• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KETENTUAN ULTRA PETITA DALAM HUKUM ACARA

B. Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi

2. Ketentuan Ultra Petita dalam

tidak dituntut atau mememutus melebihi dari pada yang diminta. Ketentuan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Berbeda dengan peradilan perdata, hukum acara di Mahkamah Konstitusi tidak mengatur ultra petita. Objek perkara atau objectum litis di Mahkamah Konstitusi berbeda dengan peradilan perdata yang melindungi orang perorangan61

Keputusan hakim tidak boleh bersifat ultra petita (melebihi tuntutan penggugat) tetapi dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa penggugat dalam keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam UU. Hal inilah yang menjadi dasar untuk mengeluarkan putusan yang melebihi petitum. , sedangkan di Mahkamah Konstitusi lebih bersifat hukum publik, tidak hanya melindungi kepentingan pihak-pihak yang berperkara, akan tetapi tidak kalah penting di luar para pihak, yaitu seluruh rakyat Indonesia.

60

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 64.

61

Ultra petita bagi beberapa pihak dianggap merupakan pelanggaran terhadap UU Mahkamah Konstitusi terjadi karena tidak ada peraturan atau ketentuan dalam UU Mahkamah Konstitusi yang membolehkan Mahkamah Konstitusi memutuskan melebihi apa yang dimohonkan. Menurut Pasal 5 ayat 1 huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi No.06/PMK/2005 dan Pasal 51 ayat (3) UU- Mahkamah Konstitusi, setiap permohonan harus disertai uraian petita yang jelas, yaitu kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji.62

Setelah beberapa kali Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang ultra petita (memutus hal-hal yang tidak dimohon), kontroversi tentang boleh-tidaknya ultra petita dalam putusan Mahkamah Konstitusi terus bergulir. Selain yang setuju, banyak pakar dan pekerja profesional hukum, termasuk mantan Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga, berpendapat, Mahkamah Konstitusi tak boleh membuat putusan yang mengandung ultra petita tanpa pencantuman di dalam undang-undang. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, mengatakan, boleh saja putusan Mahkamah Konstitusi memuat ultra petita jika masalah pokok yang dimintakan review terkait pasal-pasal lain dan menjadi Kekosongan hukum dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi memang menyulitkan bagi para hakim dalam menjalankan praktek beracara Mahkamah Konstitusi.

62

Jurnal Konstitusi, “Ultra Petita” dalam Pengujian Undang-Undang Volume 4 Nomor 3, September 2007.

jantung dari UU yang harus diuji itu63

Mahkamah Konstitusi juga mengadopsi peraturan yang berasal dari negara lain yang memiliki lembaga konstitutional courts. Ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi mendasarkan pada pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi Korea Selatan

. Menurut Jimly, larangan ultra petita hanya ada dalam peradilan perdata. Sedangkan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, mengatakan, ultra petita dalam putusan Mahkamah Konstitusi dapat dibenarkan asal dalam permohonan judicial review atas isi UU itu pemohon mencantumkan permohonan ex aequo et bono (memutus demi keadilan). Dalam asas keadilan, pengadilan dilepaskan dari belenggu "formalitas semata" agar leluasa membuat putusan yang adil tanpa harus terikat pada ketentuan atau isi permohonan resmi.

64

Menurut Jimly, larangan ultra petita hanya ada dalam peradilan perdata. Mahkamah Konstitusi melakukan ultra petita dengan alasan bahwa dalil yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan keseluruhan undang- undang diluar permohonan pemohon, karena menyangkut kepentingan masyarakat luas, serta menimbulkan akibat hukum yang lebih luas dari pada sekadar mengenai kepentingan Pemohon sebagai perorangan. Hukum bukan sebagai

yang berbunyi :

“Mahkamah Konstitusi memutus konstitusionalitas tidaknya satu undang- undang atau suatu ketentuan dari undang-undang hanya yang dimohonkan pengujian. Dalam hal seluruh ketentuan dalam undang- undang yang dimohonkan pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat putusan inkonstitusionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan undang-undang tersebut”.

63

Adnan Buyung Nasution, "Quo Vadis" Hukum dan Peradilan di Indonesia, sebuah artikel dalam Kompas, 21 Desember 2006.

64

sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah “ilmu”. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita tersebut dapat dimaknai untuk mewujudkan keadilan konstitusi. Jika menilik kembali fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi, lembaga nomokratis pengimbang dan pengarah sistem demokrasi, lembaga penjaga hak konstitusional hak warga negara, dan lembaga penafsir tertinggi atas ketentuan konstitusi maka Mahkamah Konstitusi tidak hanya memutus berdasarkan petitum para pemohon. Tetapi juga harus melihat substansi gugatan tersebut. Sejarah mencatat bahwa kewenangan judicial review pun lahir dari sebuah putusan ultra petita yang diputuskan oleh hakim agung John Marshall di Supreme Court (Mahkamah Agung Amerika).65

Putusan MK telah mempengaruhi norma dan sistem hukum di Indonesia. Meski tidak secara tegas memiliki kewenangan legislasi, akan tetapi sesungguhnya Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan legislasi terbukti dengan berbagai munculnya norma hukum baru di Indonesia dari berbagai putusan dan penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusi. Hal ini justru berbeda dengan mekanisme hukum dalam hukum acara pidana. Jika hakim melebihi apa yang dimohonkan oleh penggugat/tergugat maka putusannya disebut dengan ultra petita dan putusannya (tentu saja) telah melawan hukum. Pada hakekatnya HIR/RBg (Hukum Acara Perdata) begitu pula BW (Hukum Perdata)

65

Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

keberlakukannya di Indonesia berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945. Tetapi tidak pernah muncul undang-undang yang mengatur keberlakuan kedua produk hukum kolonial seperti WvS (KUHP) yang keberlakuannya diatur melalui UU No 1 Tahun 1946. Karena itu kedua produk ini sebenarnya hanya berstatus rechtbook

(kitab hukum) dan bukannya wetbook (kitab undang-undang).

Hal ini berbeda dengan status yang disandang oleh WvS (KUHP) yang menyandang status wetbook Tentu saja meski berstatus rechtbook keberadaan keduanya tetap diperlukan karena bagaimanapun juga harus ada prosedur beracara di dalam pengadilan. Akan tetapi, akan menjadi permasalahan apabila Mahkamah Konstitusi berpegang kaku pada ketentuan HIR/RBg yang berstatus rechtbook

tersebut. Permasalahan konstitusi pada dasarnya bersifat unik dan khusus oleh karena itu tidak mungkin dapat diselesaikan hanya berpatokan pada HIR/RBg yang sudah out of date tersebut. Akan sangat riskan apabila prosedur acara penafsiran kontitusi diletakkan pada HIR/RBg. Dalam memutuskan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, Mahkamah Konstitusi tidak bisa hanya berpatokan pada ketentuan yang terdapat dalam HIR/RBg.

Dalam hal ini permohonan pengujian undang-undang terhadap undang- undang dasar Mahkamah Konstitusi harus berupaya menemukan beberapa hal yaitu66

1. Menemukan dan/atau menafsirkan suatu norma konstitusi :

2. Mengangkat norma tersebut menjadi operasional dalam suatu norma hukum

66

3. Menafsirkan apakah suatu norma hukum dalam undang-undang bersesuaian dengan norma hukum dalam konstitusi

4. Menyatakan apakah suatu produk undang-undang mempunyai kekuatan mengikat dan berlaku secara hukum.

Dalam melakukan tugasnya Mahkamah Konstitusi tentu saja harus melihat dan menafsirkan seluruh norma hukum yang terdapat dalam suatu undang-undang tidak hanya melihat norma hukum yang terdapat dalam suatu permohonan saja, karena apabila ini diikuti secara ketat akan terjadi suatu produk undang-undang yang berlaku seperti zombie dimana roh dari undang-undang tersebut sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat akan tetapi badan/wujudnya yang tampil melalui undang-undang masih berlaku.

Prof. Jimly Asshiddiqie67

67

http://wongbanyumas.com, Senin, 30 November 2009

, mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bukan perkara pengadilan biasa baik pidana ataupun perdata. Lebih jauh lagi dia mengatakan pada intinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya menguji pasal-pasal, melainkan mengingat pasal-pasal itu merupakan jantung suatu undang-undang dan jika tidak dibatalkan akan menciptakan malapetaka, maka demi hukum seluruh undang-undangnya haruslah dinyatakan tidak berlaku. Namun, sepanjang menyangkut putusan MK yang menguji undang-undang terhadap UUD harus bisa dikoreksi, dan masalah ini bisa dibantah dengan mengatakan, peradilan pidana dan peradilan Mahkamah Konstitusi itu berbeda. Sebahagian ahli hukum atas adanya ultra petita dalam putusan Mahkamah Konstitusi berargumen, putusan ultra petita merupakan pelanggaran atas ranah

legislatif oleh lembaga yudikatif karena mencampuri kewenangan mengatur (regeling) yang tidak dipersoalkan. Undang-undang Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak menyebutkan apakah putusan ultra petita itu dibolehkan atau tidak. Namun, memang saat inilah kontroversi tentang hal ini bisa mulai dikerucutkan dan dipertemukan dalam satu kesepakatan, sebab saat ini lembaga legislatif sedang menyiapkan RUU tentang Perubahan UU Mahkamah Konstitusi.

Ketua Badan Pengurus Harian Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Firmansyah Arifin68

68

, menanggapi upaya Komisi III melakukan revisi UU Mahkamah Konstitusi. Ia mengatakan sebaiknya ultra petita itu dibolehkan bagi hakim konstitusi dengan syarat demi pembaruan hukum yang progresif serta berdasar pada asas keadilan dan kemanfaatan. Menurutnya, ultra petita hanya dilarang pada perkara perdata yang sifatnya individu melawan individu, sedangkan pada ranah peradilan tata negara seperti Mahkamah Konstitusi, perkaranya adalah menyangkut kepentingan dan norma-norma umum. Sehingga sebaiknya hakim konstitusi tetap dibolehkan ultra petita.

BAB IV

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN ULTRA PETITA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

B. Sifat Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan. Dan putusan itu bersifat final dan mengikat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final . . .”

Sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final diartikan bahwa tidak ada upaya hukum lain lagi, oleh karena itu putusan tersebut telah memiliki kekuatan mengikat secara umum dimana semua pihak harus tunduk dan taat melaksanakan putusan tersebut, walaupun terdapat beberapa pihak yang merasa keadilannya terganggu. Dengan kata lain, sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi ini menyatakan telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Sejak putusan itu diucapkan dalam siding pleno, maka ketika itu lahirlah kekuatan mengikat (verbindende kracht).69

69

Malik, S.H.M.H., dalam Jurnal Konstitusi, 2009, Vol. 6, No. 1, hlm. 82.

Dalam penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 disebutkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum

yang dapat ditempuh. Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan undang-undang ini, yang menjelaskan secara utuh, bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat.70

Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat tidak dapat dilepaskan dalam dengan asas erga omnes yang mengikat secara umum dan

Selain itu, dalam Pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan: ”Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum” dan Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, menyebutkan “Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” sehingga selama belum diucapkan dalam sidang pleno, Undang-Undang masih memiliki kekuatan berlaku. Sifat hukum publik hukum acara pengujian Undang-Undang yang dilakukan Mahkamah Konstitusi berakibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan hukum acara perdata atau hukum acara lain. Perbedaan prinsip akibat pengujian undang-undang yaitu akibat hukum pengujian bersifat erga omnes, oleh karena dasar hukum acara pengujian Undang-Undang adalah menyangkut kepentingan umum.

70

juga mengikat terhadap objek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang- undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang- undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.71

71

S.F.Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,

Yogyakarta: Liberty, 1997, hlm. 211.

Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap semua komponen bangsa termasuk objek yang disengketa. Sesuai dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang menjalankan fungsi peradilan dan fungsi politik hukum, tentu putusannya memiliki kekuatan mengikat secara hukum dan politik, namun tidak bersifat memaksa (imperatif), melainkan bersifat

fakultatif atau pelengkap, yang artinya dimungkinkan terjadinya penyimpangan yang berupa pengecualian.

Terikatnya semua orang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana ketentuan hukum acara perdata mengandung arti positif dan negatif. Mengandung arti positif berarti semua orang harus menganggap putusan tersebut benar (res judicata pro veritate habetur). Dalam arti negatif dari pada kekuatan mengikat ialah hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya mengenai perkara yang sama. Ulangan dari tindakan itu tidak akan mempunyai kekuatan hukum; Nebis in idem (Pasal 134 Rv). Asas ini juga berlaku sebegaimana Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”.

Jika kita mengkaji ketentuan dasar dan undang-undang organik yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi, ternyata tidak ada satu pasal pun yang mengatur system pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tatkala tidak dilaksanakannya putusan tersebut. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan suatu peristiwa hukum dimana terjadi proses persidangan karena adanya sengketa yang dimohonkan untuk diputus. Tatkala putusan-putusan tersebut diucapkan dalam siding pleno yang terbuka untuk umum dan sejak saat itu tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh dan pada saat itu pula awal mula adanya akibat hukum.72 Menurut Malik, S.H.,M.H73 72 Malik, S.H.M.H., Op.Cit., hlm. 91. 73 Ibid., hlm. 92-93.

. (dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, Sunan Giri, Malang), akibat hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat memiliki makna positif dan negatif. Adapun akibat hukum positif menurut Malik adalah pertama, mendorong terjadinya proses politik. Dalam hal ini, dapat kita lihat dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang putusannya dapat mendorong terjadinya proses politik yang menyangkut amandemen atau merubah undang-undang atau membuat undang-undang yang baru, sebagai akibat hukum putusan yang menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Kedua, mengakhiri sebuah sengketa hukum. Dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Hal ini menjelaskan, bahwa dengan adanya ketentuan bahwa Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dan bersifat final, maka sebuah sengketa hukum dapat segera diakhiri dengan keluarnya putusan Mahkamah tersebut, dan tidak ada lagi upaya hukum lain terhadap putusan tersebut.

Adapun makna negatif dari akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat adalah :

1 Membatalkan sebuah keputusan politik dan/atau sebuah undang-undang hasil produk politik. Dalam ketentuan ini, putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan sebuah produk undang-undang yang dibahas oleh pembuat undang-undang yang melibatkan dua kekuasaan besar yaitu kekuasaan legislatif (DPR) dan kekuasaan eksekutif (pemerintah) melalui suatu proses yang cukup panjang dengan menghabiskan anggaran negara yang cukup besar. Hal ini dipandang sebagai sebuah makna yang negatif terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.

2 Terguncangnya rasa keadilan pihak-pihak yang tidak puas terhadap putusan- putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat. Hal ini tidak memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang merasakan putusan tersebut mengandung nilai-nilai ketidakadilan dan tidak puas terhadap putusan

tersebut untuk menempuh jalur hukum lain. Oleh karena itu, jika dilihat dari sisi psikologi hukum, pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan tersebut menjadi terguncang akibat hukum dari putusan tersebut. Yang perlu kita ketahui adalah keadilan merupakan salah satu tujuan hukum, dan tujuan hukum tidak hanya keadilan melainkan juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Dalam hal ini, hukum harus mengakomodasikan ketiganya. Dan putusan Mahkamah Konstitusi sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya. Nilai keadilan mempunyai aspek empiris, yaitu apa yang dinilai adil dalam konteks hukum, harus dapat diaktualisasikan secara konkrit menurut ukuran manfaatnya. Dengan adanya ukuran manfaat nilai keadilan ini, pada akhirnya keadilan dapat dipandang menurut konteks yang empiris juga. Disinilah nilai keadilan berfungsi menentukan secara nyata apa yang pantas diterima oleh seseorang sebagai konsekuensi lanjutan dari norma hukum yang mengaturnya.74

3 Lemahnya penegakan hukum, pabila sebuah putusan tidak dilaksanakan karena tidak mempunyai kekuatan memaksa (eksekutorial) sehingga putusan tersebut hanyalah putusan diatas kertas. Kelemahan dalam penegakan hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi justru dapat menurunkan keweibawaan hukum lembaga tersebut serta dapat membuat masyarakat menjadi kacau balau (chaos), dan persepsi masyarakat terhadap hukum Hal ini merupakan makna negatif dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut.

74

E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan : Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomy Nilai, Kompas, Jakarta, hlm. 96.

semakin buruk pula.75 Dan tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuatnya dan pada akhirnya timbul keresahan.76

D. Putusan Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006

Kekosongan hukum dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi memang menyulitkan bagi para hakim dalam menjalankan praktek beracara Mahkamah Konstitusi. Sumber hukum yang menjadi acuan selama ini adalah Peraturan Mahkah Konstitusi Nomor 06/2005 tentang pedoman beracara dalam perkara pengujian undang-undang. Dalam hal seluruh ketentuan dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat putusan inkonstitusionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan undang-undang tersebut”.

Berbeda dengan peradilan perdata, hukum acara di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengatur ultra petita. Objek perkara atau objectum litis di Mahkamah Konstitusi berbeda dengan peradilan perdata yang melindungi orang perorangan, sedangkan di Mahkamah Konstitusi lebih bersifat hukum publik, tidak hanya melindungi kepentingan pihak-pihak yang berperkara, akan tetapi tidak kalah penting di luar para pihak, yaitu seluruh rakyat Indonesia. Mahkamah Konstitusi adalah penjaga dan penafsir konstitusi, serta penjaga demokrasi dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara, sehingga karakter dan asas-asas yang

75

Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum : Pikiran-Pikiran Lepas, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm. 95.

76

berlaku berbeda dengan peradilan lain. Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian konstitusionalitas undang-undang beberapa kali memutus melebihi permohonan. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada pokoknya sebagai berikut: 1) Undang-undang yang diminta diuji merupakan “jantung” Undang- Undang sehingga seluruh pasal tidak dapat dilaksanakan; 2) praktik ultra petita oleh Mahkamah Konstitusi lazim di negara-negara lain; 3) perkembangan yurisprudensi pengadilan perdata ultra petita diijinkan; 4) pengujian Undang- Undang menyangkut kepentingan umum akibat hukumnya bersifat erga omnes, berbeda dengan hukum perdata (privat); 5) kebutuhan kemasyarakatan menuntut ultra petita tidak berlaku mutlak; 6) jika kepentingan umum menghendaki hakim tidak boleh terpaku pada permohonan (petitum); 7) permohonan keadilan (ex aequo et bono) dianggap secara hukum diajukan pula dan mengabulkan hal yang tidak dimintakan putusan melebihi putusan.

Jika menilik kembali fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi, lembaga nomokratis pengimbang dan pengarah sistem demokrasi, lembaga penjaga hak konstitusional hak warga negara, dan lembaga penafsir tertinggi atas ketentuan konstitusi maka Mahkamah Konstitusi tidak hanya memutus berdasarkan petitum para pemohon. Tetapi juga harus melihat substansi gugatan tersebut.

Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi sangat mengejutkan banyak pihak. Putusan ini terasa sebagai satu ironi bila disandingkan dengan niat para korban yang mencoba menyelamatkan satu-satunya kerangka

hukum formal yang memungkinkan akuntabilitas terhadap kejahatan masa lalu dapat direalisasi. Selama ini, kerangka hukum formal inilah yang menjadi satu- satunya tanda komitmen politik pemerintah untuk berhenti menghindar dari pertanggungjawaban atas kejahatan masa lalu dan komitmen untuk mencegah terjadinya tragedi yang sama di masa yang akan datang. Upaya perbaikan yang diusung kelompok korban dan beberapa organisasi masyarakat ini secara khusus merujuk pada tiga materi penting, yakni pasal-pasal mengenai amnesti, pemberian kompensasi yang digantungkan pada amnesti dan sifat substitutif mekanisme KKR atas pengadilan.

Namun nampaknya MK berpandangan lain. Meskipun hanya mengabulkan satu permohonan dari pemohonan, khususnya berkaitan dengan pengaturan mengenai pemberian kompensasi ( pasal 27), dalam keputusannya MK justru menyatakan UU No. 27 tahun 2006 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) haruslah dinyatakan secara keseluruhan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Hal ini karena pembatalan pasal tersebut akan berimplikasi pada keseluruhan undang-undang sehingga UU KKR tidak akan bisa

Dokumen terkait