BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan sebagaimana realita pada umumnya, menjadi kegiatan untuk
membangun dirinya sendiri yang kemudian menjadi acuan dalam proses
pembangunan. Pembangunan seringkali menjadi semacam alat kepentingan bagi
rezim pemerintahan yang berkuasa. Kesadaran suatu bangsa yang terbentuk
melalui pengalamannya, baik pengalaman sukses maupun kegagalan-kegagalan
yang dialami, amat menentukan interpretasi mereka tentang pembangunan.
Namun, karena pengalaman suatu bangsa yang mempengaruhi kesadaran tersebut
selalu berkembang dinamis, maka interpretasi mereka tentang pembangunan
tidaklah statis. Melalui mata rantai perumusan dan demistifikasi paradigma
pembangunan, terjadilah pergeseran-pergeseran paradigma tadi.
Kecenderungan negara-negara berkembang untuk meniru negara-negara
maju tersebut, seringkali dilakukan dengan cara mengambil unsur-unsur yang
baik-baik saja tanpa mempertimbangkan faktor ekologi yang melatar belakangi
prestasi negara-negara maju yang sesungguhnya dicapai melalui waktu
berabad-abad dengan perjuangan kerja keras dari bangsanya untuk mencapai prestasi.
Keinginan imitasi inilah yang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini telah
mendorong akselerasi tempo pergeseran paradigma pembangunan di
negara-negara berkembang.
Istilah Pembangunan dewasa ini digunakan secara luas. Hampir semua
industrialisasi. Istilah inipun mengisyaratkan suatu proses perubahan sosial akibat
urbanisasi, pengambilan gaya hidup modern dan perilaku-perilaku lainnya. Lebih
jauh lagi pembangunan memiliki konotasi kesejahteraan yang menunjukkan
bahwa pembangunan memperkuat pemasukan masyarakat dan meningkatkan
derajat pendidikan, kondisi perumahan dan status mereka. Namun di antara
berbagai makna ini, konsep pembangunan paling sering diasosiasikan dengan
perubahan ekonomi. Hampir semua orang mengartikan pembangunan dengan
kemajuan ekonomi.
Masyarakat yang mengalami pembangunan yang terdistorsi akan berbeda
dengan masyarakat dimana terdapat kesinambungan yang lebih baik antara
pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Negara Eropa seperti Austria,
Swedia dan Swiss dewasa ini memiliki taraf kehidupan paling tinggi di dunia
bukan semata-mata karena pencapaian ekonomi, melainkan karena usaha-usaha
sistematis untuk meningkatkan pembangunan sosial.
Paradigma pembangunan adalah cara pandang terhadap suatu persoalan
pembangunan yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pembangunan dalam
arti pembangunan baik sebagai proses maupun sebagai metode untuk mencapai
peningkatan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan rakyat. Selama ini
paradigma pembangunan mengalami proses perkembangan diantaranya meliputi:
Pertama: Strategi Pertumbuhan(Growth Strategy)Melalui pendekatan ini,
memang pada akhirnya banyak negara berkembang telah terbukti berhasil
meningkatkan akumulasi kapital dan pendapatan perkapitalnya. Namun
keberhasilan paradigma pertumbuhan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
dan lingkungan hidup. Momentum pertumbuhan yang dicapai dengan
pengorbanan besar ini misalnya, pengrusakan ekologis lingkungan, penyusutan
sumber daya alam, timbulnya kesenjangan sosial, dan munculnya tingkat
ketergantungan negara berkembang kepada neagara maju, akhirnya memetik
kritik tajam dari beberapa kelompok pemikir yang ditujukan pada paradigma ini
misalnya dari Massachu setts Institute of Technology and Club of Rome yang
memperingatkan bahwa jika laju pembangunan dunia dan pertumbuhan penduduk
tetap dibiarkan seperti ini, maka lambat atau cepat akan terjadi kehancuran total
sistem planet bumi.
Dorongan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang setingginya
seringkali mengakibatkan terabaikannya upaya pembinaan kelembagaan dan
pembinaan kemampuan masyarakat. Pembangunan nasional yang dilaksanakan
melalui central imposed blueprint plan yang dirumuskan oleh para teknorat
terhadap alokasi sumber-sumber pembangunan cenderung sentralistik dan
mengintervensi potensi masyarakat dan menumbuhkan hubungan ketergantungan
antara rakyat dan birokrat. Karenanya sifat menjadi dis-empowering dan kurang
menekankan pada kemampuan masyarakat itu sendiri untuk mengaktualisasikan
segala potensinya.
Untuk mengatasi masalah ini, dapat ditanggulangi melalui suatu
kombinasi kebijaksanaan, yang meliputi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi,
usaha pemerataan yang lebih besar dalam pembagian pendapatan dan penurunan
laju pertumbuhan penduduk.
Kedua : Pertumbuhan dengan pemerataan teknologi tapat guna(Growth
dalam sebuah kertas kerja untuk misi lapangan kerja ILO ke Kenya. Growth With
Distribution menggambarkan empat pendekatan pokok yang diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan golongan miskin, antara lain :
a. Meningkatkan laju pertumbuhan GNP sampai tingkat maksimal dengan
jalan meningkatkan tabungan dan mengalokasikan sumber-sumber daya
secara lebih efisien, yang manfaatnya dapat dinikmati oleh semua
golongan masyarakat.
b. Mengalihkan investasi ke golongan miskin dalam bentuk pendidikan,
menyediakan kredit, fasilitas-fasilitas umum dan sebagainya.
c. Mendistribusikan pendapatan atau konsumsi kepada golongan miskin
melalui sistem fiskal atau melalui alokasi barang-barang konsumsi secara
langsung.
d. Pengalihan harta atau tanah yang sudah ada kepada golongan-golongan
miskin misalnya melalui land reform.
Ketiga :Kebutuhan dasar pembangunan(Basic needs Development)
Konsep dasar pendekatan ini adalah penyediaan kebutuhan minimum bagi
penduduk yang tergolong miskin. Kebutuhan minimum yang dimaksud tidak
hanya terbatas pada hanya pangan, pakaian, dan papan saja melainkan juga
kemudahan akses pada pelayanan air bersih, sanitasi, transport, kesehatan, dan
pendidikan. Selama penduduk miskin sebagian besar terdapat di daerah pedesaan,
maka pendekatan basic needs ini kemudian menjadi tekanan dan unggulan dari
pembangunan desa.
Pada pertengahan 1970-an, pendekatan ini sangat populer dan telah
yang lebih digerakkan oleh mitos-mitos pertumbuhan. Pada akhir 1970-an, “basic
needs strategy” telah dianggap “kenangan masa lampau” dengan catatan-catatan
besar yang menekankan pentingnya pembangunan di pedesaan, namun tak
satupun yang dapat dihasilkan.
Keempat : Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development), Ide
dasar dari konsep ini bermula dari “The Club of Rome” pada tahun 1972, yakni
sekelompok orang yang terdiri dari para manajer, para ahli ilmu teknik, dan
ilmuwan se-eropa yang berhasil menyusun suatu dokumen penting mengenai
keprihatinan terhadap lingkungan. Pesan penting dari dokumen tersebut
diantaranya, bahwa sumber daya alam telah berada pada suatu tingkat
ketersediaan yang memprihatinkan dalam menunjang keberlanjutan pertumbuhan
penduduk dan ekonomi.
Sustanable diartikan sebagai suatu pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan generasi saat ini tanpa merugikan kebutuhan generasi masa datang.
Resiko dan konsekuensi dari setiap pembangunan saat ini hendaknya jangan
semuanya diwariskan pada generasi mendatang, melainkan harus
dipertimbangkan secara adil bagi generasi sekarang dan generasi mendatang.
Kelima :Konsep Pemberdayaan (Empowerment Concept), Konsep
empowerment sebagai suatu konsep alternatif pembangunan, pada intinya
memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok
masyarakat, yang berlandaskan pada sumber daya pribadi, langsung, melalui
partisipasi, demokrasi, dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung.
Sebagai titik fokusnya adalah persoalan lokalitas, sebab civil society akan lebih
Konsep ini muncul karena adanya dua hal yakni kegagalan dan harapan.
Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi
dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan.
Sedangkan harapan muncul karena adanya alternatif-alternatif pembangunan yang
memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, persamaan antar generasi,
dan pertumbuhan ekonomi yang memadai.
Keenam: Pembangunan Berpusat pada Manusia (People Centre
Development). Belajar dari pengalaman pada dasawarsa ketiga pada awal 1980-an
di negara berkembang penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development) didukung dengan pendekatan pembangunan manusia
(human development) yang ditandai dengan pelaksanaan pembangunan yang
berorientasi pada pelayanan sosial melalui pemenuhan kebutuhan pokok berupa
pelayanan sosial di sektor kesehatan, perbaikan gizi, sanitasi, pendidikan dan
pendapatan dan peningkatan
Kesejahteraan masyarakat. Di samping itu juga diarahkan pada upaya
mewujudkan keadilan, pemerataan dan peningkatan budaya, kedamaian serta
pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development) dan
berorientasi pada pemberdayaan masyarakat (public empowerment) agar dapat
menjadi aktor pembangunan sehingga dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan, kemandirian dan etos kerja.
Fokus perhatian dari paradigma pembangunan yang berpusat pada
manusia ini (people centered development paradigm) ini adalah perkembangan
manusia (human-growth), kesejahteraan (well-being), keadilan (equity) dan
keseimbangan ekologi manusia (balanced human ecology), sumber
pembangunannya adalah informasi dan prakarsa yang kreatif dengan tujuan utama
adalah aktualisasi optimal dari potensi manusia (Korten, 1984:300 dalam
Tjokrowinoto, 1996).
Paradigma ini yang mendapatkan perhatian dalam proses pembangunan
adalah:
a. Pelayanan sosial (social service);
b. Pembelajaran sosial (social learning);
c. Pemberdayaan (empowerment);
d. Kemampuan (capacity);
e. Kelembagaan (institutional building)
Tidak terlepas dari pembangunan yaitu terjadinya pengrusakan alam
seperti panas matahari sangat dirasakan, ini disebabkan oleh menipisnya lapisan
ozon bumi. Tentu ini salah kita yang tidak melestarikan alam. Perubahan suhu
yang ekstrim dari tahun ke tahun planet bumi semakin menghawatirkan.
Peningkatan suhu ini yang disebut dengan pemanasan global. Pemanasan global
disebabkan oleh gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia dan
variasi matahari. Akhir-akhir ini bencana alam dan fenomena-fenomena semakin
tidak terkendali. Mulai dari banjir, puting beliung, semburan gas, hingga curah
hujan yang tidak menentu dari tahun ke tahun. Tentu bencana alam itu merugikan
kita semua. Selain bencana tersebut ada juga dampak lain seperti: meningginya
permukaan air laut, gagal panen,dan timbulnya bibit penyakit yang akan
Oleh karena itu, kita sebagai umat manusia harus lebih bersahabat dan
melestarikan alam. Melestarikan alam dengan penanaman pohon, tidak menebang
pohon sembarangan, meminimalkan penggunaan peralatan yang banyak
mengeluarkan gas-gas efek rumah kaca dan mengupayakan pencegahan global
warming.
Global Warming secara harfiah diterjemahkan sebagai pemanasan Global.
Terjadinya pemanasan Global di bumi dimulai dari kenyataan bahwa energi panas
yang dipancarkan berasal dari matahari yang masuk ke bumi menciptakan cuaca
dan iklim serta panas pada permukaan bumi secara Global. Sebagian besar
penyebab pemanasan global adalah gas emisi yang keluar dari alat-alat yang
dipakai manusia. Semakin banyaknya penggunaan tersebut akan semakin
menghawatirkan keadaan bumi ini. Dilihat dari segi lain bahwa sebenarnya
pemanasan global dapat diminimalisir oleh manusia dengan dengan cara yang
mudah yaitu mengurangi aktifitas yang mengeluarkan gas efek rumah kaca
Salah satu permasalahan yang kini dihadapi oleh hampir seluruh perkotaan
di Indonesia adalah semakin berkurangnya lingkungan dan ruang publik.
Terutama ruang terbuka hijau (RTH), kota-kota besar pada umumnya memiliki
ruang terbuka hijau dengan luas dibawah 10% dari luas kota itu sendiri. Kondisi
tersebut sangat jauh dibawah ketentuan pemerintah pada UU No. 26 Tahun 2007
tentang ruang terbuka hijau yang mewajibkan pengelola perkotaan yang
menyediakan ruang terbuka hijau publik dengan luas sekitar 30% dari luas kota
tersebut.
Kurangnya proporsi ruang terbuka hijau dikawasan perkotaan disebabkan
banyak pihak menganggap ruang terbuka hijau memiliki nilai ekonomi yang lebih
rendah sehingga termarjinalkan. Dengan berlakunya undang-undang tentang
penataan ruang, banyak pemerintah daerah yang merasakan kesulitan dalam
memenuhi ketentuan penyediaan ruang terbuka hijau publik seluas 30% dari luas
kawasan perkotaan. Kekurangan proporsi ruang terbuka hijau yang ada di
kota-kota di Indonesia disebabkan oleh pembangunan yang tidak merata dan kian
mempersempit ruang terbuka hijau yang ada.
Berikut merupakan data mengenai luas RTH kota-kota besar di Indonesia :
Tabel 1.1 Proporsi RTH di Kota-kota Besar
NO Nama Kota Proporsi
1 Jakarta 9,97 %
2 Bandung 8,76 %
3 Bogor 19,32 %
4 Surabaya 9 %
5 Surakarta 16 %
6 Malang 4 %
7 Makasar 3 %
8 Medan 8 %
9 Jambi 4 %
10 Palembang 5 %
Rata - rata RTH di kota-kota
besar di Indonesia
Sumber : Nirwono Joga, Aspek Lingkungan dalam Pembangunan Perkotaan
Berkelanjutan, Presentasi dalam Workshop Nasional Pembangunan Kota yang
Berkelanjutan, Medan 13 Februari 2013
Berdasarkan Tabel 1.1 tentang proporsi ruang terbuka hijau di kota-kota
yang ada di Indonesia, kota-kota besar yang ada di Indonesia belum memenuhi
syarat ruang terbuka hijau. Kota Bogor menjadi satu-satunya kota yang memiliki
proporsi ruang terbuka hijau dengan luas 19,32% dari luas keseluruhan kota.
Pembangunan yang ada dikota-kota besar di Indonesia umumnya tidak
memperhatikan unsur ruang terbuka hijau. Kesulitan dalam hal pemenuhan
proporsi ruang terbuka hijau yang kini dirasakan dikota-kota besar mulai tertular
ke kota-kota kecil. Namun, pengelola perkotaan dan masyarakat yang tidak
menghargai nilai ruang terbuka hijau juga masih terlihat banyak kota kecil yang
semakin gersang karena pepohonannya ditebang untuk pelebaran jalan atau
kegiatan perkotaan lainnya.
Perkembangan kota akhir-akhir ini sering kali hanya berorientasi pada
peningkatan aspek ekonomi tanpa mempertimbangkan unsur ekologi, padahal
keseimbangan lingkungan merupakan faktor penting dalam menciptakan kondisi
kota yang sehat dan nyaman. Kejenuhan akibat maraknya pembangunan serta
kompleksnya masalah perkotaan mengakibatkan proses berpikir akan pentingnya
pembangunan kota yang ekologis atau berwawasan lingkungan.
Kota Medan yang merupakan ibu kota Propinsi Sumatera Utara dan juga
sebagai pintu gerbang Indonesia bagian Barat. Pertumbuhan kota yang pesat
Begitupula halnya dengan populasi ternak. Kepadatan aktivitas sehari-hari harus
didukung dengan kebutuhan akan kendaraan bermotor, sehingga jumlahnya pun
menjadi indikasi semakin pesatnya perkembangan suatu kota, seperti Kota
Medan. Luasan RTH Kota Medan berdasarkan existing condition 2006 adalah
sebesar 9865.76 ha dari luas total wilayah sebesar 26,510 Ha atau sebesar 37,72
%. Luasan RTH Kota Medan yang optimal berdasarkan Inmendagri No.14 Tahun
1988 sebesar 40% adalah 10,604.0 ha, sedangkan berdasarkan pendekatan
Geravkis kebutuhan oksigen pada tahun 2008 adalah sebesar 28,003.5 ha.
Kekurangan RTH di Kota Medan pada tahun 2008 dapat diantipasi dengan
menanam pohon sebanyak 692,303 masing-masing 3-4 orang/batang dengan
asumsi jarak tanam 5x5 m, didasarkan pada pendekatan Geravkis kebutuhan
oksigen
Sampai saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan,
yakni terwujudnya ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan hal ini dapat
juga dirasakan di kota Medan. Menurunnya kualitas permukiman di kota Medan
bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah, berkembangnya kawasan kumuh
yang rentan dengan bencana banjir serta semakin hilangnya ruang terbuka
(Openspace) untuk artikulasi dan kesehatan masyarakat.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Medan hanya berkisar 7,5%-10%. Mantan
Wali Kota Medan Rahudman Harahap mengakui keberadaan taman di kota ini
masih minim. Akibatnya, masyarakat lebih banyak yang memilih mencari lokasi
rekreasi bersama keluarga dengan mengunjungi pusat perbelanjaan modern.
Berdasarkan data Dinas Pertamanan Pemko Medan (2011), hanya ada 19
taman di kota ini dengan luas keseluruhan sekitar 124.664 meter persegi dari luas
kota Medan yang mencapai 26.510 hektare (ha). Selain itu, Medan hanya
memiliki 9 taman air mancur yang berada di Taman Beringin, Taman Soedirman,
Taman Teladan, Tugu Sister City, Tugu Adipura, Taman Kantor Pos,Taman Guru
Patimpus,Taman Juanda,dan Taman Majestic.
Pemko Medan berupaya memenuhi taman dan Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di Medan dengan mengalokasikan dana di Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Dana ini untuk membeli lahan sekitar 300- 400 meter
per tahun sebagai upaya untuk menambah RTH. Luas RTH yang ada di Kota
Medan sampai saat ini tercatat kurang lebih baru mencapai 5%. Angka ini masih
jauh dari ketentuan minimal yang dipersyaratkan dalam UU No. 26 tahun 2007
sebesar 30%.
Dikutip dari Harian Jurnal Asia (Medan-Selasa, 10 November 2015).
Kota Medan masih banyak menghadapi persoalan-persoalan yang belum juga
terselesaikan. Permasalahan yang belum juga terselesaikan di kota Medan hingga
saat ini salah satunya adalah masih minimnya ruang terbuka hijau (RTH), bahkan
diperkirakan RTH masih sekitar 7% hingga 8% dari kewajiban 30 persen.
Kawasan RTH Kota Medan sebagaimana tercantum dalam Peraturan
Daerah (Perda) Kota Medan No. 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Medan 2011-2031 pada pasal 38 meliputi:
1. RTH Kawasan Wisata
2. RTH Hutan Kota
4. RTH Tempat Pemakaman Umum
5. RTH Jalur Hijau Jalan
6. RTH Jalur Pejalan Kaki
7. RTH Atap Bangunan
8. Lapangan Olahraga
Untuk mencapai RTH 30%, maka berbagai jenis dan fungsi RTH, baik
yang dimiliki dan dikelola pemerintah Kota (RTH publik) maupun yang dimiliki
masyarakat/swasta (RTH privat), harus diintegrasikan dalam rencana induk RTH
dan RTRW. Rencana RTH 30% dan sistem jaringan RTH yang berfungsi sebagai
infrastruktur hijau harus tercermin dalam struktrur dan pola pemanfaatan ruang
kota sebagai bagian dari peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah.
Jaringan RTH tersebut harus terdistribusi ke semua wilayah kota dalam bentuk
area (hubs) dan jalur (links), agar dapat berfungsi secara optimal dalam
menciptakan keseimbangan ekosistem kota.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang menegaskan bahwa setiap kota wajib mengalokasikan sedikitnya 30% dari
ruang atau wilayahnya untuk RTH, di mana 20% diperuntukan bagi RTH publik,
serta 10% diperuntukkan bagi RTH privat pada lahan-lahan yang dimiliki oleh
swasta atau masyarakat.
Bahwa sesuai Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 11 ayat (2), pemerintah daerah kota mempunyai wewenang dalam
pelaksanaan penataan ruang wilayah kota yang meliputi perencanaan tata ruang
wilayah kota, pemanfaatan ruang wilayah kota dan pengendalian pemanfaatan
berazazkan pada kaidah-kaidah perencanaan yang mencakup asas keselarasan,
keserasian, keterpaduan, kelestarian, keberlanjutan serta keterkaitan antar wilayah
baik di dalam kota itu sendiri maupun dengan kota sekitarnya. Untuk mendukung
terwujudnya ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, dibutuhkan
regulasi yang mampu melindungi hak dan kewajiban stakeholder dalam menata
ruang kota.
Beberapa peraturan perundang-undangan telah diterbitkan seperti
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, PP No 15 tahun 2010
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, PP No 68 tahun 2010 tentang Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang, serta
peraturan-peraturan tentang penataan ruang lainnya merupakan regulasi yang saling
mendukung dan perlu untuk diketahui, dipahami, dan dijalankan oleh segenap
warga negara. Untuk itu maka sesuai dengan kewajibannya, pemerintah harus
mensosialisasikan esensi, makna dan substansi peraturan yang terkait dengan
penataan ruang sehingga masyarakat dapat mengetahui dan mengerti peran
mereka dalam penataan ruang
Sesuai dengan uraian latar belakang yang singkat diatas, Penulis merasa
tertarik untuk mengadakan penelitian dengan memilih judul :"Implementasi
Kebijakan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Peraturan
Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka pokok permasalahan
yang dibahas dan dicari jawaban dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Implementasi Kebijakan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau
berdasarkan Peraturan Daerah kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031?
2. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Penyediaan Ruang
Terbuka Hijau Berdasarkan Peraturan Daerah kota Medan Nomor 13
Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun
2011-2031?
I.3 Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan penelitian terlebih lagi penelitian ilmiah tentunya memiliki
tujuan-tujuan khusus. Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, penulis
membagi kedalam dua kelompok yakni sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Bagaimana Implementasi Kebijakan Penyediaan Ruang
Terbuka Hijau Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13
Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun
2011-2031 yang dilakukan Dinas Pertamanan Kota Medan
2. Untuk Mengetahui Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Peraturan Daerah kota
Medan Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
I.4 Manfaat Penelitian
Nilai dari suatu penelitian dapat dilihat dari manfaat yang dapat diberikan.
Adapun manfaat yang akan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan pengetahuan ilmu Administrasi Negara
khususnya yang berkaitan dengan kajian ruang terbuka hijau.
b. Hasil penelitian ini memberikan wacana dalam rangka upaya
penyediaan dan pengelolaan ruang terbuka hijau yang dilakukan oleh
Dinas Pertamanan Kota.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan atau masukan bagi
pemerintah kota maupun lembaga yang terkait lain dalam
merumuskan strategi dalam rangka penyediaan dan pengelolaan ruang
terbuka hijau.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai literatur bagi semua
pihak yang tertarik dengan kewenangan lembaga terkait dalam
menangani penyediaan dan pengelolaan ruang terbuka hijau.
I.5 Kerangka Teori
Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, defenisi, dan proposisi untuk
hubungan antar konsep, dan kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir
untuk menunjukkan perspektif yang digunakan dalam memandang fenomena
sosial yang menjadi obyek penelitian (Singarimbun, 1995:18).
Sedangkan kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti
memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok,
subvariabel atau masalah pokok yang ada dalam penelitian (Arikunto, 2002:92).
Berdasarkan kerangka teori diatas, maka dalam kerangka teori ini penulis
akan mengemukakan teori, gagasan, atau pendapat yang akan dijadikan titik tolak
landasan berfikir dalam penelitian. Adapun yang kerangka teori dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1.6.1 Kebijakan Publik
1.6.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Secara etimologi, kebijakan publik terdiri atas dua kata, yaitu kebijakan
dan publik. Dari kedua kata yang saling berkaitan tersebut oleh Graycar dalam
kaban (2008:59) kebijakan dapat dipandang dari empat perspektif, yaitu filosofis,
produk, proses, dan kerangka kerja. Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan
dipandang sebagai serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan. Sebagai
suatu produk, kebijakan diartikan sebagai serangkaian kesimpulan atau
rekomendaasi. Sebagai suatu proses, kebijakan menunjuk kepada cara dimana
melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan
darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya. Sedangkan
sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar-menawar
Menurut Thomas Dye (1981:1) kebijakan publik adalah apapun pilihan
pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan konsep tersebut
sangatlah luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan
oleh pemerintah disamping yang dilakukan oleh pemerintah ketika menghadapi
suatu masalah publik. Sebagai contoh, ketika pemerintah mengetahui ada jalan
raya yang rusak dan dia tidak membuat kebijakan untuk memperbaiki, berarti
pemerintah sudah mengambil kebijakan. Definisi kebijakan publik dari Thomas
Dye mengandung makna bahwa kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan
pemerintahan, bukan organisasi swasta dan kebijakn publik yang menyangkut
pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintahan.
Kebijakan pemerintah untuk tidak membuat program baru atau tetap berada pada
status quo, misalnya tidak menunaikan pajak adalah sebuah kebijakan publik.
James E.Anderson (1979:3) mendefinisikan kebijakan publik adalah
sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintahan.
Walaupun disadari kebijakan publik dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor
dari luar pemerintahan. Kebijakan publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang
dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu, misalnya
dibidang pendidikan, politik, ekonomi, pertanian, industri, pertahanan dan
sebagainya.
Berdasarkan pengertian para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
kebijakan publik adalah serangkaian pedoman dan dasar rencana yang akan
dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi sebuah persoalan yang ada dalam
kehidupan masyarakatnya dengan hubungan yang mengikat. Jadi, kebijakan
1.6.1.2 Tahapan Kebijakan Publik
Kebijakan publik memiliki tahap yang cukup kompleks karena memiliki
banyak proses dan variabel.
Menurut William Dunn (1998), tahap-tahap kebijakan publik adalah
sebagai berikut :
a. Penyusunan agenda kebijakan (Agenda Setting)
Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi
masalah yang memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan
agenda. Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi
yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebab, memetakan tujuan
yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan, dan merancang
kebijakan yang baru. Perumusan kebijakan harus difasilitasi berupa
dukungan sosial, dukungan politik, dan dukungan budaya.
b. Formulasi kebijakan (Policy Formulation)
Pada tahapan formulasi kebijakan, analisis kebijakan perlu mengumpulkan
dan menganalisisi formasi yang berhubungan dengan masalah yang
bersangkutan, kemudian berusaha mengembangkan alternatif kebijakan,
membangun dukungan dan melakukan negosiasi sehingga sampai pada
sebuah kebijakan yang dipilih. Dalam tahap formulasi kebijakan,
peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai
c. Adopsi kebijakan (Policy Adoption)
Pada tahap ini, pengambil kebijakan terbantu dalam rekomendasi yang
membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat
atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya dimasa mendatang telah
diestimasikan melalui peramalan. Dari sekian banyak alternatif yang
ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu
alternatif kebijakan tersebut di adopsi dengan dukungan dari mayoritas
legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan
d. Implementasi kebijakan (Policy Implementation)
Pemantauan atau monitoring menyediakan pengetahuan yang relevan
dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya
terhadap pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan. Pada
tahapan ini perlu dukungan sumber daya dan penyusunan organisasi
pelaksana kebijakan. Dalam proses implementasi sering ada mekanisme
intensif dan sanksi agar implementasi dapat berjalan dengan baik
e. Evaluasi kebijakan (Policy Evaluation)
Evaluasi kebijakan membuahkan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang
diharapkan dengan benar-benar dihasilkan. Pada tahapan ini kebijakan
yang telah dijalankan akan dinilai dan dievaluasi untuk melihat sejauh
mana kebijakan yang telah dibuat mampu memecahkan masalah.
Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang
masyarakat. Oleh karena itu, ditentuakan ukuran-ukuran yang menjadi
dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang
diinginkan.
1.6.2 Implementasi Kebijakan Publik
1.6.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Menurut James P. Lester dan Joseph Stewart, implementasi kebijakan
dipandang dalam pengertian yang sangat luas, merupakan alat administrasi hukum
dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja
bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang
diinginkan. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang
kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran (output)
maupun sebagai hasil.
Batasan lain mengenai implementasi kebijakan juga disebutkan oleh Van
Meter dan Van Horn. Mereka membatasi bahwa implementasi kebijakan sebagai
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau
kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.
Dari beberapa defenisi implementasi kebijakan publik yang telah
dikemukakan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi
kebijakan publik adalah pelaksanaan kebijakan oleh mesin-mesin administrasi
1.6.2.2 Model Implementasi Kebijakan
Menurut Tangkilisan (2003:20) dalam implemetasi kebijakan publik, dikenal
beberapa model implementasi kebijakan, yaitu :
a. Model Van Meter dan Van Horn (19975)
Menurut Meter dan Horn dalam Samodra (1994:19) ada lima variabel
yang mempengaruhi kinerja implementasi kinerja implementasi, yakni:
1. Standar dan sasaran kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat
direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi
multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen
implementasi.
2. Sumberdaya
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya
manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia
(non-human resources).
3. Hubungan antar Organisasi
Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan
dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan
kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
4. Karakteristik agen pelaksana
Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur
birokrasi, norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi,
5. Kondisi sosial, politik dan ekonomi
Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat
mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana
kelompok-kelompok kepentingan memberi dukungan bagi implementasi kebijakan,
karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana
sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elit politik
mendukung implementasi kebijakan.
6. Disposisi implementor
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: (1)
respon implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi
kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (2) kognisi, yakni
pemahamannya terhadap kebijakan dan (3) intensitas disposisi
implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
b. Model Merilee S Grindle (1980)
Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (1980)
dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan
lingkungan implementasi (context of implementation)
Variabel isi kebijakan mencakup:
1. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat
dalam isi kebijakan,
2. Jenis manfaat yang diterima oleh target groups
4. Apakah letak sebuah program sudah tepat,
5. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan
rinci dan
6. Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
Sedangkan variabel lingkungan mencakup:
1. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh
para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan
2. Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa dan
3. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
c. Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)
Menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan publik adalah upaya
melaksanakan keputusan kebijakan. Model ini disebut sebagai kerangka analisis
implementasi. Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi
kebijakan ke dalam tiga variable, yaitu:
1. Karakteristik dari masalah, indikatornya adalah :
a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan
b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran
c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi
d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan
2. Karakteristik kebijakan, indikatornya adalah :
a. Kejelasan isi kebijakan
c. Besarnya alokasi sumber daya finansial terhadap kebijakan tersebut
d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar institut
pelaksana
e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana
f. Tingkat komitmen aparat terhadap kebijakan
3. Variabel lingkungan, indikatornya adalah :
a. Konsisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajemukan
teknologi
b. Dukungan publik terhadap suatu kebijakan
c. Sikap dari kelompok pemilih
d. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat implementor
e. Model Teori George C. Edwards III
Dalam pandangan Edwards III dalam Dwiyanto Indiahono (2009:31)
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni:
1. Komunikasi
Komunikasi, yaitu menunjukkan bahwa setiap kebijakan akan
dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara
pelaksana program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target
group). Tujuan dan sasaran dari program/kebijakan dapat disosialisasikan
secara baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas kebijakan dan
program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi pengetahuan
kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan
dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan dalam
2. Sumber Daya
Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung
oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun
sumber daya finansial. Sumber daya manusia adalah kecukupan baik
kualitas maupun kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh
kelompok sasaran. Sumber daya finansial adalah kecukupan modal
investasi atas sebuah program/kebijakan. Keduanya harus diperhatikan
dalam implementasi program/kebijakan pemerintah. Sebab tanpa
kehandalan implementor, kebijakan menjadi kurang enerjik dan berjalan
lambat dan seadanya. Sedangkan sumber daya finansial menjamin
keberlangsungan program/kebijakan. Tanpa ada dukungan finansial yang
memadai, program tak dapat berjalan efektif dan cepat dalam mencapai
tujuan dan sasaran.
3. Disposisi
Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat
kepada implementor kebijakan/program. Karakter yang paling penting
dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis.
Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa
bertahan diantara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan.
Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arus
program yang telah digariskan dalam guideline program. Komitmen dan
kejujurannya membawanya semakin antusias dalam melaksanakan
tahap-tahap program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan
kelompok sasaran. Sikap ini menurunkan resistensi dari masyarakat dan
menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran terhadap
implementor dan program/kebijakan.
4. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi
penting dalam implementasi kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini
mencakup dua hal penting pertama adalah mekanisme, dan struktur
organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya
sudah ditetapkan melalui standar operating procedur (SOP) yang
dicantumkan dalam guideline program/kebijakan. SOP yang baik
mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit, dan
mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi acuan dalam
bekerjanya implementor.
Sedangkan struktur organisasi pelaksana pun sejauh mungkin
menghindari hal yang berbelit, panjang, dan kompleks. Struktur organisasi
pelaksana harus dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas
kejadian luar biasa dalam program secara cepat. Dan hal ini hanya dapat
lahir jika struktur didesain secara ringkas dan fleksibel menghindari “virus
1.6.2.3 Variabel - variabel yang Mempengaruhi Implementasi
Kebijakan
Dalam mengkaji suatu proses kebijakan yang sedang berjalan
(implementasi) dapat dilakukan dengan berbagai model pendekatan seperti
di atas.Sehingga dapat dilihat pelaksanaan suatu kebijakan dengan
variabel-variabel dalam model pendekatan tersebut. Oleh karenannya,
model yang dipakai dalam penelitian Kebijakan Penyediaan Ruang
Terbuka Hijau berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13
Tahun 2011 tentang RencanaTata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun
2011-2031 adalah dengan melihat variabel:
1. Standar Kebijakan dan Sasaran
Standar dan sasaran kebijakan pada dasarnya adalah apa yang
hendak dicapai oleh program atau kebijakan, baik yang terwujud
maupun tidak, jangka pendek, menengah atau panjang. Kejelasan
dan sasaran kebijakan harus dapat dilihat secara spesifik sehingga
di akhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari
kebijakan atau program yang dijalankan.
2. Komunikasi
Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu
dikomunikasikan sehingga implementor mengetahui secara tepat ukuran
maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi antar organisasi juga
menunjuk adanya tuntutan saling dukung antar institusi yang berkaitan
dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adanya
distorsi atas kebijakan dan program.
3. Disposisi atau Sikap
Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat
kepada implementor kebijakan/program. Karakter yang paling penting
dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen, dan demokratis.
4. Sumber Daya
Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung
oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun
sumber daya finansial. Sumber daya manusia adalah kecukupan baik
kualitas maupun kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh
kelompok sasaran. Sumber daya finansial adalah kecukupan modal
investasi atas sebuah program/kebijakan. Dengan adanya sumber daya
finansial juga akan mendukung segala fasilitas yang dibutuhkan untuk
mendukung terlaksananya kebijakan /program. Namun, tanpa adanya
implementor yang berkeahlian, juga tidak mampu menterjemahkan
kebijakan/program dengan baik walaupun fasilitas terpenuhi.
5. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi
penting dalam implementasi kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini
mencakup dua hal penting pertama adalah mekanisme, dan struktur
organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya
sudah ditetapkan melalui standar operating procedur (SOP) yang
1.6.3 Ruang Terbuka Hijau
1.6.3.1Pengertian Ruang terbuka Hijau
Pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH) Ruang terbuka (open spaces)
merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat
pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang terbuka (open spaces),
ruang terbuka hijau (RTH), Ruang publik (public spaces) mempunyai pengertian
yang hampir sama. Secara teoritis pengertian dari ruang terbuka hijau diantaranya
adalah:
1. Ruang yang didominasi oleh lingkungan alami di luar maupun didalam
kota, dalam bentuk taman, halaman, areal rekreasi kota dan jalur hijau
(Roger Trancik, 1986; 61)
2. Ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam
bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur yang
dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa
bangunan yang berfungsi sebagai kawasan pertamanan kota, hutan kota,
rekreasi kota, kegiatan Olah Raga, pemakaman, pertanian, jalur hijau dan
kawasan hijau pekarangan (Inmendagri no.14/1988)
3. Fasilitas yang memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan
kualitas lingkungan permukiman, dan merupakan suatu unsur yang sangat
penting dalam kegiatan rekreasi.
Kawasan perkotaan memang identik dengan masalah polusi udara yang
disebabkan oleh banyaknya kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar
semakin meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk. Korelasi dari
pertumbuhan tersebut ada yang berdampak positif dan negatif.
Dampak positif dari pertumbuhan pembangunan antara lain meningkatkan
pendapatan asli daerah, munculnya sentra-sentra ekonomi, kesejahteraan
masyarakat meningkat, indeks kualitas pendidikan meningkat. Pada sisi yang lain
dari pertumbuhan pembangunan juga berdampak negatif diantaranya beban kota
makin berat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan,
kualitas lingkungan perkotaan makin rendah, ruang terbuka hijau (RTH) semakin
berkurang akibat pesatnya perkembangan kawasan perumahan dan kawasan
industri yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas ekosistem Kota.
Secara definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green Open Spaces) adalah
kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina
untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan
atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk
meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, ruang
terbuka hijau (Green Open Spaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga
berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota. Ruang terbuka hijau yang
ideal adalah 30 % dari luas wilayah sesuai dengan UU No. 26/2007 tentang
penataan ruang menentukan bahwa proporsi RTH kota minimal 30 % dari luas
wilayah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi antagonisme peraturan
pada level pemerintah daerah. Namun terjadi kecenderungan pelaksanaan
kebijakan yang berlawanan, yaitu terjadinya penurunan luas penyediaan RTH di
terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal ruang terbuka
hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan komunikasi
publik. Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur nasional atau
daerah dengan standar-standar yang ada serta meningkatkan kenyamanan,
memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro (halaman rumah, lingkungan
permukiman) maupun makro (lansekap kota secara keseluruhan); menstimulasi
kreativitas dan produktivitas warga kota; pembentuk faktor keindahan arsitektural;
menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak
terbangun.
1.6.3.2 Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Dalam peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan, RTH memiliki fungsi utama (intrinsik/fungsi ekologis) dan fungsi
tambahan (ekstrinsik) sebagai berikut :
1. Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis
a. Memberi jaminan pendaan RTH menjadi bagian dari sistem
sirkulasi udara (paru-paru kota).
b. Pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara
alami dapat berlangsung lancar.
c. Sebagai peneduh.
d. Produsen oksigen.
e. Penyerap air hujan.
g. Penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta.
h. Penahan angin.
2. Adapun fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu sebagai berikut :
a. Fungsi sosial dan budaya, yaitu menggambarkan ekspresi budaya
lokal, merupakan media komunikasi bagi warga kota, tempat
rekreasi, wadah dan objek pendidikan, penelitian dan pelatihan
dalam mempelajari alam
b. Fungsi ekonomi, yaitu sumber produk yang bisa dijual, seperti
tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur, bisa menjadi bagian dari
usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lain-lain.
c. Fungsi estetika, yaitu meningkatkan kenyamanan, memperindah
lingkungan kota baik dari skala mikro (halaman rumah, lingkungan
permukiman) maupun makro (landscape kota secara keseluruhan);
menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota, pembentuk
faktor keindahan arsitektural; menciptakan suasana serasi dan
seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun.
Dalam suatu wilayah, empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai
dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata
1.6.3.3 Manfaat Ruang Terbuka Hijau
Manfaat Ruang Terbuka Hijau berdasarkan fungsinya dibagi atas :
1. Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible), yaitu
membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan
mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, buah)
2. Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible), yaitu
pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan
persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora
dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati).
Ruang terbuka menyangkut semua landscape, elemen keras (hardscape)
yang meliputi jalan, pedestrian, taman-taman dan ruang rekreasi di lingkungan
perkotaan (Shirvani, 1985).
Ruang terbuka dapat berupa tempat-tempat di tengah kota, jalan-jalan,
tempat-tempat belanja (mall) dan taman-taman kecil. Simpulan yang bisa ditarik
dari beberapa pengertian ruang terbuka (openspace) adalah ruang yang terbentuk,
berupa softscape dan hardscape, dengan kepemilikan privat maupun publik untuk
melakukan aktivitas bersama (komunal) dalam konteks perkotaan. Secara garis
besar tipologi ruang terbuka adalah park (taman), square (lapangan), water front
(area yang berbatasan air), street (jalan) dan lost space.
Ruang publik merupakan suatu lokasi yang didesain (walau hanya
minimal) dimana siapa saja mempunyai hak untuk dapat mengaksesnya, interaksi
diantara individu didalamnya tidak terencana dan tanpa kecuali dan tingkah laku
para pelaku didalamnya merupakan subyek tidak lain dari norma sosial
berfungsi secara optimal ketika bisa memenuhi aspek/kaidah seperti etika
(kesusilaan), fungsional (kebenaran) dan estetika/keindahan (Imam Djokomono,
2004)
Aspek etika mengandung pengertian tentang bagaimana sebuah ruang
publik dapat ‘diterima’ keberadaannya dan citra positif seperti apa yang ingin
dimunculkan yang senantiasa melekat dengan keberadaan ruang publik tersebut.
Aspek fungsional setidaknya terdapat tiga faktor yang terkandung, yakni sosial,
ekonomi dan lingkungan.
Faktor sosial merupakan syarat utama menghidupkan ruang publik,
terdapat orang berkumpul dan terjadi interaksi. Selain sosial juga terdapat faktor
lingkungan dimana ligkungan yang nyaman mampu menjadi daya tarik bagi orang
untuk masuk didalamnya. Sedangkan aspek estetika ruang publik terdapat tiga
tingkatan, estetika formal, fenomenologi/pengalaman dan estetika ekologi.
Estetika formal merupakan estetika dimana obyek keindahan memiliki jarak
dengan subyek. Estetika pengalaman dimana obyek dinikmati dengan partisipasi
atau interaksi dan estetika ekologi, obyek keindahan dinikmati melalui proses
partisipasi dan adaptasi yang memungkinkan kita berkreasi terhadap ruang
tersebut.
1.6.3.4 Tipologi Ruang Terbuka Hijau
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008
tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan, jenis-jenis ruang terbuka hijau yang ada sesuai dengan tipologi ruang
Secara fisik ruang terbuka hijau dapat dibedakan menjadi ruang terbuka
hijau alami berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional
serta ruang terbuka hijau non alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga,
pemakaman atau jalur-jaur hijau jalan. Dilihat dari fungsi ruang terbuka hijau
dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika, dan ekonomi. Secara struktur
ruang, ruang terbuka hijau dapat mengikuti pola ekologis (mengelompok,
memanjang, tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti hirarki dan
struktur ruang perkotaan.
Dari segi kepemilikan, ruang terbuka hijau dibedakan ke dalam ruang
terbuka hijau publik dan RTH privat. Pembagian jenis-jenis ruang terbuka hijau
publik dan ruang terbuka hijau privat.
1.6.3.5 Konsep Dasar Hukum Tata Ruang
Mochtar Koesoemaatmadja mengonstatir bahwa tujuan pokok penerapan
hukum apabila hendak direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order).
Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan akan
yang teratur, di samping itu tujuan lainnya adalah tercapainya keadilan yang
berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat pada zamannya.
Konsep dasar hukum penataan ruang, tertuang di dalam pembukaan UUD
1945 alinea ke-4 yang berbunyi :
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia...”
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke empat, berbunyi
“Bumi dan air dan kekayaa alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Ketentuan tersebut memberikan “hak penguasaan kepada negara atas seluruh
sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada negara untuk
menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Kalimat tersebut
mengandung makna, negara mempunyai kewenangan untuk melakukan
pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna
terlaksananya kesejahteraan yang dikehendaki.
Untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut, khususnya untuk meningkatkan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti negara harus
dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan
tadi dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah. Apabila kita cermati
dengan seksama, kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh negara, yang
harus diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi,
sehingga tidak akan adanya perusakan terhadap lingkungan hidup. Upaya
pelaksanaan perencanaan penataan ruang yang bijaksana adalah kunci dalam
pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam konteks
penguasaan negara atas dasar sumber daya alam, di dalam kewajiban negara untuk
melindungi, melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara utuh. Artinya,
aktivitas pembangunan yang dihasilkan dari perencaan tata ruang pada umumnya
bernuansa pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan.
Selanjutnya, dalam mengomentari konsep Roscoe Pound, Mochtar
Koesoemaatmadja mengemukakan bahwa hukum haruslah menjadi sarana
pembangunan. Disini berarti hukum haruslah mendorong proses modernisasi 10.
Artinya hukum yang dibuat haruslah sesuai dengan cita-cita keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan fungsi tersebut maka pembentuk
undang-undang meletakkan berbagai dasar yuridis dalam melakukan berbagai
kegiatan pembangunan, sebagai salah satunya yaitu dalam pembuatan
undang-undang mengenai penataan ruang.
Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang, maka
peraturan-peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak pemerintah, di
mana salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur penataan ruang
1.6.3.6 Ketentuan Hukum Ruang Terbuka Hijau
1. Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007
Pengaturan tentang Ruang Terbuka Hijau ditegaskan dalam Pasal 1
Butir 31, Pasal 28, 29, 30 dan 31 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang (UUPR).
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : Ruang Terbuka Hijau
adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Pasal 28
Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 berlaku mutatis
mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan
selain rincian Pasal 26 ayat (1) ditambahkan :
a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana...(dst.)
Pasal 29
(1) Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka
(2) Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30
(tiga puluh) persen dari luas wilayah kota.
(3) Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling
sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.
Pasal 30
Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (1) dan ayat (3) disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki
pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaat ruang terbuka
hijau dan ruang terbuka non hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
huruf a dan huruf b diatur dengan Peraturan Menteri. Proporsi 30 (tiga
puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan
ekosistem kota maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan
meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta
sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Pengaturan Ruang Terbuka Hijau ditegaskan dalam Pasal 1 Butir 2,
19, 20, Pasal 2 huruf a, b, dan c, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal Peraturan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2007 tentang
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri ini yang dimaksud dengan : Ruang
Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah
bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan
tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.
RTHKP Publik adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi
tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota. RTHKP Privat adalah RTHKP yang
penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab pihak/lembaga swasta,
perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang
oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali Provinsi DKI Jakarta oleh Pemerintah
Provinsi.
Pasal 2
Tujuan penataan RTHKP adalah :
a. menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan;
b. mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan di perkotaan;dan
c. meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan
nyaman.
Pasal 3
Fungsi RTHKP :
a. pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan;
c. tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati;
d. pengendalian tata air; dan
e. sarana estetika kota.
Pasal 4
Manfaat RTHKP :
a. sarana untuk mencerminkan identitas daerah;
b. sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan;
c. sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial;
d. meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;
e. menimbulkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah;
f. sarana aktifitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula;
g. sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat;
h. memperbaiki iklim mikro;dan
i. meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan.
Pasal 6
Jenis RTHKP meliputi :
a. taman kota;
b. taman wisata alam;
c. taman rekreasi;
d. taman lingkungan perumahan dan permukiman;
e. taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial;
g. hutan kota;
h. hutan lindung;
i. bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah;
j. cagar alam;
k. kebun raya;
l. kebun binatang;
m. pemakaman umum;
n. lapangan olah raga;
o. lapangan upacara;
p. parker terbuka;
q. lahan pertanian perkotaan;
r. jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET);
s. sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa;
t. jalur pengamanan jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan
pedestrian;
u. kawasan dan jalur hijau;
v. daerah penyanggah (buffer zone) lapangan udara;dan
w. taman atap (roof gaden).
3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/Prt/M/2008 tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan, Pasal
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh
tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
2. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
3. Menteri adalah Menteri Pekerjaan Umum
Pasal 2
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan dimaksudkan untuk :
a. menyediakan acuan yang memudahkan pemangku kepentingan baik
pemerintah kota, perencana maupun pihak-pihak terkait, dalam
perencanaan, perancangan, pembangunan, dan pengelolaan ruang terbuka
hijau.
b. memberikan panduan praktis bagi pemangku kepentingan ruang terbuka
hijau dalam penyusunan rencana dan rancangan pembangunan dan
pengelolaan ruang terbuka hijau.
c. memberikan bahan kampanye publik mengenai arti pentingnya ruang
d. memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan
pihak-pihak terkait tentang perlunya ruang terbuka hijau sebagai pembentuk
ruang yang nyaman untuk beraktifitas dan tempat tinggal.
Pasal 3
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan bertujuan untuk :
a. menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air;
b. menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antar
lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan
masyarakat;
c. meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman
lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.
Pasal 4
(1) Ruang lingkup Peraturan Menteri membuat :
a. ketentuan umum, yang terdiri dari tujuan, fungsi, manfaat, dan
tipologi ruang terbuka hijau;
b. ketentuan teknis yang meliputi penyediaan dan pemanfaatan ruang
terbuka hijau di kawasan perkotaan;
c. prosedur perencanaan dan peran masyarakat dalam penyediaan dan
(2) Menteri muatan tentang pengaturan sebagai dimaksud pada ayat (1)
dimuat secara lengkap dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini
1.6.3.7 Hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa peneliti telah banyak yang tertarik meneliti kasus ruang terbuka
hijau ini di beberapa kota di Indonesia. Misalnya:
1. Taufik Ardiansyah Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro
Dalam jurnalnya Implemetasi Kebijakan dalam Penyediaan Ruang
Terbuka Hijau Publik Melalui Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010
Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang
Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa Dalam pandangan Edwards III,
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni :
Komunikasi, Sumber Daya, Disposisi, dan Struktur Birokrasi. 2Dalam
implementasi Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2010 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang akan dijabarkan sebagai berikut:
(1) Komunikasi
Sosialisasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Kota Semarang merupakan pihak yang memiliki peran, fungsi dan tugas
dalam merencanakan kebijakan tentang pengendalian Ruang Terbuka
Hijau Publik di Kota Semarang. Komunikasi antara Badan Perencanaan
pengembang juga berjalan dengan baik. Solusi yang dilakukan oleh
Bappeda yaitu dengan cara pendekatan kepada pihak pengembang yang
harus dipaksa menganggarkan terlebih dahulu pembangunan taman
melalui sistem aturan tentang tata ruang sebagaimana yang diamanatkan
pada Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang penataan Ruang
Terbuka Hijau di Kota Semarang. Dibentuknya anggaran oleh Pemerintah
Daerah Kota Semarang untuk pembangunan ruang publik sangatlah
dibutuhkan bagi masyarakat perkotaan sebagai upaya dalam penyedian
ruang hijau sebagai paru-paru kota ataupun tempat rekreasi dan dapat
dijadikan sebagai wadah untuk interkasi antar sesama derajat kelompok
diperkotaan. Sosialisasi Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang memang diperlukan
untuk dapat mengendalikan penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di
Kota Semarang. Kelompok sasaran harus mengetahui dan memahami
tentang program dan langkah dalam pelaksanaan penataan pengendalian
Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Semarang. Adanya pemahaman dari
kelompok sasaran merupakan salah satu faktor utama keberhasilan dari
suatu kebijakan.
(2) Sumber Daya
Dalam Implementasi Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010
sumber pembiayaan dalam pengendalian Ruang Terbuka Hijau di Kota
Semarang keseluruhan berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) Kota Semarang. Bantuan dari daerah berupa dana
suntikan dana yang sangat berpengaruh bagi pengendalian Ruang Terbuka
Hijau di Kota Semarang. Anggaran tersebut digunakan untuk
pembangunan taman baru seperti Taman TirtoAgug,Taman
Sampangan,Taman Madukoro dan Taman Tlogosari pemeliharaan taman
berupa penyiaraman dan pemupukan tanaman di taman kota.
Untuk peningkatan ruang hijau dengan pemerintah membuat
Program Pengembangan Kota Hijau atau disingkat P2KH. Program ini
mulai dilaksanakan pada tahun 2013 dengan alokasi anggaran bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2013 yang
diberikan melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) ,
bentuk program dari Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral
Penataan Ruang
Sumber daya finansial Dalam pelaksanaan suatu kebijakan
khususnya di Kota Semarang memiliki peranan yang sangat besar agar
pelaksanaan kebijakan dapat dijalankan. Anggaran pun telah disediakan
oleh Pemerintah Daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Kota Semarang yang mengalokasikan anggaran dana
untuk pengendalian Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Oleh karena
itu dapat disimpulkan bahwa bantuan dana dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) memiliki peranan yang sangat besar dan utama
dalam pengendalian Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang.
(3) Disposisi
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) merupakan
antar instansi dalam pengendalian penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota
Semarang. Dinas Tata Kota dan Perumahan berperan sebagai pelaksana
teknis dibidang tata ruang, pemanfaatan bangunan, teknologi dan
kontruksi perumahan dan pemukiman. Dinas Pertamanan dan Kebersihan
memiliki peran dalam perumusan kebijakan dan pelayanan bidang sarana
dan prasarana bidang kebersihan, operasional kemitraan serta perawatan
pertamanan terkait ketersediaan dan pengendalian ruang terbuka hijau di
Kota Semarang. Badan Lingkungan Hidup (BLH) memiliki peran dalam
menjaga kualitas dan pengawasan lingkungan hidup yang berada di
perkotaan terkait dengan pengendalian Ruang Terbuka Hijau.
Pengembang Perumahan di Bukit Semarang Baru selaku pihak
swasta terbesar di Kota Semarang berperan menyediakan Ruang Terbuka
Hijau dalam bentuk pekarangan perumahan yang dibangun dan
menyediakan taman dikawasan daerah Kecamatan Ngaliyan dan Mijen
untuk masyarakat umum. Sedangkan Komunitas hijau memiliki peran
dalam menjaga ekosistem lingkungan dengan cara rehabilitasi, aksi dan
sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan
agar tetap hijau. Ketua komunitas juga sering diikutsertakan rapat
koordinasi dan pelatihan yang memilki fungsi menerapkan kebijakan
Ruang Terbuka Hijau dalam bentuk pegawasan terhadap lingkungan hijau.
Karakteristik atau watak dari para pelaksana kebijakan akan sangat
menentukan dan berpengaruh apakah kebijakan dapat berjalan secara
maksimal sesuai dengan maksud dan tujuan dari kebijakan tersebut. Oleh