• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketaksaan (Ambiguitas)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Ketaksaan (Ambiguitas)

Ketaksaan atau ambiguitas sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Polisemi juga bermakna ganda hanya saja kegandaan makna dal am polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, di samping terjadi sebagai akibat penafsiran sruktur gramatikal yang berbeda. Dalam bahasa, penafsiran ganda ini mungkin tidak akan teijadi karena stuktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi.

Bentuk utama ketaksaan, yakni berhubungan dengan fonetik, gramtikal, dan lesikal. Ketaksaan ini muncul apabila kita sebagai pendengar atau pembaca sulit menangkap pengertian yang kita baca, atau yang kita dengar. Bahasa lisan sering menimbulkan ketakasaan sebab apa yang kita dengar belum tentu tepat benar yang dimaksudkan oleh si pembicara atau si penulis. Di dalam tulisan kita mengenal tanda baca yang akan mempeijelas maknanya. Lebih – lebih apabila pembicara berbicara dengan cepat, tanpa jeda.

2.2 Ketakasaan Fonetik

Ambiguitas pada tingkat ini teijadi karena membaumya bunyi-bunyi bahasa yang diucapkan. Terkadang bisa saja salah menafsirkan makna suatu kata atau frasa karena saat percakapan frasa atau kata itu terlalu cepat diucapkan. Hal ini bisa menimbulkan keraguan makna, misalnya pada contoh di bawah ini.

a. Ungkapan ‟‟kapan emas kawinnya?” dapat ditafsirkan salah apabila kita tidak memperhatikan konteksnya. Apabila pengucapannya terlalu cepat, hal itu bisa ditafsirkan menjadi kapan emas kawin (benda) akan diberikan kepada pengantin misalnya atau mungkin penafsirannya ke arah kapan seseorang yang dipanggil mas (kakak laki-laki) tersebut akan menikah.

5 b. Kalimat ‟‟Yang berdiri di depan kakak ibu”. Kalimat ini jika pengucapannya tidak dibatasi oleh jeda akan dapat ditafsirkan bahwa yang berdiri di depan itu kakak dari ibu (paman/bibi) atau bisa juga ditafsirkan „yang berdiri di depan kakak itu adalah ibu‟.

Sehubungan dengan hal di atas, untuk menghindari ketaksaan, si pendengar memohon kepada pembicara untuk mengulang apa yang diujarkannya

2.3 Ketaksaan Gramatikal

Makna gramatikal dalam bahasa Inggris (grammatical meaning; functional meaning, structural meaning, internal meaning) adalah makna yang menyangkut hubungan intrabahasa atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata di dalam kalimat. Di dalam semantik, makna gramatikal dibedakan dengan makna leksikal. Secara operasional makna leksikal dapat berubah ke dalam makna gramatikal. Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika, seperti proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Seperti terlihat pada contoh di bawah ini.

Umumnya, dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan kata dasar baju (berbaju) melahirkan makna gramatikal „mengenakan atau memakai baju‟, dengan dasar kuda (berkuda) akan melahirkan makna gramatikal „mengendarai kuda‟, dengan dasar rekreasi (berekreasi) melahirkan makna gramatikal „melakukan rekreasi‟.

Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu

“terangkat” juga oleh adik melahirkan makna „dapat‟, dan dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu “terangkat” ke atas melahirkan makna gramatikal „tidak sengaja‟.

Dalam buku-buku tata bahasa biasanya terdapat perincian makna awalan ter- atau imbuhan lain. Sebetulnya ter- atau juga imbuhan lain, tidak mempunyai makna.

Sebuah imbuhan, seperti awalah ter- di atas, baru memiliki makna atau kemungkinan makna apabila sudah berproses dengan kata lain, seperti contoh kata terang/cat di atas yang memiliki kemungkinan makna (1) „dapat‟ atau (2) „tidak sengaja‟. Selanjutnya,

6 kepastian maknanya baru diperoleh setelah berada dalam konteks kalimat, misalnya makna „dapat‟ terdapat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik; dan makna „tidak sengaja‟ dalam kalimat „Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas’.

Dalam kenyataannya, makna sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian, sangat sering tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi, sehingga makna gramatikal ini sering juga disebut makna kontekstual atau makna situasional. Selain itu, bisa juga disebut makna struktural karena proses dan satuan-satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan.

Makna gramatikal itu bermacam-macam. Setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu untuk menyatakan makna – makna, atau nuansa – nuansa makna gramatikal. Misalnya, untuk menyatakan makna „jamak‟ bahasa Indonesia menggunakan proses reduplikasi, seperti kata buku yang bermakna „sebuah buku‟

menjadi buku-buku yang bermakna „banyak buku‟.

Penyimpangan makna dari bentuk-bentuk gramatikal yang sama lazim terjadi dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Indonesia, misalnya bentuk-bentuk kesedihan, ketakutan, kegembiraan, dan kesenangan memiliki makna gramatikal yang sama, yaitu „hal yang disebut kata pada dasarnya‟. Contoh lain, kata menyedihkan, menakutkan, dan mengalahkan yang dibentuk dari kata dan imbuhan yang sama dengan ketiga kata di atas, tidak memiliki makna seperti ketiga kata tersebut; sebab bukan bermakna „membuat jadi sedih‟, „membuat jadi talut‟, dan „membuat jadi kalah‟, melainkan bermakna „memperoleh kesedihan, ketakutan, dan kekalahan‟.

2.4 Ketaksaan Lesikal

Ketaksaan lesikal merupakan makna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda dan sesuai dengan lingkungan pemakaiannya. Ketakasaan lesikal dapat dilihat dari dua segi, yakni sebagai berikut.

1) Polisemi

Polisemi adalah suatu kata yang mempunyai makna lebih dari satu.

Contoh:

7 a) Husni mempunyai hubungan darah dengan Hasan.

b) Tubuhnya berlumuran darah akibat terjatuh dari sepeda motor.

2) Homonim

Homonim berasal dari kata homo bermakna „sama‟ dan nym bermakna

„nama‟. Dalam hal ini homonim adalah kata yang penamaan dan pengucapannya sama, tetapi artinya berbeda.

Di bawah ini disajikan perbedaan polisemi dengan homonim:

NO Polisemi Homonim

1 Berasal dari satu kata. Berupa dua kata atau lebih.

2 Ada hubungan makna. Tidak ada hubungan makna.

3 Digunakan secara konotatif, kecuali

kata induknya. Digunakan secara denotatif.

Keterangan:

Jika polisemi konotatif= makna kiasan/makna tambahan, Jika homonimi Denotatif=makna sebenamya/makna asal.

Contoh Polisemi:

a) Sambil memegang mulutnya yang berdarah, ia merintih kesakitan.

b) ia berdiri di mulut pintu.

Penggunaan kata mulut pada kedua kalimat di atas masih memiliki hubungan makna; yakni sama – sama „tempat keluar masuk‟.

8 Contoh Homonim:

a) Walau terkena bisa ular, ia masih tetap sehat.

b) ia masih bisa bernapas.

Penggunaan kata bisa memiliki perbedaan makna: yakni pada kalimat (a) bermakna „racun‟ dan pada kalimat (b) bermakna „dapat‟.

c) Untuk mengirim surat kita membutukan amplop, („tempat membungkus surat‟)

d) Untuk dapat menjadi PNS dia memberikan amplop kepada para pejabat.

(„uang pelicin‟)

Persamaan homonim dan polisemi pada kalimat di atas, yakni.

Keduanya mempermasalahkan kehadiran makna dalam sebuah kata.

9 BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Ketaksaan (ambiguitas) sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Ketaksaan (ambiguitas) ada tiga jenis, yakni sebagai berikut.

1) Ketaksaan fonetik, yakni ketaksaan (ambiguitas) yang terjadi karena membaurnya bumi – bumi bahasa yang diucapkan.

2) Ketaksaan gramatikal, yakni makna yang menyangkut hubungan intrabahasa atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat.

3) Ketaksaan leksikal merupakan makna (kata) lebih dari satu, dapat mengacu pada benda, dan sesuai dengan lingkungan pemakaiannya.

3.2 Saran

Tulisan ini merupakan kajian pendahuluan terhadap ketaksaan (ambiguitas) dalam bahasa Indonesia. Sehubungan dengan hal itu sudah tentu banyak hal yang perlu dikembangkan dan ditambahkan terhadap tulisan ini. Untuk itu penulis sarankan kepada ilmuan yang menekuni bidang bahasa, khususnya semantik agar menyempurnakan tulisan ini.

10 DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Djajasudarma, T Fatimah. 1993. Semantik 1: Pengantar ke arah ilmu makna.

Bandung: Eresco.

Djajasudarma, T Fatimah. 1993. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung:

Eresco.

Dokumen terkait