengherankan apabila muncul prediksi pasar komunikasi akan tumbuh pesat dengan nilai bisnis mencapai Rp. 14,9 triliun pada tahun 2011.5

Jasa telekomunikasi seluler di Indonesia memiliki pasar yang sangat besar. Pasar yang sangat besar dalam industri jasa telekomunikasi ini tentu patut diikuti dengan sistem perlindungan hukum. Tujuannya untuk melindungi jutaan masyarakat yang menggunakan jasa telekomunikasi seluler yang pada gilirannya menimbulkan tanggung jawab bagi para pelaku usaha untuk memberikan pelayanan yang baik kepada para konsumennya.6

Kartu seluler di Indonesia memiliki dua klasifikasi antara lain GSM (Global System for Mobile Communication) seperti XL (XL prabayar dan XL pascabayar), Indosat (IM3 dan Mentari), Telkomsel (kartu As, Halo dan Simpati) dan CDMA (Code Division Multiple Access) seperti Telkom (Flexi), Mobile-8 (Fren), Indosat (Starone). Hadirnya kartu GSM lebih awal daripada kartu CDMA. Akan tetapi sekarang perkembangan keduanya sangat pesat. Hal ini membuat pelaku usaha semakin ketat bersaing dalam dunia jasa telekomunikasi di

5 Achmad Rouzni Noor, Pasar Komunikasi Data 14,9 T di 2011 http:// www. Detikinet.com, diakses pada tanggal 12 Desember 2010.

6 Muhlis Usman “Perlindungan Hukum Bagi Pelanggan Jasa Telekomunikasi Seluler

(14)

Indonesia. Pelaku usaha menanamkan sahamnya untuk berinvestasi di dunia telekomunikasi di Indonesia, tidak hanya investasi yang berasal dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri.7

Perkembangan kartu seluler di Indonesia mendukung kebutuhan masyarakat akan informasi dan komunikasi, sehingga hadirnya kartu seluler memudahkan masyarakat untuk mendapatkan informasi. Sekarang tidak hanya golongan ekonomi menengah ke atas saja yang dapat menikmati kehadiran kartu seluler tetapi semua golongan dapat menikmatinya dari pejabat tinggi, karyawan kantor, ibu rumah tangga sampai abang tukang becak.8

Konsumen yang telah menyetujui untuk menggunakan layanan yang ditawarkan dengan menyepakati aturan yang telah dibuat oleh pelaku usaha, terikat dalam suatu hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha. Adanya hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Hubungan hukum itu terjadi karena adanya perikatan dari pihak pelaku usaha dan konsumen. Sebagaimana Subekti mendefinisikan perikatan sebagai berikut :

“suatu hubungan hukum antara dua orang atau pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut.”9

Meskipun konsumen dapat memilih operator celuler yang memiliki kualitas pelayanan telekomunikasi yang lebih baik, namun telekomunikasi merupakan

7 Wilson L. Simatupang, Perkembangan Telekomunikasi Dalam Masyarakat, http:// www. Sinarharapan. co.id, diakses pada tanggal 12 Desember 2010.

8Ibid

(15)

industri yang sarat akan asymmetric information. Maksudnya dalam industri telekomunikasi, informasi kondisi layanan yang didapat konsumen sering kali tidak sesuai dengan kondisi yang dipromosikan operator. Akibatnya, pengguna layanan berpindah dari satu operator ke operator celuler yang lain yang kualitas pelayanannya sama buruknya.10

Setiap orang pada suatu masa tertentu dalam posisi tunggal maupun berkelompok bersama orang lain, dalam suatu keadaan pasti menjadi konsumen untuk suatu barang dan jasa tertentu, keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan beberapa kelemahan pada konsumen sehingga konsumen berada posisi yang tidak aman.11 Kondisi ini mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang, dimana konsumen barada di posisi yang lemah, konsumen menjadi objek aktifitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan atau penawaran produk serta perjanjian standar yang merugikan konsumen. Akibatnya apabila konsumen dirugikan akibat kesalahan dari pelaku usaha, maka konsumen tidak mampu menuntut ganti kerugian. Salah satu penyebabnya adalah terdapat praktik perdagangan tertentu yang merugikan konsumen.

Banyak provider atau pelaku usaha telekomunikasi yang menawarkan berbagai macam keuntungan dan manfaat dalam kartu seluler yang ditawarkan kepada konsumen, jika tidak hati-hati memilih produk barang/jasa yang

10 Abdul Salam Taba, “Mengurai Standar, Mengerek Layanan. Koran Tempo, 29 Agustus

2007.

(16)

diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dari provider atau pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.12

Menurut penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal tersebut terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen.

Jika dilihat lebih lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen. Hak-hak yang dimaksud, misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi. Lebih dari itu konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang berimbang dengan pelaku usaha. Hal ini terlihat

sekali pada perjanjian baku yang siap untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan baku yang yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar lagi.13

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan judul skripsi ini “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Akibat Paket Penghematan Pulsa Excelcomindo (Berdasarkan Studi Putusan PN No. 206/Pdt/2006)”, maka perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

12 Penyedia layanan atau jasa dan atau penyedia layanan, http:/www.total. or. Id, diakses

pada tanggal 12 desember 2010.

13 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta :

(17)

1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia. 2. Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen dalam

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 3. Bagaimana implementasi penegakan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

dalam hal tanggung jawab pelaku usaha mengenai ganti rugi terhadap konsumen. (Berdasarkan Putusan PN No. 206/Pdt. G/2006).

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan dalam rangka penulisan skripsi ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sehingga penulisan ini bisa lebih terarah serta dapat mengenai sasarannya. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 3. Untuk mengetahui implementasi penegakan Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam hal tanggung jawab pelaku usaha mengenai ganti rugi terhadap konsumen.

Manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis.

(18)

terhadap konsumen. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat ketentuan perlindungan konsumen di Indonesia.

2. Secara praktis.

Pembahasan terhadap masalah ini ditujukan kepada kalangan pelaku usaha utnuk lebih mengetahui bagaimanakah aspek tanggung jawab pelaku usaha kartu seluler dalam memberikan layanan kepada konsumen.

D. Keaslian Penulisan

(19)

E. Tinjauan Kepustakaan

Adapun judul yang dikemukakan penulis adalah “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Akibat Paket Penghematan Pulsa Excelcomindo (Studi Putusan PN No. 206/Pdt/2006)”, maka sebelum diuraikan lebih lanjut terlebih dahulu penulis akan memberikan penjelasan tentang pengertian judul dengan maksud untuk memberikan pembatasan yang jelas.

Perlindungan konsumen itu sendiri menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.14

Ada pun pihak-pihak dan istilah yang terkait di dalam perlindungan konsumen, yaitu :

1. Konsumen

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer adalah

“(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”, sedangkan menurut Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, consumer adalah “ pemakai atau konsumen”.

14 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja

(20)

Sebelum lahirnya UUPK, batasan dan pengertian tentang konsumen masih rancu. Istilah konsumen telah dimuat pertama kali dalam TAP MPR No. II/MPR/119 Bab IV huruf f butir 4a tentang GBHN dan selanjutnya disinggung sedikit dalam beberapa peraturan perUndang-Undangan. Tidak satupun menjelaskan pengertian konsumen. Untuk memperkecil lingkup pengertian konsumen, maka pengertian konsumen dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu :15

a. Konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

b. Konsumen antara adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

c. Konsumen akhir adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Setelah lahirnya UUPK, maka jenis konsumen yang dilindungi adalah jenis konsumen akhir. Hal ini terlihat dari defenisi konsumen yang menjelaskan, yaitu konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.16 Selanjutnya

15 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,

(Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hal. 10.

16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

(21)

pengertian konsumen yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah konsumen akhir sesuai dengan pengertian konsumen dalam UUPK.

Selama ini sudah banyak konsumen yang sudah dirugikan baik secara materiil maupun immateril oleh pelaku usaha, namun dari pihak konsumen kurang usahanya untuk menuntut hak-haknya. Kenyataan ini disebabkan konsumen kurang menyadari hal-hal apa saja yang menjadi haknya dan masih enggan untuk menjalani proses penuntutan hak-haknya yang lama dan rumit. Lahirnya UUPK memberikan penjelasan mengenai apa saja yang menjadi hak-hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4, yaitu :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

(22)

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perUndang-Undangan lainnya.

Hak-hak tersebut diatas merupakan hak yang sudah melekat bagi siapapun yang berkedudukan sebagai konsumen, sekaligus sebagai subjek hukum. Dengan demikian adalah merupakan suatu kebebasan bagi konsumen untuk dapat mempresentasikan hak-hak tersebut kedalam suatu wadah atau kelompok.

Suatu hubungan hukum akan menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Sebelum konsumen mengajukan tuntutan terhadap hak-haknya, sebaiknya konsumen melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Pasal 5 UUPK menjelaskan apa saja yang menjadi kewajiban konsumen, yaitu :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

2. Pelaku Usaha

(23)

pedagang perantara atau pengusaha.17 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

memberikan pengertian pelaku usaha yaitu setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.18

Pelaku usaha merupakan salah satu dari pelaku ekonomi yang dibagi dalam tiga kelompok pelaku usaha, yaitu :19

a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan. Seperti perbankan, penyedia dana dan lain sebagainya. b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang

dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan narkotika, dan lain sebagainya.

c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat,

17 Mariam Darus, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar), Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta, 1980), hal. 57.

18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Pasal 1 angka 3.

(24)

seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, rumah sakit, “warung dokter”, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.

3. Pemerintah

Ketatnya persaingan antar pelaku usaha dalam menawarkan produknya kepada konsumen membentuk suatu keadaan dimana para pelaku usaha dengan tujuan untuk meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya, sering kali mengabaikan hak-hak konsumen dengan melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Salah satu usaha pemerintah untuk mengatasi masalah perlindungan konsumen adalah dengan memberlakukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Agar pelaksanaan dan penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen berjalan dengan baik, maka pemerintah menerbitkan peraturan pelaksanaannya antara lain tentang :

a. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN);

b. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen; c. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat(LPKSM);

(25)

(BPSK) pada kota Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang Surabaya dan Makassar;

e. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 31/MPP/Kep/10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;

f. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 252/MPP/Kep/10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

Selain memberlakukan beberapa peraturan-peraturan perUndang-Undangan sebagai pelaksana UUPK, pemerintah juga mendirikan beberapa lembaga untuk membantu dalam menyelesaikan masalah konsumen yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang diatur juga dalam UUPK.

4. Barang dan/atau Jasa

Menurut UUPK, barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.20 Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga

memberikan batasan terhadap jasa yaitu setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

(26)

Dalam Pasal 45 ayat 1 UUPK Pasal 45 ayat 1 UUPK menyatakan setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.21 Penyelesaian sengketa di luar

pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang dan Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa..22

Berkenaan dengan sengketa ini pemerintah telah membentuk suatu badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang dikenal dengan nama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 11 UUPK yang pendiriannya berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada kota Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang Surabaya dan Makassar.

(27)

F. Metode Penulisan

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian normatif (yuridis normatif). Penelitian hukum normatif biasanya dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan maka disebut juga dengan metode kepustakaan. Penelitian Hukum Normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan pelaku usahakartu seluler sebagai penyedia jasa telekomunikasi.

2. Sumber Data

Materi dalam skripsi ini diambil dari data-data sekunder : a. Bahan hukum primer, yaitu :

Dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan-peraturan lainnya.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu :

Semua dokumen yang merupakan informasi , atau hasil kajian tentang perlindungan konsumen, tanggung jawab pelaku usaha terhadap kerugian konsumen, seperti karya tulis ilmiah, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, serta sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan hukum tersier, yaitu :

(28)

3. Analisis Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara perspektif dengan meggunakan metode kualitatif karena penelitian ini kepustakaan yang menggunakan data sekunder. Metode kualitatif adalah tata cara penelitian yang menghasilkan penelitian yang bersifat deskriptif analitis.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini dibahas dalam lima bab yang terdiri dari pendahuluan, tinjauan umum terhadap perlindungan hukum konsumen di Indonesia, tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, studi putusan PN No. 206/Pdt. G/2006 mengenai tanggung jawab pelaku usaha terhadap kerugian yang diderita konsumen serta kesimpulan dan saran.

BAB I PENDAHULUAN

Ban ini menguraikan latar belakang masalah yang menjadi dasar penulisan. Kemudian berdasarkan latar belakang masalah tersebut dibuat rumusan masalah dan tujuan penulisan. Bab ini juga menjelaskan tentang keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI

(29)

Pada bab ini menjelaskan tentang tinjauan umum terhadap hukum perlindungan konsumen di Indonesia yang antara lain membahas perkembangan perlindungan konsumen di Indonesia, pengertian dan cakupan hukum perlindungan konsumen di Indonesia, asas dan tujuan dalam perlindungan konsumen, serta bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia.

BAB III TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP

KONSUMEN MENURUT UU No. 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN.

Pada bab ini menjelaskan tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang membahas tentang hak dan kewajiban pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, tanggung jawab pelaku usaha, serta bentuk tanggung jawab pelaku usaha bila terjadi kerugian terhadap konsumen.

BAB IV IMPLEMENTASI PENEGAKAN UNDANG-UNDANG NO. 8

TAHUN 1999 dalam hal TANGGUNG JAWAB PELAKU

USAHA MENGENAI GANTI RUGI TERHADAP KONSUMEN

BERDASARKAN PUTUSAN PN NO. 206/PDT. G/2006

(30)

pelanggaran perlindungan konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

BAB V KESIMPULAN dan SARAN

(31)

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI INDONESIA.

A. Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia

Kepentingan-kepentingan konsumen telah lama menjadi perhatian, yang secara tegas telah dikemukakan pada tahun 1962 oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang menyampaikan pesan di depan Kongres tentang pentingnya kedudukan konsumen di dalam masyarakat.23 Peristiwa berikutnya

yang merupakan perhatian atas kepentingan konsumen, secara tegas telah ditetapkan dalam putusan Sidang Umum PBB pada sidang ke-106 tanggal 9 April 1985. Resolusi PBB tentang Perlindungan Konsumen (Resolusi 39/248) telah menegaskan enam kepentingan konsumen, yaitu sebagai berikut.24

1. Perlindungan konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.

2. Promosi dan perlindungan pada kepentingan ekonomi konsumen.

3. Tersedianya informasi yang mencukupi sehingga memungkinkan dilakukannya pilihan sesuai kehendak.

4. Pendidikan konsumen.

5. Tersedianya cara-cara ganti rugi yang efektif.

23 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahan

(Bandung : Alumni, 1981) hal. 47.

(32)

6. Kebebasan membentuk organisasi konsumen dan diberinya kesempatan kepada mereka untuk menyatakan pendapat sejak saat proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.

Pada masa kini, kecenderungan untuk memperluas ruang lingkup Hukum Perlindungan Konsumen telah dilakukan oleh The Economic Law Procurement System Project (ELIPS), yang mengemukakan 9 materi rumusan hukum perlindungan konsumen, yakni :25

1. Ketidaksetaraan dalam kekuatan tawar-menawar;

2. Kebebasan berkontrak versus keadilan dalam berkontrak;

3. Persyaratan untuk memberikan informasi kepada konsumen, yang meliputi hukum pengumuman yang umum dan hukum tentang keuangan;

4. Peraturan tentang perilaku/tindakan penjual, yang meliputi petunjuk, arahan yang salah dan kelicikan dalam perdagangan;

5. Peraturan tentang mutu produk, yang meliputi garansi dan keamanan produk;

6. Akses terhadap kredit (pelaporan, kredit, nondiskriminasi); 7. Batas-batas hak mengakhiri masa jaminan;

8. Peraturan tentang harga; 9. Pembetulan;

Gerakan perlindungan konsumen internasional juga telah memiliki wadah yang cukup berwibawa, yang disebut Internasional Organization of Consumers Unions

(33)

(IOCU). Setiap tanggal 15 Maret organisasi ini menjadikan sebagai hari Hak Konsumen sedunia.26

Untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas produk-produk barang yang dibeli, sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen lahir, peraturan perUndang-Undangan yang mengaturnya adalah sebagai berikut :27

1. Kitab Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan produk peninggalan penjajahan Belanda, tetapi telah menjadi pedoman dalam menyelesaiakan kasus-kasus untuk melindungi konsumen yang mengalami kerugian atas cacatnya barang yang dibelinya.

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang. Penerbitan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk menguasai dan mengatur barang-barang apapun yang diperdagangkan di Indonesia. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri.

Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961. Salah satu tujuan dari standar itu adalah meningkatkan mutu dan hasil industri.

4. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 81/M/K/SK/2/1974 tentang Pengesahan Standar Cara-Cara Analisis dan Syarat-Syarat Mutu Bahan Baku dan Hasil Industri.

26 Imelda Martinelli, “Tiga Isu Penting Dalam Transaksi Konsumen”, Era Hukum No.

11/Th 3/1997, hal.66.

(34)

Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bulan Mei 1973. Secara teoritis , pada awalnya Yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan suara-suara dari masyarakat, kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen ini, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu.

Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik Indonesia masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen (seperti yang dilakukan YLKI) dilakukan melalui koridor resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen.

(35)

karena terbukti pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) selalu ditunda. Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan BJ. Habibie, tepatnya pada tanggal 20 April 1999, Rancangan Undang Perlindungan Konsumen disahkan secara resmi menjadi Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan adanya UUPK, jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan dalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen, yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.

(36)

lebih lemah dibanding dengan pelaku usaha, maka kebutuhan perlindungan konsumen tersebut merupakan suatu “conditio sine qua non”28.29

Dalam penjelasan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa peranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, sebab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat, serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.

Dalam aktivitas kegiatan usaha, kepentingan-kepentingan konsumen itu lahir karena adanya peranan konsumen yang telah memberikan sumbangan besar kepada pengusaha sebagai penyedia dan produk. Konsumen juga telah memberikan sumbangan besar kepada pelaku usaha dari barang –barang dan jasa yang dibelinya, yang merupakan pihak yang menentukan dalam pemupukan modal yang diperlukan oleh pengusaha untuk mengembangkan usahanya, dan pada akhirnya konsumen menjadi penentu dalam menggerakkan roda perekonomian.

Hukum perlindungan konsumen sangat berpengaruh dalam era globalisasi yang kehidupan masyarakatnya semakin maju baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi. Dalam setiap kemajuan tersebut terdapat berbagai permasalahan yang beraneka ragam dan kompleks. Mengingat sedemikian

28 “Setiap fakta atau peristiwa merupakan suatu hal yang tidak dapat ditiadakan tanpa

meniadakan kerugian itu sendiri, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanpa kenyataan/fakta termaksud, kerugian tidak akan terjadi”, sumber Hukum Asuransi & Perusahaan Asuransi, Sri Rejeki Hartono, Sinar Grafika, Jakarta, 1997,http://kamushukum.com., diakses pada tanggal 16 Januari 2011.

(37)

kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di dalam masyarakat maka dilakukanlah berbagai upaya hukum guna memberikan solusi dalam setiap permasalahan tersebut,o!eh karena itu dibuatlah hukum perlindungan konsumen. Pelanggan merupakan konsumen dari jasa pelayanan telekomunikasi, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu tuntutan yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Dalam dunia komunikasi, pihak pelanggan merupakan unsur yang sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia komunikasi bersandar pada kepercayaan dari pihak masyarakat atau pelanggan.30

Kegiatan penyediaan produk oleh pengusaha dan penggunaan produk oleh konsumen, dalam berbagai kemungkinan bentuk hukumnya , dijalankan oleh subjek hukum pengusaha, baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan subjek hukum konsumen. Hubungan hukum tersebut tentu saja harus diatur oleh peraturan perUndang-Undangan agar konsumen dapat dilindungi hak-hak dan kepentingannya.

Untuk menarik minat konsumen dalam membeli produknya, para penyedia layanan (provider) telekomunikasi membuat berbagai cara dan strategi demi terpenuhinya target produksi dari perusahaan, yang juga memberikan keuntungan yang signifikan agar dapat menguasai pasar. Dengan berdasar hal tersebut, para provider telekomunikasi menjadi lebih profit oriented dalam menjalankan bisnisnya dan mulai menerobos etika maupun koridor-koridor periklanan.

Iklan sudah berkembang dari aktifitas bisnis kecil-kecilan hingga didominasi bisnis raksasa, ketika pendapatan iklan telah mencapai 100 milyar dolar, atau 2

30 Indah Suri Oliviarni “Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap pelanggan

(38)

persen dari produk nasional bruto AS, eksekutif periklanan yang terdahulu, melihat kembali pada praktik-praktik mereka dan mengakui bahwa satu-satunya nilai riil dari profesi adalah menimbun uang.31

Di Indonesia, dalam kuartal pertama tahun 2009, pembelanjaan iklan telah mencapai ratusan milyar. Sector industri telekomunikasi, tercatat menghabiskan uang sebanyak Rp.253 miliar untuk belanja iklan di media televisi pada kuartal tahun 2009. Hal tersebut mencerminkan bahwa, iklan merupakan sebuah pengeluaran yang sangat besar bagi para perusahaan demi mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Keluhan terhadap layanan telekomunikasi menduduki peringkat tertinggi untuk tahun 2010, disusul disusul industri perbankan, perumahan, listrik dan transportasi. Ini harus menjadi perhatian karena per tahun, peringkat keluhan terhadap jasa layanan telekomunikasi terus meningkat yaitu, keenam di 2008, keempat di 2009 dan pertama di 2010.

Menkominfo sendiri pernah memberikan langkah-langkah untuk menjadi “Konsumen Telkom Yang Cerdas”, jika terjadi gangguan layanan telekomunikasi adalah:

1. Menghubungi layanan konsumen operator yang digunakan dengan berbagai saluran yang disediakan.

2. Jika keluhan belum terlayani, pengguna bisa menghubungi lembaga konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan lainnya, untuk mengadvokasi keluhan tersebut.

31 Val E. Limburg, Electronic Media Etics- Etika Media Elektronik, (Yogyakarta :

(39)

3. Jika masih belum puas, tidak ada larangan untuk menuliskannya ke media massa, sosial media, atau media lainnya sebagai pengingat.

4. Hubungi layanan pengaduan yang dimiliki oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), baik melalui situs resmi mereka, SMS melalui nomor telepon 08158930000, atau melalui email ke pengaduan@brti.or.id.

Sejatinya di negara ini, konsumen telekomunikasi belum mendapatkan perlindungan yang optimal atas penggunaan jasa layanan telekomunikasi. Beberapa regulasi yang ada tidak serta merta menguatkan implementasi di lapangan tentang penegakan hukum yang berlaku. Konsumen atau pelanggan selama ini masih dijadikan obyek bukan subyek.

B. Pengertian dan Cakupan Hukum Perlindungan Konsumen.

Pengertian perlindungan konsumen termaktub dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.

Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab.32

32 Bandingkan konsideran huruf d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

(40)

Apabila diperhatikan dalam penjelasan Bab sebelumnya, dapat di perhatikan bahwa sangat penting untuk dapat melindungi konsumen dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kerugian bagi mereka. Konsumen perlu dilindungi, karena konsumen dianggap memiliki suatu “kedudukan” yang tidak seimbang dengan para pelaku usaha. Ketidakseimbangan ini menyangktu bidang pendidikan dan posisi tawar yang dimiliki oleh konsumen. Sering kali konsumen tidak berdaya menghadapi posisi yang lebih kuat dari para pelaku usaha.

Pelindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menetukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha. Pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan kesadaran kemampuan, dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen.

Di samping itu juga ada kemudahan dalam proses menjalankan sengketa konsumen yang timbul karena kerugian harta bendanya, keselamatan/ kesehatan tubuhnya, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen. Perlu diingat bahwa sebelum ada Undang-Undang ini ,”konsumen umumnya lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan daya tawar”.33 Terdapat tiga pengertian

konsumen yang ingin mendapat perlindungan :

(41)

1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/ jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

3. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya, tidak untuk diperdagangkan kembali.

Konsumen (akhir) inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut. Selanjutnya, apabila digunakan istilah konsumen dalam Undang-Undang, yang dimaksudkan adalah konsumen akhir. Undang-Undang ini mendefenisikan konsumen (Pasal 1 angka 2) sebagai berikut : ”setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.”

Sedangkan pelaku usaha adalah istilah yang digunakan pembuat Undang-Undang yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut :34

(42)

1. kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak penyedia dana lainnya, dan sebagainya.

2. produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri atas orang/ badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuat pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan sebagainya. 3. Distibutor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, hypermarket, rumah sakit, klinik, warung dokter, usaha angkutan (darat, laut udara), kantor pengacara dan sebagainya.

C. Asas dan Tujuan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen.

Asas perlindungan konsumen terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 2 dimana berbunyi “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta

kepastian hukum”.Dimana yang dimaksud dengan asas-asas diatas adalah :35

1. Asas manfaat

(43)

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.

2. Asas keadilan

Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

3. Asas keseimbangan

Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum

Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

(44)

1. asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,

2. asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. asas kepastian hukum.

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”,36 yang berarti dapat

dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga

menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.37

Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perUndang-Undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu

36 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, 1950, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta, Chandra Pratama, 1996), hal. 95.

37 Peter Mahmud Marzuki, The Need for the Indonesian Economic Legal Framework,

(45)

dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.38

Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan :39

“bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum.”

Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut, sebagaimana dikatakannya :40

“Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.”

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus.

Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik

38 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Chandra Pratama, 1996), hal. 95-96. 39Ibid., hal. 96.

(46)

yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetap melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perUndang-Undangan.

Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan fungsi hukum yang menurut Rescoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana control social.41

Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Secara umum hubungan-hubungan hukum baik yang bersifat publik maupun privat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas. Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban social. Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu. Sedangkan prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari asas kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah hak, maka di dalam prinsip atau asas solidaritas yang menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang

41 Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, The Method and Philosophy of Law, Harvard

(47)

merupakan modus survival bagi manusia. Melalui prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan Negara mencampuri urusan yang sebenarnya bersifat privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan bersama.42 Dalam hubungan

inilah kepentingan pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan di atas, yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum ekonomi.

Sejak masuknya paham welfare state, Negara telah ikut campur dalam perekonomian rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang terwujud dalam bentuk peraturan perUndang-Undangan, termasuk dalam hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen. Pengaturan hal-hal tertentu yang berkaitan dengan masuknya paham Negara modern melalui welfare state, kita tidak menemukan lagi pengurusan kepentingan ekonomi oleh rakyat tanpa melibatkan pemerintah sebagai lembaga eksekutif bertanggung jawab memajukan kesejahteraan rakyatnya yang diwujudkan dalam suatu pembangunan nasional. Campur tangan Pemerintah di Indonesia sendiri dapat diketahui dari isi pembukaan dan Pasal 33 UUD1945, serta dalam GBHN dan dalam pelaksanaanya, termasuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 2 Undang-Undang-Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam rangka pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab pemerintah.

Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan

42 J. H. P. Bellefroid, Inleiding tot de Rechtswetwenschap in Nederland, Dekker & Van de

(48)

konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen di samping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan.

Memperhatikan uraian tentang asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen tersebut, demikian pula hubungannya dengan substansi Pasal 1 angka 1 dalam bab sebelumnya, maka tidak dapat diragukan bidang hukum ini berada dalam lingkup kajian hukum ekonomi. Hukum ekonomi yang dimaksud, mengakomodasi dua aspek hukum sekaligus yaitu aspek hukum publik dan aspek hukum privat (perdata), dalam hubungan ini, maka hukum ekonomi mengandung berbagai asas hukum yang bersumber dari kedua aspek hukum dimaksud. Di dalamnya mengandung nilai-nilai untuk melindungi berbagai aspek kehidupan kemanusiaan di dalam kegiatan ekonomi. Asas-asas hukum publik antara lain; asas keseimbangan kepentingan, asas pengawasan publik, dan asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi. Sedangkan asas-asas hukum yang bersumber dari hukum perdata dan/ atau hukum dagang yaitu khusus mengenai hubungan hukum para pihak di dalam suatu kegiatan atau perjanjian tertentu atau perbuatan hukum tertentu dimana harus menhormati “hak dan kepentingan pihak lain”.43

Oleh karena hukum ekonomi mempersoalkan hubungan antara hukum dan kegiatan-kegiatan ekonomi, maka asas lain yang juga patut mendapat perhatian adalah asas-asas yang berlaku dalam aspek kegiatan ekonomi tersebut. Dalam kegiatan ekonomi yang sangat terkenal yaitu upaya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya. Berangkat dari hal ini,

(49)

maka dalam hukum ekonomi juga berlaku asas “maksimalisasi” dan “efisiensi”. Melalui asas ini suatu aturan yang hendak diambil/ diterapkan harus mempertimbangkan sesuatu yang lebih menguntungkan secara maksimal bagi semua pihak, demikian pula harus menghindari suatu prosedur yang panjang dalam rangka efisiensi waktu, biaya, dan tenaga.

Asas-asas hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3 kelompok diatas yaitu asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan dengan asas efisiensi karena menurut Himawan bahwa : “Hukum yang berwibawa berarti hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan.”44

Hukum Perlindungan konsumen memiliki tujuan yang diantaranya adalah :45

1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri

2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

44 Himawan, Ch., Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum Sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum, dalam Majalah Hukum dan Pembangunan. No. 5. tahun XXI, Oktober 1991, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hal. 435.

45 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,Ed. 1-4, (Jakarta. PT.

(50)

4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.

Achmad Ali mengatakan masing-masing Undang-Undang memiliki tujuan khusus.46 Hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal 3 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 di atas.

Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e.

(51)

sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapata kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan ganda.

Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam Undang-Undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menetukan efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.47

D. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen di Indonesia

Bentuk perlindungan konsumen di Indonesia melingkupi dua hal yaitu perlindungan konsumen yang muncul dari perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak dan bentuk perlindungan konsumen yang diberikan oleh negara

47 Acmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris tehadap Hukum, (Jakarta: Yarsif Watampon,

Referensi

Dokumen terkait

Dilihat dari segi teknis perlakuan dengan padat penebaran 2 ekor/liter merupakan perlakuan yang paling efisien, karena memiliki laju pertumbuhan pertumbuhan bobot harian,

Apakah ada pengaruh yang signifikan penerapan manajemen risiko dengan indikator rasio keuangan CAR, ROA, NPL, BOPO, dan LDR secara simultan terhadap kinerja laba

: Produktivitas Sekolah (Ditinjau dari Kepemimpinan Kepala Sekolah, Iklim Sekolah dan Motivasi Kerja di MTs Negeri Kabupaten Pati) Dengan ini kami menilai tesis tersebut

Untuk mencegah terjadinya penyakit yang berhubungan dengan asam urat pada remaja, perlu dilakukan pembatasan pada makanan dan minuman yang mengandung terlalu

Pasar industri perasuransian mengalami perubahan dengan total perusahaan perasuransian sebanyak 380 perusahaan yang terdiri dari 45 perusahaan asuransi jiwa, 85 perusahaan

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui besarnya hubungan antara keterampilan berpikir rasional siswa SMA dengan hasil belajar ranah kognitif dalam

menggunakan sampel pembuatan pintu belakang, elemen kerja pemasangan karet ke frame pendek panjang 855mm dan 755mm pada jenis mobil enam roda, enam roda long, empat