• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Intensitas Pemeriksaan Pajak Dengan Etika Penggelapan Pajak

Intensitas pemeriksaan pajak merupakan suatu hal yang sering dianggap sebagai momok bagi setiap Wajib Pajak, terutama WP Badan. Dimana pemeriksaan pajak menurut Ditjen Pajak adalah “serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kebutuhan perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.

Adanya korelasi antara intensitas pemeriksaan pajak dengan penggelapan pajak adalah bahwa ketika pemeriksaan pajak dilakukan secara intensif ataupun dalam suatu periode yang teratur, maka penggelapan pajak akan semakin kecil. Penggelapan pajak banyak dilakukan oleh Wajib Pajak karena kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen pajak, maka dari itu perlu adanya intensitas pemeriksaan pajak yang lebih intensif. Pemeriksaan pajak dapat dilakukan sebagai alat evaluasi penerapan berbagai Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan yang seharusnya dapat diaplikasikan dengan baik. Untuk menghindari terjadinya penggelapan pajak, maka para Wajib Pajak harus lebih di kontrol untuk mengukur tingkat kepatuhannya. Maka semakin tinggi tingkat intensitas pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh Ditjen pajak,

maka akan semakin rendah tingkat penggelapan pajak yang dilakukan. Hipotesis pertama adalah sebagai berikut :

Ha1 : Intensitas pemeriksaan pajak berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak.

2. Keadilan Dengan Etika Penggelapan Pajak

Teori keadilan dalam penelitian ini berperan sebagai teori yang melihat apakah sistem perpajakan yang ada di dalam suatu negara sudah berjalan sesuai dengan hukum dan standar yang sudah memenuhi kriteria adil atau belum. Dalam konteks perpajakan, keadilan mengacu pada pertukaran antara pembayar pajak dengan pemerintah, yaitu apa yang Wajib Pajak terima dari pemerintah atas sejumlah pajak yang telah di bayar (Spicer & Lundstedt, 1976).

Ada dua premis dasar mengenai teori keadilan, yaitu salah satunya adalah bahwa penilaian keadilan diasumsikan berdasarkan proksi atas kepercayaan antar pribadi untuk berprilaku dengan cara yang kooperatif dalam lembaga-lembaga sosial. Kedua adalah banyak orang diasumsikan menggunakan jalan pintas kognitif untuk memastikan apakah mereka memiliki penilaian mengenai keadilan yang tersedia ketika mereka perlu untuk membuat keputusan tentang keterlibatan dalam perilaku yang kooperatif (Greenberg, 2003). Melalui hal tersebut dapat dilihat, bahwa persepsi adil bagi seseorang akan sangat mempengaruhi perilaku mereka ketika ingin terlibat dalam suatu kegiatan yang berhubungan dengan

pemerintah dan juga secara tidak langsung mempengaruhi perilaku dari setiap orang yang terlibat secara bersamaan.

Sama halnya dengan bidang perpajakan, maka dapat diketahui bahwa korelasi antara keadilan dengan etika penggelapan pajak adalah sangat erat. Hal ini dapat dianalogikan dengan keadilan yang akan diberikan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Ditjen Pajak ataupun fiskus dalam bentuk pelayanan, tarif, kesamaan penerapan sistem perpajakan dan lain sebagainya. Maka dari itu, harus terdapat keadilan baik dalam hal perlakukan yang sama terhadap setiap Wajib Pajak dan juga bentuk realisasi dari kontribusi Wajib Pajak yang telah melakukan pembayaran pajak secara teratur.

Hasil penelitian Suryani (2013 : 110) menyatakan bahwa, “variabel Keadilan mempunyai tingkat signifikasi sebesar 0,001 dan nilai t sebesar 3,310. Hal ini berarti Ha1 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa keadilan berpengaruh positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki variabel keadilan < 0,05 (0,001 < 0,05) dan nilai thitung> 1,97 (3,310 > 1,97)”. Perlakuan yang tidak adil dapat menyebabkan Wajib Pajak melakukan penggelapan pajak, malas membayar pajak, dan tidak perduli dengan peraturan perpajakan. Mereka akan merasa rugi telah membayar pajak apabila tidak memperoleh umpan balik yang baik. Dengan demikian, perlakuan yang adil akan berpartisipasi untuk meminimalisir penggelapan pajak. Hipotesis kedua adalah :

3. Kepatuhan Wajib Pajak Dengan Etika Penggelapan Pajak

Definisi kepatuhan perpajakan menurut James yang dikutip oleh Gunadi (dalam Anggraeni 2013 : 5) menyatakan bahwa:

Kepatuhan pajak (Tax Compliance) Berarti bahwa Wajib Pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan. Investigasi sesama (obtrusive investigasi), peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi. Menurut Nurmantu (dalam Anggraeni 2013 : 86), terdapat dua macam kepatuhan yaitu kepatuhan materil dan kepatuhan formal. Kepatuhan materil adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan materil perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Sedangkan yang dimaksudkan kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. Kewajiban perpajakan formal diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Korelasi antara kepatuhan Wajib Pajak dengan etika penggelapan pajak adalah setiap Wajib Pajak yang memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi tidak akan melakukan penggelapan pajak. Kepatuhan Wajib Pajak yang baik akan dapat dilihat dari keteraturannya untuk menyetorkan pajak. Kepatuhan Wajib Pajak di dasarkan pada adanya kesadaran secara mutlak untuk turut serta dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Dengan

demikian kepatuhan Wajib Pajak sangat erat hubungannya dengan etika penggelapan pajak. Hipotesis ketiga adalah :

Ha3 : Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak.

4. Pengetahuan Wajib Pajak Dengan Etika Penggelapan Pajak

Dalam penelitian Rahayu (2006) pengetahuan pajak dan keadilan mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak secara signifikan yang dilakukan pada 107 Wajib Pajak pribadi dan badan pada KPP Surakarta. Penelitian yang diungkapkan oleh Cristensen et al. (1994) bahwa Wajib Pajak yang memiliki pengetahuan yang baik, akan memiliki persepsi keadilan yang positif terhadap sistem perpajakan yang berakibat tingkat kepatuhan pajak lebih tinggi.

Setiap Wajib Pajak diharapkan mampu memperoleh pengetahuan mengenai perpajakan secara baik. Menurut Hidayat (2013 : 358), untuk meningkatkan pengetahuan Wajib Pajak maka harus dilakukan sosialisasi secara luas, yang diharapkan dapat dijangkau oleh seluruh WP, sehingga WP tahu hak dan kewajibannya. Dimana, analoginya sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak mebutuhkan Wajib Pajak untuk taat pajak, bukan Wajib Pajak yang butuh membayar pajak. Dengan demikian, melalui sosialisasi perpajakan maka Wajib Pajak akan memiliki pengetahuan yang lebih baik, mereka juga akan memiliki kesadaran yang lebih tinggi untuk membayar pajak.

Korelasi antara pengetahuan Wajib Pajak dengan etika penggelapan pajak adalah setiap Wajib Pajak yang memiliki pengetahuan pajak yang sempurna dia akan menyadari posisinya sebagai seorang Wajib Pajak. Maka, Wajib Pajak tersebut akan melakukan pembayaran pajak dengan baik, dia tidak akan merasa dirugikan dengan melakukan pembayaran pajak tersebut. Pengetahuan Wajib Pajak yang baik, akan meminimalisir terjadinya penggelapan pajak. Hal ini dikarenakan setiap Wajib Pajak akan melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya, setiap Wajib Pajak yang merupakan para akademisi, ataupun praktisi akan lebih mampu memahami kewajibannya tanpa harus memungkiri dengan cara melakukan penggelapan pajak. Hipotesis keempat adalah :

Ha4 : Pengetahuan Wajib Pajak berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak.

5. Sistem Perpajakan Dengan Etika Penggelapan Pajak

Sistem perpajakan di Indonesia menerapkan Self Assesment System yaitu suatu sistem pemungutan yang Wajib Pajaknya boleh menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetor. Dalam sistem ini, Wajib Pajak bersifat aktif, sedangkan fiskus (pemerintah) hanya mengawasi. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui kapan mulainya suatu kewajiban pajak dan kapan berakhirnya kewajiban-kewajiban yang menyertainya.

Dalam penelitian Suryani (2013 : 96) menunjukkan sistem perpajakan mempunyai tingkat pengaruh signifikasi sebesar 0,036 dan

nilai t sebesar - 2,115. Hal ini berarti Ha2 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa sistem perpajakan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki variabel sistem perpajakan < 0,05 (0,036 < 0,05) dan nilai t hitung> 1,97 (-2,115 > 1,97). Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh McGee (2008), Nickerson, et al (2009), Suminarsasi (2011) menyatakan bahwa sistem perpajakan memiliki korelasi negatif signifikan terhadap penggelapan pajak.

Pengaplikasian sistem perpajakan menjadi sesuatu yang sangat penting. Hal ini berarti para Wajib Pajak menganggap bahwa semakin bagus sistem perpajakannya maka perilaku penggelapan pajak dianggap sebagai perilaku yang tidak etis. Akan tetapi apabila sistem perpajakannya semakin tidak bagus, maka perilaku penggelapan pajak dianggap sebagai perilaku yang cenderung etis. Sangat jelasa bahwa sistem perpajakan yang diterapkan sebuah negara merupakan motivasi bagi masyarakat untuk membayar pajak.

Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Nickerson, et al (2009) yang menemukan dimensi skala etis dalam penggelapan pajak, salah satunya adalah dimensi sistem perpajakan. Peneliti berargumen bahwa pengelolaan uang pajak yang dapat dipertanggungjawabkan, petugas pajak yang kompeten dan tidak korup, dan juga prosedur perpajakan yang tidak berbelit-belit akan membuat Wajib Pajak enggan untuk menggelapkan pajak. Akan tetapi, apabila

pengelolaan uang pajak tidak jelas, ditambah lagi petugas pajaknya justru mengkorupsi uang pajak, maka para Wajib Pajak enggan untuk melaporkan kewajibannya dengan jujur, mereka akan cenderung untuk menggelapkan pajak. Hipotesis kelima adalah :

Ha5 : Sistem Perpajakan berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak.

6. Diskriminasi Dengan Etika Penggelapan Pajak

Diskriminasi adalah merujuk pada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, dimana pelayanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili individu tersebut. Sama halnya dengan diskriminasi di bidang perpajakan yaitu suatu keadaan dimana menurut Danandjaja (2003) diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesuku bangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.

Hasil penelitian Suryani (2013 : 114), variabel diskriminasi mempunyai tingkat signifikasi sebesar 0,000 dan nilai t sebesar 7,350. Hal ini berarti Ha3 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa diskriminasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki variabel diskriminasi < 0,05 (0,000 < 0,05) dan nilai thitung> 1,97 (7,350 > 1,97).

Di dalam bidang perpajakan, diskriminasi merupakan suatu kondisi dimana pihak Ditjen Pajak membeda-bedakan perlakuan terhadap setiap

Wajib Pajak. Diskriminasi ini akan meningkatkan penggelapan pajak yang akan dilakukan oleh Wajib Pajak, dimana kondisi ini disebabkan oleh pihak Ditjen Pajak sendiri yang tidak mampu berlaku adil. Diskriminasi ini, tercipta karena suatu keadaan-keadaan tertentu, misalnya adanya hubungan istimewa diantara pihak Ditjen pajak dengan Wajib Pajak. Hal ini menyebabkan mereka akan melakukan kecurangan misalnya saja melakukan transfer pricing, kerja sama untuk memperkecil pajak, kemudian akan memberikan imbalan kepada pihak Ditjen Pajak. Hal ini akan meningkatkan terjadinya penggelapan pajak. Hipotesis keenam adalah :

Ha6 : Diskriminasi berpengaruh positif terhadap etika penggelapan pajak.

7. Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan Dengan Etika Penggelapan Pajak

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suryani (2013 : 133), dapat dinyatakan bahwa “variabel kemungkinan terdeteksinya kecurangan memiliki pengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak”. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian variabel kemungkinan terdeteksi kecurangan mempunyai tingkat signifikasi sebesar 0,000 dan nilai t sebasar -4,490. Hal ini berarti Ha4 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa kemungkinan terdeteksi kecurangan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki variabel kemungkinan

terjadinya kecurangan < 0,05 (0,000 < 0,05) dan nilai thitung> 1,97 (-4,490 > 1,97).

Ketika Wajib Pajak menganggap bahwa persentase terhadap kemungkinan terdeteksinya kecurangan adalah tinggi yaitu dengan dilakukannya pemeriksaan pajak. Hal ini berarti bahwa adanya rasa khawatir yang dimiliki Wajib Pajak bahwa kemungkinan terdeteksinya kecurangan akan menyebabkan mereka lebih mematuhi peraturan perpajakan dan bahkan penggelapan pajak akan menjadi lebih rendah. Analoginya, Wajib Pajak akan sangat takut terjerat hukum, jika mereka melakukan penggelapan pajak yang nantinya mereka akan memperoleh sanksi atau bahkan denda yang lebih besar. Hal ini tentunya akan meminimalisir penggelapan pajak yang mungkin terjadi. Hipotesis ketujuh dan kedelapan adalah :

Ha7 : Kemungkinan terdeteksinya kecurangan berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak.

Ha8 : Intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness),

kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi (discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud) berpengaruh secara simultan terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak (Tax

Dokumen terkait