• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Rezim Anti Pencucian Uang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Rezim Anti Pencucian Uang"

Copied!
206
0
0

Teks penuh

(1)

REKAMAN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI

DALAM PERSPEKTIF REZIM ANTI PENCUCIAN UANG

TESIS

OLEH: EDY SIONG

087005003 / ILMU HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

REKAMAN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI

DALAM PERSPEKTIF REZIM ANTI PENCUCIAN UANG

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH: EDIY SIONG

087005003 / ILMU HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

NAMA : EDY SIONG

N.I.M. : 087005003

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

JUDUL TESIS : REKAMAN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERSPEKTIF REZIM ANTI PENCUCIAN UANG

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. Ketua

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum

(4)

Telah diuji pada

Tanggal, 06 Maret 2010

PANITIA PENGUJI

Ketua

: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH.

(5)

ABSTRAK

Dalam praktik hukum, penggunaan alat perekam dan hasil rekaman telah merupakan bagian dari proses pembuktian dalam perkara pidana. Sehubungan dengan judul penelitian ini adalah, “Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Rezim Anti Pencucian Uang”, jika dihubungkan dengan ketentuan alat bukti pada Pasal 184 Hukum Acara Pidana tidak diatur mengenai hasil rekaman sebagai alat bukti kecuali keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Akan tetapi di dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dicantumkan rekaman elektronik sebagai alat bukti di persidangan. Bagaimana pun rekaman elektronik sebagai alat bukti dalam tindak pidana pencucian uang namun masih dipertentangkan saat ini oleh karenanya tetap memerlukan keterangan dari ahli dalam pembuktiannya di persidangan.

Permasalahan di dalam penelitian ini adalah bagaimana ketentuan pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia? bagaimana ketentuan pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang? Dan bagaimana kedudukan rekaman elektronik sebagai alat bukti dalam tindak pidana pencucian uang?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai bahan hukum primer dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(6)

diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Saran yang dikehendaki peneliti di dalam penelitian ini adalah diharapkan adanya keberanian dari aparat penegak hukum untuk menggunakan instrumen alat bukti elektronik karena dipandang masih sumir untuk dipakai di persidangan, oleh karena itu, perlu sumber daya penegak hukum yang baik dari segi pemahamannya tentang Undang-Undang Pencucian Uang. Diharapkan pula sosialisasi bagi aparatur hukum bahwa dalam Undang-Undang Pencucian Uang telah dikenal asas pembuktian terbalik karena sampai saat ini masih banyak aparatur hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan advokat yang belum mengetahui bahkan belum memahami tentang proses pembuktian terbalik sehingga pada gilirannya banyak melenceng dari harapan. Diharapkan juga bagi pemerintah (pembentuk undang-undang) memperbaiki ketentuan yang masih kabur dalam Undang-Undang Pencucian Uang, seperti dalam Pasal 35 UUPTPPU menjelaskan bahwa pembalikan beban pembuktian rekaman elektronik tersebut adalah kewajiban bagi terdakwa, sedangkan dalam penjelasan pasalnya dipandang sebagai kesempatan bagi terdakwa.

(7)

ABSTRACT

In legal practice, the use of recorder and the recording have been part of the proving process in a criminal case. The title of this thesis is “Electronic Recording as an Evidence in the Perspective of the Anti Money Laundering Regime” and if it is related to the regulation on evidence in Article 184 of the Indonesian Criminal Codes, there is no regulation on evidence except the testimony of witness, the testimony of expert, letters, leads, and the testimony of the accused. But in Article 38 of Law No.15/2002 which was amended with Law No.25/2003 on Prevention of Money Laundering, it is stated that electronic recording is the evidence in a law court. However, the use of electronic recording as the evidence in a law court is still in dispute, therefore, the testimony of expert to prove it in a law court is still needed.

The research questions in this study were what regulation of legal evidence is used in criminal law in Indonesia, what regulation of legal evidence is used in money laundering criminal act, and what is the position of electronic recording as the evidence in money laundering criminal act.

This study employed the normative legal research method with qualitative approach and referred to the legal norms and values found in the regulation of legislation. The primary legal materials for this study are Law No.11/2008 on Information and Electronic Transaction, Law No.36/1999 on Telecommunication, Law No.15/2002 in connection with Law No.25/2003 on Money Laundering, Law No.8/1981 on Criminal Codes.

The conclusion drawn in this study is that the regulation of legal evidence in criminal law is known as negative system (negatief wettelijk bewijsleer) which must meet two absolute preconditions such as enough evidence and the judge’s confidence according to Article 183 of Indonesian Criminal Codes. The regulation of legal evidence on money laundering uses the reverse proving or to reversely prove the evidence according to Article 35 of Law on Money Laundering for the interest of the investigation in the law court, the accused needs to prove that his/her property is not obtained from any criminal act. Electronic recording has been made equal to the other five conventional evidences which used to be known in Criminal Law in which the law on money laundering decided the electronic recording as a specific evidence and is independent as meant in Article 38 of Law on Money Laundering which strongly stated that the legal evidence in the investigation of money laundering criminal act includes the evidence as meant in the Indonesian Criminal Codes and also the other evidences in the forms of information which is said, sent, received, or electronically recorded by optical equipment or of the same kind.

(8)

reverse proving system stated in the law on money laundering must also be socialized to the law enforcement officers because still many of them such as police officers, prosecutors, judge, and advocates have not known and even understood the process of reverse proving system. The government is also expected to improve the unclear stipulations stated in the law on money laundering such as the one found in Article 35 stating that the reversal of the proving through electronic recording evidence is the responsibility of the accused while in the explanation of the article it is regarded as a chance for the accused.

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : EDY SIONG

Tempat/Tanggal Lahir : Tandam Hulu II / 16 November 1982 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Buddha.

Alamat : Komp. Taman Binjai Indah Blok C Binjai.

Pendidikan Formal : - Sekolah Dasar Ahmad Yani Binjai (Lulus Tahun 1997);

- Sekolah Menengah Pertama Ahmad Yani (Lulus Tahun 2000);

- Sekolah Menengah Atas Methodist College (Lulus Tahun 2001);

- S-1 Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa (Lulus Tahun 2008);

(10)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas limpahan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul ”Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Rezim Anti Pencucian Uang”, telah dilakukan dan telah lulus diseminarkan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Oleh karena itu, dengan hati yang tulus disertai dengan ucapan terimakasih yang sebanyak-banyaknya peneliti ucapkan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&K, SpA(K);

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yakni Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum;

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH, sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing;

4. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingannya kepada peneliti selama penelitian berlangsung;

5. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, Selaku Anggota Komisi Pembimbing juga telah mengarahkan penulis sampai kepada selesainya penelitian ini;

(11)

ilmunya dan mudah-mudahan dapat bermanfaat khususnya mahasiswa dan masyarakat pada umumnya;

7. Seluruh Staf/Pegawai Adminstrasi atas bantuannya dapat melancarkan segala urusan yang berkenaan dengan administrasi dan informasi di lingkungan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Kepada kedua Orang Tua yang telah menanamkan nilai-nilai dasar keilmuan dan mendoakan penulis.

9. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman di Kampus Sekolah Pascasarjana khususnya Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan satu persatu;

Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi semua kalangan sehingga dapat memperkaya wawasan dan Ilmu Pengetahuan pembaca khususnya penulis mudah-mudahan dapat mengintegrasikan dan mengimplementasikan ilmu serta mampu menjawab tantangan atas perkembangan hukum yang ada dalam masyarakat.

Mohon maaf atas segala kekurangan dalam penulisan tesis ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar penulis lebih giat lagi menambah wawasan ilmu pengetahuan di masa-masa yang akan datang.

Hormat Penulis

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... viii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 17

E. Keaslian Penelitian... 18

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 19

1. Kerangka Teori... 19

2. Landasan Konsepsional... 36

G. Metode Penelitian ... 40

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 40

(13)

3. Teknik Pengumpulan Data... 43

4. Analisis Data ... 44

BAB II : KETENTUAN PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA... 45

A. Arti Hukum Pembuktian ... 45

B. Sistem Pembuktian... 53

C. Pembuktian yang Dianut Dalam Hukum Acara Pidana... 62

D. Penerapan dan Kecenderungan Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana ... 67

E. Prinsip Batas Minimum Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana... 70

F. Macam-Macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian ... 75

BAB III : KETENTUAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ... 89

A. Tinjauan Mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang ... 89

1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ... 89

2. Kriminalisasi Pencucian Uang ... 95

3. Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Kejahatan Lintas Negara ... 99

(14)

5. Dampak Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap

Masyarakat ... 110

B. Hukum Acara yang Berlaku Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang ... 119

C. Ketentuan Sistem Pembuktian Terbalik... 125

BAB IV : KEDUDUKAN REKAMAN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ... 134

A. Alat-Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang... 134

1. Alat Bukti Riil ... 134

2. Alat Bukti Demonstratif dan Alat Bukti Fisik Lainnya ... 138

3. Alat Bukti Nonkonvensional... 146

4. Kedudukan Alat Bukti nonkonvensional Menurut Hukum Pencucian Uang... 154

B. Pengaturan Alat Bukti Rekaman Elektronik Tersebar pada Beberapa Peraturan Perundang-Undangan ... 156

C. Analisis Alat Bukti Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti yang Berdiri Sendiri Dalam Hukum Pencucian Uang ... 164

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 178

A. Kesimpulan ... 178

B. Saran... 179

(15)

ABSTRAK

Dalam praktik hukum, penggunaan alat perekam dan hasil rekaman telah merupakan bagian dari proses pembuktian dalam perkara pidana. Sehubungan dengan judul penelitian ini adalah, “Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Rezim Anti Pencucian Uang”, jika dihubungkan dengan ketentuan alat bukti pada Pasal 184 Hukum Acara Pidana tidak diatur mengenai hasil rekaman sebagai alat bukti kecuali keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Akan tetapi di dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dicantumkan rekaman elektronik sebagai alat bukti di persidangan. Bagaimana pun rekaman elektronik sebagai alat bukti dalam tindak pidana pencucian uang namun masih dipertentangkan saat ini oleh karenanya tetap memerlukan keterangan dari ahli dalam pembuktiannya di persidangan.

Permasalahan di dalam penelitian ini adalah bagaimana ketentuan pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia? bagaimana ketentuan pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang? Dan bagaimana kedudukan rekaman elektronik sebagai alat bukti dalam tindak pidana pencucian uang?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai bahan hukum primer dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(16)

diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Saran yang dikehendaki peneliti di dalam penelitian ini adalah diharapkan adanya keberanian dari aparat penegak hukum untuk menggunakan instrumen alat bukti elektronik karena dipandang masih sumir untuk dipakai di persidangan, oleh karena itu, perlu sumber daya penegak hukum yang baik dari segi pemahamannya tentang Undang-Undang Pencucian Uang. Diharapkan pula sosialisasi bagi aparatur hukum bahwa dalam Undang-Undang Pencucian Uang telah dikenal asas pembuktian terbalik karena sampai saat ini masih banyak aparatur hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan advokat yang belum mengetahui bahkan belum memahami tentang proses pembuktian terbalik sehingga pada gilirannya banyak melenceng dari harapan. Diharapkan juga bagi pemerintah (pembentuk undang-undang) memperbaiki ketentuan yang masih kabur dalam Undang-Undang Pencucian Uang, seperti dalam Pasal 35 UUPTPPU menjelaskan bahwa pembalikan beban pembuktian rekaman elektronik tersebut adalah kewajiban bagi terdakwa, sedangkan dalam penjelasan pasalnya dipandang sebagai kesempatan bagi terdakwa.

(17)

ABSTRACT

In legal practice, the use of recorder and the recording have been part of the proving process in a criminal case. The title of this thesis is “Electronic Recording as an Evidence in the Perspective of the Anti Money Laundering Regime” and if it is related to the regulation on evidence in Article 184 of the Indonesian Criminal Codes, there is no regulation on evidence except the testimony of witness, the testimony of expert, letters, leads, and the testimony of the accused. But in Article 38 of Law No.15/2002 which was amended with Law No.25/2003 on Prevention of Money Laundering, it is stated that electronic recording is the evidence in a law court. However, the use of electronic recording as the evidence in a law court is still in dispute, therefore, the testimony of expert to prove it in a law court is still needed.

The research questions in this study were what regulation of legal evidence is used in criminal law in Indonesia, what regulation of legal evidence is used in money laundering criminal act, and what is the position of electronic recording as the evidence in money laundering criminal act.

This study employed the normative legal research method with qualitative approach and referred to the legal norms and values found in the regulation of legislation. The primary legal materials for this study are Law No.11/2008 on Information and Electronic Transaction, Law No.36/1999 on Telecommunication, Law No.15/2002 in connection with Law No.25/2003 on Money Laundering, Law No.8/1981 on Criminal Codes.

The conclusion drawn in this study is that the regulation of legal evidence in criminal law is known as negative system (negatief wettelijk bewijsleer) which must meet two absolute preconditions such as enough evidence and the judge’s confidence according to Article 183 of Indonesian Criminal Codes. The regulation of legal evidence on money laundering uses the reverse proving or to reversely prove the evidence according to Article 35 of Law on Money Laundering for the interest of the investigation in the law court, the accused needs to prove that his/her property is not obtained from any criminal act. Electronic recording has been made equal to the other five conventional evidences which used to be known in Criminal Law in which the law on money laundering decided the electronic recording as a specific evidence and is independent as meant in Article 38 of Law on Money Laundering which strongly stated that the legal evidence in the investigation of money laundering criminal act includes the evidence as meant in the Indonesian Criminal Codes and also the other evidences in the forms of information which is said, sent, received, or electronically recorded by optical equipment or of the same kind.

(18)

reverse proving system stated in the law on money laundering must also be socialized to the law enforcement officers because still many of them such as police officers, prosecutors, judge, and advocates have not known and even understood the process of reverse proving system. The government is also expected to improve the unclear stipulations stated in the law on money laundering such as the one found in Article 35 stating that the reversal of the proving through electronic recording evidence is the responsibility of the accused while in the explanation of the article it is regarded as a chance for the accused.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada saat ini, Indonesia telah berada dalam teknologi elektronik yang berbasis kepada lingkungan serba digital.1 Dengan perkembangan teknologi tersebut, menimbulkan kuantitas kejahatan konvensional yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan.2

Penentuan mengenai cara bagaimana pengenaan pembuktian pidana dapat dilaksanakan terhadap orang yang disangka melakukan perbuatan pidana diatur di dalam hukum pidana formal atau KUHAP. Van Bemmelen menyatakan bahwa, ”Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana”.3

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Melalui pembuktian tersebut ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184

1

Edmon Makarim., Pengantar Hukum Telematika, (Jakarta: Rajagrafindo Perkasa, 2005), hal.

31.

2

Krisnawati., Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hal.

3.

3

Andi Hamzah, Mohammad Taufik Makarao, dan Suhasril., Hukum Acara Pidana dalam

(20)

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), maka terdakwa dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hakim harus berhati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian, serta meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian (bewijs kracht) dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP tersebut.

Pembuktian menurut KUHAP, menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yaitu sistem pembuktian yang merupakan keseimbangan antara sistem keyakinan hakim (conviction in time) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan di dalam undang-undang). Kedua sistem ini saling bertolak belakang secara ekstrim. Dimana kedua sistem ini dikenal dengan sistem pembuktian secara negatif dengan memadukan antara keyakinan hakim dengan undang-undang secara positif.4

Salah satu undang-undang yang terkena dampak untuk dikecualikan dari undang-undang dalam hal pembuktian dan alat-alat buktinya adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UUPTPPU) yakni terdapat di dalam

4

M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan

(21)

Pasal 38 UUPTPPU bahwa, alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa: 5

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;

b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan c. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 7.

Seiring dengan perkembangan jasa-jasa teknologi dan informasi yang canggih, membawa efek terhadap sistem pengaturan hukum dewasa ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya disebut UUITE, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi selanjutnya disebut UUT).

Perkembangan jasa-jasa di bidang Teknologi Informasi telah mengubah perilaku dan peradaban manusia ke arah yang lebih modern hingga melewati batas yurisdiksi suatu negara yang tidak terbatas, melalui pemanfaatan teknologi informasi, media dan komunikasi. Sehingga sistem perundang-undangan juga terkena dampak untuk direvisi sesuai dengan keadaan zamannya dan tingkat kualitas kriminal. Sehingga dengan demikian, KUHAP harus dikecualikan (lex specialist de rogat lex generalist).6

5

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPTPPU).

6

(22)

Istilah hukum telematika merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dengan berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.7

Sistem elektronik ang dimaksud peneliti, mencakup sistem komputer dalam arti luas, yang tidak hanya mencakup perangkat keras dan perangkat lunak komputer, tetapi juga mencakup jaringan telekomunikasi dan/atau sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak atau program komputer merupakan sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi tersebut.

Dunia hukum sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak berwujud. Dalam kenyataan

(23)

kegiatan siber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritorial suatu negara, yang mudah diakses kapan pun dan dari mana pun. Sehingga kerugian pun dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di Internet. Oleh sebab itu, pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya bisa demikian kompleks dan rumit.8

Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan karena transaksi elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (electronic commerce) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang teknologi informasi, media, dan informatika (telematika) berkembang terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukannya perkembangan baru di bidang teknologi informasi, media, dan komunikasi.9

Sistem media elektronik, yang disebut juga ruang siber (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum

8

Zulkarnaen Sitompul., “Pengaruh Perkembangan Telematika Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang”, Artikel versi PDF, Jakarta: Oktober 2003, hal. 4.

9

(24)

yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan banyak hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Karena kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Sedangkan rekaman elektronik merupakan dokumen yang diperoleh dari penggunaan media elektronik.10

Perkembangan teknologi banyak membawa dampak positif, di samping itu, juga menimbulkan dampak negatif. Salah satu dampak negatif perkembangan teknologi tersebut adalah munculnya berbagai macam kejahatan berdimensi baru dan modern yang oleh hukum pidana telah dikriminalisasi sebagai tindak pidana. Tindak pidana yang dimaksud peneliti dalam penelitian ini adalah tindak pidana pencucian uang atau yang dikenal dengan istilah money laundering. Mengenai tindak pidana pencucian uang telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UUPTPPU).

Keberadaan UUPTPPU di Indonesia dapat menghindari sanksi Financial Action Task Force (FATF) sekaligus telah masuk ke dalam rezim anti money laundering, dan ikut berpatisipasi aktif dengan bekerjasama dengan anggota FATF

10

(25)

dalam memberantas praktek money laundering. Akan tetapi, perlu disadari bahwa ketertinggalan teknologi dan informasi yang masih jauh dari yang diharapkan di Indonesia hingga sampai saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang tentang kejahatan di dunia siber media, saat ini masih merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan UUITE, serta UUT.

Kegiatan pencucian uang atau money laundering ditujukan untuk melindungi atau menutupi aktivitas kriminal yang menjadi sumber dari dana atau uang haram yang akan dibersihkan. Tindak pidana pencucian uang sangat berdampak merugikan masyarakat khususnya masyarakat Indonesia. Aktivitas kriminal tersebut misalnya adalah perdagangan gelap obat-obatan/narkoba (drug trafficking) atau penggelapan pajak (illegal tax avoidance atau tax evasion).11 Dengan demikian pemicu dari pencucian uang adalah tindak pidana atau aktivitas kriminal yang melawan hukum.

Bentuk kegiatan melawan hukum ini dapat dilakukan melalui transaksi perbankan, lembaga keuangan non bank, money changer, bursa saham atau penanaman modal di perusahaan-perusahaan yang sah lainnya. Dalam perkembangan berikutnya pengertian pencucian uang atau money laundering dimuat dalam berbagai literatur maupun peraturan yang diberlakukan oleh beberapa negara dan organisasi Internasional. Salah satu pengertian yang menjadi acuan di seluruh dunia adalah pengertian yang dimuat dalam the United Nation Convention Against Illicit Traffic in

11

Yunus Husein., dan Zulkarnaen Sitompul., Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Oleh

Bank Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan Money Laundering, Makalah yang disampaikan

dalam Lokakarya mengenai RUU tentang Anti Pencucian Uang (money laundering), kerjasama antara

(26)

Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh negara Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychotrpices Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotik dan Psikotropika, 1988).12

Fenomena tindak pidana pencucian uang saat ini merupakan wacana yang menarik dibicarakan diberbagai diskusi-diskusi ilmiah oleh pakar-pakar dengan berbagai disiplin ilmu. Pengaturan Tindak pidana pencucian saat ini yang berlaku adalah Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang UUPTPPU. Undang-undang tersebut memiliki arti penting karena memuat politik hukum nasional yang mengkriminalisakan pencucian uang di Indonesia. UUPTPPU juga telah melahirkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) sekaligus sebagai national focal point dalam memberantas tindak pidana pencucian uang. Hal yang sangat menarik disajikan dalam undang-undang ini adalah mengenai pembuktian terbalik dan eksistensi alat-alat bukti. Pembuktian dalam ketentuan hukum di Indonesia adalah bagian dari hukum acara yaitu ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).

Untuk membuktikan pelaku tindak pidana pencucian uang di Indonesia masih dirasakan pada saat ini adanya tingkat kesulitan cukup tinggi yang disebabkan oleh

12

Yunus Husein (I)., Upaya Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang (money

(27)

beberapa faktor yang antara lain adalah dari beberapa sistem penyidikan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang bersumber dari TTATK atas adanya indikasi perbuatan pencucian uang yang masih mengacu kepada beberapa perangkat azas-azas yang terdapat di dalam sistem hukum pidana materil dan formil.13

Dalam rangka untuk menjerat pelaku tindak pidana pencucian uang harus terlebih dahulu penyidik dapat membuktikan adanya unsur kesalahan tersangka terlebih dahulu, jika telah ada unsur kesalahan kemudian penyidik dapat melakukan proses hukum selanjutnya karena perbuatan tersangka diduga berindikasi melakukan perbuatan pencucian uang. Azas yang termuat dalam hukum pidana materil yaitu bahwa pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (azas “culpibilitas” yakni tidak ada pidana tanpa kesalahan) di samping itu pada tingkat penuntutan oleh pihak kejaksaan atau bahkan pada tingkat proses peradilan juga dirasakan masih sangat sulit untuk membuktikan adanya tindak pidana pencucian uang (money laundering) hal ini disebabkan oleh rapinya modus operandi pelaku yang selalu mengaburkan asal usul uang dengan menggunakan sarana bank untuk pencucian uang.

13

Erman Rajagukguk., ”Anti Pencucian Uang, suatu Bisnis, Perbandingan Hukum, Yayasan

Pengembangan Hukum Volume 16 November, hal. 24. Indonesia sendiri telah lama mencantumkan

ketentuan mengenai money laundering ini dalam rancangan KUH Pidana sebagai berikut; Pertama,

Pasal 610 rancangan KUH Pidana mengatakan barang siapa menyimpan uang di bank dan ditempatkan, mentransfernya, menitipkan, menghibahkan, memindahkan, menginvestasikan, membayar uang kertas bernilai uang, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya diperoleh dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi diancam dengan pidana penjara paling lama 15 Tahun dan denda paling banyak kategori V, Kedua Pasal 611 rancangan KUH Pidana ynag menyatakan bahwa barang siapa menerima untuk disimpan atau sebagai titipan, menerima transfer, menerima hibah, menerima sebagai modal investasi, menerima sebagai pembayaran uang atau kertas bernilai uang yang deketahuinya atau patut diketahuinya diperoleh dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau tindak pidana ekonomi dan tindak pidana korupsi diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak kategori V.

Menurut Erman Rajagukuguk ketentuan-ketentuan dalam rancangan untuk mengatasi kejahatan money

(28)

Pedoman dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang di dalam UUPTPPU dilakukan berdasarkan ketentuan dalam hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam UUPTPPU. Jika di lihat kekecualian yang terdapat dalam undang-undang tersebut adalah dalam hal pembuktian.

Dalam undang-undang ditentukan bahwa alat-alat bukti tindak pidana pencucian uang beberapa dokumen seperti rekaman elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya14. Dan juga menggunakan alat media elektronik seperti handicam, kamera, handphone dan lain-lain.

Penggunaan alat perekam dan hasil rekaman di dalam prakteknya, telah merupakan bagian dari proses projustisia perkara pidana. Di dalam KUHAP tidak diatur mengenai hasil rekaman sebagai alat bukti (Pasal 184) kecuali keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengaturan mengenai alat-alat bukti dalam UUPTPPU merupakan pengaturan khusus (lex specialis). Menurut EY. Kanter dan SR. Sianturi, bahwa

14

(29)

”hukum pidana khusus harus lebih diutamakan dari pada hukum pidana umum”,15 adagium untuk hal tersebut adalah ”lex specialis derogat lex generalis” ketentuan semacam ini di dalam KUHP ditentukan dalam Pasal 64 Ayat (2).16

Suatu data berupa informasi yang telah diolah oleh sistem informasi secara elektronik, akan tersimpan di dalam suatu media tertentu, yang dinamakan dokumen elektronik. Sistem penyimpanan data dan atau informasi elektronik yang berbasis komputer dinamakan database. Sedangkan data yang dikomunikasikan melalui media telekomunikasi dinamakan data messages.

Apabila merujuk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (UUDP), dapat dicermati pengertian Dokumen Perusahaan adalah data, catatan, dan atau keterangan yang dibuat dan/atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar. Adapun yang menarik dari keberadaan UUDP di atas ialah terbukanya pemahaman mengenai keberadaan suatu informasi yang tersimpan secara elektronik (arsip elektronik).

Akar dari informasi adalah data. Data menurut Turban, Rainer, dan Potter adalah “Dataare raw facts or elementary description of things, events, activities, and transactions that are captured, recorded, stored, and classified, but not organized to

15

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”,

(Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 22.

16

(30)

convey any specific meaning. Example of data would include bank ballances”.17 Yang artinya, Data ialah gambaran dasar, fakta-fakta awal yang belum terperinci dari perihal, peristiwa, kegiatan, dan transaksi yang ditangkap, direkam, disimpan, dan terklasifikasi tetapi tidak terorganisir untuk dapat menyatakan arti khusus apapun. contoh data ialah catatan saldo rekening bank.

Sedangkan pengertian informasi menurut Turban, Rainer, dan Potter adalah “Information is a collection of facts organized in some manner so that they are meaningful to a recipient. For example, if we include costumer names with bank

ballances, we would have useful information”.18 Contoh informasi ialah saldo rekening bank yang disertai dengan identitas pemegang rekening.

Dengan kata lain, informasi bersumber dari data yang telah diproses. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi elektronik dapat berupa catatan elektronik, data atau dokumen elektronik, surat-surat elektronik, ataupun tanda tangan elektronik.

Dalam UUT ditegaskan, setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun,19 kecuali untuk keperluan proses peradilan pidana rekaman pembicaraan melalui jaringan telekomunikasi tidak dilarang.20

17

Turban, Rainer, dan Potter., Introduction to Information Technology, dalam Edmon

Makarim., Op. cit, hal. 31.

18

Ibid., hal. 31.

19

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi), Pasal 40.

20

(31)

Penegasan dibolehkannya penggunaan rekaman itu diperkuat dengan ketentuan bahwa pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi untuk kepentingan peradilan pidana bukan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 40 di atas.

Dalam UUITE ditegaskan bahwa, alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dokumen elektronik dirumuskan bahwa, setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik.

(32)

KUHAP mendefinisikan, petunjuk sebagai suatu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.21

Meskipun demikian, penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk sepenuhnya diserahkan kepada hakim setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.22 Pembentuk undang-undang memasukkan ketentuan di dalam Pasal 188 Ayat (3) KUHAP tersebut karena alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang masih memerlukan alat bukti lain untuk kesempurnaan pembuktian.

Kesempurnaan pembuktian dimaksud tersirat dalam KUHAP yang menegaskan bahwa, ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dari dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.23

Merujuk pada ketentuan mengenai bukti petunjuk di atas, jelas bahwa bagi seorang hakim diwajibkan untuk menggali alat bukti lain sebagaimana telah diuraikan di atas. Selain itu, terhadap alat bukti petunjuk diperlukan kecermatan dan ketelitian seorang hakim di dalam memberikan penilaiannya, terutama terhadap ada atau tidak

21

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 188 Ayat (1).

22

Ibid., Pasal 188 Ayat (3).

23

(33)

adanya persesuaian antara suatu kejadian atau keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Sudah tentu, untuk kesempurnaan pembuktian melalui bukti elektronik (electronic evidence) sehingga hakim memiliki keyakinan atas terjadinya suatu tindak pidana dan seseorang adalah pelakunya, hakim memerlukan bantuan seorang ahli (keterangan ahli), kecuali pembicara dalam rekaman tersebut mengakuinya bahwa suara yang diperdengarkan di muka sidang pengadilan adalah suara dirinya sendiri.

Dalam UUPTPPU, hasil rekaman atau alat bukti elektronik tersebut telah ditetapkan sebagai alat bukti tersendiri, termasuk alat bukti petunjuk sebagaimana dinyatakan di dalam KUHAP dan undang-undang lain seperti pemberantasan korupsi, narkotika, dan terorisme. Dimasukkannya rekaman elektronik sebagai alat bukti yang sah dan berdiri sendiri di dalam UUPTPPU karena tindak pidana pencucian uang termasuk extra ordinary crime sehingga penanganannya dalam hal pembuktian dikecualikan dari tindak pidana lain.24

Rekaman elektronik sebagai alat bukti yang tersendiri di tegaskan dalam Pasal 38 UUPTPPU yang menyebutkan bahwa alat bukti pemeriksaan di dalam tindak pidana pencucian uang, termasuk alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, dan juga alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan rekaman elektronik.

24

(34)

Dengan demikian, terdapat pengecualian pembuktian alat-alat bukti rekaman elektronik, dimana alat-alat bukti rekaman elektronik merupakan alat bukti tersendiri di dalam tindak pidana pencucian uang atau money laundering dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Hal inilah yang mendorong penulis untuk membuat penelitian dengan judul ”Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti dalam Perspektif Rezim Anti Pencucian Uang”, di dalam penulisan tesis ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana ketentuan pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia? 2. Bagaimana ketentuan pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang?

3. Bagaimana kedudukan rekaman elektronik sebagai alat bukti dalam tindak pidana pencucian uang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang akan menjadi objek pembahasan dalam penelitian ini, maka tujuan yang diharapkan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(35)

2. Untuk mengetahui dan mendalami ketentuan pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang; dan

3. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan rekaman elektronik sebagai alat bukti dalam tindak pidana pencucian uang.

D. Manfaat Penelitian

Permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini dan dihubungkan dengan peraturan-perundang-undangan yang ada, diharapkan dapat membawa sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis. Sehubungan dengan itu, penelitian ini bermanfaat untuk:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya pemahaman tentang rekaman elektronik sebagai alat bukti di dalam tindak pidana pencucian uang. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti lanjutan serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian uang di Indonesia;

(36)

pidana pencucian uang, serta agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang peran serta wewenang dari masing-masing pihak dalam proses penyidikan, penuntutan, dan penjatuhan putusan oleh Hakim di sidang pengadilan.

E. Keaslian Penulisan

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya peneliti telah melakukan pemeriksaan pada beberapa judul penelitian/tesis seperti “Efektifitas Sistem Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Pencucian Uang”, “Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang”. Judul penelitian yang disebutkan di atas, tidak memilik kesamaan substansi maupun permasalahan yang sama dengan judul yang diteliti oleh peneliti mengenai ”Rekaman Elektronik sebagai Alat Bukti dalam Perspektif Rezim Anti Money Laundering”. Dimana bahwa judul yang dipilih oleh peneliti ini memiliki perbedaan yang mendasar yakni difokuskan atau dikhususkan kepada masalah “pembuktian rekaman elektronik” di dalam tindak pidana pencucian uang.

(37)

Bukti dalam Perspektif Rezim Anti Money Laundering”, ternyata belum pernah dilakukan peneliti lain dalam topik dan permasalahan yang sama. Maka, dapat dikatakan bahwa penelitian ini, asli, murni, dan belum pernah diteliti oleh peneliti terdahulu. Oleh karena itu, peneliti dapat mempertanggungjawabkannya di sidang terbuka untuk umum.

E. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Beberapa teori yang berhubungan dengan sistem pembuktian rekaman elektronik ini, peneliti mendasarkan pada teori-teori pembuktian yakni Conviction in Time,25 Conviction-Raisonee,26 Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara

25

M. Yahya Harahap., Op. Cit, hal. 278, sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian "keyakinan" hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau

pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction-in time, sudah barang tentu mengandung

kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas "dasar keyakinan" belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi,

dalam sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti,

pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa "tidak terbukti" berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas "dasar keyakinan" hakim. Keyakinan hakim yang "dominan" atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.

26

(38)

Positif,27 Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel),28 gunanya sebagai perbandingan dalam memahami sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Teori pembuktian lain yang digunakan peneliti adalah, peneliti

conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus "reasonable", yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar-dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.

27

Ibid, pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang

bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pembuktian

menurut undang-undang secara positif, "keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian" dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata "digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah". Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah "robot pelaksana" undang-undang yang tak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor keyakinan, tetapi semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuraduk hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. Bagaimana kalau

sistem ini dibandingkan dengan sistem pembuktian keyakinan atau conviction-in time? bahwa sistem

pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, lebih dekat kepada prinsip "penghukuman berdasar hukum". Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

28

Ibid, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut

keyakinan atau conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif

(39)

juga menggunakan sistem pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian dimana si terdakwa diperbolehkan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya.

Menurut M. Yahya Harahap, bahwa alat bukti rekaman elektronik dalam tindak pidana pencucian uang tidak termasuk ke dalam bukti pendukung atau alat bukti petunjuk sebagaimana alat-alat bukti yang disebutkan di dalam KUH Pidana dan KUHAP akan tetapi merupakan alat bukti tersendiri atau berdiri sendiri.29

Tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan yang luar biasa (exstra ordinary crime), oleh sebab itu, maka untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam kasus tindak pidana pencucian uang, diperlukan hukum acara yang luar biasa pula karena pada prinsipnya yang dikejar adalah hasil-hasil kejahatan tindak pidana pencucian uang yang merupakan hasil dari korupsi dengan memperkenalkan suatu aturan yang mengatur penyitaan aset secara perdata atau pidana dengan hukum acara khusus atau luar biasa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka teori yang digunakan dalam pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang di samping teori pembuktian yang dianut di dalam KUHAP yaitu pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel) yang merupakan teori antara sistem pembuktian

29

Ibid, hal. 317, Adapun mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang lain. Sebagaimana dengan kekuatan pembuktian keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti surat, hanya mempunyai sifat kekuatan pembuktian ”yang bebas”.

1. Hakim tidak terkait atas kebenaran persesuaian yang dieujudkan oleh petunjuk oleh karena itu,

Hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian;

(40)

menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time, juga digunakan teori pembuktian dengan asas pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang dikenal di beberapa tindak pidana tertentu.30

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif yakni “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu ”sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Sehingga rumusannya berbunyi, ”salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang”.

Untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan

30

(41)

terdakwa dibarengi dengan keyakinan hakim. Bertitik tolak dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen:31

a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

b. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur ”objektif” dan ”subjektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebut. Jika salah satu di antara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya, ditinjau dari segi cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim ”tidak yakin” akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, di antara kedua komponen tersebut harus saling mendukung.

Jika diperhatikan bahwa pembuktian menurut undang-undang secara negatif, menempatkan keyakinan hakim paling berperan dan dominan dalam menentukan

31

(42)

salah atau tidaknya terdakwa, pembuktian semacam ini pernah dianut di Indonesia yakni pada pengadilan distrik dan kabupaten.32 Umpamanya, walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti menurut cara dan dengan alat bukti yang sah, pembuktian itu dapat ditiadakan dengan adanya keyakinan hakim. Apalagi jika pada diri hakim terdapat motivasi yang tidak terpuji demi keuntungan pribadi, dengan suatu imbalan materi, dapat dengan mudah membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban hukum, atas alasan hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa. Terdakwa memang cukup terbukti secara sah. Namun, sekalipun terbukti secara sah, hakim tidak yakin akan kesalahan yang telah terbukti tersebut. Oleh karena itu, terdakwa harus dibebaskan dari tuntutan hukum. Barangkali di sinilah letak kelemahan sistem ini. Sekalipun secara teoretis antara kedua komponen itu tidak saling dominan, tetapi dalam praktek, secara terselubung unsur keyakinan hakim yang paling menentukan dan dapat melemparkan secara halus unsur pembuktian yang cukup. Terutama bagi seorang hakim yang kurang hati-hati, atau hakim yang kurang tangguh benteng iman dan moralnya, mudah sekali memanfaatkan sistem pembuktian ini dengan suatu imbalan yang diberikan oleh terdakwa.33

Ppembuktian menurut R. Subekti, ”Proses meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil dan alat-alat bukti yang dikemukakan dalam suatu perkara. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam

32

Andi Hamzah., Op. cit, hal. 260.

33

(43)

persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan”.34

Menurut R. Supomo, pembuktian mempunyai dua arti, yaitu arti yang luas dan arti yang terbatas. Arti yang luas ialah membenarkan hubungan hukum, yaitu misalnya apabila Hakim mengabulkan tuntutan, maka pengabulan ini mengandung arti bahwa, hakim menarik kesimpulan bahwa apa yang didakwakan adalah benar. Untuk membuktikan dalam arti yang luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat yang sah. Dalam arti yang terbatas terdapat pembuktian yang hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya dibantah oleh terdakwa dan apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan. Dalam arti yang terbatas inilah orang mempersoalkan hal pembagian beban pembuktian.35

Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mempunyai beberapa pengertian, yaitu pengertian secara logis,36 secara konvensional,37 dan secara yiridis.38 Dalam hukum acara pidana hakim bersifat aktif, yaitu hakim berkewajiban

34

R. Subekti., Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal. 7.

35

R. Supomo., Hukum Acara Pidana Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978),

hal. 62-63.

36

Sudikno Mertokusumo., Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberti, 1988), hal.

103-104, membuktikan dalam dalam arti logis ialah memberikan kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Contohnya berdasarkan aksioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mengkin bersilang.

37

Ibid, pembuktian dalam arti konvensional adalah memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif dengan tingkatan sebagai berikut:

a. Kpeastian yang didasarkan atas atas perasaan belaka, karena didasarkan atas perasaan maka,

kepastian ini bersifat intuitif (conviction in time); dan

b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction

raisonnee.

38

(44)

untuk memperoleh bukti yang cukup mampu membuktikan tentang apa yang dituduhkan kepada terdakwa.39

Pembuktian dalam ilmu hukum diatur secara komprehensif dan lugas. Meskipun telah diatur secara komprehensif dan lugas, namun nilai pembuktiannya tidak dapat secara mutlak dan lebih bersifat subyektif. Jadi, kebenaran yang dicapai merupakan kebenaran yang relatif. Hal ini disebabkan karena pembuktian dalam ilmu hukum hanyalah sebagai upaya memberikan keyakinan terhadap fakta-fakta yang dikemukakan agar masuk akal, yaitu apa yang dikemukakan dengan fakta-fakta itu harus selaras dengan kebenaran. Sehingga, keyakinan tentang sesuatu hal memang benar-benar telah terjadi harus dapat diciptakan dan dapat diterima oleh pihak lainnya, karena apabila hanya dapat diciptakan tanpa diikuti dengan dapat diterimanya oleh pihak lain, maka akan tidak memunyai arti. Tidak mempunyai arti dimaksud karena bukti dalam ilmu hukum itu hanya menetapkan kebenaran terhadap pihak-pihak yang berperkara saja. Jadi, tidak seperti bukti dalam ilmu pasti yakni berlaku umum, yang berarti menetapkan kebenaran untuk setiap orang dan

memperoleh hak dari mereka, dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak, karena ada kemungkinannya bahwa pengakuan, kesaksian atau bukti tertulis itu tidak benar atau dipalsukan, maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Membuktikan secara yuridis dalam hukum acara pidana tidak sama dengan hukum acara perdata, terdapat ciri-ciri khusus sebagai berikut:

Dalam hukum acara perdata, yang dicari adalah kebenaran formal, yaitu kebenaran berdasarkan anggapan dari pada pihak yang berperkara. Sedangkan dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran materil, yaitu kebenaran sejati, yang harus diusakahan tercapai.

Dalam hukum acara perdata, hakim bersifat passif yaitu hakim memutuskan perkara semata-mata berdasrkan hal-hal yang dianggap benar oleh pihak-pihak yang berperkara dan berdasarkan bukti-bukti yang dibawa mereka itu dalam sidang pengadilan. Jadi, hakim tidak mencampuri hak-hak induividu yang dilanggar, selama orang yang dirugikan tidak melakukan penuntutan di pengadilan.

39

Teguh Samudera., Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hal.

(45)

mutlak sifatnya.40

Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu (communis opinio). Secara tidak langsung bagi hakim karena hakim yang harus mengkonstatir peristiwa mengkualifisirnya dan kemudian mengkonstituir maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut.41

Menurut A. Mukti Arto, tujuan pembuktian ialah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya sehingga nampak adanya hubungan antara para pihak.42

Sekalipun kebenaran pembuktian dalam ilmu hukum bersifat relatif, akan tetapi mempunyai nilai yang cukup signifikan bagi para hakim. Karena fungsi pembuktian adalah berusaha memberikan kepastian tentang kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok perkara bagi hakim.43 Karena itu, hakim akan selalu berpedoman dalam menjatuhkan putusannya dari hasil pembuktian. Oleh karena itu, acara pembuktian menempati posisi penting dari jalannya persidangan di pengadilan.

A. Mukti Arto., Praktek-Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2003), hal. 140.

43

Bachtiar Effendi, dkk., Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata,

(46)

Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli hukum tentang arti pembuktian sebagaimana disebutkan di atas, dapat dimengerti bahwa pembuktian adalah suatu proses mempergunakan atau mengajukan atau mempertahankan alat-alat bukti di muka persidangan sesuai dengan hukum acara yang berlaku (dalam hal tindak pidana pencucian uang berlaku hukum acara pidana) sehingga mampu meyakinkan hakim terhadap kebenaran dari alat-alat bukti yang menjadi dasar tuntutan, atau alat-alat bukti yang dipergunakan untuk menyanggah tentang kebenaran alat-alat bukti yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.

Dalam hal pembuktian tindak pidana pencucian uang, yang perlu dibuktikan adalah perbuatan yang memiliki unsur kesalahan (schuld). Menurut Pompe, yang perlu dibuktikan adalah kesalahan si terdakwa, yang mengandung ciri-ciri atau unsur-unsur sebagai berikut:44

1. Kelakuan yang bersifat melawan hukum;

2. Dolus (kesengajaan) atau Culpa (kealpaan); dan 3. Kemampuan bertanggung jawab pelaku.

Sehubungan dengan itu, pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan perkara perdata. Biasanya pembuktian dalam perkara pidana lebih ketat dibandingkan dengan pembuktian dalam perkara perdata. Karena dalam praktek pidana yang mencari kebenaran materiil, dianut pembuktian dengan stelsel negative, artinya untuk menjatuhkan putusan dalam perkara pidana tidak cukup berdasarkan alat bukti saja, tetapi juga diperlukan adanya keyakinan hakim, apakah

44

(47)

terdakwa bersalah atau tidak bersalah, dan pembuktian ini dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum.45

Pihak yang harus membuktikan adalah pihak yang menyatakan atau menuntut atau mengklaim suatu hak. Beban pembuktian seperti ini, berlaku di negara-negara yang menganut sistem civil law (continental), seperti di Indonesia. Maka,dalam Pasal 35 UUPTPPU telah diatur pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian dengan rumusan bahwa ”dalam sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana”. Dimana pembuktian terbalik dilakukan oleh terdakwa pada waktu membacakan pembelaannya dan dapat diulangi lagi pada memori banding dan memori kasasi.46

Teori Negatif dalam hukum pidana mengatakan bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana, jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Teori ini dianut dalam HIR, sebagaimana terdapat dalam Pasal 294 HIR Ayat (1), yang pada dasarnya ialah:47

a. Keharusan adanya keyakinan Hakim, dan keyakinan itu didasarkan kepada; b. Alat-alat bukti yang sah.

Teori ini dianut oleh KUHAP, sebagaimana terkandung dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP, meyebutkan sebagai berikut;

45

Adrian Sutedi., Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 288.

46

Ibid, hal. 290.

47

(48)

”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.48

Meneliti Pasal 183 menyatakan, ”Sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah”, ”bukan satu alat bukti”, maka seorang terdakwa telah memenuhi unsur batas minimum pembuktian. Namun menurut hukum posistif unsur sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah harus ditambah dengan unsur keyakinan hakim sebagai unsur complimentary (pelengkap) dan lebih berwarna sebagai unsur formal dalam model putusan.49

Teori bebas adalah teori yang tidak mengikat hakim kepada aturan hukum yang dijadikan pokok, asal saja ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman.50

Teori bebas dimungkinkan terjadi karena globalisasi menimbulkan teori baru yang relevan dengan situasi saat ini dan akhir-akhir ini berkembang suatu teori baru yakni teori modern. Teori ini tidak dianut dalam sistem HIR maupun sistem KUHAP yakni:

a. Teori dengan keyakinan belaka;

b. Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif;

48

KUHAP, Op. cit, Pasal 183.

49

M. Yahya Harahap., Op. cit, hal. 282-283.

50

Martiman Prodjohamidjojo., Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU

(49)

c. Teori Pembuktian menurut undang-undang secara negatif; d. Teori keyakinan atas alasan negatif;

e. Teori Pembuktian negatif menurut Undang-undang; dan f. Teori Pembuktian terbalik.

Adapun teori yang digunakan dalam penulisan tesis ini didasarkan pada teori-teori pembuktian di dalam KUHAP, dan teori negatif serta sistem pembalikan beban pembuktian. Secara khusus bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 38 huruf b UUPTPPU, bahwa alat bukti lain berupa ”informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu”, berpedoman kalimat ”disimpan secara elektronik” dalam Pasal 38 huruf b UUPTPPU inilah yang disebut dengan ”rekaman elektronik” yang dijadikan sebagai alat bukti di dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang. Rekaman elektronik dalam tindak pidana pencucian uang, sudah merupakan alat bukti yang berdiri sendiri oleh karena itu dasar teori pembuktian alat bukti yang tersendiri merupakan bagian dari teori hukum modern.

Sedangkan dalam pembuktian terbalik bersifat terbatas dan berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaanya.

Referensi

Dokumen terkait

Fitriana Subair 2019, Model Pembelajaran Ngaji Sugih (Studi Kasus di Pondok Pesantren Mukmin Mandiri Sidoarjo). Model pembelajaran ngaji sugih merupakan model

Fokus yang harus ditingkatkan dalam integrasi transportasi antarmoda di bandar udara antara lain perluasan fasilitas pendaftaran calon penumpang pesawat udara sebelum

Gambaran status gizi berdasarkan indeks tinggi badan per umur pada anak talasemia β mayor di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr.. Djamil Padang memperlihatkan

Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai coklat.Wikipedia Jadi rancangan wisata edukasi kakao adalah proses merancang fasilitas yang melibatkan

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini semua perusahaan go public yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang terdiri dari Industri Barang Konsumsi dan

adalah menurunnya religiusitas remaja yang dilihat dari banyaknya remaja yang aktif bermain game online meninggalkan kegiatan ibadah seperti sholat 5 (lima)

Apabila pembangunan industri terus dilakukan dengan cara mengambil alih fungsi lahan pertanian sehingga luas lahan sawah yang akan terus berkurang, maka akan

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah transformasi tokoh perwayangan dalam puisi Indonesia modern yang terbit antara tahun 1970-an sampai dengan