• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETAKSAAN (AMBIGUITAS) DALAM BAHASA INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KETAKSAAN (AMBIGUITAS) DALAM BAHASA INDONESIA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

KETAKSAAN (AMBIGUITAS) DALAM BAHASA INDONESIA

Oleh

I Gusti Ngurah Ketut Putrayasa

UNIVERSITAS UDAYANA FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

2017

(2)

i ABSTRAK

Salah satu unsur yang dianalisis pada bidang ilmu semantik, yaitu ketaksaan (ambiguitas). Ketaksaan (ambiguitas) ini sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Dalam hal ini ketaksaan (ambiguitas) dalam bahasa Indonesia dilihat dari segi pengertiannya dan jenisnya, seperti ketaksaan (ambiguitas) fonetik, gramatikal, dan leksikal.

Ketaksaan fonetik, yaitu ketaksaan (ambiguitas) yang terjadi karena membaurnya bunyi – bunyi bahasa yang diucapkan. Ketaksaan (ambiguitas) gramatikal, yaitu menyangkut hubungan intrabahasa atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Selanjutnya, ketaksaan leksikal merupakan makna (kata) lebih dari satu, dapat mengacu pada benda, dan sesuai dengan lingkungan pemakaiannnya.

Kata kunci : ketaksaan, ambiguitas, fonetik, gramatikal, leksikal.

(3)

ii KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nyalah tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan naskah yang berjudal “Ketaksaan (Ambiguitas) dalam bahasa Indonesia” ini dalam rangka pengembangan salah satu tri darma perguruan tinggi, yaitu bidang penelitian.

Penulis Menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan.

Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, semua kritik dan saran pembaca akan penulis terima dengan senang hati demi perbaikan naskah penelitian lebih lanjut.

Tulisan ini dapat penulis selesaikan berkat adanya bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, terutama rekan- rekan dosen Jurusan Sastra Indonesia yang telah memberikan masukan demi kelancaran dan kelengkapan naskah tulisan ini. Akhirnya, semoga tulisan yang jauh dari sempurna ini ada manfaatnya.

Denpasar, Juli 2017

Penulis

(4)

iii DAFTAR ISI

ABSTRAK …………..……… i

KATA PENGANTAR ……… ii

DAFTAR ISI ……… iii

BAB I PENDAHULUAN ………..….……… 1

1.1 Latar Belakang ………...……… 1

1.2 Rumusan Masalah ……….……….. 2

1.3 Tujuan ………..……… 2

1.4 Manfaat ………...……….……….. 2

BAB II PEMBAHASAN ..………..……… 4

2.1 Ketaksaan (Ambiguitas) ………..………….………..…. 4

2.2 Ketaksaan Fonetik ……….……….……… 4

2.3 Ketaksaan Gramatikal ………..………. 5

2.4 Ketaksaan Lesikal …………...……….. 6

BAB III PENUTUP ………...…..……… 9

3.1 Simpulan ………...……… 9

3.2 Saran ……….……….. 9

DAFTAR PUSTAKA ……… 10

(5)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan sistem komunikasi yang sangat penting bagi manusia.

Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada setiap perkataan yang diucapkan. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa sentiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan pelbagai pendekatan untuk mengkajinya. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Semantik merupakan salah satu bidang linguistik yang mempelajari tentang makna.

Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya „tanda atau lambang (sign)‟. “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda – tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2).

Bidang studi linguistik yang objek penelitiannya makna bahasa merupkan satu tataran linguistik. Semantik dengan objeknya, yaitu makna, berada pada seluruh atau semua tataran yang bangun – membangun ini ; makna berada di dalam tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Semantik bukan merupakan satu tataran dalam arti unsur pembangun satuan lain yang lebih besar, melainkan unsur yang berada pada semua tataran itu, meskipun sifat kehadiranya pada tiap – tiap tataran itu tidak sama.

Tataran penggunaan bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat dalam berinteraksi tentunya tidak lepas dari penggunaan kata atau kalimat yang bermuara pada makna, yakni merupakan ruang lingkup dari semantik.

Salah satu unsur yang dianalisis pada bidang ilmu semantik, yaitu ketakasaan (ambiguitas). Ketaksaan atau ambiguitas ini sering diartikan sebagai kata yang

(6)

2 bermakna ganda atau mendua arti. Hal ini yang dijadikan focus pembicaraan pada tulisan ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah. Adapun rumusan masalah itu adalah sebagai berikut.

1) Apakah yang dimaksud ketaksaan (ambiguitas) dalam bahasa Indonesia?

2) Apakah yang dimaksud dengan ketaksaan fonetik dalam bahasa Indonesia?

3) Apakah yang dimaksud dengan ketaksaan gramatikal dalam bahasa Indonesia?

4) Apakah yang dimaksud dengan ketaksaan leksikal dalam bahasa Indonesia?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat dinyatakan tulisan ini. Adapaun tujuannya adalah sebagai berikut.

1) Untuk mengetahui pengertian ketaksaan (ambiguitas) dalam bahasa Indonesia.

2) Untuk mengetahui ketaksaan (ambiguitas) fonetik dalam bahasa Indonesia.

3) Untuk mengetahui ketaksaan (ambiguitas) gramatikal dalam bahasa Indonesia.

4) Untuk mengetahui ketakasaan (ambiguitas) leksikal dalam bahasa Indonesia.

1.4 Manfaat

Tulisan ini menpunyai dua manfaat, yaitu manfaat prakstis dan teoritis.

Adapun kedua manfaat ini diuraikan di bawah ini.

1) Manfaat Praktis

Secara praktis tulisan ini bermanfaat bagi mahasiswa, yakni dapat mengetahui ketaksaan (ambiguitas) dalam bahasa Indonesia untuk keperluan akademik.

Selanjutnya, bagi pengajar, tulisan ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam mengajarkan semantik, khususnya ketaksaan (ambiguitas).

(7)

3 2) Manfaat Teoretis

Secara teoretis tulisan ini bermanfaat bagi kalangan akademis. Adapun manfaatnya adalah untuk menambah khazanah keilmuan tentang semantik, khususnya ketaksaan (ambiguitas).

(8)

4 BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Ketaksaan (Ambiguitas)

Ketaksaan atau ambiguitas sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Polisemi juga bermakna ganda hanya saja kegandaan makna dal am polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, di samping terjadi sebagai akibat penafsiran sruktur gramatikal yang berbeda. Dalam bahasa, penafsiran ganda ini mungkin tidak akan teijadi karena stuktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi.

Bentuk utama ketaksaan, yakni berhubungan dengan fonetik, gramtikal, dan lesikal. Ketaksaan ini muncul apabila kita sebagai pendengar atau pembaca sulit menangkap pengertian yang kita baca, atau yang kita dengar. Bahasa lisan sering menimbulkan ketakasaan sebab apa yang kita dengar belum tentu tepat benar yang dimaksudkan oleh si pembicara atau si penulis. Di dalam tulisan kita mengenal tanda baca yang akan mempeijelas maknanya. Lebih – lebih apabila pembicara berbicara dengan cepat, tanpa jeda.

2.2 Ketakasaan Fonetik

Ambiguitas pada tingkat ini teijadi karena membaumya bunyi-bunyi bahasa yang diucapkan. Terkadang bisa saja salah menafsirkan makna suatu kata atau frasa karena saat percakapan frasa atau kata itu terlalu cepat diucapkan. Hal ini bisa menimbulkan keraguan makna, misalnya pada contoh di bawah ini.

a. Ungkapan ‟‟kapan emas kawinnya?” dapat ditafsirkan salah apabila kita tidak memperhatikan konteksnya. Apabila pengucapannya terlalu cepat, hal itu bisa ditafsirkan menjadi kapan emas kawin (benda) akan diberikan kepada pengantin misalnya atau mungkin penafsirannya ke arah kapan seseorang yang dipanggil mas (kakak laki-laki) tersebut akan menikah.

(9)

5 b. Kalimat ‟‟Yang berdiri di depan kakak ibu”. Kalimat ini jika pengucapannya tidak dibatasi oleh jeda akan dapat ditafsirkan bahwa yang berdiri di depan itu kakak dari ibu (paman/bibi) atau bisa juga ditafsirkan „yang berdiri di depan kakak itu adalah ibu‟.

Sehubungan dengan hal di atas, untuk menghindari ketaksaan, si pendengar memohon kepada pembicara untuk mengulang apa yang diujarkannya

2.3 Ketaksaan Gramatikal

Makna gramatikal dalam bahasa Inggris (grammatical meaning; functional meaning, structural meaning, internal meaning) adalah makna yang menyangkut hubungan intrabahasa atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata di dalam kalimat. Di dalam semantik, makna gramatikal dibedakan dengan makna leksikal. Secara operasional makna leksikal dapat berubah ke dalam makna gramatikal. Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika, seperti proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Seperti terlihat pada contoh di bawah ini.

Umumnya, dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan kata dasar baju (berbaju) melahirkan makna gramatikal „mengenakan atau memakai baju‟, dengan dasar kuda (berkuda) akan melahirkan makna gramatikal „mengendarai kuda‟, dengan dasar rekreasi (berekreasi) melahirkan makna gramatikal „melakukan rekreasi‟.

Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu

“terangkat” juga oleh adik melahirkan makna „dapat‟, dan dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu “terangkat” ke atas melahirkan makna gramatikal „tidak sengaja‟.

Dalam buku-buku tata bahasa biasanya terdapat perincian makna awalan ter- atau imbuhan lain. Sebetulnya ter- atau juga imbuhan lain, tidak mempunyai makna.

Sebuah imbuhan, seperti awalah ter- di atas, baru memiliki makna atau kemungkinan makna apabila sudah berproses dengan kata lain, seperti contoh kata terang/cat di atas yang memiliki kemungkinan makna (1) „dapat‟ atau (2) „tidak sengaja‟. Selanjutnya,

(10)

6 kepastian maknanya baru diperoleh setelah berada dalam konteks kalimat, misalnya makna „dapat‟ terdapat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik; dan makna „tidak sengaja‟ dalam kalimat „Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas’.

Dalam kenyataannya, makna sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian, sangat sering tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi, sehingga makna gramatikal ini sering juga disebut makna kontekstual atau makna situasional. Selain itu, bisa juga disebut makna struktural karena proses dan satuan-satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan.

Makna gramatikal itu bermacam-macam. Setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu untuk menyatakan makna – makna, atau nuansa – nuansa makna gramatikal. Misalnya, untuk menyatakan makna „jamak‟ bahasa Indonesia menggunakan proses reduplikasi, seperti kata buku yang bermakna „sebuah buku‟

menjadi buku-buku yang bermakna „banyak buku‟.

Penyimpangan makna dari bentuk-bentuk gramatikal yang sama lazim terjadi dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Indonesia, misalnya bentuk-bentuk kesedihan, ketakutan, kegembiraan, dan kesenangan memiliki makna gramatikal yang sama, yaitu „hal yang disebut kata pada dasarnya‟. Contoh lain, kata menyedihkan, menakutkan, dan mengalahkan yang dibentuk dari kata dan imbuhan yang sama dengan ketiga kata di atas, tidak memiliki makna seperti ketiga kata tersebut; sebab bukan bermakna „membuat jadi sedih‟, „membuat jadi talut‟, dan „membuat jadi kalah‟, melainkan bermakna „memperoleh kesedihan, ketakutan, dan kekalahan‟.

2.4 Ketaksaan Lesikal

Ketaksaan lesikal merupakan makna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda dan sesuai dengan lingkungan pemakaiannya. Ketakasaan lesikal dapat dilihat dari dua segi, yakni sebagai berikut.

1) Polisemi

Polisemi adalah suatu kata yang mempunyai makna lebih dari satu.

Contoh:

(11)

7 a) Husni mempunyai hubungan darah dengan Hasan.

b) Tubuhnya berlumuran darah akibat terjatuh dari sepeda motor.

2) Homonim

Homonim berasal dari kata homo bermakna „sama‟ dan nym bermakna

„nama‟. Dalam hal ini homonim adalah kata yang penamaan dan pengucapannya sama, tetapi artinya berbeda.

Contoh:

a) Saya bisa membeli rumah. (bisa bermakna „dapat‟ dan bermakna denotasi).

b) Pamanku terkena bisa ular yang mematikan. (bisa bermakna „racun‟

makna denotasi).

Di bawah ini disajikan perbedaan polisemi dengan homonim:

NO Polisemi Homonim

1 Berasal dari satu kata. Berupa dua kata atau lebih.

2 Ada hubungan makna. Tidak ada hubungan makna.

3 Digunakan secara konotatif, kecuali

kata induknya. Digunakan secara denotatif.

Keterangan:

Jika polisemi konotatif= makna kiasan/makna tambahan, Jika homonimi Denotatif=makna sebenamya/makna asal.

Contoh Polisemi:

a) Sambil memegang mulutnya yang berdarah, ia merintih kesakitan.

b) ia berdiri di mulut pintu.

Penggunaan kata mulut pada kedua kalimat di atas masih memiliki hubungan makna; yakni sama – sama „tempat keluar masuk‟.

(12)

8 Contoh Homonim:

a) Walau terkena bisa ular, ia masih tetap sehat.

b) ia masih bisa bernapas.

Penggunaan kata bisa memiliki perbedaan makna: yakni pada kalimat (a) bermakna „racun‟ dan pada kalimat (b) bermakna „dapat‟.

c) Untuk mengirim surat kita membutukan amplop, („tempat membungkus surat‟)

d) Untuk dapat menjadi PNS dia memberikan amplop kepada para pejabat.

(„uang pelicin‟)

Persamaan homonim dan polisemi pada kalimat di atas, yakni.

Keduanya mempermasalahkan kehadiran makna dalam sebuah kata.

(13)

9 BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Ketaksaan (ambiguitas) sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Ketaksaan (ambiguitas) ada tiga jenis, yakni sebagai berikut.

1) Ketaksaan fonetik, yakni ketaksaan (ambiguitas) yang terjadi karena membaurnya bumi – bumi bahasa yang diucapkan.

2) Ketaksaan gramatikal, yakni makna yang menyangkut hubungan intrabahasa atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat.

3) Ketaksaan leksikal merupakan makna (kata) lebih dari satu, dapat mengacu pada benda, dan sesuai dengan lingkungan pemakaiannya.

3.2 Saran

Tulisan ini merupakan kajian pendahuluan terhadap ketaksaan (ambiguitas) dalam bahasa Indonesia. Sehubungan dengan hal itu sudah tentu banyak hal yang perlu dikembangkan dan ditambahkan terhadap tulisan ini. Untuk itu penulis sarankan kepada ilmuan yang menekuni bidang bahasa, khususnya semantik agar menyempurnakan tulisan ini.

(14)

10 DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Djajasudarma, T Fatimah. 1993. Semantik 1: Pengantar ke arah ilmu makna.

Bandung: Eresco.

Djajasudarma, T Fatimah. 1993. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung:

Eresco.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengklasifikasikan jenis-jenis ambiguitas, mendeskripsikan penyebab terjadinya ambiguitas, dan menganalisis makna yang terkandung

Kemampuan mahasiswa semester I Prodi pendidikan bahasa Prancis Universitas Negeri Semarang dalam melafalkan fonem konsonan Bahasa Prancis yang tidak terdapat dalam

1 Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi karena pergerakan lapisan batu bumi yang berasal dari dasar atau bawah permukaan bumi. Peristiwa alam itu sering

Ketaksaan pemadanan kata dan ungkapan asing dalam kebijakan politik bahasa ditunjukkan dalam PUPI dan KBBI edisi IV, seperti: 1) peraturan perubahan ejaan yang

atau frasa memiliki lebih dari satu makna, pemahaman atau interpretasi. Giorgadze membagi tiga kategori ambiguitas, sebagai berikut. 1) Ambiguitas leksikal yaitu

Fonetis auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Dari ketiga jenis fonetik ini, yang paling berurusan dengan dunia

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat di- simpulkan sebagai berikut: (1) Jenis gaya bahasa yang terdapat dalam novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburraman El Shirazy adalah gaya

Tetapi, Dialek daerah tidak menjadi hambatan pembelajaran fonetik bahasa Indonesia tetap mendapatkan hasil positif memberikan mahasiswa pengetahuan dan motivasi untuk menggunakan bahasa