• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skema 5 : Langkah Penyelesaian Sengketa Melalui ICSID

N. Alasan Perlunya Keterbukaan Putusan Arbitrase ICSID

2. Keterbukaan putusan menciptakan perlindungan hukum bagi para pihak dan pelaksanaan putusan, meminimalisir resiko mendatang sehingga

meningkatkan kepercayaan kepada arbitrase.

Arbitrase internasional ditujukan untuk menghilangkan kekhawatiran tidak adanya kepastian hukum, keadilan dan diskriminasi. Adanya asas otonomi para pihak juga menimbulkan ketakutan apakah jika arbitrase yang dipilih adalah arbitrase domestik maka akan terdapat unsur kebangsaan yang tentunya akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Arbitrase investasi adalah semata-mata bertujuan untuk melindungi hak investor. Beberapa sarjana dalam hubungan itu menyebutnya

quasi judicial,376 Thomas Walde dan Tood Weiler377 menyatakan bahwa arbitrase investasi ditujukan sebagai “international quasi-judicial review of national

regulatory action.” Genevieve Burdeau378 juga mengatakan bahwa “a medium design to control the respect of the law by (host) states in the economic domain (Perancis :

l‟arbitrage d‟investissement est une sorte d‟instrument de controle du respect par les Etats de la legalite‟ dans le domaine „economique)” (aturan arbitase investasi mengatur bagaimana pengaruh hukum negara dalam ekonomi). Arbitrase ICSID memiliki beberapa manfaat bagi investor sebagaimana dikatakan Reinisch379 yaitu :

376

Verdross, Quasi International Agreements and International Economic Transaction, The Yearbook of World Affairs, 1964, hlm. 230.

377

Dalam Gustavo Laborde, “The Case ForHost State Claims In Investment Arbitration,Oxford Journals Law & Social Sciences, Jnl of Int. Dispute Settlement, Volume 1, Issue 1, Pp. 97-122, diakses dari http://jids.oxfordjournals.org/content/1/1/97.full., sebagaimana dikutip dari Hege Elisabeth Veenstra-Kjos, Counter-Claims by Host States in Investment Dispute Arbitration Without

Privity” dalam P. Kahn and T. Walde (eds), Les Aspects Nouveaux du Droit Des Investissements Internationaux, (Leiden/Boston : Martinus Nijhoff Publishers, 2007), hlm. 597-600.

378

Gustavo Laborde, ibid.

379 Reinisch and Malintoppi, Methods of Dispute Resolution, The Oxford Handbook of

1. It provides investors with direct access to a form of settlement of a dispute they may have with a host state (memberikan investor akses langsung kepada bentuk penyelesaian sengketa di mana mungkin berhadapan dengan host state).

2. It extends the possibility of dispute settlement beyond the realm of national courts in the host state (memperluas kemungkinan penyelesaian sengketa di luar ranah pengadilan nasional dalam host state).

3. Investor do not depend upon the willingness of their home state to exercise diplomatic protection on their behalf (Investor tidak tergantung pada kemauan negara asalnya untuk melakukan perlindungan diplomatik atas namanya).

4. The enforcement provisions of the ICSID Convention make it highly probable that final ICSID awards will be effectively enforceable (Ketentuan-ketentuan penegakan Konvensi ICSID membuatnya sangat mungkin bahwa putusan akhir ICSID akan diberlakukan secara efektif).

Manfaat-manfaat tersebut tentunya membuat ICSID berbeda dengan institusi arbitrase internasional lainnya sehingga menjadi pilihan investor dalam menyelesaikan sengketanya terhadap host state, karena sistem penyelesaian sengketanya dilakukan secara langsung dengan host State yang mengakibatkan hilangnya kewenangan pengadilan nasional untuk mengadili, tanpa membutuhkan perlindungan diplomatik dari negara asal investor (home state) dan memungkinkan pelaksaanaan putusan ICSID yang efektif tanpa memenuhi persyaratan sebagaimana pelaksanaan putusan menurut Konvensi New York.

Pemilihan penyelesaian sengketa ICSID sebelumnya telah disepakati dalam BIT antara investor dan negara tujuan investasi yang mengatur hak substantif investor untuk melindungi investasi. Enam standar perlindungan yang utama adalah : 380

380Vivekanda N, Jagdish John Menezes, “Singapore As A Seat For Investor-State Dispute,” Singapore International Arbitration Centre, diakses dari www.siac.org.sg.

1. National treatment, which requires that domestic and foreign investors in similar circumstances be treated alike (pemulihan nasional, yang mengharuskan investor dalam dan luar negeri dalam kondisi yang sama akan diperlakukan sama).

2. Most-favoured nation treatment, which requires that foreign investors of different states, in similar circumstances, be treated alike (pemulihan MFN, yang mengharuskan investor asing dari negara yang berbeda, dalam kondisi yang sama, diperlakukan sama).

3. Fair and equitable treatment, which is a broad protection against arbitrary measures (adil dan perlakuan yang adil, yang merupakan perlindungan yang luas terhadap tindakan sewenang-wenang).

4. Full protection and security to the investments (perlindungan penuh dan keamanan untuk investasi).

5. Umbrella clauses, which offer treaty protection against breach of any legal obligation (even a contractual one) by the State towards the investor and (klausula Umbrella, yang menawarkan perlindungan terhadap pelanggaran kewajiban perjanjian hukum (bahkan suatu kontrak) oleh negara terhadap investor dan).

6. Protection from expropriation or nationalization without compensation

(perlindungan dari pengambilalihan atau nasionalisasi tanpa kompensasi). Sekitar 3200 BIT telah ada dalam perjanjian internasional, beberapa anjuran dan undang-undang domestik yang dibuat berkaitan dengan investasi bertujuan untuk merangsang pembangunan ekonomi dengan cara menarik dan melindungi invetasi asing ke dalam wilayah kedaulatan negara masing-masing host state, hal mana secara substantif telah memberi perlindungan bagi investor dan penempatan mekanisme penegakan putusan secara nasional atau internasional. Kemajuan tekhnologi informasi telah membuat sebagian besar dari perjanjian ini dapat di akses oleh siapa saja melalui koneksi internet.381 Negara tertentu bahkan telah mempraktekkan keterbukaan dan menjamin tersedianya undang-undang yang mempromosikan

381 Diakses dari http://www.unctadxi.org/templates/DocSearch_779.aspx dan

investasi, misalnya di Venezuela melalui Article 22 Law No. 356 tanggal 3 Oktober 1999 tentang promosi dan perlindungan investasi asing yang telah menerima keterbukaan secara luas dalam konteks beberapa arbitrase antara investor dan host state, sebagaimana telah diterapkan dalam sengketa Mobil v. Bolivarian Republic of Venezulea (ICSID Case No. ARB/07/27) putusan tanggal 10 Juni 2010 tentang putusan yurisdiksi.

Penyelesaian sengketa melalui ICSID akan menghilangkan kewarganegaraan investor dari intervensi tertentu dalam proses arbitrase,382 sehingga tidak akan ada tuntutan dari home state terhadap host state. Tidak adanya campur tangan politik dari

home state yang akan menguntungkan investor dan host state sebagaimana dijelaskan oleh Schreuer, bahwa : 383

The arbitration procedure provided by ICSID offers considerable advantages to both side. The foreign investor no longer depends on the uncertainties of diplomatic protection but obtain direct access to an international remedy. The dispute settlement process is depoliticized and subjected to objective legal

criteria… In turn, the host state by consenting to ICSID arbitration obtains the

assurance that it will not be exposed to an international claim by the investor‟s home state …

(Terjemahan : Prosedur arbitrase yang disediakan oleh ICSID menawarkan keuntungan yang cukup besar untuk kedua belah pihak. Investor asing tidak lagi tergantung pada ketidakpastian perlindungan diplomatik tetapi mendapatkan akses langsung pada pemulihan internasional. Proses penyelesaian sengketa yang terdepolitisasi dan sasaran kriteria obyek hukum... Pada gilirannya, dengan menyetujui arbitrase ICSID host state memperoleh jaminan bahwa hal itu tidak akan terkena klaim internasional oleh negara asal investor).

382Lihat Pasal 27 ayat (1) Konvensi ICSID bahwa “No Contracting State shall give diplomatic protection or bring an international claim in respect of a dispute wich one of its nationals and another contracting state shall have consented to submit or shall have submitted to arbitration under this

Convention, …”

383 Christoph H. Schreuer, The ICSID Convention, A Commentary, (United Kingdom :

Meski demikian, jika putusan telah diberikan dalam menyelesaikan sengketa maka home state dapat menggunakan perlindungan diplomatiknya jika terjadi pelanggaran dari host state berupa tidak melaksanakan putusan yang telah dijatuhkan, kecuali putusan telah sesuai dengan penyelesaian sengketa.384 Namun, berdasarkan asas otonomi para pihak dihubungkan dengan arbitrase yang merupakan pilihan penyelesaian sengketa, maka terdapat juga investor yang memilih penyelesaian sengketa di luar ICSID, misalnya dalam Bilateral Investment Treaties (BITs) antara Amerika Serikat dengan Argentina, padahal keduanya adalah anggota ICSID, hal tersebut terlihat dalam sengketa National Grid P.L.C. v. The Argentina Republic yang memilih aturan UNCITRAL. Demikian juga sengketa AWG Group Ltd. v. The Argentina Republic di mana dalam BITs antara Inggris dengan Argentina yang keduanya adalah anggota ICSID tidak setuju untuk menyelesaikan sengketanya tersebut melalui ICSID tetapi melalui UNCITRAL.

Agar arbitrase dapat berjalan dengan efektif dan lancar maka diperlukan arbiter yang baik dan berpandangan luas. Arbitrase modern juga dapat tercapai atas dukungan majelis arbitrase yang membantu para pihak mencapai penyelesaian sengketa secara damai, karena saat ini arbitrase internasional masih di pandang sebagai metode standar untuk penyelesaian sengketa kontrak komersial dan investasi lintas batas yang mahal dan menghabiskan waktu yang lama.385

384

Lihat Pasal 27 ayat (1) Konvensi ICSID, bahwa “ … unless such other contracting state shall have failed to abide by and comply with the award rendered in such dispute.”

385Dani Mc. Fadden, ”Settlement in International Arbitration (and what this might for ADR),” Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia, vol. II/Jan-Mar 2008, www.bani-arb.org.

Klausula arbitrase sangat membantu dalam perlindungan investasi, karena merupakan salah satu cara efektif dalam penyelesaian sengketa investasi. Terkadang, tidak ada dasar penolakan persetujuan arbitrase dan para pihak belum memasukkan klausula arbitrase dalam perjanjian serta di dalam kontraknya telah dinyatakan untuk menunda persetujuan arbitrase hingga sengketa tertentu terjadi. Hal tersebut akan membahayakan investor, sebagaimana di katakan oleh Cattan,386 bahwa ”this failure to include an arbitration clause in reliance on the voluntary subsequent submission to

arbitration once a dispute has arisen is very dangerous for the investor” (tidak adanya disertakan klausula arbitrase dalam kaitannya pada pengajuan secara sukarela untuk arbitrase setelah sengketa timbul akan sangat berbahaya bagi investor).

Dalam melakukan investasi, suatu perusahaan akan mengalami banyak kendala terutama jika investasi dilakukan di luar wilayah negaranya, investor harus mewaspadai perubahan peraturan, penurunan keuntungan karena dipengaruhi oleh stabilitas politik host state dan terkadang negara ataupun investor mengabaikan janji yang diberikan. Saat itulah maka kemungkinan timbulnya sengketa menjadi sangat tinggi, beberapa perjanjian investasi mungkin sudah melindungi perjanjiannya dengan asuransi resiko387 atau lainnya namun hal tersebut tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan dan diperlukan arbitrase internasional yaitu ICSID untuk menyelesaikannya.

386 H. Cattan, The Law of Oil Concessions in the Middle East and North Africa, (New York :

Oceana, Dobbs Ferry, 1967), hlm. 157.

387

Dalam sengketa Methanex Corp. v. United States (NAFTA Chapter 11 Arbitration Tribunal tanggal 9 Maret 2004), paragraph 3, menyatakan bahwa “political-risk insurance only shield the investor from some risk. Note that investor-state arbitration is not intended as an insurance vehicle for all negative impacts of state actions or business events on a foreign investor.

Penyelesaian sengketa investasi melalui Arbitrase ICSID adalah semacam pemulihan keadaan, karena ketika masalah dibawa ke pengadilan maka akan menyebabkan resiko yang lebih tinggi dan bisa saja tidak mungkin untuk menyelesaikan sengketa dengan asuransi sehingga arbitrase ICSID menjadi jawaban penyelesaian sengketa antara investor dan negara. Meskipun klausula arbitrase terkadang sulit diterapkan, namun akan lebih baik jika penundukan dilakukan secara sukarela kepada arbitrase, sehingga sebelum klausula arbitrase disajikan maka terdapat jaminan bahwa sengketa dapat dibawa kepada arbitrase meskipun salah satu pihak yang terikat kontrak tidak lagi bersedia untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase karena persetujuan arbitrase yang telah diberikan tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak.388

Melalui penanaman modal tentunya diperlukan suatu perlindungan terhadap investor. Keberadaan perlindungan investor ini harus dijamin sehingga investor mau melakukan investasi di suatu negara. Bentuk perlindungan terhadap investor adalah adanya kepastian hukum yang berlaku dan keterbukaan informasi yang dibutuhkan oleh investor. Perlindungan diperlukan terhadap perubahan peraturan yang ada di negara tempat investor melakukan investasi. Jika para pihak memilih suatu hukum nasional, seringkali pihak peserta kontrak, melindungi dirinya melawan kemungkinan negara secara sepihak mengubah peraturannya, dengan cara memasukkan suatu klausula yang disebut klausula stabilisator/penetral (stabilization clauses). Dalam

388Dalam Pasal 25 (1) Konvensi ICSID dinyatakan bahwa “… when the parties have given their consent, no party may withdraw its consent unilaterally.”

membuat perjanjian investasi antara investor dan host state maka dalam perjanjian dicantumkan klausula stabilisator sebagai upaya perlindungan bagi investor terhadap perubahan undang-undang yang dilakukan oleh host state. Klausula stabilisator dapat berupa : 389

a. Ketentuan-ketentuan legislatif dalam hukum host state yang memberikan perlakuan khusus atau pengecualian untuk beberapa jenis investasi. Undang- undang tersebut dapat diubah sesuai keinginan oleh host state.

b. Klausula kontrak yang secara tegas menjamin bahwa ketentuan-ketentuan kontrak akan diakui, tetapi hanya atas hukum yang telah berlaku sebelum penandatanganan kontrak.

Klausula stabilisasi efektif dalam melindungi kontrak dan investor dari penerapan undang-undang atau tindakan administratif host state yang terjadi setelah penandatanganan kontrak.

Beberapa penulis membedakan klausula stabilizator dari klausula

d‟intangible.” Jika klausula stabilisator bertujuan melindungi investor terhadap perubahan undang-undang dalam host state, maka klausula ”d‟intangible” adalah untuk mencegah perubahan kontrak secara sepihak oleh negara dengan menggunakan hak istimewa publik atau hukum administratif.390 Sebagai suatu klausula berarti bahwa, ketika majelis arbitrase jajak pendapat suatu sengketa, hukum negara yang di pilih secara sepihak telah diubah dan perubahan mengubah atau menghentikan hak

389

H. Cattan, op.cit., hlm. 47.

390E. Paasivirta, “Internationalization and Stabilization of Contracts Versus State Sovereignty, 60 British Yearbook of International Law, 1989, hlm. 315.

kontraktual dari investor asing, majelis arbitrase harus membuat keputusan berdasarkan ketentuan kontrak yang asli tanpa mempertimbangkan perkembangan itu. Lebih jelas dalam putusan Agip v. Congo391 yang dalam putusannya menyatakan bahwa dengan adanya klausula stabilisasi dalam perjanjian dengan Republik Congo Brazzaville maka ICSID dalam putusannya menyatakan bahwa nasionalisasi yang dilakukan oleh Congo adalah tidak sah karena melanggar klausula stabilisasi dan prinsip hukum internasional. Dengan demikian, bila tidak ada persetujuan di antara para pihak maka majelis akan menerapkan hukum dari negara anggota konvensi (contracting state) termasuk aturannya dalam konflik hukum dan hukum internasional yang mungkin bisa diterapkan sesuai Pasal 42 ayat (1) Konvensi ICSID tersebut.

Majelis Arbitrase ICSID juga dapat memutuskan secara “ex aequo et bono”

(putusan yang adil menurut hakim) jika para pihak telah menyetujui. Persetujuan mana diberikan dalam dua cara. Pertama, host state haruslah merupakan anggota konvensi ICSID (contracting state). Ratifikasi konvensi itu sendiri secara otomatis sebagai persetujuan dari ”contracting state” untuk tunduk pada penyelelesaian sengketa ICSID. Kedua, persetujuan harus secara tertulis dalam perjanjian investasi atau dalam suatu hukum investasi nasional atau suatu traktat perlindungan investasi yang diterapkan pada hubungan kontraktual dengan investor swasta. Kesepakatan harus diberikan kepada investor dan tidak dapat dibatalkan serta tidak berlaku surut.

391

Lihat putusan Agip v. Congo, (ICSID Case No. ARB/77/1), yang terdaftar tanggal 04 November 1977 dan putus tanggal 30 November 1979, dalam 67 International Law Reports (I.L.R) 318, 1984 dan http://icsid.worldbank.org/ICSID/&gt, diakses tanggal 21 September 2013.

Persetujuan harus benar, tidak melanggar ketentuan hukum atau konstitusi arbitrase yang dilarang dan persetujuan harus telah diberikan oleh seseorang atau suatu wakil yang sah untuk mewakili negara. Mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 25 ayat (3) Konvensi ICSID sebagai berikut “consent by a constituent subdivision or agency of a contracting state shall require the approval of that state unless that state notifies the Centre that no such approval is required.” Oleh karena itu, seorang investor harus memeriksa terlebih dahulu bahwa negara yang dituju memiliki kewenangan.392 Investor juga harus meneliti tingkat sengketa kontrak terkait di mana ”contracting state” tidak menerima untuk tunduk pada arbitrase ICSID. Sebagai pengecualian dari yurisdiksi telah diatur dalam Pasal 25 ayat (4) Konvensi ICSID, namun, seperti yang telah disebutkan di atas, hal itu tidak mempengaruhi validitas klausula arbitrase.

Terdapat sejumlah kritik terhadap klausula stabilisasi. Bagi Asante393 yang merupakan advokad yang menganjurkan fleksibilitas dan re-negosiasi kontrak dalam kaitan tersebut bahwa :

The dynamic economic changes at the global and national level... the doctrines of pacta sunt servanda and sanetity of contract reinforced by such devices as stability clauses fly in the face of global developments as well as the highly fluid situation in developing countries.

(Terjemahan : Perubahan ekonomi yang dinamis di tingkat global dan nasional ... doktrin-doktrin pacta sunt servanda dan keamanan kontrak diperkuat oleh perangkat seperti klausul stabilitas yang menghadapi perkembangan global serta situasi yang sangat cair di negara berkembang).

392

Wolfgang Peter, op.cit., hlm. 309-310.

393S. Asante, “Stability of Contractual Relations in the Transnaional Investment Process,(28 International and Comparative Law Quarterly, 1979, hlm. 409.

Kemudian, serupa dengan hal tersebut Geiger394 percaya bahwa ”the duration of these advantages seems so excessive that it is difficult to believe that successive governments would not to modify such agreements depriving them of an important

part of their fiscal power” (keunggulan ini tampak begitu berlebihan sehingga sulit untuk dipercaya bahwa pemerintah berturut-turut tidak akan mengubah perjanjian yang merampas bagian penting dari kekuatan fiskalnya). Namun, terdapat masalah yang melekat pada klausula stabilisasi yang telah dianalisis secara kritis oleh Faber dan Brown395 bahwa :

Once agreement has been reached on royalties, taxes, customs duties and related matters, much skill goes into drafting clauses to ensure that, in terms of the contract, no scrap of residual power is left to the government to increase its share of any available surplus by new fiscal measures not contemplated by the agreement... it has to be recognized that such contracts cannot be negotiated with any of the industrialized countries of the West. A mining or oil company would get short shrift if it sought from the British Government contractual guarantees binding Parliament for the future in terms of a specific fiscal package.

(Terjemahan : setelah kesepakatan telah tercapai pada royalti, pajak, bea cukai, dan hal-hal terkait, banyak cara masuk kepada klausula drafting untuk memastikan bahwa dalam hal kontrak tidak ada memo dari kekuatan yang ada kepada pemerintah untuk meningkatkan pangsa pasar yang tersedia oleh kebijakan fiskal baru yang tidak diatur oleh perjanjian ... itu harus diakui bahwa kontrak tersebut tidak dapat dinegosiasikan dengan salah satu negara industri Barat. Sebuah perusahaan pertambangan atau minyak akan mendapatkan sedikit perhatian jika dicari dari jaminan kontrak Pemerintah Inggris yang mengikat DPR untuk masa depan dalam hal paket fiskal tertentu).

394 R. Geiger, “The Unilateral Change of Economic Developtment Agreements,” 23, International and Comparative Law Quarterly, 1974, hlm. 77

395

Wolfgang Peter, Arbitration and Renegotiation of International Investment Agreements, Second Revised and Enlarged Edition, (The Hague/Boston/London : Kluwer Law International, 1995), hlm. 112-113.

Faber dan Brown396 juga mengemukakan bahwa ketentuan stabilisasi tidak atas kedaulatan negara yang permanen, ”the acceptance of the principle creates a constitutional limitation on the state in international law to deal with its natural resources” (penerimaan prinsip menciptakan batasan konstitusional pada negara dalam hukum internasional untuk menangani sumber daya alamnya). Dengan demikian salah satu sarana perlindungan investor adalah kontrak itu sendiri yang di dalamnya mengandung klausula stabilisasi. Sarana lain juga dapat berupa aturan undang-undang yang dibuat oleh host state dan hukum internasional.397 Hal mana dapat dipastikan bahwa perlindungan bagi investor oleh peraturan host state adalah sangat terbatas karena hukum investasi bersifat sebagai aturan unilateral yang masih dapat dilakukan perubahan terhadapmya sebagaimana yang diinginkan, terutama dalam masa perubahan politik atau ketidakstabilan kondisi suatu negara.

Memang secara tegas hukum internasional tidak mengatur mengenai perlindungan terhadap hak kontraktual, berbagai upaya telah dilakukan untuk tujuan tersebut antara lain dengan adanya kodifikasi internasional dalam hukum perjanjian multilateral atas investasi. Perjanjian pertama yang dibuat adalah Havana Carter398

396M. Sornarajah, “The Myth of International Contract Law,” 15,

Journal of World Trade Law, 1981, hlm. 210.

397 Wolfgang Peter menyebutkan bahwa “… source for investment protection in the first place is investment contract itself, contracted between a foreign investor and a host country, another direct source of investment protection is expressed in a host state‟s constitutional or statutory enactments

regarding foreign private intvestment and international law.” Dalam Wolfgang Peter, op.cit., hlm. 328.

398

Pasal 12 Havana Carter menyatakan bahwa :

1. The Members recognize that:

(a) international investment, both public and private, can be of great value in promoting economic development and reconstruction, and consequent social progress;

tahun 1948 lalu diikuti oleh proposal ICC tahun 1949 untuk International Code of Fair Treatment for Foreign Investment, lalu di susul oleh proposal dari International Association for the Promotion and Protection of Private Foreign Investment pada tahun 1958, lalu proposal dari International convention for the Mutual Protection of Private Property Rights in Foreign Countries pada tahun 1959 dan draft OECD berupa Draft Convention on the Protection of Foreign Property ditahun 1967.399

Meskipun telah banyak bentuk proyek perlindungan sebagaimana diuraikan di atas, namun tidak memberikan hasil yang maksimal dan cenderung memiliki lingkup