• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Antara Kawasan Industri dengan Kebutuhan Tempat Tinggal Buruh Industri

Menurut Kuswartojo (2005:8), salah satu tujuan dari penciptaan pemukiman adalah untuk menjamin kesehatan jasmani dan rohani. Berdasarkan tujuan tersebut, maka pemukiman merupakan sarana dasar yang berfungsi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup seseorang.Produktivitas buruh industri sebagai penggerak kegiatan industri yang lebih diutamakan dari segi tenaganya dan bukan pikirannya, sangat dipengaruhi oleh pemenuhan kebutuhan tempat tinggalnya karena berkaitan dengan kesejahteraan buruh industri tersebut.

39

2.3.1 Buruh dan kebutuhan hunian

Pembangunan perumahan dan permukiman tidak dapat dipisahkan dari pembangunan perkotaan mengingat kawasan terbesar dari suatu kota adalah merupakan kawasan perumahan dan permukiman.

Dampak timbulnya aktifitas yang dihasilkan oleh suatu kegiatan perkotaan sering menimbulkan hunian/permukiman tidak dipenuhi maka akan menimbulkan kekumuhan disuatu bagian kota tertentu.

Hal ini disebabkan karena pekerja pendatang yang belum memiliki tempat tinggal akan membangun rumah-rumah sementara yang berlokasi dipinggiran sungai, sepanjang sisi rel kereta api dan tanah-tanah kosong milik pemerintah yang dapat menampung mereka untuk sementara waktu sebelum mendapatkan perumahan yang layak.

Eko Budiharjo, dalam bukunya menerangkan adanya interelasi antara kutub-kutub pada segitiga: Jobs (pekerjaan)–Housing (permukiman)–Environment

(lingkungan), yang bila terjadi penekanan pada salah satu kutub saja maka akan berpengaruh negatif pada seluruh sistem kota dan daerah (Budiharjo, 1985:90).

Pekerja pendatang dalam studi ini dapat digolongkan sebagai kelompok pekerja berpenghasilan rendah didalam pemenuhan kebutuhan hunian masih kurang diperhatikan dan sangat tergantung dengan kondisi lokasi dan pendapatannya. Yang dimaksud kelompok pekerja berpenghasilan rendah adalah mereka yang pengupahannya menggunakan sistem pengupahan harian baik yang bersetatus tetap

maupun tidak tetap. Status hunian ditinjau dari sudut mobilitas kerja hanya sementara dan tergantung kondisi atau musim, atau dikenal sebagai “migren sekuler”.

Karakteristik penting dari migrant non permanen atau migrant yang bersifat musiman adalah keinginan untuk menabung sebanyak mungkin selama mereka bekerja di kota dengan konsekuensi mengorbankan pengeluaran untuk kebutuhan akomodasi (Budiono Sundaru, 1993).

2.3.2 Kebutuhan tempat tinggal bagi buruh industri

Penentuan prioritas tentang tempat tinggal bagi seseorang yang berpenghasilan rendah, termasuk buruh industri, cenderung didasarkan pada prioritas utama yaitu lokasi tempat tinggal yang berdekatan dengan lokasi kerja dengan alasan penghematan biaya transportasi yang sekarang ini semakin melambung seiring tingginya harga bahan bakar minyak.

Aspek lokasi akan mempunyai implikasi ekonomi karena keterkaitannya dengan tempat kerja dan fasilitas sosial. Jarak yang jauh dengan tempat kerja dan fasilitas sosial berarti akan menambah persentase pengeluaran ongkos transportasi dibandingkan seluruh pengeluaran rutin keluarga (Budihardjo, 1997:121). Lebih lanjut Sastra dan Marlina (2006:132) menyatakan bahwa lokasi perumahan sebaiknya dipilih di daerah yang memberikan akses yang mudah bagi orang yang bermukim (maksimal 30 menit dengan menggunakan alat transportasi umum) untuk menuju tempat kerja.

41

Turner dalam Panudju (1999:9) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara kondisi ekonomi seseorang dengan skala prioritas kebutuhan hidup dan prioritas kebutuhan perumahan seperti terlihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Hubungan Antara Tingkat Kebutuhan Tempat Tinggal dan Tingkat Pendapatan

Sumber: Turner Dalam Panudju, 1999

Seiring dengan meningkatnya pendapatan, prioritas kebutuhan tempat tinggal akan berubah pula. Status kepemilikan rumah menjadi prioritas utama, karena seseorang ingin mendapatkan kejelasan tentang status kepemilikan rumah. Hal ini memberikan keyakinan bahwa dia tidak akan digusur sehingga dapat bekerja dengan tenang untuk menaikkan pendapatannya. Pada tahap ini, prioritas kedekatan lokasi tempat tinggal dengan lokasi kerja menjadi prioritas kedua dan standar fisik hunian tetap menjadi prioritas terakhir (Turner, 1972:166).

Terdapat tiga kebutuhan utama dari hunian yakni: lokasi (proximity to unskilled jobs), kepemilikan (freehold ownership), dan kondisi fisik unit hunian (modern standard shelter).

Untuk masyarakat yang berpendapatan rendah/sangat rendah yang menjadi kebutuhan utama adalah lokasi, untuk kepemilikan dan kondisi fisik menempati urutan yang tidak penting bahkan di perhitungkan dalam menempati suatu hunian.

Sedangkan untuk rentang waktu huni, para pekerja pendatang yang meninggalkan keluarganya ditempat asal, cenderung untuk tidak menetap di kota karena untuk meyakinkan keberadaan lapangan kerja atau dapat diindikasikan bahwa kebanyakan pekerja pendatang ini dalam jangka waktu tertentu akan kembali lagi ke arah asalnya (Sheng, 1992:116). Sehingga bila telah mendapatkan pekerjaan yang menetap barulah mereka akan membawa keluarganya di kota dan untuk rentang waktu tersebut para pekerja pendatang cenderung untuk menyewa kamar di pemukiman kumuh yang berpenghuni enam atau lebih. Perhitungan kebutuhan hunian secara normal untuk menentukan jumlah kamar sewa yang dibutuhkan sangat di pengaruhi oleh berbagai macam faktor, tetapi secara garis besar untuk mengukur jumlah kamar yang dibutuhkan dari pertambahan pekerja pendatang ini secara langsung dapat diperkirakan melalui pertambahan pendapatan yang dilihat dengan kondisi umum yang terjadi di lapangan tentang banyaknya penghuni pada setiap kamarnya.

2.3.3 Tinjauan penyediaan tempat tinggal bagi buruh industri

Adapun penyediaan tempat tinggal buruh industri dapat ditinjau dari beberapa hal, yaitu antara lain sebagai berikut:

43

Masyarakat berpenghasilan rendah memiliki karakteristik yang heterogen, antara lain bila ditinjau dari besarnya pendapatan dan jumlah anggota keluarga yang dimiliki. Sifat heterogen lainnya yang mempengaruhi pemilihan bentuk tempat tinggal bagi buruh industri adalah preferensi lamanya tinggal disuatu tempat, ada yang berkeinginan hanya tinggal untuk sementara saja, namun ada pula yang berkeinginan untuk tinggal menetap. Menurut Sheng (1992:2-3), ada beberapa sub sistem pemasaran tempat tinggal, yaitu squatter housing sub system, worker’s housing sub system, filtered housing sub system, public housing sub system, dan rural commuter sub system, dimana pada sub sistem tempat tinggal bagi pekerja(worker’shousing sub system), penyediaan tempat tinggal lokasinya diarahkan pada atau dekat dengan tempat kerja. Lebih lanjut Sheng (1992:3) membagi sub system tersebut dalam 5 (lima) tipe, yaitu:

a. Work place site houses, didirikan atas ijin pemberi kerja

denganmenggunakan sebagian lahan pabrik, biasanya dibuat dari kayu dan bahan material bekas, dibangun untuk pekerja dan keluarganya. b. Factory site dormitories, biasanya berupa permukiman padat yangdihuni

oleh pekerja yang belum berkeluarga dengan ruang dan privasi yang terbatas.

c. Staff and servant quarters, disediakan bagi pekerja seperti

menengah dan kalangan atas atau pada institusi umum dan lokasi bisnis sebagai salah satu fasilitas yang disediakan oleh pemberi kerja.

d. Institutional housing, berupa barak tempat tinggal tentara atau

pekerjakereta api dan keluarganya.

e. Itinerant construction worker’s housing, merupakan bangunansementara bagi pekerja bangunan yang dibangun dari material bangunan

di lokasi tersebut untuk mereka huni bersama keluarganya.

Menurut Komarudin (1996:334), tempat tinggal sederhana buruh industri umumnya berbentuk kamar sewa atau indekos, rumah kontrakan, rumah pribadi yang dibeli dengan cara angsuran dan asrama. Beberapa bentuk dari hunian sewa bagi karyawan perusahaan dan pekerja lainnya adalah rumah pekerja atau karyawan bergabung dengan pabrik, rumah karyawan yang disewa perusahaan untuk dihuni pekerjanya, dan kamar sewa di rumah kecil ataupun berupa asrama (Sheng, 1992:125).

2. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penyediaan Tempat Tinggal

Buruh industri menghadapi kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan tempat tinggal mengingat rendahnya pengahasilan yang mereka miliki.Oleh karena itu, perlu keterlibatan berbagai pihak untuk membantu mereka agar dapat memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya.

Menurut Panudju dalam Komarudin (1996: 334), penyediaan tempat tinggal bagi pekerja industri dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak, antara lain oleh buruh

45

industri secara perorangan, buruh industri melalui yayasan atau koperasi, masyarakat sekitar daerah industri melalui sewa menyewa dan jual beli, perusahaan atau pemilik industri, dan pihak ketiga (Pemerintah melalui KPR BTN dan Swasta melalui REI, developer, industrial estate).

Tidak menutup kemungkinan penyediaan tempat tinggal buruh industri tersebut dilakukan secara bersama-sama mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh masing-masing pihak tersebut.Misalnya, kerjasama antara perusahaan industri dengan pemerintah, dimana biasanya perusahaan industri mengalami kesulitan dalam penyediaan lahan maka pemerintah dapat membantu dengan penyediaan lahan.Payne dalam Panudju (1999:120) menekankan perlunya intervensi Pemerintah dalam upaya pengadaan site and service atau kapling siap bangun bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Bentuk kombinasi kerjasama yang lain adalah antara koperasi dan perusahaan industri. Keterbatasan dalam penyediaan lahan oleh koperasi dapat dibantu oleh perusahaan dengan cara memberikan pinjaman lunak untuk digunakan koperasi membeli lahan atau lahan dibeli oleh perusahaan untuk selanjutnya dibeli koperasi dengan cicilan ringan (Komarudin, 1996:230).

2.3.4 Perumahan buruh industri

Suatu bentuk permukiman yang ideal di kota merupakan pertanyaan yang menghendaki jawaban yang bersifat komprehensif, sebab perumahan dan

permukiman menyangkut kehidupan manusia termasuk kebutuhan manusia yang terdiri dari berbagai aspek.

Sehingga dapat dirumuskan secara sederhana tentang ketentuan yang baik untuk suatu permukiman (Sinulingga, 2005:187-189) yaitu harus memenuhi sebagai berikut:

1. Lokasinya sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh kegiatan lain seperti pabrik, yang umumnya dapat memberikan dampak pada pencemaran udara atau pencemaran lingkungan lainnya.

2. Mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan lain-lain.

3. Mempunyai fasilitas drainase, yang dapat mengalirkan air hujan dengan cepat dan tidak sampai menimbulkan genangan air walaupun hujan yang lebat sekalipun.

4. Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa jaringan distribusi yang siap untuk disalurkan ke masing-masing rumah.

5. Dilengkapi dengan fasilitas air kotor/tinja yang dapat dibuat dengan sistem individual yaitu tanki septik dan lapangan rembesan, ataupun tanki septik komunal.

6. Permukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan sampah secara teratur agar lingkungan permukiman tetap nyaman.

47

7. Dilengkapi dengan fasilitas umum seperti taman bermain bagi anak-anak, lapangan atau taman, tempat beribadat, pendidikan dan kesehatan sesuai dengan skala besarnya permukiman itu.

8. Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon.

Begitu pentingnya hunian bagi masyarakat, hal ini telah terakumulasi atau tersirat dalam prinsip piagam hak asasi manusia yang menyatakan live, liberty,

property yang dalam arti sempitnya hidup, kebebasan, tanah dan

rumah/hartakekayaan. Kesemuanya ini merupakan tiga hak dasar yang harus ada pada setiap individu sebagai warga masyarakat, dengan demikian ketiga unsur hak-hak dasar tersebut menjadi atribut seseorang dapat dikatakan hidup layak.

Dokumen terkait