• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan didalam dan diluar KUHP sebagai Dasar Penerapan

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK

A. Ketentuan didalam dan diluar KUHP sebagai Dasar Penerapan

1. Ketentuan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Sebagai Dasar Penerapan Sanksi Terhadap Kejahatan Kartu Kredit

Indonesia termasuk Negara yang tertinggal dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dalam merumuskan suat perunang-undangan yang mengatur aktivitas di cyberspace. Disaat kesulitan dalam menyusun perundang-undangan ini, penggunaan dan pemanfaatan dunia maya beserta pola kejahatan yang marak dilakukan, memunculkan pemikiran untuk menggunakan hukum positif yang ada (the existing law).

Penggunaan hukum positif yang ada untuk kejahatan atau perbuatan yang secara pragmatis memiliki perbedaan tentunya tidak membuat keberuntungan bagi berbagai pihak. Hukum positif yang ada memiliki paradigma sendiri yang melandasi pembuatan perundang-undangan sesuai dengan kondisi jamannya. Konsep ruang dan waktu yang melandasi hukum positif telah didobrak dengan perkembangan internet. Pendobrakan terhadap konsep ruang dan waktu ini seharusnya diikuti dengan pendobrakan terhadap sistem hukum yang mendasari pada konsep

itu. Meskipun demikian, membuat perundang-undangan (apalagi mengubah paradigma pemikiran dari para pembuatnya) tidaklah semudah membalik telapak tangan. Untuk hal itu membutuhkan proses dan proses itu tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya, sehingga harapan untuk memiliki perundang-undangan yang mengatur kegiatan di cyberspace masih membutuhkan waktu. Memberikan perlindungan kepada warga negara dengan harta bendanya merupakan kewajiban pemerintah. Meskipun undang-undang yang mengatur kegiatan di cyberspace belum ada, sedangkan sebagian warga negara yang ada telah menggunakan internet untuk berbagai keperluan, maka secara moril pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya tersebut. Perlindungan ini tentunya diberikan dengan memanfaatkan atau memberlakukan perundang-undangan yang ada dengan berbagai cara seperti penafsiran maupun analogi.61

Badan Pembinaan Hukum Nasional mencoba mengidentifikasikan bentuk-bentuk kejahatan yang berkaitan dengan aktivitas di cyberspace termasuk didalamnya kejahatan kartu kredit dengan perundang-undangan pidana yang ada. Hasil identifikasi itu berupa pengkategorian perbuatan kejahatan cyber (cybercrime) ke dalam delik-delik Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut :62

61

Agus Rahardjo, Op.Cit., hal. 202-203.

62 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional tentang

a. Joycomputing, diartikan sebagai perbuatan seseorang yang

menggunakan komputer secara tidak sah atau tanpa izin dan menggunakannya melampaui wewenang yang diberikan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana Pencurian (Pasal 362 KUHP).

Pasal 362 KUHP berbunyi :

“Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (K.U.H.P. 35, 364, 366, 486).”

b. Hacking, diartikan sebagai suatu perbuatan penyambungan

dengan cara menambah terminal komputer baru pada sistem jaringan komputer tampa izin (dengan melawan hukum) dari pemilik sah jaringan komputer tersebut. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbuatan tanpa wewenang masuk dengan memaksa ke dalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan atau tanpa haknya berjalan di atas tanah milik orang lain (Pasal 167 dan Pasal 551 KUHP).

Pasal 167 KUHP berbunyi :

“(1) Barangsiapa dengan melawan hak orang lain masuk dengan memaksa ke dalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan, yang dipakai oleh orang lain, atau sedang ada disitu dengan tidak ada haknya, tidak

dengan segera pindah dari tempat itu atas permintaan orang yang berhak atau atas nama orang yang berhak, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.

(2) Barangsiapa masuk dengan memecah atau memanjat, memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian dinas palsu, atau barangsiapa dengan tidak setahu yang berhak dan lain daripada lantaran keliru, masuk ke tempat yang tersebut tadi dan kedapatan disana pada waktu malam, dianggap sebagai sudah masuk dengan memaksa (K.U.H.P. 98).

(3) Jika ia mengeluarkan ancaman atau memakai daya upaya yang dapat menakutkan, maka dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan.

(4) Hukuman yang ditentukan dalam ayat (1) dan (3) dapat ditambah dengan sepertiganya, kalau kejahatan itu dilakukan, oleh dua orang bersama-sama atau lebih (K.U.H.P. 88, 168, 235, 363, 365, 429).”

Pasal 551 KUHP berbunyi :

“Barangsiapa dengan tidak berhak berjalan atau berkendaraan di atas tanah kepunyaan orang lain, yang oleh yang berhak dilarang dimasuki dengan sudah diberi tanda larangan yang nyata bagi si pelanggar, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 225,-.”

c. The Trojan Horse, diartikan sebagai suatu prosedur untuk

menambah, mengurangi atau mengubah instruksi pada sebuah program tersebut selain menjalankan tugas yang sebenarnya juga akan melaksanakan tugas lain yang tidak sah. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana Penggelapan (Pasal 372 dan Pasal 374 KUHP). Apabila kerugian yang ditimbulkan menyangkut keuangan Negara, tindakan ini dapat dikategorikan tindak pidana Korupsi.

Pasal 372 KUHP berbunyi :

“Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (K.U.H.P. 35, 43, 373, 376 s, 486).”

Pasal 374 KUHP berbunyi :

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubung dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah uang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun (K.U.H.P. 35, 43, 376 s, 415, 432, 486, 513).”

d. Data leakage, diartikan sebagai pembocoran data rahasia yang dilakukan dengan cara menulis data-data rahasia tersebut ke dalam kode-kode tertentu sehingga data dapat dibawa ke luar tanpa diketahui oleh pihak yang bertanggungjawab. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap keamanan Negara (Pasal 112, Pasal 113 dan Pasal 114 KUHP) dan tindak pidana membuka rahasia perusahaan atau kewajiban menyimpan rahasia profesi atau jabatan (Pasal 322 dan Pasal 323 KUHP)

Pasal 112 KUHP berbunyi :

“Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan, atau mengabarkan atau menyampaikan surat, kabar dan keterangan tentang suatu hal kepada negara asing, sedang diketahuinya,

bahwa surat, kabar atau keterangan itu harus dirahasiakan karena kepentingan Negara, maka ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.”

Pasal 113 KUHP berbunyi :

“(1) Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan, memberitahukan atau menyampaikan kepada orang lain yang tidak berhak mengetahui, segenapnya atau sebagian dari surat, peta bumi, rencana gambar atau benda rahasia yang berhubungan dengan pertahanan atau keselamatan Indonesia terhadap serangan Negara asing, yang disimoan olehnya atau yang diketahui olehnya aka nisi surat atau bentuk atau cara membuat benda-benda rahasia itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

(2) Jika yang bersalah menyimpannya surat-surat atau benda-benda yang dimaksud di atas atau mengetahuinya hal itu oleh karena jabatannya, maka hukumannya boleh ditambah dengan sepertiga.”

Pasal 114 KUHP berbunyi :

“Barangsiapa, karena kesalahannya, menyebabkan surat atau benda rahasia, yang dimaksudkan dalam Pasal 113, yang mana ia wajib menjaga atau menyimpan, atau bentuknya atau caranya membuat, segenapnya atau sebagian, menjadi diketahui oleh orang banyak atau diperoleh atau diketahui oleh orang lain, yang tidak berhak mengetahui, maka ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.”

Pasal 332 KUHP berbunyi :

“(1) Barangsiapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia, yang menurut jabatannya atau pekerjannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, ia diwajibkan menyimpannya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 9.000,-

(2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seseorang yang ditentukan, maka perbuatan itu hanya dituntut atas pengaduan orang itu. (K.U.H.P. 72 s, 112 s, 323, 528 s).” Pasal 323 KUHP berbunyi :

“(1) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan hal ikhwal istimewa tentang sesuatu perusahaan perniagaan, kerajinan atau pertanian, tempat ia bekerja atau tempat dahulu ia bekerja, sedang ia diwajibkan merahasiakan hal ikhwal itu, dihukum penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 9.000,-.

(2) Penuntutan hanya dilakuakn atas pengaduan pengurus perusahaan itu. (K.U.H.P. 72 s, 322).”

e. Data diddling, diartikan sebagai suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara tidak sah, yaitu dengan mengubah input data atau output data. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP).

Pasal 263 KUHP berbunyi :

“(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesutatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan mempergunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.

(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat

mendatangkan sesuatu kerugian. (K.U.H.P. 35, 52, 64-2, 276, 277, 416, 417, 486).”

f. Penyia-nyiaan data komputer, diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan suatu kesengajaan untuk merusak atau menghancurkan media disket dan media penyimpanan sejenis lainnya yang berisikan data atau program komputer, sehingga akibat perbuatan tersebut data atau program yang dimaksud menjadi tidak berfungsi lagi dan pekerjaan-pekerjaan yang melalui program komputer tidak dapat dilaksanakan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai perusakan barang (pasal 406 KUHP).

Pasal 406 KUHP berbunyi :

“(1) Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannnya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,- (K.U.H.P. 231-235,407,411 s, 489).

(2) Hukuman serupa itu dikenakan juga kepada orang yang dengan sengaja dan dengan melawan hak membunuh, merusakkan membuat sehingga tidak dapat digunakan lagi atau menghilangkan binatang, yang sama sekali atau

sebagiannya kepunyaan orang lain

(K.U.H.P.170,179,231 s, 302, 407-2, 411 s, 472).”

Hal yang telah ditempuh oleh BPHN dalam batas pemikiran untuk menanggulangi kekosongan hukum. Kesulitan masih tetap

dirasakan khususnya mengenai perbedaan konsep ruang dan waktu dari perundang-undangan pidana dan sifat internet dalam penerapannnya. Khusus bagi cybercrime berkaitan dengan kejahatan kartu kredit, adalah masalah:

g. Carder, diartikan sebagai pengguna kartu kredit tanpa hak.

Untuk menjerat carder digunakan ketentuan pasal 378 dan pasal 379a KUHP.

Pasal 378 KUHP berbunyi:

“Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal atau tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun (K.U.H.P. 35, 43, 379 s, 486).”

Pasal 379a KUHP berbunyi :

“Barangsiapa membuat pencahariannya atau kebiasaannya membeli barang-barang dengan maksud supaya ia sendiri atau orang lain mendapatkan barang-barang itu dengan tidak melunaskan sama sekali pembayarannya, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun (K.U.H.P. 394 s).”

2. Penerapan Sanksi Terhadap Kejahatan Penggunaan Kartu Kredit Menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008

Cakupan kejahatan dalam kategori cybercrime relatif luas, baik kejahatan konvensional yang menggunakan media komputer atau internet dan kejahatan-kejahatan baru yang menggunakan internet. Cybercrime bila dibandingkan dengan kejahatan konvensional memiliki beberapa keistimewaan dengan berbagai sifat-sifat khususnya, diantaranya penggunaan media digital seperti komputer yang terhubung ke seluruh penjuru dunia melalui suatu jaringan global yang disebut internet. Dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 tersebut terdapat 5 (lima) pasal yang mengatur cybercrime, yaitu Pasal 47 sampai dengan 51.

Pasal 47 :

“Setiap orang dengan sengaja melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).”

Pasal 31 ayat (1) : mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

Pasal 31 ayat (2) : mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

Pasal 48 :

“Setiap orang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah), Pasal 32 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah), Pasal 32 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).”

Pasal 32 ayat (1) mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.

Pasal 32 ayat (2) mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.

Pasal 32 ayat (3) : Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

Pasal 49 :

“Setiap orang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).”

Pasal 33 mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Pasal 50 :

“Setiap orang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).”

Pasal 34 ayat (1) mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: (a.) perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; (b.) sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.

Pasal 51 : Ayat (1) :

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Ayat (2) :

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 35 mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik. Pasal 36 mengatur mengenai larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.

Menyikapi bahwa ketentuan hukum positif dalam KUHP dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik belum dapat mengakomodasi kebutuhan dalam menghadapi berbagai kasus kejahatan kartu kredit, tentunya upaya-upaya perlindungan hukum bagi masyarakat pengguna kartu kredit perlu mendapat perhatian. Wujud perlindungan hukum pada dasarnya merupakan upaya penegakan hukum. Penegakan hukum secara konsepsional merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai penjabaran nilai tahap akhir,

untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.63

Selanjutnya konkretisasi dari upaya penegakan hukum secara konsepsional dijabarkan bahwa manusia didalam pergaulan hidupnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud dalam pasangan-psanagna tertentu, misalnya pasangan nilai kepentingan umum dan kepentingan pribadi.

Didalam penegakan hukum, pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan dan dijabarkan secara lebih konkrit lagi, karena nilai-nilai tersebut lazimnya bersifat abstrak. Penjabaran lebih konkrit diwujudkan dalam bentuk kaidah-kaidah hukum yang berisikan suruhan, larangan, dan kebolehan. Kaidah-kaidah itu menjadi pedoman atau patokan perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.64

Faktor-faktor yang patut dipertimbangkan dalam penegakan hukum adalah faktor hukumnya sendiri, faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk atau menerapkan hukum, factor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, factor masyarakat, yakni

63 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1983, hal. 2.

64

dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan dan faktor kebudayaan, yakni hukum sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.65

Upaya penegakan hukum tidak terlepas dari cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum, dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga msyarakat).

Dalam menegakkan hukum terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechttigkeit).

Unsur pertama adalah kepastian hukum. Kepastian hukum

merupakan kehendak setiap orang, bagaimana hukum harus berlaku atau diterapkan dalam peristiwa konkrit. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dapat dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi menurut hukum.66

Unsur kedua adalah manfaat. Hukum adalah untuk manusia, maka

pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.

65 Ibid., hal. 4-5.

Unsur ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan

bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Demikian pula halnya perlindungan hukum dalam transaksi kartu kredit, harus memperhatikan ketiga unsur diatas.

B. Penanggulangan Penyalahgunaan Kartu Kredit

Terhadap penanggulangan penyalahgunaan kartu kredit, Teori Politik criminal digunakan untuk mengkaji permasalahan ini, dalam hal ini merupakan kebijakan - kebijakan atau usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan, dimana dalam hal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy), Semuanya merupakan bagian dari politik sosial (social policy) yaitu usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.

Pidana yang dikenakan terhadap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi di bidang perbankan, pada dasamya mengikuti ketentuan pidana yang diatur pada Pasal 10 KUHP, yaitu pengenaan pidana pokok, dan pidana tambahan. Pidana terhadap perbuatan kejahatan ataupun pelanggaran yang terjadi hanya mengenakan pidana berupa penjara, kurungan,dan denda. Sedangkan pidana tambahannya hampir selalu menyertai setiap pengenaan pidana pokok tersebut, baik berupa altenatif pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, serta pengumuman putusan hakim.

Dengan digolongkannnya beberapa perbuatan pidana di bidang perbankan tersebut sebagai tindak pidana,, maka diharapkan akan dapat lebih terbentuk ketaatan yang tinggi terhadap ketentuan dalam Undang Undang. Adapun mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank, pada dasarnya berlaku ketentuan-ketentuan tentang sanksi dimaksud dalam Pasal 46 s/d Pasal 50 Undang Undang Pokok Perbankan No. 10 tahun 1998, sesuai dengan sifat ancaman pidana yang berlaku umum.

Hanya saja pengenaan pidana tersebut dapat pula mengenakan batas, maksimum pidananya terhadap kejahatan yang dilakukan, dengan mempertimbangkan sampai sejauh mana besar kecilnya pidana tersebut akan ditetapkan, bahan pertimbangannya dengan memperhatikan antara lain kerugian yang ditimbulkan.67

Pengenaan sanksi administratif biasanya diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang melakukan pengawasan, dan pembinaan, ketentuan sanksi seperti ini dapat kita lihat pada Pasal 52 Undang - Undang No. 10 Tahun 1998, yaitu berupa :

1. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu sebagai akibat tidak dipenuhinya ketentuan dalam Undang Undang ini.

67 Ida Ayu Indah S.A., TESIS : Kebijakan Pembaruan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan

2. Penyampaian teguran-teguran secara tertulis. 3. Penurunan tingkat kesehatan bank.

4. Larangan turut serta dalam kliring.

5. Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan.

6. Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia.

7. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan. Pengenaan sanksi administrasi tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada pengelola bank sesuai dengan ketentuan Pasal 53 UU no. 10 Tahun 1998, dapat juga dikenakan pula pada pihak terafiliasi, adapun bentuk sanksi

Dokumen terkait