• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Kebijakan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan sebagaimana realita pada umumnya, menjadi kegiatan untuk

membangun dirinya sendiri yang kemudian menjadi acuan dalam proses

pembangunan. Pembangunan seringkali menjadi semacam alat kepentingan bagi

rezim pemerintahan yang berkuasa. Kesadaran suatu bangsa yang terbentuk

melalui pengalamannya, baik pengalaman sukses maupun kegagalan-kegagalan

yang dialami, amat menentukan interpretasi mereka tentang pembangunan.

Namun, karena pengalaman suatu bangsa yang mempengaruhi kesadaran tersebut

selalu berkembang dinamis, maka interpretasi mereka tentang pembangunan

tidaklah statis. Melalui mata rantai perumusan dan demistifikasi paradigma

pembangunan, terjadilah pergeseran-pergeseran paradigma tadi.

Kecenderungan negara-negara berkembang untuk meniru negara-negara

maju tersebut, seringkali dilakukan dengan cara mengambil unsur-unsur yang

baik-baik saja tanpa mempertimbangkan faktor ekologi yang melatar belakangi

prestasi negara-negara maju yang sesungguhnya dicapai melalui waktu

berabad-abad dengan perjuangan kerja keras dari bangsanya untuk mencapai prestasi.

Keinginan imitasi inilah yang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini telah

mendorong akselerasi tempo pergeseran paradigma pembangunan di

negara-negara berkembang.

Istilah Pembangunan dewasa ini digunakan secara luas. Hampir semua

(2)

industrialisasi. Istilah inipun mengisyaratkan suatu proses perubahan sosial akibat

urbanisasi, pengambilan gaya hidup modern dan perilaku-perilaku lainnya. Lebih

jauh lagi pembangunan memiliki konotasi kesejahteraan yang menunjukkan

bahwa pembangunan memperkuat pemasukan masyarakat dan meningkatkan

derajat pendidikan, kondisi perumahan dan status mereka. Namun di antara

berbagai makna ini, konsep pembangunan paling sering diasosiasikan dengan

perubahan ekonomi. Hampir semua orang mengartikan pembangunan dengan

kemajuan ekonomi.

Masyarakat yang mengalami pembangunan yang terdistorsi akan berbeda

dengan masyarakat dimana terdapat kesinambungan yang lebih baik antara

pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Negara Eropa seperti Austria,

Swedia dan Swiss dewasa ini memiliki taraf kehidupan paling tinggi di dunia

bukan semata-mata karena pencapaian ekonomi, melainkan karena usaha-usaha

sistematis untuk meningkatkan pembangunan sosial.

Paradigma pembangunan adalah cara pandang terhadap suatu persoalan

pembangunan yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pembangunan dalam

arti pembangunan baik sebagai proses maupun sebagai metode untuk mencapai

peningkatan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan rakyat. Selama ini

paradigma pembangunan mengalami proses perkembangan diantaranya meliputi:

Pertama: Strategi Pertumbuhan(Growth Strategy)Melalui pendekatan ini,

memang pada akhirnya banyak negara berkembang telah terbukti berhasil

meningkatkan akumulasi kapital dan pendapatan perkapitalnya. Namun

keberhasilan paradigma pertumbuhan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi

(3)

dan lingkungan hidup. Momentum pertumbuhan yang dicapai dengan

pengorbanan besar ini misalnya, pengrusakan ekologis lingkungan, penyusutan

sumber daya alam, timbulnya kesenjangan sosial, dan munculnya tingkat

ketergantungan negara berkembang kepada neagara maju, akhirnya memetik

kritik tajam dari beberapa kelompok pemikir yang ditujukan pada paradigma ini

misalnya dari Massachu setts Institute of Technology and Club of Rome yang

memperingatkan bahwa jika laju pembangunan dunia dan pertumbuhan penduduk

tetap dibiarkan seperti ini, maka lambat atau cepat akan terjadi kehancuran total

sistem planet bumi.

Dorongan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang setingginya

seringkali mengakibatkan terabaikannya upaya pembinaan kelembagaan dan

pembinaan kemampuan masyarakat. Pembangunan nasional yang dilaksanakan

melalui central imposed blueprint plan yang dirumuskan oleh para teknorat

terhadap alokasi sumber-sumber pembangunan cenderung sentralistik dan

mengintervensi potensi masyarakat dan menumbuhkan hubungan ketergantungan

antara rakyat dan birokrat. Karenanya sifat menjadi dis-empowering dan kurang

menekankan pada kemampuan masyarakat itu sendiri untuk mengaktualisasikan

segala potensinya.

Untuk mengatasi masalah ini, dapat ditanggulangi melalui suatu

kombinasi kebijaksanaan, yang meliputi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi,

usaha pemerataan yang lebih besar dalam pembagian pendapatan dan penurunan

laju pertumbuhan penduduk.

Kedua : Pertumbuhan dengan pemerataan teknologi tapat guna(Growth

(4)

dalam sebuah kertas kerja untuk misi lapangan kerja ILO ke Kenya. Growth With

Distribution menggambarkan empat pendekatan pokok yang diharapkan dapat

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan golongan miskin, antara lain :

a. Meningkatkan laju pertumbuhan GNP sampai tingkat maksimal dengan

jalan meningkatkan tabungan dan mengalokasikan sumber-sumber daya

secara lebih efisien, yang manfaatnya dapat dinikmati oleh semua

golongan masyarakat.

b. Mengalihkan investasi ke golongan miskin dalam bentuk pendidikan,

menyediakan kredit, fasilitas-fasilitas umum dan sebagainya.

c. Mendistribusikan pendapatan atau konsumsi kepada golongan miskin

melalui sistem fiskal atau melalui alokasi barang-barang konsumsi secara

langsung.

d. Pengalihan harta atau tanah yang sudah ada kepada golongan-golongan

miskin misalnya melalui land reform.

Ketiga :Kebutuhan dasar pembangunan(Basic needs Development)

Konsep dasar pendekatan ini adalah penyediaan kebutuhan minimum bagi

penduduk yang tergolong miskin. Kebutuhan minimum yang dimaksud tidak

hanya terbatas pada hanya pangan, pakaian, dan papan saja melainkan juga

kemudahan akses pada pelayanan air bersih, sanitasi, transport, kesehatan, dan

pendidikan. Selama penduduk miskin sebagian besar terdapat di daerah pedesaan,

maka pendekatan basic needs ini kemudian menjadi tekanan dan unggulan dari

pembangunan desa.

Pada pertengahan 1970-an, pendekatan ini sangat populer dan telah

(5)

yang lebih digerakkan oleh mitos-mitos pertumbuhan. Pada akhir 1970-an, “basic

needs strategy” telah dianggap “kenangan masa lampau” dengan catatan-catatan

besar yang menekankan pentingnya pembangunan di pedesaan, namun tak

satupun yang dapat dihasilkan.

Keempat : Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development), Ide

dasar dari konsep ini bermula dari “The Club of Rome” pada tahun 1972, yakni

sekelompok orang yang terdiri dari para manajer, para ahli ilmu teknik, dan

ilmuwan se-eropa yang berhasil menyusun suatu dokumen penting mengenai

keprihatinan terhadap lingkungan. Pesan penting dari dokumen tersebut

diantaranya, bahwa sumber daya alam telah berada pada suatu tingkat

ketersediaan yang memprihatinkan dalam menunjang keberlanjutan pertumbuhan

penduduk dan ekonomi.

Sustanable diartikan sebagai suatu pembangunan untuk memenuhi

kebutuhan generasi saat ini tanpa merugikan kebutuhan generasi masa datang.

Resiko dan konsekuensi dari setiap pembangunan saat ini hendaknya jangan

semuanya diwariskan pada generasi mendatang, melainkan harus

dipertimbangkan secara adil bagi generasi sekarang dan generasi mendatang.

Kelima :Konsep Pemberdayaan (Empowerment Concept), Konsep

empowerment sebagai suatu konsep alternatif pembangunan, pada intinya

memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok

masyarakat, yang berlandaskan pada sumber daya pribadi, langsung, melalui

partisipasi, demokrasi, dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung.

Sebagai titik fokusnya adalah persoalan lokalitas, sebab civil society akan lebih

(6)

Konsep ini muncul karena adanya dua hal yakni kegagalan dan harapan.

Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi

dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan.

Sedangkan harapan muncul karena adanya alternatif-alternatif pembangunan yang

memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, persamaan antar generasi,

dan pertumbuhan ekonomi yang memadai.

Keenam: Pembangunan Berpusat pada Manusia (People Centre

Development). Belajar dari pengalaman pada dasawarsa ketiga pada awal 1980-an

di negara berkembang penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan

(sustainable development) didukung dengan pendekatan pembangunan manusia

(human development) yang ditandai dengan pelaksanaan pembangunan yang

berorientasi pada pelayanan sosial melalui pemenuhan kebutuhan pokok berupa

pelayanan sosial di sektor kesehatan, perbaikan gizi, sanitasi, pendidikan dan

pendapatan dan peningkatan

Kesejahteraan masyarakat. Di samping itu juga diarahkan pada upaya

mewujudkan keadilan, pemerataan dan peningkatan budaya, kedamaian serta

pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development) dan

berorientasi pada pemberdayaan masyarakat (public empowerment) agar dapat

menjadi aktor pembangunan sehingga dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat

dalam pembangunan, kemandirian dan etos kerja.

Fokus perhatian dari paradigma pembangunan yang berpusat pada

manusia ini (people centered development paradigm) ini adalah perkembangan

manusia (human-growth), kesejahteraan (well-being), keadilan (equity) dan

(7)

keseimbangan ekologi manusia (balanced human ecology), sumber

pembangunannya adalah informasi dan prakarsa yang kreatif dengan tujuan utama

adalah aktualisasi optimal dari potensi manusia (Korten, 1984:300 dalam

Tjokrowinoto, 1996).

Paradigma ini yang mendapatkan perhatian dalam proses pembangunan

adalah:

a. Pelayanan sosial (social service);

b. Pembelajaran sosial (social learning);

c. Pemberdayaan (empowerment);

d. Kemampuan (capacity);

e. Kelembagaan (institutional building)

Tidak terlepas dari pembangunan yaitu terjadinya pengrusakan alam

seperti panas matahari sangat dirasakan, ini disebabkan oleh menipisnya lapisan

ozon bumi. Tentu ini salah kita yang tidak melestarikan alam. Perubahan suhu

yang ekstrim dari tahun ke tahun planet bumi semakin menghawatirkan.

Peningkatan suhu ini yang disebut dengan pemanasan global. Pemanasan global

disebabkan oleh gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia dan

variasi matahari. Akhir-akhir ini bencana alam dan fenomena-fenomena semakin

tidak terkendali. Mulai dari banjir, puting beliung, semburan gas, hingga curah

hujan yang tidak menentu dari tahun ke tahun. Tentu bencana alam itu merugikan

kita semua. Selain bencana tersebut ada juga dampak lain seperti: meningginya

permukaan air laut, gagal panen,dan timbulnya bibit penyakit yang akan

(8)

Oleh karena itu, kita sebagai umat manusia harus lebih bersahabat dan

melestarikan alam. Melestarikan alam dengan penanaman pohon, tidak menebang

pohon sembarangan, meminimalkan penggunaan peralatan yang banyak

mengeluarkan gas-gas efek rumah kaca dan mengupayakan pencegahan global

warming.

Global Warming secara harfiah diterjemahkan sebagai pemanasan Global.

Terjadinya pemanasan Global di bumi dimulai dari kenyataan bahwa energi panas

yang dipancarkan berasal dari matahari yang masuk ke bumi menciptakan cuaca

dan iklim serta panas pada permukaan bumi secara Global. Sebagian besar

penyebab pemanasan global adalah gas emisi yang keluar dari alat-alat yang

dipakai manusia. Semakin banyaknya penggunaan tersebut akan semakin

menghawatirkan keadaan bumi ini. Dilihat dari segi lain bahwa sebenarnya

pemanasan global dapat diminimalisir oleh manusia dengan dengan cara yang

mudah yaitu mengurangi aktifitas yang mengeluarkan gas efek rumah kaca

Salah satu permasalahan yang kini dihadapi oleh hampir seluruh perkotaan

di Indonesia adalah semakin berkurangnya lingkungan dan ruang publik.

Terutama ruang terbuka hijau (RTH), kota-kota besar pada umumnya memiliki

ruang terbuka hijau dengan luas dibawah 10% dari luas kota itu sendiri. Kondisi

tersebut sangat jauh dibawah ketentuan pemerintah pada UU No. 26 Tahun 2007

tentang ruang terbuka hijau yang mewajibkan pengelola perkotaan yang

menyediakan ruang terbuka hijau publik dengan luas sekitar 30% dari luas kota

tersebut.

Kurangnya proporsi ruang terbuka hijau dikawasan perkotaan disebabkan

(9)

banyak pihak menganggap ruang terbuka hijau memiliki nilai ekonomi yang lebih

rendah sehingga termarjinalkan. Dengan berlakunya undang-undang tentang

penataan ruang, banyak pemerintah daerah yang merasakan kesulitan dalam

memenuhi ketentuan penyediaan ruang terbuka hijau publik seluas 30% dari luas

kawasan perkotaan. Kekurangan proporsi ruang terbuka hijau yang ada di

kota-kota di Indonesia disebabkan oleh pembangunan yang tidak merata dan kian

mempersempit ruang terbuka hijau yang ada.

Berikut merupakan data mengenai luas RTH kota-kota besar di Indonesia :

Tabel 1.1 Proporsi RTH di Kota-kota Besar

NO Nama Kota Proporsi

1 Jakarta 9,97 %

2 Bandung 8,76 %

3 Bogor 19,32 %

4 Surabaya 9 %

5 Surakarta 16 %

6 Malang 4 %

7 Makasar 3 %

8 Medan 8 %

9 Jambi 4 %

10 Palembang 5 %

Rata - rata RTH di kota-kota

besar di Indonesia

(10)

Sumber : Nirwono Joga, Aspek Lingkungan dalam Pembangunan Perkotaan

Berkelanjutan, Presentasi dalam Workshop Nasional Pembangunan Kota yang

Berkelanjutan, Medan 13 Februari 2013

Berdasarkan Tabel 1.1 tentang proporsi ruang terbuka hijau di kota-kota

yang ada di Indonesia, kota-kota besar yang ada di Indonesia belum memenuhi

syarat ruang terbuka hijau. Kota Bogor menjadi satu-satunya kota yang memiliki

proporsi ruang terbuka hijau dengan luas 19,32% dari luas keseluruhan kota.

Pembangunan yang ada dikota-kota besar di Indonesia umumnya tidak

memperhatikan unsur ruang terbuka hijau. Kesulitan dalam hal pemenuhan

proporsi ruang terbuka hijau yang kini dirasakan dikota-kota besar mulai tertular

ke kota-kota kecil. Namun, pengelola perkotaan dan masyarakat yang tidak

menghargai nilai ruang terbuka hijau juga masih terlihat banyak kota kecil yang

semakin gersang karena pepohonannya ditebang untuk pelebaran jalan atau

kegiatan perkotaan lainnya.

Perkembangan kota akhir-akhir ini sering kali hanya berorientasi pada

peningkatan aspek ekonomi tanpa mempertimbangkan unsur ekologi, padahal

keseimbangan lingkungan merupakan faktor penting dalam menciptakan kondisi

kota yang sehat dan nyaman. Kejenuhan akibat maraknya pembangunan serta

kompleksnya masalah perkotaan mengakibatkan proses berpikir akan pentingnya

pembangunan kota yang ekologis atau berwawasan lingkungan.

Kota Medan yang merupakan ibu kota Propinsi Sumatera Utara dan juga

sebagai pintu gerbang Indonesia bagian Barat. Pertumbuhan kota yang pesat

(11)

Begitupula halnya dengan populasi ternak. Kepadatan aktivitas sehari-hari harus

didukung dengan kebutuhan akan kendaraan bermotor, sehingga jumlahnya pun

menjadi indikasi semakin pesatnya perkembangan suatu kota, seperti Kota

Medan. Luasan RTH Kota Medan berdasarkan existing condition 2006 adalah

sebesar 9865.76 ha dari luas total wilayah sebesar 26,510 Ha atau sebesar 37,72

%. Luasan RTH Kota Medan yang optimal berdasarkan Inmendagri No.14 Tahun

1988 sebesar 40% adalah 10,604.0 ha, sedangkan berdasarkan pendekatan

Geravkis kebutuhan oksigen pada tahun 2008 adalah sebesar 28,003.5 ha.

Kekurangan RTH di Kota Medan pada tahun 2008 dapat diantipasi dengan

menanam pohon sebanyak 692,303 masing-masing 3-4 orang/batang dengan

asumsi jarak tanam 5x5 m, didasarkan pada pendekatan Geravkis kebutuhan

oksigen

Sampai saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan,

yakni terwujudnya ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan hal ini dapat

juga dirasakan di kota Medan. Menurunnya kualitas permukiman di kota Medan

bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah, berkembangnya kawasan kumuh

yang rentan dengan bencana banjir serta semakin hilangnya ruang terbuka

(Openspace) untuk artikulasi dan kesehatan masyarakat.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Medan hanya berkisar 7,5%-10%. Mantan

Wali Kota Medan Rahudman Harahap mengakui keberadaan taman di kota ini

masih minim. Akibatnya, masyarakat lebih banyak yang memilih mencari lokasi

rekreasi bersama keluarga dengan mengunjungi pusat perbelanjaan modern.

(12)

Berdasarkan data Dinas Pertamanan Pemko Medan (2011), hanya ada 19

taman di kota ini dengan luas keseluruhan sekitar 124.664 meter persegi dari luas

kota Medan yang mencapai 26.510 hektare (ha). Selain itu, Medan hanya

memiliki 9 taman air mancur yang berada di Taman Beringin, Taman Soedirman,

Taman Teladan, Tugu Sister City, Tugu Adipura, Taman Kantor Pos,Taman Guru

Patimpus,Taman Juanda,dan Taman Majestic.

Pemko Medan berupaya memenuhi taman dan Ruang Terbuka Hijau

(RTH) di Medan dengan mengalokasikan dana di Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD). Dana ini untuk membeli lahan sekitar 300- 400 meter

per tahun sebagai upaya untuk menambah RTH. Luas RTH yang ada di Kota

Medan sampai saat ini tercatat kurang lebih baru mencapai 5%. Angka ini masih

jauh dari ketentuan minimal yang dipersyaratkan dalam UU No. 26 tahun 2007

sebesar 30%.

Dikutip dari Harian Jurnal Asia (Medan-Selasa, 10 November 2015).

Kota Medan masih banyak menghadapi persoalan-persoalan yang belum juga

terselesaikan. Permasalahan yang belum juga terselesaikan di kota Medan hingga

saat ini salah satunya adalah masih minimnya ruang terbuka hijau (RTH), bahkan

diperkirakan RTH masih sekitar 7% hingga 8% dari kewajiban 30 persen.

Kawasan RTH Kota Medan sebagaimana tercantum dalam Peraturan

Daerah (Perda) Kota Medan No. 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Kota Medan 2011-2031 pada pasal 38 meliputi:

1. RTH Kawasan Wisata

2. RTH Hutan Kota

(13)

4. RTH Tempat Pemakaman Umum

5. RTH Jalur Hijau Jalan

6. RTH Jalur Pejalan Kaki

7. RTH Atap Bangunan

8. Lapangan Olahraga

Untuk mencapai RTH 30%, maka berbagai jenis dan fungsi RTH, baik

yang dimiliki dan dikelola pemerintah Kota (RTH publik) maupun yang dimiliki

masyarakat/swasta (RTH privat), harus diintegrasikan dalam rencana induk RTH

dan RTRW. Rencana RTH 30% dan sistem jaringan RTH yang berfungsi sebagai

infrastruktur hijau harus tercermin dalam struktrur dan pola pemanfaatan ruang

kota sebagai bagian dari peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah.

Jaringan RTH tersebut harus terdistribusi ke semua wilayah kota dalam bentuk

area (hubs) dan jalur (links), agar dapat berfungsi secara optimal dalam

menciptakan keseimbangan ekosistem kota.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan

Ruang menegaskan bahwa setiap kota wajib mengalokasikan sedikitnya 30% dari

ruang atau wilayahnya untuk RTH, di mana 20% diperuntukan bagi RTH publik,

serta 10% diperuntukkan bagi RTH privat pada lahan-lahan yang dimiliki oleh

swasta atau masyarakat.

Bahwa sesuai Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Pasal 11 ayat (2), pemerintah daerah kota mempunyai wewenang dalam

pelaksanaan penataan ruang wilayah kota yang meliputi perencanaan tata ruang

wilayah kota, pemanfaatan ruang wilayah kota dan pengendalian pemanfaatan

(14)

berazazkan pada kaidah-kaidah perencanaan yang mencakup asas keselarasan,

keserasian, keterpaduan, kelestarian, keberlanjutan serta keterkaitan antar wilayah

baik di dalam kota itu sendiri maupun dengan kota sekitarnya. Untuk mendukung

terwujudnya ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, dibutuhkan

regulasi yang mampu melindungi hak dan kewajiban stakeholder dalam menata

ruang kota.

Beberapa peraturan perundang-undangan telah diterbitkan seperti

Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, PP No 15 tahun 2010

tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, PP No 68 tahun 2010 tentang Bentuk

dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang, serta

peraturan-peraturan tentang penataan ruang lainnya merupakan regulasi yang saling

mendukung dan perlu untuk diketahui, dipahami, dan dijalankan oleh segenap

warga negara. Untuk itu maka sesuai dengan kewajibannya, pemerintah harus

mensosialisasikan esensi, makna dan substansi peraturan yang terkait dengan

penataan ruang sehingga masyarakat dapat mengetahui dan mengerti peran

mereka dalam penataan ruang

Sesuai dengan uraian latar belakang yang singkat diatas, Penulis merasa

tertarik untuk mengadakan penelitian dengan memilih judul :"Implementasi

Kebijakan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Peraturan

Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

(15)

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka pokok permasalahan

yang dibahas dan dicari jawaban dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Implementasi Kebijakan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau

berdasarkan Peraturan Daerah kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031?

2. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Penyediaan Ruang

Terbuka Hijau Berdasarkan Peraturan Daerah kota Medan Nomor 13

Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun

2011-2031?

I.3 Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan penelitian terlebih lagi penelitian ilmiah tentunya memiliki

tujuan-tujuan khusus. Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, penulis

membagi kedalam dua kelompok yakni sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Bagaimana Implementasi Kebijakan Penyediaan Ruang

Terbuka Hijau Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13

Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun

2011-2031 yang dilakukan Dinas Pertamanan Kota Medan

2. Untuk Mengetahui Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Peraturan Daerah kota

Medan Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

(16)

I.4 Manfaat Penelitian

Nilai dari suatu penelitian dapat dilihat dari manfaat yang dapat diberikan.

Adapun manfaat yang akan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi pengembangan pengetahuan ilmu Administrasi Negara

khususnya yang berkaitan dengan kajian ruang terbuka hijau.

b. Hasil penelitian ini memberikan wacana dalam rangka upaya

penyediaan dan pengelolaan ruang terbuka hijau yang dilakukan oleh

Dinas Pertamanan Kota.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan atau masukan bagi

pemerintah kota maupun lembaga yang terkait lain dalam

merumuskan strategi dalam rangka penyediaan dan pengelolaan ruang

terbuka hijau.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai literatur bagi semua

pihak yang tertarik dengan kewenangan lembaga terkait dalam

menangani penyediaan dan pengelolaan ruang terbuka hijau.

I.5 Kerangka Teori

Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, defenisi, dan proposisi untuk

(17)

hubungan antar konsep, dan kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir

untuk menunjukkan perspektif yang digunakan dalam memandang fenomena

sosial yang menjadi obyek penelitian (Singarimbun, 1995:18).

Sedangkan kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti

memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok,

subvariabel atau masalah pokok yang ada dalam penelitian (Arikunto, 2002:92).

Berdasarkan kerangka teori diatas, maka dalam kerangka teori ini penulis

akan mengemukakan teori, gagasan, atau pendapat yang akan dijadikan titik tolak

landasan berfikir dalam penelitian. Adapun yang kerangka teori dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1.6.1 Kebijakan Publik

1.6.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Secara etimologi, kebijakan publik terdiri atas dua kata, yaitu kebijakan

dan publik. Dari kedua kata yang saling berkaitan tersebut oleh Graycar dalam

kaban (2008:59) kebijakan dapat dipandang dari empat perspektif, yaitu filosofis,

produk, proses, dan kerangka kerja. Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan

dipandang sebagai serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan. Sebagai

suatu produk, kebijakan diartikan sebagai serangkaian kesimpulan atau

rekomendaasi. Sebagai suatu proses, kebijakan menunjuk kepada cara dimana

melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan

darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya. Sedangkan

sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar-menawar

(18)

Menurut Thomas Dye (1981:1) kebijakan publik adalah apapun pilihan

pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan konsep tersebut

sangatlah luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan

oleh pemerintah disamping yang dilakukan oleh pemerintah ketika menghadapi

suatu masalah publik. Sebagai contoh, ketika pemerintah mengetahui ada jalan

raya yang rusak dan dia tidak membuat kebijakan untuk memperbaiki, berarti

pemerintah sudah mengambil kebijakan. Definisi kebijakan publik dari Thomas

Dye mengandung makna bahwa kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan

pemerintahan, bukan organisasi swasta dan kebijakn publik yang menyangkut

pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintahan.

Kebijakan pemerintah untuk tidak membuat program baru atau tetap berada pada

status quo, misalnya tidak menunaikan pajak adalah sebuah kebijakan publik.

James E.Anderson (1979:3) mendefinisikan kebijakan publik adalah

sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintahan.

Walaupun disadari kebijakan publik dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor

dari luar pemerintahan. Kebijakan publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang

dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu, misalnya

dibidang pendidikan, politik, ekonomi, pertanian, industri, pertahanan dan

sebagainya.

Berdasarkan pengertian para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa

kebijakan publik adalah serangkaian pedoman dan dasar rencana yang akan

dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi sebuah persoalan yang ada dalam

kehidupan masyarakatnya dengan hubungan yang mengikat. Jadi, kebijakan

(19)

1.6.1.2 Tahapan Kebijakan Publik

Kebijakan publik memiliki tahap yang cukup kompleks karena memiliki

banyak proses dan variabel.

Menurut William Dunn (1998), tahap-tahap kebijakan publik adalah

sebagai berikut :

a. Penyusunan agenda kebijakan (Agenda Setting)

Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi

masalah yang memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan

agenda. Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi

yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebab, memetakan tujuan

yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan, dan merancang

kebijakan yang baru. Perumusan kebijakan harus difasilitasi berupa

dukungan sosial, dukungan politik, dan dukungan budaya.

b. Formulasi kebijakan (Policy Formulation)

Pada tahapan formulasi kebijakan, analisis kebijakan perlu mengumpulkan

dan menganalisisi formasi yang berhubungan dengan masalah yang

bersangkutan, kemudian berusaha mengembangkan alternatif kebijakan,

membangun dukungan dan melakukan negosiasi sehingga sampai pada

sebuah kebijakan yang dipilih. Dalam tahap formulasi kebijakan,

peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai

(20)

c. Adopsi kebijakan (Policy Adoption)

Pada tahap ini, pengambil kebijakan terbantu dalam rekomendasi yang

membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat

atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya dimasa mendatang telah

diestimasikan melalui peramalan. Dari sekian banyak alternatif yang

ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu

alternatif kebijakan tersebut di adopsi dengan dukungan dari mayoritas

legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan

d. Implementasi kebijakan (Policy Implementation)

Pemantauan atau monitoring menyediakan pengetahuan yang relevan

dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya

terhadap pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan. Pada

tahapan ini perlu dukungan sumber daya dan penyusunan organisasi

pelaksana kebijakan. Dalam proses implementasi sering ada mekanisme

intensif dan sanksi agar implementasi dapat berjalan dengan baik

e. Evaluasi kebijakan (Policy Evaluation)

Evaluasi kebijakan membuahkan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang

diharapkan dengan benar-benar dihasilkan. Pada tahapan ini kebijakan

yang telah dijalankan akan dinilai dan dievaluasi untuk melihat sejauh

mana kebijakan yang telah dibuat mampu memecahkan masalah.

Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang

(21)

masyarakat. Oleh karena itu, ditentuakan ukuran-ukuran yang menjadi

dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang

diinginkan.

1.6.2 Implementasi Kebijakan Publik

1.6.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Menurut James P. Lester dan Joseph Stewart, implementasi kebijakan

dipandang dalam pengertian yang sangat luas, merupakan alat administrasi hukum

dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja

bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang

diinginkan. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang

kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran (output)

maupun sebagai hasil.

Batasan lain mengenai implementasi kebijakan juga disebutkan oleh Van

Meter dan Van Horn. Mereka membatasi bahwa implementasi kebijakan sebagai

tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau

kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai

tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

Dari beberapa defenisi implementasi kebijakan publik yang telah

dikemukakan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi

kebijakan publik adalah pelaksanaan kebijakan oleh mesin-mesin administrasi

(22)

1.6.2.2 Model Implementasi Kebijakan

Menurut Tangkilisan (2003:20) dalam implemetasi kebijakan publik, dikenal

beberapa model implementasi kebijakan, yaitu :

a. Model Van Meter dan Van Horn (19975)

Menurut Meter dan Horn dalam Samodra (1994:19) ada lima variabel

yang mempengaruhi kinerja implementasi kinerja implementasi, yakni:

1. Standar dan sasaran kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat

direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi

multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen

implementasi.

2. Sumberdaya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya

manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia

(non-human resources).

3. Hubungan antar Organisasi

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan

dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan

kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

4. Karakteristik agen pelaksana

Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur

birokrasi, norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi,

(23)

5. Kondisi sosial, politik dan ekonomi

Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat

mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana

kelompok-kelompok kepentingan memberi dukungan bagi implementasi kebijakan,

karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana

sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elit politik

mendukung implementasi kebijakan.

6. Disposisi implementor

Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: (1)

respon implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi

kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (2) kognisi, yakni

pemahamannya terhadap kebijakan dan (3) intensitas disposisi

implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

b. Model Merilee S Grindle (1980)

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (1980)

dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan

lingkungan implementasi (context of implementation)

Variabel isi kebijakan mencakup:

1. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat

dalam isi kebijakan,

2. Jenis manfaat yang diterima oleh target groups

(24)

4. Apakah letak sebuah program sudah tepat,

5. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan

rinci dan

6. Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

Sedangkan variabel lingkungan mencakup:

1. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh

para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan

2. Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa dan

3. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

c. Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)

Menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan publik adalah upaya

melaksanakan keputusan kebijakan. Model ini disebut sebagai kerangka analisis

implementasi. Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi

kebijakan ke dalam tiga variable, yaitu:

1. Karakteristik dari masalah, indikatornya adalah :

a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan

b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran

c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi

d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan

2. Karakteristik kebijakan, indikatornya adalah :

a. Kejelasan isi kebijakan

(25)

c. Besarnya alokasi sumber daya finansial terhadap kebijakan tersebut

d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar institut

pelaksana

e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana

f. Tingkat komitmen aparat terhadap kebijakan

3. Variabel lingkungan, indikatornya adalah :

a. Konsisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajemukan

teknologi

b. Dukungan publik terhadap suatu kebijakan

c. Sikap dari kelompok pemilih

d. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat implementor

e. Model Teori George C. Edwards III

Dalam pandangan Edwards III dalam Dwiyanto Indiahono (2009:31)

implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni:

1. Komunikasi

Komunikasi, yaitu menunjukkan bahwa setiap kebijakan akan

dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara

pelaksana program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target

group). Tujuan dan sasaran dari program/kebijakan dapat disosialisasikan

secara baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas kebijakan dan

program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi pengetahuan

kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan

dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan dalam

(26)

2. Sumber Daya

Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung

oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun

sumber daya finansial. Sumber daya manusia adalah kecukupan baik

kualitas maupun kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh

kelompok sasaran. Sumber daya finansial adalah kecukupan modal

investasi atas sebuah program/kebijakan. Keduanya harus diperhatikan

dalam implementasi program/kebijakan pemerintah. Sebab tanpa

kehandalan implementor, kebijakan menjadi kurang enerjik dan berjalan

lambat dan seadanya. Sedangkan sumber daya finansial menjamin

keberlangsungan program/kebijakan. Tanpa ada dukungan finansial yang

memadai, program tak dapat berjalan efektif dan cepat dalam mencapai

tujuan dan sasaran.

3. Disposisi

Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat

kepada implementor kebijakan/program. Karakter yang paling penting

dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis.

Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa

bertahan diantara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan.

Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arus

program yang telah digariskan dalam guideline program. Komitmen dan

kejujurannya membawanya semakin antusias dalam melaksanakan

tahap-tahap program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan

(27)

kelompok sasaran. Sikap ini menurunkan resistensi dari masyarakat dan

menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran terhadap

implementor dan program/kebijakan.

4. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi

penting dalam implementasi kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini

mencakup dua hal penting pertama adalah mekanisme, dan struktur

organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya

sudah ditetapkan melalui standar operating procedur (SOP) yang

dicantumkan dalam guideline program/kebijakan. SOP yang baik

mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit, dan

mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi acuan dalam

bekerjanya implementor.

Sedangkan struktur organisasi pelaksana pun sejauh mungkin

menghindari hal yang berbelit, panjang, dan kompleks. Struktur organisasi

pelaksana harus dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas

kejadian luar biasa dalam program secara cepat. Dan hal ini hanya dapat

lahir jika struktur didesain secara ringkas dan fleksibel menghindari “virus

(28)

1.6.2.3 Variabel - variabel yang Mempengaruhi Implementasi

Kebijakan

Dalam mengkaji suatu proses kebijakan yang sedang berjalan

(implementasi) dapat dilakukan dengan berbagai model pendekatan seperti

di atas.Sehingga dapat dilihat pelaksanaan suatu kebijakan dengan

variabel-variabel dalam model pendekatan tersebut. Oleh karenannya,

model yang dipakai dalam penelitian Kebijakan Penyediaan Ruang

Terbuka Hijau berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13

Tahun 2011 tentang RencanaTata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun

2011-2031 adalah dengan melihat variabel:

1. Standar Kebijakan dan Sasaran

Standar dan sasaran kebijakan pada dasarnya adalah apa yang

hendak dicapai oleh program atau kebijakan, baik yang terwujud

maupun tidak, jangka pendek, menengah atau panjang. Kejelasan

dan sasaran kebijakan harus dapat dilihat secara spesifik sehingga

di akhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari

kebijakan atau program yang dijalankan.

2. Komunikasi

Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu

dikomunikasikan sehingga implementor mengetahui secara tepat ukuran

maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi antar organisasi juga

menunjuk adanya tuntutan saling dukung antar institusi yang berkaitan

(29)

dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adanya

distorsi atas kebijakan dan program.

3. Disposisi atau Sikap

Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat

kepada implementor kebijakan/program. Karakter yang paling penting

dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen, dan demokratis.

4. Sumber Daya

Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung

oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun

sumber daya finansial. Sumber daya manusia adalah kecukupan baik

kualitas maupun kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh

kelompok sasaran. Sumber daya finansial adalah kecukupan modal

investasi atas sebuah program/kebijakan. Dengan adanya sumber daya

finansial juga akan mendukung segala fasilitas yang dibutuhkan untuk

mendukung terlaksananya kebijakan /program. Namun, tanpa adanya

implementor yang berkeahlian, juga tidak mampu menterjemahkan

kebijakan/program dengan baik walaupun fasilitas terpenuhi.

5. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi

penting dalam implementasi kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini

mencakup dua hal penting pertama adalah mekanisme, dan struktur

organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya

sudah ditetapkan melalui standar operating procedur (SOP) yang

(30)

1.6.3 Ruang Terbuka Hijau

1.6.3.1Pengertian Ruang terbuka Hijau

Pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH) Ruang terbuka (open spaces)

merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat

pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang terbuka (open spaces),

ruang terbuka hijau (RTH), Ruang publik (public spaces) mempunyai pengertian

yang hampir sama. Secara teoritis pengertian dari ruang terbuka hijau diantaranya

adalah:

1. Ruang yang didominasi oleh lingkungan alami di luar maupun didalam

kota, dalam bentuk taman, halaman, areal rekreasi kota dan jalur hijau

(Roger Trancik, 1986; 61)

2. Ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam

bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur yang

dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa

bangunan yang berfungsi sebagai kawasan pertamanan kota, hutan kota,

rekreasi kota, kegiatan Olah Raga, pemakaman, pertanian, jalur hijau dan

kawasan hijau pekarangan (Inmendagri no.14/1988)

3. Fasilitas yang memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan

kualitas lingkungan permukiman, dan merupakan suatu unsur yang sangat

penting dalam kegiatan rekreasi.

Kawasan perkotaan memang identik dengan masalah polusi udara yang

disebabkan oleh banyaknya kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar

(31)

semakin meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk. Korelasi dari

pertumbuhan tersebut ada yang berdampak positif dan negatif.

Dampak positif dari pertumbuhan pembangunan antara lain meningkatkan

pendapatan asli daerah, munculnya sentra-sentra ekonomi, kesejahteraan

masyarakat meningkat, indeks kualitas pendidikan meningkat. Pada sisi yang lain

dari pertumbuhan pembangunan juga berdampak negatif diantaranya beban kota

makin berat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan,

kualitas lingkungan perkotaan makin rendah, ruang terbuka hijau (RTH) semakin

berkurang akibat pesatnya perkembangan kawasan perumahan dan kawasan

industri yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas ekosistem Kota.

Secara definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green Open Spaces) adalah

kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina

untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan

atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk

meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, ruang

terbuka hijau (Green Open Spaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga

berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota. Ruang terbuka hijau yang

ideal adalah 30 % dari luas wilayah sesuai dengan UU No. 26/2007 tentang

penataan ruang menentukan bahwa proporsi RTH kota minimal 30 % dari luas

wilayah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi antagonisme peraturan

pada level pemerintah daerah. Namun terjadi kecenderungan pelaksanaan

kebijakan yang berlawanan, yaitu terjadinya penurunan luas penyediaan RTH di

(32)

terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal ruang terbuka

hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan komunikasi

publik. Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur nasional atau

daerah dengan standar-standar yang ada serta meningkatkan kenyamanan,

memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro (halaman rumah, lingkungan

permukiman) maupun makro (lansekap kota secara keseluruhan); menstimulasi

kreativitas dan produktivitas warga kota; pembentuk faktor keindahan arsitektural;

menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak

terbangun.

1.6.3.2 Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Dalam peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05 Tahun 2008 tentang

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan

Perkotaan, RTH memiliki fungsi utama (intrinsik/fungsi ekologis) dan fungsi

tambahan (ekstrinsik) sebagai berikut :

1. Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis

a. Memberi jaminan pendaan RTH menjadi bagian dari sistem

sirkulasi udara (paru-paru kota).

b. Pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara

alami dapat berlangsung lancar.

c. Sebagai peneduh.

d. Produsen oksigen.

e. Penyerap air hujan.

(33)

g. Penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta.

h. Penahan angin.

2. Adapun fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu sebagai berikut :

a. Fungsi sosial dan budaya, yaitu menggambarkan ekspresi budaya

lokal, merupakan media komunikasi bagi warga kota, tempat

rekreasi, wadah dan objek pendidikan, penelitian dan pelatihan

dalam mempelajari alam

b. Fungsi ekonomi, yaitu sumber produk yang bisa dijual, seperti

tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur, bisa menjadi bagian dari

usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lain-lain.

c. Fungsi estetika, yaitu meningkatkan kenyamanan, memperindah

lingkungan kota baik dari skala mikro (halaman rumah, lingkungan

permukiman) maupun makro (landscape kota secara keseluruhan);

menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota, pembentuk

faktor keindahan arsitektural; menciptakan suasana serasi dan

seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun.

Dalam suatu wilayah, empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai

dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata

(34)

1.6.3.3 Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Manfaat Ruang Terbuka Hijau berdasarkan fungsinya dibagi atas :

1. Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible), yaitu

membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan

mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, buah)

2. Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible), yaitu

pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan

persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora

dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati).

Ruang terbuka menyangkut semua landscape, elemen keras (hardscape)

yang meliputi jalan, pedestrian, taman-taman dan ruang rekreasi di lingkungan

perkotaan (Shirvani, 1985).

Ruang terbuka dapat berupa tempat-tempat di tengah kota, jalan-jalan,

tempat-tempat belanja (mall) dan taman-taman kecil. Simpulan yang bisa ditarik

dari beberapa pengertian ruang terbuka (openspace) adalah ruang yang terbentuk,

berupa softscape dan hardscape, dengan kepemilikan privat maupun publik untuk

melakukan aktivitas bersama (komunal) dalam konteks perkotaan. Secara garis

besar tipologi ruang terbuka adalah park (taman), square (lapangan), water front

(area yang berbatasan air), street (jalan) dan lost space.

Ruang publik merupakan suatu lokasi yang didesain (walau hanya

minimal) dimana siapa saja mempunyai hak untuk dapat mengaksesnya, interaksi

diantara individu didalamnya tidak terencana dan tanpa kecuali dan tingkah laku

para pelaku didalamnya merupakan subyek tidak lain dari norma sosial

(35)

berfungsi secara optimal ketika bisa memenuhi aspek/kaidah seperti etika

(kesusilaan), fungsional (kebenaran) dan estetika/keindahan (Imam Djokomono,

2004)

Aspek etika mengandung pengertian tentang bagaimana sebuah ruang

publik dapat ‘diterima’ keberadaannya dan citra positif seperti apa yang ingin

dimunculkan yang senantiasa melekat dengan keberadaan ruang publik tersebut.

Aspek fungsional setidaknya terdapat tiga faktor yang terkandung, yakni sosial,

ekonomi dan lingkungan.

Faktor sosial merupakan syarat utama menghidupkan ruang publik,

terdapat orang berkumpul dan terjadi interaksi. Selain sosial juga terdapat faktor

lingkungan dimana ligkungan yang nyaman mampu menjadi daya tarik bagi orang

untuk masuk didalamnya. Sedangkan aspek estetika ruang publik terdapat tiga

tingkatan, estetika formal, fenomenologi/pengalaman dan estetika ekologi.

Estetika formal merupakan estetika dimana obyek keindahan memiliki jarak

dengan subyek. Estetika pengalaman dimana obyek dinikmati dengan partisipasi

atau interaksi dan estetika ekologi, obyek keindahan dinikmati melalui proses

partisipasi dan adaptasi yang memungkinkan kita berkreasi terhadap ruang

tersebut.

1.6.3.4 Tipologi Ruang Terbuka Hijau

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008

tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan

Perkotaan, jenis-jenis ruang terbuka hijau yang ada sesuai dengan tipologi ruang

(36)

Secara fisik ruang terbuka hijau dapat dibedakan menjadi ruang terbuka

hijau alami berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional

serta ruang terbuka hijau non alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga,

pemakaman atau jalur-jaur hijau jalan. Dilihat dari fungsi ruang terbuka hijau

dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika, dan ekonomi. Secara struktur

ruang, ruang terbuka hijau dapat mengikuti pola ekologis (mengelompok,

memanjang, tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti hirarki dan

struktur ruang perkotaan.

Dari segi kepemilikan, ruang terbuka hijau dibedakan ke dalam ruang

terbuka hijau publik dan RTH privat. Pembagian jenis-jenis ruang terbuka hijau

publik dan ruang terbuka hijau privat.

1.6.3.5 Konsep Dasar Hukum Tata Ruang

Mochtar Koesoemaatmadja mengonstatir bahwa tujuan pokok penerapan

hukum apabila hendak direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order).

Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan akan

(37)

yang teratur, di samping itu tujuan lainnya adalah tercapainya keadilan yang

berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat pada zamannya.

Konsep dasar hukum penataan ruang, tertuang di dalam pembukaan UUD

1945 alinea ke-4 yang berbunyi :

“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia...”

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke empat, berbunyi

“Bumi dan air dan kekayaa alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Ketentuan tersebut memberikan “hak penguasaan kepada negara atas seluruh

sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada negara untuk

menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Kalimat tersebut

mengandung makna, negara mempunyai kewenangan untuk melakukan

pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna

terlaksananya kesejahteraan yang dikehendaki.

Untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut, khususnya untuk meningkatkan

kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti negara harus

dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan

tadi dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah. Apabila kita cermati

dengan seksama, kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh negara, yang

(38)

harus diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi,

sehingga tidak akan adanya perusakan terhadap lingkungan hidup. Upaya

pelaksanaan perencanaan penataan ruang yang bijaksana adalah kunci dalam

pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam konteks

penguasaan negara atas dasar sumber daya alam, di dalam kewajiban negara untuk

melindungi, melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara utuh. Artinya,

aktivitas pembangunan yang dihasilkan dari perencaan tata ruang pada umumnya

bernuansa pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan.

Selanjutnya, dalam mengomentari konsep Roscoe Pound, Mochtar

Koesoemaatmadja mengemukakan bahwa hukum haruslah menjadi sarana

pembangunan. Disini berarti hukum haruslah mendorong proses modernisasi 10.

Artinya hukum yang dibuat haruslah sesuai dengan cita-cita keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan fungsi tersebut maka pembentuk

undang-undang meletakkan berbagai dasar yuridis dalam melakukan berbagai

kegiatan pembangunan, sebagai salah satunya yaitu dalam pembuatan

undang-undang mengenai penataan ruang.

Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang, maka

peraturan-peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak pemerintah, di

mana salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur penataan ruang

(39)

1.6.3.6 Ketentuan Hukum Ruang Terbuka Hijau

1. Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007

Pengaturan tentang Ruang Terbuka Hijau ditegaskan dalam Pasal 1

Butir 31, Pasal 28, 29, 30 dan 31 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang (UUPR).

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : Ruang Terbuka Hijau

adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang

penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang

tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Pasal 28

Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 berlaku mutatis

mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan

selain rincian Pasal 26 ayat (1) ditambahkan :

a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;

b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan

c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana...(dst.)

Pasal 29

(1) Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28

huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka

(40)

(2) Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30

(tiga puluh) persen dari luas wilayah kota.

(3) Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling

sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.

Pasal 30

Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal

29 ayat (1) dan ayat (3) disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki

pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang.

Pasal 31

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaat ruang terbuka

hijau dan ruang terbuka non hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28

huruf a dan huruf b diatur dengan Peraturan Menteri. Proporsi 30 (tiga

puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan

ekosistem kota maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan

meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta

sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri

Pengaturan Ruang Terbuka Hijau ditegaskan dalam Pasal 1 Butir 2,

19, 20, Pasal 2 huruf a, b, dan c, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal Peraturan

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2007 tentang

(41)

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri ini yang dimaksud dengan : Ruang

Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah

bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan

tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.

RTHKP Publik adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi

tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota. RTHKP Privat adalah RTHKP yang

penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab pihak/lembaga swasta,

perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang

oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali Provinsi DKI Jakarta oleh Pemerintah

Provinsi.

Pasal 2

Tujuan penataan RTHKP adalah :

a. menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan;

b. mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan

buatan di perkotaan;dan

c. meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan

nyaman.

Pasal 3

Fungsi RTHKP :

a. pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan;

(42)

c. tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati;

d. pengendalian tata air; dan

e. sarana estetika kota.

Pasal 4

Manfaat RTHKP :

a. sarana untuk mencerminkan identitas daerah;

b. sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan;

c. sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial;

d. meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;

e. menimbulkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah;

f. sarana aktifitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula;

g. sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat;

h. memperbaiki iklim mikro;dan

i. meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan.

Pasal 6

Jenis RTHKP meliputi :

a. taman kota;

b. taman wisata alam;

c. taman rekreasi;

d. taman lingkungan perumahan dan permukiman;

e. taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial;

(43)

g. hutan kota;

h. hutan lindung;

i. bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah;

j. cagar alam;

k. kebun raya;

l. kebun binatang;

m. pemakaman umum;

n. lapangan olah raga;

o. lapangan upacara;

p. parker terbuka;

q. lahan pertanian perkotaan;

r. jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET);

s. sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa;

t. jalur pengamanan jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan

pedestrian;

u. kawasan dan jalur hijau;

v. daerah penyanggah (buffer zone) lapangan udara;dan

w. taman atap (roof gaden).

3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/Prt/M/2008 tentang Pedoman

Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan, Pasal

(44)

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau

mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh

tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

2. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama

bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat

permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa

pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

3. Menteri adalah Menteri Pekerjaan Umum

Pasal 2

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan

Perkotaan dimaksudkan untuk :

a. menyediakan acuan yang memudahkan pemangku kepentingan baik

pemerintah kota, perencana maupun pihak-pihak terkait, dalam

perencanaan, perancangan, pembangunan, dan pengelolaan ruang terbuka

hijau.

b. memberikan panduan praktis bagi pemangku kepentingan ruang terbuka

hijau dalam penyusunan rencana dan rancangan pembangunan dan

pengelolaan ruang terbuka hijau.

c. memberikan bahan kampanye publik mengenai arti pentingnya ruang

(45)

d. memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan

pihak-pihak terkait tentang perlunya ruang terbuka hijau sebagai pembentuk

ruang yang nyaman untuk beraktifitas dan tempat tinggal.

Pasal 3

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan

Perkotaan bertujuan untuk :

a. menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air;

b. menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antar

lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan

masyarakat;

c. meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman

lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.

Pasal 4

(1) Ruang lingkup Peraturan Menteri membuat :

a. ketentuan umum, yang terdiri dari tujuan, fungsi, manfaat, dan

tipologi ruang terbuka hijau;

b. ketentuan teknis yang meliputi penyediaan dan pemanfaatan ruang

terbuka hijau di kawasan perkotaan;

c. prosedur perencanaan dan peran masyarakat dalam penyediaan dan

(46)

(2) Menteri muatan tentang pengaturan sebagai dimaksud pada ayat (1)

dimuat secara lengkap dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari Peraturan Menteri ini

1.6.3.7 Hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa peneliti telah banyak yang tertarik meneliti kasus ruang terbuka

hijau ini di beberapa kota di Indonesia. Misalnya:

1. Taufik Ardiansyah Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro

Dalam jurnalnya Implemetasi Kebijakan dalam Penyediaan Ruang

Terbuka Hijau Publik Melalui Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010

Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang

Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa Dalam pandangan Edwards III,

implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni :

Komunikasi, Sumber Daya, Disposisi, dan Struktur Birokrasi. 2Dalam

implementasi Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2010 tentang Penataan

Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang akan dijabarkan sebagai berikut:

(1) Komunikasi

Sosialisasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)

Kota Semarang merupakan pihak yang memiliki peran, fungsi dan tugas

dalam merencanakan kebijakan tentang pengendalian Ruang Terbuka

Hijau Publik di Kota Semarang. Komunikasi antara Badan Perencanaan

(47)

pengembang juga berjalan dengan baik. Solusi yang dilakukan oleh

Bappeda yaitu dengan cara pendekatan kepada pihak pengembang yang

harus dipaksa menganggarkan terlebih dahulu pembangunan taman

melalui sistem aturan tentang tata ruang sebagaimana yang diamanatkan

pada Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang penataan Ruang

Terbuka Hijau di Kota Semarang. Dibentuknya anggaran oleh Pemerintah

Daerah Kota Semarang untuk pembangunan ruang publik sangatlah

dibutuhkan bagi masyarakat perkotaan sebagai upaya dalam penyedian

ruang hijau sebagai paru-paru kota ataupun tempat rekreasi dan dapat

dijadikan sebagai wadah untuk interkasi antar sesama derajat kelompok

diperkotaan. Sosialisasi Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang

Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang memang diperlukan

untuk dapat mengendalikan penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di

Kota Semarang. Kelompok sasaran harus mengetahui dan memahami

tentang program dan langkah dalam pelaksanaan penataan pengendalian

Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Semarang. Adanya pemahaman dari

kelompok sasaran merupakan salah satu faktor utama keberhasilan dari

suatu kebijakan.

(2) Sumber Daya

Dalam Implementasi Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010

sumber pembiayaan dalam pengendalian Ruang Terbuka Hijau di Kota

Semarang keseluruhan berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) Kota Semarang. Bantuan dari daerah berupa dana

(48)

suntikan dana yang sangat berpengaruh bagi pengendalian Ruang Terbuka

Hijau di Kota Semarang. Anggaran tersebut digunakan untuk

pembangunan taman baru seperti Taman TirtoAgug,Taman

Sampangan,Taman Madukoro dan Taman Tlogosari pemeliharaan taman

berupa penyiaraman dan pemupukan tanaman di taman kota.

Untuk peningkatan ruang hijau dengan pemerintah membuat

Program Pengembangan Kota Hijau atau disingkat P2KH. Program ini

mulai dilaksanakan pada tahun 2013 dengan alokasi anggaran bersumber

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2013 yang

diberikan melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) ,

bentuk program dari Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral

Penataan Ruang

Sumber daya finansial Dalam pelaksanaan suatu kebijakan

khususnya di Kota Semarang memiliki peranan yang sangat besar agar

pelaksanaan kebijakan dapat dijalankan. Anggaran pun telah disediakan

oleh Pemerintah Daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) Kota Semarang yang mengalokasikan anggaran dana

untuk pengendalian Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Oleh karena

itu dapat disimpulkan bahwa bantuan dana dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) memiliki peranan yang sangat besar dan utama

dalam pengendalian Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang.

(3) Disposisi

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) merupakan

(49)

antar instansi dalam pengendalian penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota

Semarang. Dinas Tata Kota dan Perumahan berperan sebagai pelaksana

teknis dibidang tata ruang, pemanfaatan bangunan, teknologi dan

kontruksi perumahan dan pemukiman. Dinas Pertamanan dan Kebersihan

memiliki peran dalam perumusan kebijakan dan pelayanan bidang sarana

dan prasarana bidang kebersihan, operasional kemitraan serta perawatan

pertamanan terkait ketersediaan dan pengendalian ruang terbuka hijau di

Kota Semarang. Badan Lingkungan Hidup (BLH) memiliki peran dalam

menjaga kualitas dan pengawasan lingkungan hidup yang berada di

perkotaan terkait dengan pengendalian Ruang Terbuka Hijau.

Pengembang Perumahan di Bukit Semarang Baru selaku pihak

swasta terbesar di Kota Semarang berperan menyediakan Ruang Terbuka

Hijau dalam bentuk pekarangan perumahan yang dibangun dan

menyediakan taman dikawasan daerah Kecamatan Ngaliyan dan Mijen

untuk masyarakat umum. Sedangkan Komunitas hijau memiliki peran

dalam menjaga ekosistem lingkungan dengan cara rehabilitasi, aksi dan

sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan

agar tetap hijau. Ketua komunitas juga sering diikutsertakan rapat

koordinasi dan pelatihan yang memilki fungsi menerapkan kebijakan

Ruang Terbuka Hijau dalam bentuk pegawasan terhadap lingkungan hijau.

Karakteristik atau watak dari para pelaksana kebijakan akan sangat

menentukan dan berpengaruh apakah kebijakan dapat berjalan secara

maksimal sesuai dengan maksud dan tujuan dari kebijakan tersebut. Oleh

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Teams Games Tournaments) Pada Mata Pelajaran IPS dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa.. Universitas Pendidikan Indonesia

Pada kolom ini dapat dipilih salah satu metode yang akan digunakan untuk.. estimasi yaitu LS (Least Square), TSLS (Two Stage Least Square),

Apabila ada sanggahan, maka dapat disampaikan secara tertulis kepada Pokja Pengadaan Konstruksi Pokja Pengadaan Konstruksi ULP MIN Mila / Ilot Kantor

Jika pada pemikiran Kant dalam Kritik atas rasio murni ditegaskan bahwa kita hanya dapat mengetahui objek sejauh dalam fenomen melalui persepsi inderawi, maka

Bedanya game ini berisi huruf A sampai Z, bila huruf tersebut terkena dengan bola, maka akan mengeluarkan suara yang sesuai dengan bentuk huruf tersebut dan tugas pemain adalah

Volume Usaha (Rp. Juta ) DATA KERAGAAN KOPERASI KABUPATEN / KOTA. PROVINSI SUMATERA BARAT KEADAAN : 30

REKAPITULASI DATA KOPERASI BERDASARKAN KELOMPOK USAHA YANG DIKELOLA PROVINSI SUMATERA BARAT. POSISI : 30

Selain memastikan diagnosis dan membina komunikasi dengan para ahli, orangtua anak autis hendaknya juga memperkaya pengetahuan tentang autisme, terutama pengetahuan mengenai terapi