• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan Pidana Yang Mengatur Tentang Perdagangan

BAB II : TINDAK PIDANA PERDAGANGAN TENAGA KERJA

A. Ketentuan Pidana Yang Mengatur Tentang Perdagangan

1.Unsur-unsur delik: Protokol Vs RUU KUHP

Sebagai norma baru yang diatur dalam instrument internasional pemberantasan perdagangan orang, maka sudah barang tentu karakter dan unsur substansi hukum yang dikandungnya sama sekali norma baru dalam hukum positif di Indonesia.

Karena itu, tidak diperoleh padanan yang kongruen apalagi persis serupa jika dirujuk ke dalam norma hukum nasional. Baik norma hukum yang sudah terkodifikasi dalam KUHP maupun hukum nasional lainnya yang terserak-serak di luar KUHP.

Misalnya saja rumusan kejahatan perdagangan orang, KUHP tidak memiliki padanan yang bisa mengikuti alur normatif dan unsur yang diatur dalam Protokol. Bahkan dalam RUU KUHP yang sedang disiapkan sekalipun, rumusan kejahatan perdagangan orang versi Pasal 544 RUU KUHP sungguh tidak memadai.

Oleh karena banyak unsur perbuatan yang terabaikan. Pembuatan draft RUU KUHP Pasal 544 justru (apabila disahkan) menghilangkan sejumlah unsur sehingga jelas hanya kriminalisasi terbatas saja atas kejahatan perdagangan orang.

Setiap Orang Melakukan:

Dengan menggunakan: Untuk tujuan:

- Perekrutan - Pengiriman - Penyerah- terimaan orang - Kekerasan atau ancaman kekerasan - Penipuan - Penculikan - Penyekapan - Penyalahgunaan kekuasaan - Pemanfaatan posisi kerentanan, atau - Penjeratan utang. - Mengeksploitasi - Atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut.

Rumusan yang serupa dengan Pasal 544 RUU KUHP, ditemukan dalam rumusan Pasal 1 angka (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Dengan demikian, antara RUU KUHP Pasal 544 dan UU PTPPO Pasal 1 angka (1), saling mengambil alih, karena rumusannya sama, jadi saling menguatkan antara Pasal 544 RUU KUHP dan Pasal 1 angka (1) UU PTPPO

Jika dibandingkan dengan rumusan dalam Protocol maka dapat dengan terang benderang diidentifikasi adanya kelemahan dalam merumuskan pengertian perbuatan perdagangan orang. Ini adalah biang utama dalam meloloskan pelaku kejahatan trafiking.

Berikut ini bandingkan dengan anasir dalam Protokol, sebagai berikut: Setiap Orang

melakukan perlintasan:

Modus perbuatan: Untuk tujuan atau akibat eksploitasi: - Perekrutan (recruitment); - Pengangkutan (transportation); - Pemindahan (transfer); - Melabuhkan (harbouring); - Menerima (receipt). - penggunaan ancaman (use of force) atau; - penggunaan bentuk

tekanan lain (other forms of coercion); - penculikan; - penipuan; - kecurangan; - penyalahgunaan kekuasaan; - kedudukan beresiko/rawan; - memberi/menerima pembayaran; - Eksploitasi prostitusi, - Eksploitasi seksual - Kerja paksa, atau - Pelayanan paksa; - Perbudakan; - Praktek serupa perbudakan; - Perhambaan; - Peralihan organ (removal organ).

Pengertian perdagangan orang menurut protokol jauh lebih lengkap dan menyeluruh dibandingkan dengan pengertian perdagangan orang yang terdapat di dalam Pasal 1 angka (1) UU no 21 tahun 2007 tentang PTPPO dan Pasal 544 RUU KUHP, karena untuk tujuan peralihan organ juga merupakan unsur dalam protokol, serta pencantuman berbagai modus dalam melakukan kejahatan perdangan manusia,

begitu juga yang menerima, dan juga tempat singgah merupakan unsur perdagangan manusia dalam protokol tersebut.

2) Elemen “Persetujuan” Korban bukan Pembenar Perbuatan

Selain itu, dalam pengertian kejahatan perdagangan orang itu, tidak memberikan unsur persetujuan (by consent) dari korban. Karena tidak lagi dipersoalkan ada atau tidaknya unsur persetujuan korban apabila dilakukan bentuk- bentuk modus perbuatan yang dilakukan untuk perdagangan orang. Kehilangan elemen ini dalam rumusan Pasal akan menjadi dalih untuk membebaskan pelaku, karena selalu dikemukakan adanya persetujuan korban.

Karena dalam banyak kasus dan praktek perdagangan orang yang muncul di lapangan, pelaku kerapkali berdalih bahwa korban yang dibawanya “sudah setuju”, sudah ada “kehendak sendiri dari korban”, “korban mau dan setuju ikut”.

Apalagi jika korbannya adalah anak-anak sehingga elemen sudah adanya persetujuan dari korban sudah diterima secara normatif tidak diperlukan lagi. Namun, dalam RUU KUHP Pasal 544, unsur persetujuan ini tidak dieksplisitkan ke dalam pasal 544 RUU KUHP.

3) RUU KUHP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) Mempersempit Tujuan untuk Eksploitasi

Dalam Pasal 544 RUU KUHP, perbuatan yang dilarang dipersempit hanya untuk tujuan eksploitasi. Namun tidak secara eksplisit dikemukakan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi seperti dalam Protokol.

Selain itu, dalam Protokol bukan saja maksud perbuatan mengakibatkan atau bertujuan eksploitasi, namun bisa juga terjadinya perhambaan dan transfer organ.

Oleh karena itu, Pasal 544 RUU KUHP mengeliminir banyak unsur dalam Protokol. Implikasinya, jika tidak ada unsur eksploitasi, sebagaimana dalam rumus RUU KUHP dan UU PTPPO, maka bukanlah Trafiking. Sedangkan eksploitasi, dalam kasus jual beli bayi untuk transfer organ, tidak dapat diidentifikasi eksploitasi atas korban. Berikut ini perbandingannya.

RUU KUHP Protokol

- Mengeksploitasi;

- Atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut.

- Eksploitasi seksual - Kerja paksa, atau - Pelayanan paksa; - Perbudakan;

- Praktek serupa perbudakan; - Penghambaan;

- Peralihan organ

Secara umum, hukum nasional di Indonesia belum mengintegrasikan seluruh unsur dalam Protokol pemberantasan perdagangan orang. Karena itu, kelemahan dalam mengharmonisasi rumusan perbuatan pidana perdagangan orang ini, akan berimplikasi kepada bentuk-bentuk perbuatan pidana yang merupakan ikutan atau turunan dari perbuatan perdagangan orang.

4) Pemberatan Hukuman

Dalam UU PTPPO, pemberatan hukuman atas korban anak yang diperdagangkan oleh orang tua atau walinya yang sah, dapat dijatuhkan hukuman tambahan sepertiga dari pidana maksimum.

Terkesan norma pemberatan hukuman ini bermanfaat, namun tidak secara kuat mengikat hakim oleh karena hakim dapat mengelak dengan menggunakan kata “dapat”, yang boleh diterapkan boleh tidak. Sehingga tidak merupakan hukum memaksa (imperatif) bagi hakim.

Pemberatan hukuman ini relevan jika secara sistematis dirujuk dengan Pasal 58 ayat (2) UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa orangtua atau wali atau pengasuh anak yang melakukan segala bentuk penganiayaan, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual, termasuk perkosaan dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindunginya, maka harus dikenakan pemberatan hukuman. Pasal ini bisa dipergunakan walaupun tidak secara eksplisit menyebutkan kejahatan perdagangan anak di dalamnya.

5) Norma Repatriasi yang Masih Hampa

Dalam UU PTPPO, masalah pemulangan (repatriasi) korban perdagangan orang hanya diatur dalam satu pasal 44 UU PTPPO. Padahal dalam totalitas Protokol, masalah repatriasi diatur dalam banyak aspek. Sebab, repatriasi bukan saja masalah pemulangan anak saja, namun memastikan bagaimana korban memperoleh kembali hak-haknya atas dokumen perjalanan sementara, pengembalian hak-hak pribadinya, perawatan sebelum repatriasi, dan perlindungan fisiknya dari kejaran sindikat.

Dengan demikian, norma Pasal 44 ayat (1) UU PTPPO masih hampa dan lunglai untuk memberikan kepastian hukum dalam melindungi korban yang berada di luar negeri.

Belum lagi untuk memastikan siapakah yang bertindak mewakili atas nama negara di luar negeri. Apakah yang mewakili Indonesia adalah KBRI-seperti yang diatur dalam UU Nomor 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

Apabila mengikuti norma Pasal 40 ayat (3) UU PTPPO. Jika demikian, maka menjadi pertanyaan apakah KBRI dengan norma versi UU No.37/1999 itu sudah cukup mampu dan mempunyai dasar yang kuat untuk menangani masalah repatriasi korban perdagangan orang?

Menurut hemat saya tidak terlalu kuat karena tidak secara spesifik dimaksudkan untuk menangani kasus perdagangan orang. Sebab, de facto, dalam hal menangani kasus TKI di luar negeri saja, KBRI masih belum maksimal, apalagi diberikan beban yang besar menangani kasus perdagangan orang khususnya anak. Memang de jure, Pasal 21 UU No. 37/1999 menentukan bahwa:

Dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan

Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara”.

Namun, norma Pasal 21 UU No.37/1999 itu masih labil dan terlalu sumir dalam mendefenisikan ancaman bahaya nyata, serta hanya terbatas perlindungan fisik saja. Sementara masalah pemulangan, tidak bersifat imperatif, dengan norma yang berbunyi “mengusahakan untuk memulangkan ke Indonesia”.

Karena itu, untuk memastikan perlindungan korban secara maksimum termasuk dalam hal repatriasi, maka perlu ditambahkan norma untuk mengaturnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) tentang Repatriasi korban di Luar negeri.

Pengaturan mengenai perlindungan TKI lebih banyak diakomodir di dalam UU No. 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, hal ini diatur dalam Pasal 86 sampai Pasal 90 UU No. 39 tahun 2004, dan juga diatur di dalam pasal 77 sampai pasal 84 UU ini. Khusus masalah purna penempatan (pemulangan) diatur lebih jelas di dalam Pasal 73, Pasal 74 dan Pasal 75 UU No. 39 tahun 2004

Pasal 73

(1) Kepulangan TKI terjadi karena : a. berakhirnya masa perjanjian kerja;

b. pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir; c. terjadi perang, bencana alam, atau wabah penyakit di negara tujuan;

d. mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan tidak bisa menjalankan pekerjaannya lagi;

e. meninggal dunia di negara tujuan; f. cuti; atau

g. dideportasi oleh pemerintah setempat.

(2) Dalam hal TKI meninggal dunia di negara tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, pelaksana penempatan TKI berkewajiban :

a. memberitahukan tentang kematian TKI kepada keluarganya paling lambat 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak diketahuinya kematian tersebut;

b. mencari informasi tentang sebab-sebab kematian dan memberitahukannya kepada pejabat Perwakilan Republik Indonesia dan anggota keluarga TKI yang bersangkutan;

c. memulangkan jenazah TKI ke tempat asal dengan cara yang layak serta menanggung semua biaya yang diperlukan, termasuk biaya penguburan sesuai dengan tata cara agama TKI yang bersangkutan;

d. mengurus pemakaman di negara tujuan penempatan TKI atas persetujuan pihak keluarga TKI atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan;

e. memberikan perlindungan terhadap seluruh harta milik TKI untuk kepentingan anggota keluarganya; dan

f. mengurus pemenuhan semua hak-hak TKI yang seharusnya diterima.

(3) Dalam hal terjadi perang, bencana alam, wabah penyakit, dan deportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dan huruf g, Perwakilan Republik Indonesia, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah bekerja sama mengurus kepulangan TKI sampai ke daerah asal TKI.

Pasal 74

(1) Setiap TKI yang akan kembali ke Indonesia wajib melaporkan kepulangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia negara tujuan.

(2) Pelaporan bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta.

Pasal 75

(1) Kepulangan TKI dari negara tujuan sampai tiba di daerah asal menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI.

(2) Pengurusan kepulangan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hal : a. pemberian kemudahan atau fasilitas kepulangan TKI;

b. pemberian fasilitas kesehatan bagi TKI yang sakit dalam kepulangan; dan c. pemberian upaya perlindungan terhadap TKI dari kemungkinan adanya tindakan

pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan.

(3) Pemerintah dapat mengatur kepulangan TKI.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemulangan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. (5) Identifikasi Hukum Nasional Yang Sudah Ada

Untuk memberikan perspektif yang lebih maju dalam menelaah, protokol, dan untuk mengembangkan RUU KUHP serta UU Pemberantasan Perdagangan Orang, berikut ini dikemukakan identifikasi berbagai norma hukum dan hukum nasional, yang tidak kongruen dan tidak serupa dengan rumusan yang ditemukan dalam Protokol,tetapi rumusan ini digunakan sebagai ketentuan pidana yang mengatur tentang perdagangan anak.

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang terkait dengan kejahatan yang dikualifikasi sebagai trafiking, yakni :

1.1. Pasal 285 KUHP: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam dengan melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”.

1.2. Pasal 287 ayat 1 KUHP: “Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”.

1.3. Pasal 287 ayat 2 KUHP: “Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan kecuali jika umur wanita belum sampai 12 tahun atau jika salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294”

1.4. Pasal 288 KUHP: diancam dengan paling lama 4 tahun penjara, barangsiapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di dalam pernikahan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa ia belum mampu dikawin, apabila perbuatan tersebut mengakibatkan luka-luka. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 tahun. Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun.

1.5. Pasal 289 KUHP: barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan.

1.6. Pasal 290 KUHP: Diancam paling lama 7 tahun penjara

Ayat 2: barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum 15 tahun atau kalau umurnya tidak ternyata (tidak jelas), bahwa belum mampu kawin.

Ayat 3: barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

1.7. Pasal 291 KUHP: Jika perbuatan sesuai pasal 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun. Jika mengakibatkan kematian, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.

1.8. Pasal 292 KUHP: diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun, terhadap orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur.

1.9. Pasal 293 KUHP: (1) Barang siapa dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan (kekuasaan), atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seseorang yang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia,

padahal dia diketahui atau patut diduga belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

1.10. Pasal 294 KUHP: diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur. Diancam dengan pidana yang sama, pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya. Juga diancam pidana yang sama, seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit ingatan atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan kedalamnya. 1.11. Pasal 295 ayat 1 KUHP: diancam dengan pidana 5 tahun penjara

ke 1: Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;

ke 2: Diancam dengan pidana penjara 4 tahun barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 diatas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.

1.12. Pasal 296 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”

1.13. Pasal 297 KUHP: “Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.

1.14. Pasal 298 KUHP: sebagai akibat dari kejahatannya, hak perwalian pelaku penjualan anak atas anak tersebut dapat dicabut, juga hak untuk melakukan pencarian di bidang tersebut.

1.15. Pasal 506: diancam dengan kurungan paling lama satu tahun, barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian.

1.16. Pasal 332 KUHP ayat 1: diancam dengan pidana penjara;

1. Paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya. Dengan maksud untuk memastikan

penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan;

2. Paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat; kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.

1.17. Pasal 330 KUHP: “(1) Barangsiapa dengan sengaja menarik seorang wanita yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang- undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwewenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur dua belas tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

1.18. Pasal 328 KUHP: “Barang siapa membawa pergi dari tempat kediamannya atau tempat tinggal sementaranya dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

1.19. Pasal 329 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengangkut orang ke daerah lain, padahal orang itu telah membuat perjanjian untuk bekerja di suatu tempat tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

1.20. Pasal 331 KUHP: Diancam pidana penjara paling lama 4 tahun, barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang belum cukup umur, yang ditarik atau menarik sendiri dari kekuasaan yang menurut UU ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwewenang untuk itu, atau dengan sengaja menariknya dari penyidikan pejabat kehakiman atau kepolisian. Jika anak itu umurnya dibawah 12 tahun, diancam paling lama 7 tahun penjara.

1.21. Pasal 333 KUHP: “(1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (3) Jika mengakibatkan mati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan”.

1.22. Pasal 334 KUHP: “(1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan seorang dirampas kemerdekaaannya secara melawan hukum, atau diteruskannya perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana kurungan paling lama

sembilan bulan. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.

2. UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 secara substansi jauh lebih maju dan demokratis dari pada Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, karena dalam pembentukan Undang-Undang tersebut telah mengakomodasi berbagai pemikiran yang mengarah pada pemberian perlindungan warganegaranya dengan memperhatikan kesetaraan gender, tapi yang tidak kalah penting adalah pemberian perlindungan terhadap anak-anak hasil perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing.

Contoh perlindungan terhadap anak oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah pemberian status kewarganegaraan ganda terbatas kepada anak hasil perkawinan campuran sampai dengan batas usia 18 tahun dan setelah sampai batas usia tersebut, ia diwajibkan memilih salah satu kewarganegaraannya, apakah tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesianya ataukah memilih kewarganegaraan asingnya.

Selain itu, secara yuridis, ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara Indonesia, dan memberikan jaminan perlindungan hukum kepada warga negara terhadap kejahatan (termasuk kejahatan trafficking) dan perlindungan hak- haknya.

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”);

Oleh karena dalam hukum nasional kedudukan kejahatan trafficking masuk dalam kualifikasi kejahatan biasa (vide Pasal 297 KUHP), maka penanganan due process of law-nya dilakukan sesuai dengan KUHAP. Dalam KUHAP diatur tentang hukum acara pidana yakni tatacara mengelola perkara pidana, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sidang pengadilan.

4. Undang-undang No.1/1974 tentang Perkawinan:

Dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 1/1974 disebutkan secara tegas bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing.

Pencatatan dilakukan bersifat administratif saja, namun tetap merupakan keharusan untuk melakukan pencatatan perkawinan oleh petugas pencatat perkawinan.

Ketentuan ini menjadi dasar untuk melindungi anak wanita dari kejahatan trafficking, namun kerapkali lembaga perwakilan yang hanya mengacu kepada formalitas perkawinan sangat mungkin menjadi media untuk melakukan tindakan topengan atau penyeludupan hukum, yakni tindak pidana trafficking.

5. UU No.1/1979 tentang Ekstradisi

Dalam lampiran UU No.1/1979 berjudul “Daftar Kejahatan Yang Pelakunya Dapat Diekstradisi”, ditemukan beberapa kejahatan yang terkait dengan kejahatan trafficking, yakni:

1) melarikan wanita dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, dengan sengaja melarikan seseorang yang belum cukup umur;

2) Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur; 3) Penculikan dan penahanan melawan hukum;

4) Perbudakan”.

Ketentuan ini bisa menjadi dasar untuk meminta dilakukan ekstradisi terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana sebagaimana di atas, namun telah melarikan diri ke luar Indonesia.

6. UU No. 9/1992 tentang Keimigrasian :

Dokumen terkait