• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : KETENTUAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA

C. Ketentuan Sistem Pembuktian Terbalik

Perubahan paradigma dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi membawa perubahan penting dalam bidang hukum. Dahulu belum dikenal istilah hukum telematika (cyberlaw) namun atas perkembangan konvergensi telekomunikasi, media dan informatika, istilah cyberlaw dikenal dan menjadi salah suatu bidang hukum yang berkembang pesat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa konvergensi tersebut hanya merupakan medianya saja, sementara aktivitas- aktivitas di dalamnnya adalah sama sehingga tidak perlu ada hukum yang baru. Pendekatan tersebut memaksa kita menjadi aplikator hukum yang ada. Namun, pendekatan aplikasi itu tidak lah cukup, perlu ada pendekatan baru yaitu pendekatan formulatif untuk menjawab permasalahan yang timbul akibat konvergensi tersebut.

Salah satu pendekatan aplikatif yang perlu di lakukan adalah mengenai keberlakuan bukti elektronik di pengadilan sebagai alat bukti. Aktivitas- ktivitas yang dilakukan dengan media internet, atau dalam cyberspace, meninggalkan jejak-jejak elektronik. Misalkan pada saat kita mengakses sebuah website, akan tertinggal jejak- jejak elektronik di komputer kita yang namanya log file, atau lebih mudah lagi, apa

yang kita akses melalui browser pasti meninggalkan jejak paling tidak di komputer si pengguna yang dikenal dengan history. Sehingga pemanfaatan internet tersebut baik untuk tujuan yang baik atau tujuan yang jahat dalam hal ini dijadikan sebagai media, alat atau sarasan kejahatan, tercatat atau meninggalkan jejak elektronis. Tinggal bagaimana para aparat hukum menggali serta menangani jejak-jejak elektronis itu sebagai bukti untuk membuat terang sebuah tindak pidana yang dilakukan.

Oleh sebab itu, diperlukan sistem pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang. Sejarah mengenai pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian yang menjadi polemik, sudah terjadi sejak tahun 1971. Istilah almarhum Oemar Senoadji adalah pergeseran bukan pembalikan beban pembuktian. Kata “beban” ditekankan bukan pada alat buktinya tetapi pada siapa yang berhak untuk melakukan. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tetap menghargai hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri dari seorang tersangka atau terdakwa. Jadi, amanah dari ICCPR ini adalah penekanan dari berlakunya non self incrimination, bagian dari perlindungan HAM (right to remind silence). Prinsip-prinsip di negara demokrasi yang mengakui rule of law, salah satu karakternya ialah presumption of innocence. Dalam sistem acara pidana, dalam kaitannya dengan pembuktian, non self incrimination itu karakter dari

berlakunya sistem pembuktian yang kita sebut pembuktian negatif seperti sistem pembuktian yang dianut di dalam KUHAP.181

Perkembangan praktik tersebut di beberapa negara telah memunculkan suatu gagasan baru dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian tindak pidana pencucian uang. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian “beyond reasonable doubt”, yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan tetapi di sisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus tindak pidana pencucian uang. Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah, ”pembuktian negatif” tidak mudah diterapkan.182

Kedalaman ilmu pengetahuan dan akal manusia (logika hukum) memang tidak terbatas, sehingga muncullah alternatif asas pembuktian baru yang justru berasal dari penelitian negara maju dan dipandang tidak bertentangan baik dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi. Namun sangat efektif dalam membuka secara luas akses pembuktian asal usul harta kekayaan yang diduga diperoleh karena tindak pidana pencucian uang. Alternatif pembuktian yang diajukan dan digagas oleh pemikir di negara maju adalah teori “keseimbangan kemungkinan pembuktian (balanced probability of principles), yaitu mengedepankan

181

http://ilmuhukum76.wordpress.com/2008/06/02/asas-pembuktian-terbalik/, “Asas

Pembuktian Terbalik”, diakses terakhir tanggal 18 Desember 2009, Artikel, oleh Indriyanto Senoadji Guru Besar FH Universitas Krisna Dwipayana dan Pengajar PPs FH UI.

182

http://www.hukumnews.com/opini/39-opini/144-pembuktian-terbalik.html, diakses

terakhir tanggal 18 Desember 2009, “Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang”,

Opini, oleh Romli Atmasasmita (Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad & Ketua Forum 2004.

keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari tindak pidana pencucian uang. Model baru asas pembuktian terbalik ini ditujukan terhadap pengungkapan secara tuntas asal usul aset-aset yang diduga dari hasil tindak pidana pencucian uang itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar.

Teori pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan dalam harta kekayaan tersebut menempatkan seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana pencucian uang pada posisi di mana sebelumnya yang bersangkutan belum memperoleh harta kekayaan sebanyak sekarang yang didapat. Teori tersebut dengan dasar pertimbangan di atas telah dipraktikkan oleh Pengadilan Tinggi Hong kong dalam kasus ICAC Hong Kong terhadap pemohon “judicial review” terhadap proses pembuktian terbalik yang dilaksanakan oleh pengadilan rendah telah sesuai dengan Hong Kong Bribery Ordinance Act. Keputusan Pengadilan Tinggi Hong kong menganggap bahwa proses pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan pengadilan rendah telah memberikan keadilan sama bagi kedua belah pihak yaitu kepada pemohon maupun kepada ICAC Hong Kong dalam menyampaikan pembuktiannya.183

183

UUPTPPU (Pasal 35) telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burden of proof atau onus of). Ketentuan di undang-undang tersebut masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis sebagaimana telah diuraikan di atas, melainkan hanya menempatkan ketentuan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana untuk memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi tersangka/terdakwa berdasakan UUD 1945. Kini dengan munculnya dua model pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, maka telah terdapat referensi teoritik dan praktik dalam masalah pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang.

Dalam sistem hukum pidana formil Indonesia, khususnya KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 137 KUHAP menyebutkan, “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.”

Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP, maka penuntutan suatu perkara pidana tetap memiliki limitasi minimum dua alat bukti untuk menentukan apakah seorang terdakwa ini bersalah atau tidak bersalah. Jadi, sebagai suatu lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum.

Sistem beban pembuktian khusus pada kasus tindak pidana pencucian uang sebelumnya kita telah mengetahui bahwa lex generalis, sistem beban pembuktian

(umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum. Bagaimana dengan kasus tindak pidana pencucian uang merupakan pengecualian dan memiliki sifat khusus yang berkaitan dengan hakim pidana materiil maupun formil. Masalah beban pembuktian, sebagai bahagian dari hukum pidana formil dikenal juga sistem pembuktian terbalik yang mengalami perubahaan paradigma sejak diberlakukan UUPTPPU.

Dalam Pasal 35 UUPTPPU berbunyi, “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.” Bunyi Pasal 35 UUPTPPU ini menunjukkan aturan mengenai beban pembuktian dalam perkara tindak pidana pencucian uang mengalami perubahan paradigma baru. Di sini terjadi pergeseran beban pembuktian atau shifting of burden of proof belum mengarah pada reversal of burden of proof (dimana pembalikan beban pembuktian sebagaimana anggapan masyarakat hukum pidana terdahulu).184 Memang terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana setelah diperkenankan hakim, namun hal ini tidak bersifat imperatif artinya apabila terdakwa tidak mempergunakan kesempatan ini justru memperkuat dugaan Jaksa Penuntut Umum.

Ketentuan dalam penegakan Pasal 3 UUPTPPU masih lemah dan lamban. Lemahnya ketentuan Pasal 3 UUPTPPU mengenai subyek orang pelaku tindak pidana pencucian uang untuk menjerat pelaku karena secara teknis hukum dinilai tidak benar. Namun demikian, pendapat tersebut masih dapat diatasi jika aparatur

184 Ibid.

penyidik dan penuntut umum mau bersungguh-sungguh membawa kasus tindak pidana pencucian uang ini ke pengadilan, antara lain dapat digunakan ketentuan tentang pembuktian terbalik di persidangan dengan menyerahkan sepenuhnya kewenangan kepada hakim untuk menentukan hukum acara terbaik dalam proses pembuktian terbalik tersebut, dan mau bekerja sama dengan KPK dan Direktorat Jenderal Pajak dalam kaitan indikasi harta kekayaan tersangka/terdakwa yang tidak wajar.185

Pembuktian terbalik sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa menurut Pasal 35, untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Menurut penjelasan Pasal 35, ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik.

Berkenaan dengan ketentuan Pasal 35 ini, timbul pertanyaan; Apakah jaksa dapat langsung menuntut seseorang tanpa kewajiban untuk mengajukan bukti-bukti mengenai dasar dakwaannya? Apabila hal yang demikian itu dimungkinkan, menurut hemat penulis tidak mustahil kejaksaan akan melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan kehakiman atau abuse of judiciary power. Yang dimaksudkan penya- lahgunaan kekuasaan kehakiman adalah menyalahgunakan kekuasaan dalam rangka penegakan hukum.

185

http://www.legalitas.org/?q=Harapan+Masa+Depan++Pemberantasan, diakses terakhir tanggal 16 November 2009, oleh Romli Atmasasmita, “Harapan Masa Depan Pemberantasan Pencucian Uang,” (Penulis adalah Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad/Mantan Ketua Tim RUU Pencucian Uang Tahun 2002).

Menurut hemat penulis, sekalipun Pasal 35 memuat asas pembalikan beban pembuktian, namun kejaksaan sama sekali tidak dibenarkan untuk mengajukan dakwaan tanpa mengajukan bukti-bukti mengenai telah dilakukannya oleh terdakwa tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lain yang terkait dengan pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam UUPTPPU. Alasan penulis adalah karena Pasal 38 mengenai alat-alat bukti menentukan secara khusus jenis-jenis alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang. Dengan ditentukannya dalam Pasal 38 secara khusus jenis-jenis alat bukti yang dapat digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, maka semangatnya adalah jaksa harus telah memiliki alat-alat bukti sendiri terlebih dahulu sebelum dapat menerapkan asas pembalikan beban pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 itu.

Alasan lain menurut hemat penulis adalah apabila Pasal 35 diterapkan oleh kejaksaan secara membabibuta dan sewenang-wenang, yaitu tanpa kejaksaan terlebih dahulu memiliki bukti-bukti yang dapat digunakan untuk melakukan penuntutan, maka tujuan hukum yang bermaksud memberikan perlindungan, kesejahteraan, keadilan, ketertiban atau kepastian, dan kemanfaatan, akan berbalik menimbulkan kepanikan dan ketidakpastian. Menurut hemat penulis, kejaksaan sekurang-kurangnya harus telah memiliki bukti-bukti permulaan yang kuat yang memberikan indikasi bahwa yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui Harta Kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana.

Sudah tentu pembuktian terbalik dalam hal-hak kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga berasal dari pencucian uang menimbulkan pro dan kontra.

Pandangan kontra mengatakan bahwa, pembuktian terbalik dalam hak kepemilikan harta kekayaan tersebut juga bertentangan dengan hak asasi manusia yaitu setiap orang berhak untuk memperoleh kekayaannya dan hak privasi yang harus dilindungi. Namun demikian, bertolak kepada pemikiran bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan sumber kejahatan serius yang sulit pembuktiannya di dalam praktik sistem hukum di semua negara, maka hak asasi individu atas harta kekayaannya bukanlah dipandang sebagai hak absolut, melainkan hak relatif, dan berbeda dengan perlindungan atas kemerdekaan seseorang dan hak untuk memperoleh peradilan yang fair dan terpercaya. Yang terpenting dalam hukum pembuktian kasus pencucian uang, sudah seharusnya unsur kerugian negara yang nyata bahkan yang masih diperkirakan akan nyata kerugiannya, sudah tidak pada tempatnya dan tidak proporsional lagi untuk dijadikan unsur pokok dalam suatu tindak pidana pencucian uang, dan karenannya tidak perlu harus dibuktikan lagi.

Dokumen terkait