• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.6.3 Ruang Terbuka Hijau

1.6.3.6 Ketentuan Hukum Ruang Terbuka Hijau

1. Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007

Pengaturan tentang Ruang Terbuka Hijau ditegaskan dalam Pasal 1 Butir 31, Pasal 28, 29, 30 dan 31 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR).

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : Ruang Terbuka Hijau

adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang

penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Pasal 28

Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan selain rincian Pasal 26 ayat (1) ditambahkan :

a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;

b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana...(dst.)

Pasal 29

(1) Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28

huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.

(2) Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota.

(3) Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling

sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota. Pasal 30

Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang.

Pasal 31

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaat ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a dan huruf b diatur dengan Peraturan Menteri. Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri

Pengaturan Ruang Terbuka Hijau ditegaskan dalam Pasal 1 Butir 2, 19, 20, Pasal 2 huruf a, b, dan c, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri ini yang dimaksud dengan : Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. RTHKP Publik adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota. RTHKP Privat adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab pihak/lembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali Provinsi DKI Jakarta oleh Pemerintah Provinsi.

Pasal 2

Tujuan penataan RTHKP adalah :

a. menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan; b. mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan

buatan di perkotaan;dan

c. meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.

Pasal 3

Fungsi RTHKP :

a. pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan;

c. tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati; d. pengendalian tata air; dan

e. sarana estetika kota.

Pasal 4

Manfaat RTHKP :

a. sarana untuk mencerminkan identitas daerah; b. sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan; c. sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial; d. meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;

e. menimbulkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah; f. sarana aktifitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula; g. sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat;

h. memperbaiki iklim mikro;dan

i. meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan.

Pasal 6

Jenis RTHKP meliputi : a. taman kota;

b. taman wisata alam; c. taman rekreasi;

d. taman lingkungan perumahan dan permukiman; e. taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial; f. taman hutan raya;

g. hutan kota; h. hutan lindung;

i. bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah; j. cagar alam;

k. kebun raya; l. kebun binatang; m. pemakaman umum; n. lapangan olah raga; o. lapangan upacara; p. parker terbuka;

q. lahan pertanian perkotaan;

r. jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET); s. sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa;

t. jalur pengamanan jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian;

u. kawasan dan jalur hijau;

v. daerah penyanggah (buffer zone) lapangan udara;dan w. taman atap (roof gaden).

3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/Prt/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan, Pasal 1-4 disertai lampiran.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. 2. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama

bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

3. Menteri adalah Menteri Pekerjaan Umum

Pasal 2

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan dimaksudkan untuk :

a. menyediakan acuan yang memudahkan pemangku kepentingan baik pemerintah kota, perencana maupun pihak-pihak terkait, dalam perencanaan, perancangan, pembangunan, dan pengelolaan ruang terbuka hijau.

b. memberikan panduan praktis bagi pemangku kepentingan ruang terbuka hijau dalam penyusunan rencana dan rancangan pembangunan dan pengelolaan ruang terbuka hijau.

c. memberikan bahan kampanye publik mengenai arti pentingnya ruang terbuka hijau bagi kehidupan masyarakat perkotaan.

d. memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan pihak- pihak terkait tentang perlunya ruang terbuka hijau sebagai pembentuk ruang yang nyaman untuk beraktifitas dan tempat tinggal.

Pasal 3

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan bertujuan untuk :

a. menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air;

b. menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antar lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat;

c. meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.

Pasal 4

(1) Ruang lingkup Peraturan Menteri membuat :

a. ketentuan umum, yang terdiri dari tujuan, fungsi, manfaat, dan tipologi ruang terbuka hijau;

b. ketentuan teknis yang meliputi penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan;

c. prosedur perencanaan dan peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau.

(2) Menteri muatan tentang pengaturan sebagai dimaksud pada ayat (1) dimuat secara lengkap dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini

1.6.3.7 Hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa peneliti telah banyak yang tertarik meneliti kasus ruang terbuka hijau ini di beberapa kota di Indonesia. Misalnya:

1. Taufik Ardiansyah Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro

Dalam jurnalnya Implemetasi Kebijakan dalam Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Publik Melalui Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang

Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni : Komunikasi, Sumber Daya, Disposisi, dan Struktur Birokrasi. 2Dalam implementasi Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2010 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang akan dijabarkan sebagai berikut: (1) Komunikasi

Sosialisasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang merupakan pihak yang memiliki peran, fungsi dan tugas dalam merencanakan kebijakan tentang pengendalian Ruang Terbuka Hijau Publik di Kota Semarang. Komunikasi antara Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) selaku koordinator instansi dengan pihak

pengembang juga berjalan dengan baik. Solusi yang dilakukan oleh Bappeda yaitu dengan cara pendekatan kepada pihak pengembang yang harus dipaksa menganggarkan terlebih dahulu pembangunan taman melalui sistem aturan tentang tata ruang sebagaimana yang diamanatkan pada Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Dibentuknya anggaran oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang untuk pembangunan ruang publik sangatlah dibutuhkan bagi masyarakat perkotaan sebagai upaya dalam penyedian ruang hijau sebagai paru-paru kota ataupun tempat rekreasi dan dapat dijadikan sebagai wadah untuk interkasi antar sesama derajat kelompok diperkotaan. Sosialisasi Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang memang diperlukan untuk dapat mengendalikan penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Semarang. Kelompok sasaran harus mengetahui dan memahami tentang program dan langkah dalam pelaksanaan penataan pengendalian Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Semarang. Adanya pemahaman dari kelompok sasaran merupakan salah satu faktor utama keberhasilan dari suatu kebijakan.

(2) Sumber Daya

Dalam Implementasi Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 sumber pembiayaan dalam pengendalian Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang keseluruhan berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Semarang. Bantuan dari daerah berupa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mampu memberikan

suntikan dana yang sangat berpengaruh bagi pengendalian Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Anggaran tersebut digunakan untuk pembangunan taman baru seperti Taman TirtoAgug,Taman Sampangan,Taman Madukoro dan Taman Tlogosari pemeliharaan taman berupa penyiaraman dan pemupukan tanaman di taman kota.

Untuk peningkatan ruang hijau dengan pemerintah membuat Program Pengembangan Kota Hijau atau disingkat P2KH. Program ini mulai dilaksanakan pada tahun 2013 dengan alokasi anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2013 yang diberikan melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) , bentuk program dari Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Penataan Ruang

Sumber daya finansial Dalam pelaksanaan suatu kebijakan khususnya di Kota Semarang memiliki peranan yang sangat besar agar pelaksanaan kebijakan dapat dijalankan. Anggaran pun telah disediakan oleh Pemerintah Daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Semarang yang mengalokasikan anggaran dana untuk pengendalian Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa bantuan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memiliki peranan yang sangat besar dan utama dalam pengendalian Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang.

(3) Disposisi

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) merupakan instansi yang memiliki peran sebagai koordinator perumusan kebijakan

antar instansi dalam pengendalian penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Dinas Tata Kota dan Perumahan berperan sebagai pelaksana teknis dibidang tata ruang, pemanfaatan bangunan, teknologi dan kontruksi perumahan dan pemukiman. Dinas Pertamanan dan Kebersihan memiliki peran dalam perumusan kebijakan dan pelayanan bidang sarana dan prasarana bidang kebersihan, operasional kemitraan serta perawatan pertamanan terkait ketersediaan dan pengendalian ruang terbuka hijau di Kota Semarang. Badan Lingkungan Hidup (BLH) memiliki peran dalam menjaga kualitas dan pengawasan lingkungan hidup yang berada di perkotaan terkait dengan pengendalian Ruang Terbuka Hijau.

Pengembang Perumahan di Bukit Semarang Baru selaku pihak swasta terbesar di Kota Semarang berperan menyediakan Ruang Terbuka Hijau dalam bentuk pekarangan perumahan yang dibangun dan menyediakan taman dikawasan daerah Kecamatan Ngaliyan dan Mijen untuk masyarakat umum. Sedangkan Komunitas hijau memiliki peran dalam menjaga ekosistem lingkungan dengan cara rehabilitasi, aksi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan agar tetap hijau. Ketua komunitas juga sering diikutsertakan rapat koordinasi dan pelatihan yang memilki fungsi menerapkan kebijakan Ruang Terbuka Hijau dalam bentuk pegawasan terhadap lingkungan hijau.

Karakteristik atau watak dari para pelaksana kebijakan akan sangat menentukan dan berpengaruh apakah kebijakan dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan maksud dan tujuan dari kebijakan tersebut. Oleh karena itu, para pelaksana kebijakan harus mampu melaksanakan tugas

dan fungsinya masing-masing sesuai dengan tanggung jawab yang telah diberikan. Dalam melaksanakan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah sebagai perencana kebijakan harus mampu melakukan bebagai strategi guna mendorong keberhasilan pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 dan memberikan pengawasan kepada instansi lain ataupun kepada masyarakat dalam pengendalian ketersediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang.

Dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang berbagai bentuk kegiatan sosialisasi dan penyuluhan telah dilaksanakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) beserta instansi serta lembaga yang terlibat didalamnya. Penyuluhan yang diberikan kepada kelompok sasaran merupakan salah satu aspek dalam melihat watak dan karakteristik dari para pelaksana kebijakan. Dengan diberikan penyuluhan kepada masyarakat perkotaan dan pengembang perumahan maka langkah dan strategi dalam pengendalian Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang akan dapat berjalan sesuai dengan maksud dan tujuan dari kebijakan tersebut.

Pelayanan dan berbagai program yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) sebagai perencana pembangunan beserta instansi atau lembaga yang terlibat didalamnya seperti Dinas Pertamanan dan Kebersihan, Badan Lingkungan Hidup dan Komunitas Hijau kepada kelompok sasaran menunjukkan bahwa disposisi

yang dimiliki oleh implementor dalam pelaksanaan kebijakan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang memiliki komitmen yang baik dalam menjaga dan melaksanakan fungsi dan perannnya sebagai pelaksana pembangunan ruang hijau di Kota Semarang.

(4) Struktur Birokrasi

Dalam melaksanakan suatu kebijakan sangatlah diperlukan adanya struktur birokrasi yang terlibat didalamnya. Dengan adanya struktur organisasi maka akan terdapat pihak-pihak yang berperan dalam pelaksanaan suatu kebijakan. Dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang, Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) selaku leading sektor bertanggung jawab terhadap perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) melaksanakan peran dan fungsinya sesuai dengan Tupoksi yaitu tugas pokok dan fungsi selaku Leading sektor kepada SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terkait.4

Dalam koordinasi yang dilaksanakan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang bertindak sebagai koordinator pelaksana kebijakan dengan instansi atau lembaga lain yang terlibat didalamnya. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) beserta instansi yang terkait termasuk di dalam Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pelaksana kebijakan tentang implementasi kebijakan Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Struktur birokrasi harus

diseimbangkan dengan komitmen para dinas terkait untuk menjalankan peran dan fungsinya masing-masing sehingga kinerja yang sudah direncanakan dapat dijalankan secara transparan dan maksimal. Untuk dapat memantau efektifitas kinerja struktur birokrasi dalam dinas terkait maka diperlukan analisis untuk menggambarkan peran pada masing- masing pihak yang terlibat dalam penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Walikota yang merupakan kepala daerah memilki tugas dan fungsi dalam terselenggaranya dan mengatur pemerintahan didalam suatu daerah. Dalam Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2010 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau pasal 193, Walikota berperan sebagai penanggung jawab. Hal ini dapat dilihat dalam wewenang wajib sebagai perumusan kebijakan dan memberikan perintah kepada instansi atau lembaga yang bertanggung jawab atas pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk melakukan upaya pengendalian, pencegahan, penanganan dan pemulihan kualitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Semarang. Setelah ada Kebijakan yang disetujui oleh Walikota Semarang selaku penanggung jawab atau ketua maka Sekretaris Daerah (Setda) akan berperan mensosialisasikan Peraturan daerah kepada Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) dan dinas untuk menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing.

Instansi atau lembaga yang ikut serta dalam penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Semarang merupakan salah satu hal yang penting sehingga dibutuhkan peran serta lebih banyak pihak. Dengan terdapatnya pihak-pihak yang ikut andil di dalam penataan pengendalian Ruang Terbuka Hijau (RTH) diharapkan proses pelaksanaannya dapat

berjalan secara maksimal. Namun, struktur Organisasi yang kiranya masih kurang dapat menjadi kendala dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2010 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Semarang apabila pihak yang seharusnya terlibat tidak ambil bagian didalamnya sehingga mengganggu proses pelaksanaan dari Peraturan tersebut. Oleh karena itu dengan adanya struktur organisasi yang telah terlibat diharapkan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal.

Struktur Birokrasi yang menjadi bagian penting dalam implementasi kebijakan harus mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan kapasitas masing-masing pihak. Apabila setiap pihak menjadi bagian dari struktur organisasi mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif maka kebijakan akan dapat berjalan secara maksimal dan tidak kendala dalam pelaksanaan kebijakan. Selain itu para implemetor harus mampu menjalankan tugas dan fungsi sesuai dengan Standar prosedur operasi yang standar (SOP). Dengan dijalankannya kebijakan sesuai dengan aturan prosedur oprasi yang standar (SOP) maka implementor akan mampu bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku.

2. Hayat Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang

Dalam jurnalnya meneliti tentang Implementasi Kebijakan Penataan Ruang Terbuka Hijau. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa Implementasi kebijakan penetaan ruang terbuka hijau (RTH) Kota Malang yang meliputi aspek sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya fisik, belum

terlaksana sesuai dengan perda Nomor 7 Tahun 2001. Dari sumber daya fisik, pengelompokkan jenis ruang terbuka hijau belum tertata dengan baik sesuai dengan kebutuhan perkembangan kota dan pertambahan jumlah penduduk. Hal ini disebabkan karena perencanaan ruang terbuka hijau oleh pemerintah Kota Malang, realisasinya sangat minimum yaitu antara 10% sampai 13%, sehingga pemanfaatan rencana ruang hijau untuk meningkatkan kandungan air, kenyamanan kota dan keindahan kota belum terwujud dengan baik. Begitu pula dalam konsep dan arahan RTH Kota Malang dari Bappeko belum menunjukkan penataan kawasan yang seimbang antara hutan kota, taman kota dan buffer zone serta masih terdapatnya lahan kosong yang belum dimanfaatkan. Belum sesuainya pengelolaan dan pengembangan Kota Malang dengan RTH kota dipicu oleh beberapa pengalihan fungsi RTH dari semestinya dan ketidaksesuaian konsep dan perencanaan dalam implementasinya. Dampak dari ketidaksesuaian konsep, arahan dan perencanaan RTH dalam implementasinya menimbulkan kekhawatiran atas keberadaan RTH dengan adanya penyalahgunaan dan pengalihan fungsi RTH tersebut yang dirasakan masyarakat seperti adanya banjir yang berada disetiap ruas titik perkotaan dan dijalan-jalan utama Kota Malang. Bagi masyarakat Kota Malang, hasil penelitian ini menjadi salah satu pembelajaran tersendiri untuk lebih merasa melibatkan diri terhadap kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan fungsi RTH baik dalam lingkungan skala individu maupun secara keseluruhan.

3. Evi Yuliani, Peneliti Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram

Dokumen terkait