• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan Pembukuan dan Pencatatan

Dalam dokumen Modul KUP 2014 (Halaman 24-71)

BAB III Pembukuan dan Pencatatan

D. Ketentuan Pembukuan dan Pencatatan

a. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. b. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan

menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

25

c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.

d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

e. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Tujuan pembukuan adalah agar dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Selain dapat dihitung besarnya PPh, pajak-pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar PPN dan PPn BM dapat dihitung dengan benar maka pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan PPnBM, jumlah pembayaran atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.

f. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.

g. Pencatatan sebagaimana dimaksud diatas terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

h. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.

Ketentuan Pencatatan

a. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadan atau kegiatan usaha yang sebenarnya

b. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

c. Pencatatan terdiri data yang dikumpulkan secara teratur tentang ; peredaran atau penerimaan bruto, dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan obyek pajak dan penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

26

d. Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen lain wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau di tempat tinggal bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

e. Wajib Pajak yang tidak wajib melakukan pembukuan dan pencatatan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh

f. Pencatatan dalam suatu tahun pajak meliputi jangka waktu 12 bulan, mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.

g. Bagi wajib pajak yang memiliki lebih dari satu jenis usaha dan atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan jumlah peredaran atau penerimaan bruto dari masing-masing jenis usaha dan atau tempat usaha yang bersangkutan.

h. Bentuk (Format) Pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas adalah sbb :

Peredaran atau Penerimaan Bruto

Jenis Usaha : Tempat Usaha :

Bulan :

Tanggal Uraian Jumlah Bruto Keterangan

1 2 3 4

Penghasilan Lainnya

Tahun :

Tanggal Uraian Jumlah Bruto Keterangan

1 2 3 4

Bentuk (Format) Pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas adalah sbb :

Penghasilan Bruto

Tahun :

Tanggal Uraian Jumlah Bruto Keterangan

27 E. Norma Penghitungan Penghasilan Neto

a. Norma Penghitungan Penghasilan Neto yaitu pedoman untuk menentukan penghasilan neto Wajib Pajak, karena Wajib Pajak tersebut tidak wajib melakukan pembukuan.

b. Wajib Pajak yang boleh menggunakan norma penghitungan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Peredaran bruto dalam 1 tahun tidak mencapai Rp4.800.000.000,00.

2. Memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun buku.

3. Menyelenggarakan pencatatan.

4. Dalam hal Wajib Pajak tersebut tidak menyampaikan pemberitahuan kepada Dirjen Pajak seperti tersebut di atas, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

c. Wajib Pajak tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

F. Pembukuan dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah

Pembukuan dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib pajak dengan persetujuan Menteri Keuangan dalam rangka :

a. Penanaman modal asing b. Kontrak karya pertambangan

c. Kontrak bagi hasil pertambangan/pengeboran d. Bentuk Usaha Tetap. (BUT)

e. Wajib Pajak yang berafiliasi dengan perusahaan induk di luar negeri. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah :

a. Bahasa asing dan mata uang selain Rupiah yang boleh di pergunakan adalah bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.

b. Mendapat izin dari Menteri Keuangan

c. Permohonan izin kepada Menteri Keuangan harus dilampiri dengan :

 Fotokopi SPT Tahunan PPh Badan tahun terakhir (WP yang telah berdiri lebih dari 1 tahun)

 Fotokopi NPWP dan fotokopi Akta Pendirian, atau dokumen lain yang serupa (bagi WP BUT) (WP yang baru berdiri dalam tahun berjalan)

Jika telah memenuhi syarat, Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan akan menerbitkan surat Keputusan Menteri Keuangan dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan diterima.

28 Kurs Konversi Untuk Beberapa Hal Terkait

No Uraian Kurs Konversi ke US $ 1 Sisa Kerugian fiskal

dalam rupiah

Kurs KMK *) akhir tahun buku/pajak terjadinya kerugian fiskal

2 Penghitungan PPh Terutang sesuai Tarif Pasal 17 UU Nomor 17 Tahun 2000

Masing-masing lapisan penghasilan kena pajak dikonversikan ke US$ dengan kurs KMK akhir tahun buku/tahun pajak yang bersangkutan

3 PPh 25, Pokok Pajak STP PPh 25, Fiskal LN, Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam rupiah

Kurs KMK pada tanggal Pembayaran

4 PPh 22 ,23 dan 24 Kurs KMK pada tgl pemotongan/pemungutan atau pembayaran

5 - Pada awal tahun buku/tahun pajak

Penyelenggaraan pembukuan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat untuk pertama kali dilakukan dengan bertitik tolak dari Neraca akhir tahun buku/tahun pajak sebelumnya (dalam mata uang Rupiah) yang dikonver-sikan ke mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang berlaku pada akhir tahun buku/tahun pajak sebelumnya.

- Dalam tahun berjalan

a) Untuk transaksi yang dilakukan dengan mata uang Dollar Amerika Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang bersang-kutan;

b) Untuk transaksi, baik dalam negeri maupun luar negeri, yang menggunakan mata uang selain Dolar Amerika Serikat, dikonversikan ke mata uang Dolar Amerika Serikat menggunakan kurs yang sebenar-nya berlaku pada saat terjadisebenar-nya transaksi yang bersangkutan.

Angka-angka mata uang rupiah disajikan dalam ribuan rupiah sedangkan angka-angka mata uang US$ dalam satuan penuh.

29

Angsuran PPh yang masih dihitung berdasarkan SPT atau ketetapan pajak tahun sebelumnya yang masih dalam rupiah dikonversikan ke US Dollar sesuai kurs KMK yang berlaku pada awal masa pajak ditetapkannya jumlah angsuran PPh Pasal 25 tersebut.

30

BAB IV Pembayaran Pajak

A. Surat Setoran Pajak

Setelah Wajib Pajak menghitung jumlah pajak yang terutangnya, maka Wajib Pajak harus melakukan pembayaran/penyetoran pajak yang terutang dengan menggunakan surat setoran pajak (SSP). Adapun yang dimaksud dengan surat setoran pajak (SSP) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau bank BUMN atau BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. B. Jenis Surat Setoran Pajak

a. Surat Setoran Pajak Standar

SSP Standar adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan atau berfungsi melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kantor penerima pembayaran dan digunakan sebagai bukti pembayaran dengan bentuk, ukuran dan isi yang ditetapkan.

Wajib pajak dapat mengadakan sendiri SSP standar sepanjang bentuk, ukuran dan isinya sesuai dengan aturan. SSP standar dibuat dalam rangkap 4 (empat) dengan peruntukkan sebagai berikut :

Lembar ke-1 : Untuk arsip Wajib Pajak Lembar ke-2 : Untuk KPP melalui KPPN

Lembar ke-3 : Untuk dilaporkan oleh wajib pajak ke KPP Lembar ke-4 : Untuk arsip kantor penerimaan pembayaran

Jika diperlukan, SSP standar dibuat rangkap 5 (lima) dengan peruntukan lembar ke-5 untuk arsip Wajib Pungut atau pihak lain sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku

SSP standar digunakan untuk pembayaran semua jenis pajak, baik yang bersifat final maupun yang bukan final, kecuali setoran Pajak Bumi dan Bangunan dan BPHTB. b. Surat Setoran Pajak Khusus

SSP khusus adalah bukti pembayaran atau pembayaran pajak terutang ke kantor penerima pembayaran yang dicetak oleh kantor penerima pembayaran dengan menggunakan mesin transaksi dan alat lainnya yang isinya sesuai dengan yang ditetapkan DJP dan mempunyai fungsi yang sama dengan SSP standar dalam administrasi perpajakan.

SSP khusus dicetak oleh kantor penerima pembayaran yang telah mengadakan kerjasama Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) dengan Direktorat Jenderal Pajak. SSP khusus dicetak :

31

1. Pada saat transaksi pembayaran atau penyetoran pajak sebanyak 2 (dua) lembar, yang berfungsi sama dengan lembar ke-1 dan lembar ke-3 SSP standar;

2. Terpisah sebanyak 1 (satu) lembar, yang berfungsi sama dengan lembar ke-2 SSP standar untuk diteruskan ke KPPN sebagai lampiran Daftar Nominatif Penerimaan (DNP).

SSP khusus hanya dapat digunakan untuk pembayaran pajak oleh wajib pajak yang telah memiliki NPWP. Pembayaran setoran pajak yang SSP-nya dapat berfungsi sebagai pengganti bukti potong/ bukti pungut antara lain pembayaran PPN impor, PPN bendaharawan, PPh pasal 22 impor, PPh pasal 22 bendaharawan, PPh Final atas transaksi Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan PPh final atas Persewaan Tanah dan Bangunan tidak dapat menggunakan SSP khusus.

Satu SSP standar maupun SSP khusus hanya dapat digunakan untuk pembayaran satu jenis pajak dan untuk satu masa pajak atau satu tahun pajak/ ketetapan pajak, dengan menggunakan satu kode MAP dan satu Kode Jenis Setoran.

C. Tempat dan Sistem Pembayaran Tempat Pembayaran

Wajib pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang di kas negara melalui : 1. Kantor Pos;

2. Bank Badan Usaha Milik Negara/Daerah (misal Bank Mandiri, Bank BNI’46, Bank BRI, Bank DKI);

3. Bank-bank yang ditunjuk Direktorat Jenderal Anggaran (misal Bank Lippo, Bank BCA, Bank BII, Bank Danamon, dsb);

4. Untuk pembayaran fiskal Luar Negeri selain di tempat-tempat tersebut di atas dapat dilakukan pada loket-loket pembayaran yang telah disediakan di Pelabuhan keberangkatan.

Direktorat Jenderal Pajak tidak dibenarkan menerima setoran pajak dari Wajib Pajak. Dengan usaha memperluas tempat pembayaran pajak yang mudah dijangkau oleh wajib pajak dimaksudkan untuk mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya sekaligus menghindarkan adanya rasa keengganan dalam melaksanakan pembayaran pajak.

Pembayaran Pajak Melalui Sistem Pembayaran On-Line

Wajib pajak dapat melakukan pembayaran sistem On-Line terhitung mulai 1 Januari 2003. Pembayaran sistem On-Line dapat dilaksanakan melalui:

1. Teller PT Pos Indonesia (Persero)

2. Teller Bank Persepsi/Devisa Persepsi On-Line

3. Fasilitas alat transaksi yang disediakan oleh Bank Persepsi/Devisa Persepsi On-Line (ATM, Internet Banking, dsb)

32 D. Batas Waktu Pembayaran

No Jenis Pajak Tanggal Jatuh Tempo

1 PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

PPh Pasal 4 ayat (2 yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

2 PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

3 PPh Pasal 21 dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

4 PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

5 PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

6 PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor

harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.

7 PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.

8 PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara

harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan atas penyerahan barang yang di biayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara

9 PPh 22 atas Penyerahan Bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur / agen atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang

harus disetor paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

33 bergerak dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas, dan pelumas

10 PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak

harus disetor paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

11 PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak

harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

12 PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pemerintah atau instansi Pemerintah yang ditunjuk

harus disetor paling lama tanggal 7 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

13 PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara Pemeritah yang ditunjuk

harus disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

14 PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu (Pasal 3 ayat (3b) Undang-undang KUP) yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa

harus dibayar paling lama pada akhir Masa Pajak berakhir

15 Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu (sesuai Ps 3 ayat (3b) UU KUP yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu SPT Masa

harus dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak

Hal-hal yang perlu diperhatikan :

1. Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

2. Pembayaran dan Penyetoran pajak dilakukan di Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan

34

3. Pembayaran dan Penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.

4. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi.

5. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Pembayaran dan Penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.

6. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi.

7. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).

8. Pemotongan atau Pemungut PPh memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda bukti pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dipotong atau dipungut PPh setiap melakuakan pemotongan atau pemungutan.

9. pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan atau pegawai tetap, memberikan tanda bukti pemotongan paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.

E. Sanksi yang Berkenaan dengan Pembayaran Pajak

Sesuai dengan batas waktu atau jatuh tempo pembayaran yang telah ditetapkan, maka Wajib Pajak harus melunasi atau membayar sesuai dengan ketentuan tersebut. Apabila Wajib Pajak terlambat atau tidak membayar pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi.

Pembayaran atau penyetoran pajak, yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Atas pembayaran atau penyetoran pajak atas Surat Pemberitahuan Tahunan yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

35

Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud diatas dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Apabila wajib pajak tidak mampu membayar atau melunasi pajak yang terutang, maka Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran paling lama 12 (dua belas) bulan.

Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

F. Pemindahbukuan Dasar Hukum

1. Kep Menkeu Nomor 88/KMK.04/1991 tanggal 24 Januari 1991 2. Kep Dirjen Pajak Nomor KEP-965/PJ.9/1991 tanggal 17 Oktober 1991 3. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-26/PJ.9/1991 tanggal 25 Oktober 1991 Dasar dilakukan Pemindahbukuan

- Adanya Kelebihan Pembayaran pajak yang besarnya dinyatakan dalam SKPLB;

- Telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang besarnya dinyatakan dalam SKPLB atas pajak yang seharusnya tidak terhutang.

- Adanya surat keputusan lainnya yang menyebabkan timbulnya kelebihan pembayaran pajak yaitu antara lain ; Surat Keputusan atas permohonan keberatan/banding yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak.

- Adanya pembayaran yang lebih besar dari pajak terhutang dalam surat ketetapan pajak yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak.

- Adanya pemberian bunga terhadap Wajib Pajak akibat keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

- Adanya kesalahan dalam mengisi SSP baik yang menyangkut Wajib Pajak Sendiri maupun Wajib Pajak lain.

- Adanya pemecahan setoran pajak yang berasal dari SSP menjadi beberapa jenis pajak atau setoran dari beberapa Wajib Pajak.

Syarat Formal :

1. Diajukan kepada Kepala KPP yang berwenang melaksanakan pemindahbukuan 2. Diajukan secara tertulis dengan melampirkan :

a. Asli SSP yang akan dipindahbukukan

b. Asli PIUD dalam hal Pbk dilakukan untuk pembayaran PPh Pasal 22 atau PPN Impor.

c. Daftar Nominatif Wajib Pajak yang menerima Pbk untuk pemecahan SSP oleh Bendaharawan/Pemotong/ Pemungut

36

d. Fotokopi SPT Masa/Tahunan yang setorannya diajukan pemindahbukuan beserta pembetulannya

e. Bukti potong asli PPh Pasal 23 dan surat pernyataan tidak pernah membuat bukti potong PPh Pasal 23 dalam hal bukti potong tersebut belum pernah dibuat

f. Alasan pengajuan Pbk secara jelas disertai bukti-bukti pendukung lain yang diperlukan.

3. Dalam hal Nama dan pemegang asli SSP (yang mengajukan Pbk) tidak sama dengan nama dan NPWP yang tercantum dalam SSP, maka pada permohonan disamping harus dilampiri tersebut pada huruf a sampai dengan f juga harus dilampiri surat pernyataan dari wajib pajak yang nama dan NPWP-Nya tercantum dalam SSP bahwa SSP tersebut sebenarnya bukan pembayaran pajak untuk kepentingan sendiri dan tidak keberatan dipindahbukukan kepada wajib pajak yang mengajukan Pbk.

37

BAB V Pelaporan Pajak

A. Surat Pemberitahuan (SPT)

Sistem pemungutan pajak di Indonesia menggunakan sistem self assesment dimana Wajib Pajak diberi kesempatan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melapor sendiri pajaknya di Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak terdaftar.

Dalam dokumen Modul KUP 2014 (Halaman 24-71)

Dokumen terkait