• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Kebutuhan Fasilitas Perumahan Bagi Buruh Industri (Studi Kasus Kawasan Industri Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Kebutuhan Fasilitas Perumahan Bagi Buruh Industri (Studi Kasus Kawasan Industri Medan)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Kawasan Industri

2.1.1 Pengertian kawasan industri

Industri adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir (BPS, 2002).Marpaung dalam Mujiono (1987) menyebutkan bahwa kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri.

Kawasan industri menurut Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989, dan telah diperbaiki dengan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan industri, pasal 1 menyebutkan bahwa kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri pengolahan yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan fasilitas penunjang lainnya yang disediakan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri. Terminologi kawasan Industri di Indonesia sering disebut dengan istilah Industrial Estate sementara dibeberapa negara digunakan istilah IndustrialPark.

(2)

14

Secara konseptual Kawasan Industri merupakan kawasan tempat pemusatan kegiatan industri pengolahan (manufacture) yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang lainnya yang disediakan oleh badan pengelola (pemerintah/swasta), sehingga para investor atau pengusaha akan memiliki semangat untuk memasukkan modalnya disektor industri. Dengan ketersediaan lahan, sarana dan prasarana serta fasilitas lainnya yang memadai, akan menghasilkan efisiensi ekonomi dalam berinvestasi (mendirikan pabrik dan industri) dibandingkan setiap investor harus menyediakan sendiri fasilitas tersebut.

Berdasarkan batasan di atas ada beberapa hal yang dapat dimanfaatkan dari kawasan industri, yaitu berkaitan dengan besaran dan lokasi kawasan industri bisa menghasilkan dampak-dampak tertentu bagi wilayah sekitarnya, yang bila diinginkan bisa diarahkan; bisa menjadi bidang usaha pengadaan dan pemasaran “lahan industri” menurut kaidah-kaidah ekonomi pertanahan kota; dan bisa menjadi sarana kemudahan usaha yang secara nyata dapat diberikan berbagai bentuk insentif atau subsidi.

(3)

Sasaran dari strategi ini adalah menciptakan tata ruang kegiatan pengembangan yang seimbang terutama untuk menjangkau wilayah-wilayah potensial baru; dan pada waktu yang sama membuka peluang partisipasi masyarakat setempat.

Di Indonesia, pada tahun 2005 sudah terdapat 203 kawasan industri yang tersebar diberbagai wilayah Indonesia dengan luas ±67.000 hektar. Dari jumlah tersebut baru beroperasi 64 kawasan dengan total area ±20.000 hektar, dan rata-rata tingkat pemanfaatan ±44% yang didalamnya terdapat ±60.000 industri (www.depperin.go.id tahun 2008). Dari 64 kawasan industri yang beroperasi, sebagian besar berada di propinsi di Pulau Jawa, Pulau Sumatera pada propinsi Riau (Batam) dan Sumutera Utara.

2.1.2 Karakteristik dan jenis-jenis industri

Dalam pelaksanaannya karakter industri dapat berupa kompleks industri, estate industri, lahan peruntukkan industri, kawasan berikat, permukiman

industrikecil, sentra industri kecil dan sarana industri kecil. Adapun pengertian masing-masing bentuk lokasi industri tersebut adalah sebagai berikut:

(4)

16

b. Estate industri (Industrial Estate), yaitu suatu lahan peruntukkan

yangsecara khusus disediakan untuk menampung berbagai jenis kegiatan industri hilir yang dilengkapi berbagai fasilitas untuk memberikan kemudahan bagi kegiatan industri dan pengolahannya ditangani oleh suatu badan industri. Estate merupakan suatu lahan khusus yang menampung industri-industri yang bersifat manufaktur yang dikelola oleh suatu manajemen terpusat dengan luas minimal 20-40 Ha.

c. Lahan Peruntukkan Industri, yaitu lahan peruntukkan industri ini merupakan lahan industri yang peruntukkannya telah ditetapkan dalam suatu masterplankota untuk berbagai jenis kegiatan industri yang biasanya bersifat pertumbuhan pita dan secara fisik dalam pertumbuhan nantinya akan menjadi kawasan industri (imim). Pengembangan di masa mendatang memungkinkan menjadi estate industri.

d. Kawasan Berikat (Bonded zone), yaitu suatu kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah Indonesia yang di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan khusus di bidang pabean, yaitu terhadap barang-barang yang dimasukkan atau dari luar daerah pabean lainnya tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea cukai atau atau pungutan negara lainnya sampai barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor atau ekspor.

(5)

f. Sentra Industri Kecil, yaitu suatu areal atau lahan peruntukkan dimana terdapat berbagai kegiatan usaha industri kecil sejenis yang tumbuh dan berkembang dalam suatu lokasi tertentu.

g. Sarana Usaha Industri Kecil, yaitu suatu sarana usaha yang disediakan didalam estet industri yang mempunyai kaitan dengan berbagai industri didalam estet industri tersebut.

Industri dalam pengertian luas dibedakan menjadi dua jenis, yaitu industri primer yang merupakan jenis industri yang langsung mengambil komoditas ekonomi dari alam tanpa proses pengolahan (pertanian, pertambangan dan kehutanan), dan jenis industri sekunder yang merupakan industri yang mengolah bahan mentah atau bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi (manufaktur atau pabrik).

Jenis-jenis industri selanjutnya dikelompokan berdasarkan jumlah tenaga kerja yang terlibat, antara lain sebagai berikut:

1. Industri rumah tangga, yaitu industri yang memiliki tenaga kerja sebanyak 1-4 orang.

2. Industri kecil, yaitu industri yang memiliki tenaga kerja sebanyak 5-19 orang.

3. Industri sedang, yaitu industri yang memiliki tenaga kerja sebanyak 20-99 orang.

(6)

18

Departemen Perindustrian juga mengelompokkan industri berdasarkan klasifikasi atau penjenisannya, yaitu sebagai berikut:

1. Industri kimia dasar, yaitu industri yang bahan baku atau olahannya menggunakan bahan-bahan kimia, seperti industri semen, pupuk pestisida, kertas, bahan peledak dan kenderaan.

2. Industri mesin dan logam dasar, yaitu industri yang bahan dan produk dasar logam, perlengkapan pabrik, peralatan listrik dan kenderaan bermotor. 3. Aneka Industri, yaitu kelompok industri yang menghasilkan barang-barang

untuk memenuhi kebutuhan bermacam-macam kebutuhan masyarakat, seperti industri makanan dan minuman, aneka sandang, aneka kimia dan serat, serta aneka bahan bangunan.

4. Industri kecil, yaitu jenis industri rumah tangga, seperti industri roti, kompor minyak, makanan ringan, es.

2.1.3 Tenaga kerja berpendapatan rendah di kawasan industri

(7)

Atas dasar hal tersebut, maka pada industri yang bersifat padat karya, lokasi industri cenderung untuk mendekati lokasi modal tenaga kerja guna mandapatkan tenaga kerja yang murah. Besarnya upah yang dibayarkan oleh Perusahaan kepada buruh adalah minimal setiap bulannya sama dengan Upah Minimum Regional yang berlaku di wilayah tersebut.

2.1.4 Tenaga kerja pendatang

Kota merupakan pusat fasilitas pendidikan, rekreasi, menyediakan lapangan pekerjaan, tempat pasaran tenaga kerja dan sebagainya. Anggapan yang demikian ini memberikan dorongan kepada penduduk desa melakukan migrasi ke kota.

(8)

20

Para pendatang ini biasanya mempunyai sentimental attachmental yang sangat tinggi dengan kampung halamannya.Sehingga penghuni daerah permukiman masyarakat yang berpenghasilan rendah ini, jika sudah memperoleh penghasilan biasanya mereka langsung pulang kampung untuk menikmati hasil pekerjaannya itu dikampung halamannya bersama keluarga (M. Herkovitz, 1976).

Ditinjau dari segi ekonomi, biasanya masyarakat yang berpenghasilan rendah ini tidak bisa menikmati hasil kemajuan penghasilan yang didapatkannya secara utuh, karena mereka masih menanggung beban sosial untuk menampung kerabat, teman atau tenaga dari kampong, yang mencoba mencari keberuntungan di kota.

2.2 Perumahan dan Pemukiman

2.2.1 Pengertian rumah, perumahan dan pemukiman

Rumah pada awalnya merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic need) manusia sesudah pangan dan sandang.Namun sejalan dengan peningkatan pendapatan seseorang, tingkatan kebutuhan seseorang terhadap rumah berubah menjadi beragam.

Menurut Budihardjo (1998:57), tingkat intensitas dan arti penting dari kebutuhan manusia terhadap rumah bersifat berjenjang berdasarkan hirarki kebutuhan dari Maslow, dimulai dari yang terbawah adalah sebagai berikut:

(9)

2. Rumah harus menciptakan rasa aman, sebagai tempat menjalankan kegiatan ritual, penyimpanan harta milik yang berharga, menjamin hak pribadi.

3. Rumah memberikan peluang interaksi dan aktivitas komunikasi yang akrab dengan lingkungan sekitar (teman, tetangga, dan keluarga).

4. Rumah memberikan peluang untuk tumbuhnya harga diri, yang disebut Pedro Arrupe sebagai “Status Confering Function”, kesuksesan

seseorangtercermin dari rumah dan lingkungan tempat huniannya. 5. Rumah sebagai aktualisasi diri yang diejawantahkan dalam bentuk

pewadahan kreativitas dan pemberian makna bagi kehidupan pribadi.

(10)

22

Lebih lanjut Turner (1972:212-213) mengidentifikasikan 3 (tiga) fungsi utama rumah sebagai tempat bermukim, yaitu:

1. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga, yang diwujudkan pada kualitas hunian atau perlindungan yang diberikan oleh rumah (the quality of shelter provide by housing). Kebutuhan akan tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni dapat memiliki tempat berlindung/berteduh agar terlindung dari iklim setempat.

2. Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity) keluarga untuk berkembang dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi atau fungsi pengaman keluarga. Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna mendapatkan sumber penghasilan.

3. Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya keadaan keluarga dimasa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan atas lingkungan perumahan yang ditempati, serta jaminan berupa kepemilikan rumah dan lahan (the form of tenure).

(11)

Istilah perumahan dan permukiman seringkali menjadi rancu karena dianggap memiliki arti yang sama, namun sebenarnya terdapat perbedaan pengertian antara perumahan dan permukiman. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, pengertian perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.

Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Dalam pembangunan permukiman, menurut Johan Silas (1985), suatu permukiman hendaknya mengikuti kriteria bagi permukiman yang baik dengan memenuhi yaitu yang berkaitan dengan aspek fisik yang meliputi letak geografis; lingkungan alam dan binaan; sarana dan prasarana, dan non fisik yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

(12)

24

Pembangunan permukiman yang berkelanjutan dalam dunia perkotaan, yaitu: otonomi yang dapat dipercaya dengan perbaikan pada kemampuan pemda setempat dalam mengelola pembangunan permukiman; peningkatan kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pembangunan; permukiman, sarana dan prasarana; permukiman yang aman, sehat, menyatu dengan lingkungannya dan mendukung integrasi sosial; kesempatan kerja bagi semua; pengembangan tata ruang dan penggunaan lahan yang berkelanjutan; sistem transportasi yang aman, nyaman, formal, terjangkau dan efisien; sistem permukiman yang berkelanjutan yang mendorong pengembangan ekonomi regional dan nasional; pengelolaan permukiman yang efektif, efisien, transparan dan berkelanjutan.

2.2.2 Karakteristik perumahan

Menurut Mahfud Sidik (2000), karakteristik perumahan yang bersifat unik terutama menyangkut hal- hal sebagai berikut lokasinya yang tetap dan hampir tidak mungkin dipindah; pemanfaatannya dalam jangka panjang; bersifat heterogen secara multidimensional, terutama dalam lokasi, sumber daya alam, dan preferensinya; secara fisik dapat dimodifikasi.

(13)

Jarak dengan tempat kerja, gaya hidup dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Jarak dengan tempat kerja, gaya hidup dan kenyamanan lingkungan sekelilingnya dan tujuan lainnya.

2.2.3 Teori mobilitas tempat tinggal

Menurut teori mobilitas tempat tinggal yang dikemukakan Turner (Yunus, 2000:29), terdapat perilaku yang berbeda pada masyarakat dalam menentukan pilihan tempat tinggal. Berdasarkan perilaku menentukan tempat tinggal tersebut terdapat tiga golongan strata sosial masyarakat, yaitu:

1. Bridgeheaders, golongan masyarakat ekonomi rendah yang

cenderungmemilih tempat tinggal dekat dengan tempat kerja untuk menekan biaya.

2. Consolidator, golongan dengan kemampuan ekonomi yang mulai

mapandan mencari lingkungan yang lebih nyaman.

3. Status atau Seekers, golongan dengan kemampuan ekonomi yang sangat kuat dan berusaha mendapatkan pengakuan terkait dengan status sosialnya. Pada

(14)
(15)

Pada golongan ini pilihan tempat tinggal diarahkan ke pinggiran yang menurut mereka menjanjikan kenyamanan dalam bertempat tinggal.

2.2.4 Kriteria pembangunan perumahan

Berdasarkan petunjuk Rencana Kawasan Perumahan Kota yang disusun oleh Departemen Pekerjaan Umum tahun 1997, suatu kawasan perumahan selayaknya memenuhi persyaratan dasar untuk pengembangan kota, yakni:

1. Aksesibilitas, yakni kemungkinan pencapaian dari dan ke kawasan perumahan dalam bentuk jalan dan transportasi.

2. Kompatibilitas, yakni keserasian dan keterpaduan antara kawasan yang menjadi lingkungannya.

3. Fleksibilitas, yakni kemungkinan pertumbuhan fisik/pemekaran kawasan perumahan dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana.

4. Ekologi, yakni keterpaduan antara tata kegiatan alam yang mewadahinya.

2.2.5 Identifikasi faktor dalam menentukan lokasi perumahan

(16)

27

mencakup: nilai, kualitas dan tipe rumah; lingkup komunitas; dan lingkup fisik atau lokasi rumah.

Hubungan antara perilaku manusia di dalam area perkotaan dengan ruang sosial di perkotaan telah banyak diteliti, sampai saat ini para ahli geografi telah mengidentifikasikan bahwa gaya hidup, status sosial, dan tingkat kehidupan sangat berpengaruh di dalam hubungan antar tingkah laku individu dengan lingkungan spasial (Golledge & Stimson, 1990:267).

Perpindahan manusia dari satu lokasi ke lokasi lain di perkotaan memegang peranan penting dalam membentuk area sosial perkotaan. Penilaian lokasi perumahan antara individu pasti berbeda, hal ini disebabkan latar belakang tingkat kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda (Knox, 1989:171-173).

Pengetahuan tentang lokasi perumahan diperoleh dari interaksi antar individu, setelah berproses, informasi yang diperoleh tersebut akan mempengaruhi pandangan tentang populasi dan pendapat/persepsi tempat tinggalnya. Individu tersebut akan membentuk kelompok yang membentuk variasi kluster.

Kluster dari individu-individu yang mempunyai persamaan di dalam ekonomi, sosial dan politik akan mempunyai referensi yang sama tentang lokasi tempat tinggal. Kerangka dari referensi ini merupakan hasil dari beberapa faktor termasuk usia, latar belakang sosial, kepercayaan (agama) dan latar belakang etnis.

(17)

merupakan pengaruh utama dalam pemilihan lokasi tempat tinggal, yaitu kemudahan transportasi dan kedekatan jarak. Faktor lain seperti kaitan tali kekeluargaan (kinship), juga turut mempengaruhi pengambilan keputusan pemilihan tempat tinggal.

Sementara itu para ahli geografi mengembangkan model-model tingkah laku rumah tangga dalam memilih lokasi rumahnya, yang diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu asumsi pertama adalah pilihan lokasi tempat tinggal dapat dijelaskan di dalam pengertian “trade off” antara biaya transportasi dan harga rumah dan asumsi kedua adalah model perilaku makro, aksesibilitas bukan syarat utama tetapi kenyamanan lingkungan, sosial ekonomi, psikologi dan waktu adalah syarat utama untuk memilih lokasi tempat tinggal.

a. Faktor Karakteristik Keluarga

Analisa mengenai kepuasan terhadap tempat tinggal terpusat pada “kepuasan” sebagai konsekuensi dari karakteristik keluarga, namun hal ini bukan satu-satunya variabel yang memberi efek rasa puas terhadap tempat tinggal, akan tetapi faktor fisik lingkungan juga turut berpengaruh terhadap rasa puas.

(18)

29

Gambar 2.1 Hubungan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tempat Tinggal Sumber: Moris Earl W dan Winter Mary, 1978:156-157 Faktor demografi dan sosial ekonomis dipengaruhi oleh tingkat kehidupan, status sosial dan struktur keluarga, maksudnya adalah semakin tinggi tingkat kehidupan seseorang, dengan sendirinya akan mempengaruhi status sosial ekonominya, sehingga individu tersebut akan melalukan penyesuaian perumahan untuk mencocokan dengan status sosial ekonominya.

(19)

b. Faktor Karakteristik Lingkungan

Kualitas lingkungan mencerminkan kualitas hidup manusia yang ada di dalamnya. Menurut Amos Rapoport (1977:60-61) komponen kualitas lingkungan dapat dibagi menjadi:

1. Variabel lokasi: jarak ke pusat pelayanan, iklim dan topografi. 2. Variabel fisik: organisasi ruang yang jelas, udara bersih dan tenang. 3. Variabel psikologis: kepadatan penduduk dan kemewahan.

4. Variabel sosial ekonomi: suku, status sosial, tingkat kriminalitas dan sistem pendidikan.

Selain itu menurut Drabkin (1980:68) ada juga beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan lokasi perumahan, yang secara individu berbeda satu sama lain, yaitu:

1. Aksesibilitas, yang terdiri dari kemudahan transportasi dan jarak ke pusat kota; lingkungan, dalam hal ini terdiri dari lingkungan sosial dan fisik seperti kebisingan, polusi dan lingkungan yang nyaman.

2. Peluang kerja yang tersedia, yaitu kemudahan seseorang dalam mencari pekerjaan untuk kelangsungan hidupnya.

3. Tingkat pelayanan, lokasi yang dipilih merupakan lokasi yang memiliki pelayanan yang baik dalam hal sarana dan prasarana dan lain-lain.

Faktor lingkungan yang juga menjadi pertimbangan di dalam memilih lokasi perumahan menurut (Bourne,1975:205) adalah:

(20)

31

2. Karakteristik fisik dan lingkungan permukiman: kondisi jalan, pedestrian, pola jalan dan ketenangan.

3. Fasilitas dan pelayanan: kualitas dari utilitas, sekolah, polisi dan pemadam kebakaran.

4. Lingkungan sosial: permukiman bergengsi, komposisi sosial ekonomi, etnis dan demografi.

5. Karakteristik site rumah: luas tanah, luas bangunan, jumlah kamar dan biaya pemeliharaan.

Berkaitan dengan pemilihan lokasi, Luhst (1997:128) menyebutkan bahwa kualitas kehidupan yang berupa kenyamanan, keamanan dari suatu rumah sangat ditentukan oleh lokasinya.Daya tarik dari suatu lokasi ditentukan oleh dua hal yaitu aksesibilitas dan lingkungan.

Aksesibilitas merupakan daya tarik ditentukan oleh kemudahan dalam pencapaian ke berbagai pusat kegiatan seperti pusat perdagangan, pusat pendidikan, daerah industri, jasa pelayanan perbankan, tempat rekreasi, pelayanan pemerintahan, jasa profesional dan bahkan merupakan perpaduan antara semua kegiatan tersebut.

2.2.6 Teori lokasi perumahan

(21)

Beberapa ahli membuat kesimpulan mengenai pemilihan lokasi perumahan sebagai berikut (dalam buku Harry W. Richadson, 1978: 280-281):

1. Filter Down Theory

Teori ini muncul pada tahun 1920 oleh EW Burgess untuk menerangkan pola pemukiman di Chicago. Menurut EW. Burgerss, perkembangan CBD yang pesat membuat pusat kota menjadi tidak menarik (tanah mahal, macet, polusi).

2. Hipotesis Tiebout (1956)

Tiebout mengemukakan bahwa seseorang memilih lokasi perumahan kota atau kabupaten yang pajaknya rendah atau pelayanan publiknya bagus. 3. Trade off Model oleh Alonso (1964) dan Solow (1972,1973)

Secara sederhana diartikan sebagai adanya trade off aksesibilitas terhadap ruang yang dipilih rumah tangga sebagai lokasi untuk properti perumahan. Model ini juga mengasumsikan bahwa kota melingkar dengan sebuah pusat tenaga kerja dan transportasi yang tersedia dimana-mana, semua lokasi dipertimbangkan secara homogen kecuali jarak ke pusat kota. Rumah tangga akan bersedia membayar lebih untuk properti dengan lokasi yang lebih dekat dengan CBD karena biaya perjalanan lebih rendah.

4. Ellis (1967)

(22)

33

5. Senior dan Wilson (1974)

Senior dan Wilson menyatakan bahwa untuk beberapa rumah tangga, kemudahan pencapaian ke tempat kerja tidak berarti sama sekali.

6. Little (1974) dan Kirwan & Ball (1974)

Mereka meneliti mengenai implikasi dari keinginan sebagian besar keluarga- keluarga untuk hidup dengan tetangga yang homogen.

7. Social Aglomeration Theory (1985)

Dikemukakan bahwa orang memilih rumah dengan pertimbangan utama bahwa dia akan nyaman bersama dengan kelompok sosial tertentu dimana kelompok ini bisa terbentukk berdasarkan ras, pendapatan, usia, dan lain sebagainya, yang kemudian timbul segregasi.

Pilihan lokasi untuk rumah tinggal menggambarkan suatu usaha individu untuk menyeimbangkan dua pilihan yang bertentangan, yaitu kemudahan ke pusat kota dan luas tanah yang bisa diperoleh.

(23)

(eisthetics), meliputi pemandangan dan bentang alam yang ada; komunitas (community), yaitu terutama terkait lingkungan termasuk di dalamnya kesehatan dan jasa-jasa yang diselenggarakan pemerintah; pelayanan kota (city service), meliputi penyediaan pendidikan, layanan kesehatan, dan jasa-jasa yang diselenggarakan pemerintah; biaya (cost) dan keterjangkauan penyewa.

Luhst (1997) menyebutkan bahwa kualitas kehidupan yang berupa kenyamanan, keamanan dari suatu rumah tinggal sangat ditentukan oleh lokasinya, dalam arti daya tarik dari suatu lokasi ditentukan oleh dua hal yaitu lingkungan dan aksesibilitas.

Lingkungan oleh Luhst didefenisikan sebagai suatu wilayah yang secara geografis dibatasi dengan batas nyata, dan biasanya dihuni oleh kelompok penduduk.Lingkungan mengandung unsur-unsur fisik dan sosial yang menimbulkan kegiatan dan kesibukan dalam kehidupan sehari-hari.Unsur-unsur tersebut berupa gedung-gedung sekolah, bangunan pertokoan, pasar, daerah terbuka untuk rekreasi, jalan mobil dan sebagainya.

(24)

35

jalan yaitu semakin sempit lebar jalan suatu lahan, maka berarti aksesibilitas dari tempat yang bersangkutan kurang baik.

Pertimbangan lain yang sangat menentukan pemilihan lokasi perumahan adalah nilai tanah, seperti diungkapkan oleh Richard M Hurds dalam Haikal Ali (1996) dengan teori Bid-rent yang menyatakan bahwa nilai lahan sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan untuk membayar karena faktor ekonomi dan keinginan tinggal di lokasi dan kedekatan.

Teori ini muncul karena semakin mahalnya harga lahan di perkotaan, untuk mendapatkan harga lahan yang murah maka penduduk bergerak kearah pinggiran kota. Dengan kata lain seamakin jauh lokasinya dari pusat kota, semakin menurun permintaan akan tanah. Dan apabila tanah banyak, maka sewa yang ditawarkan orang untuk membayar tanah per meter bujur sangkarnya menurun mengikuti jaraknya dari pusat kota. Dengan demikian tanah dipinggiran luar kota, persaingannya berkurang dan harga yang ditawarkan untuk tanah perumahan lebih tinggi harganya dibandingkan tanah tersebut ditawarkan untuk pendirian toko, karena tanah dipinggiran kota lebih banyak diperuntukan bagi perumahan.

(25)

utama harga sewanya akan lebih tinggi dibandingkan dengan harga sewa tanah yang tidak berada di jalan utama.

Goodall (1972) menyebutkan bahwa beberapa pertimbangan yang dilakukan oleh suatu keluarga dalam memilih sebuah rumah yaitu suasana kehidupan di lingkungan; lokasi perumahan; keadaan fisik rumah; kelengkapan fasilitas rumah; nilai prestisius; harga rumah; pendapatan keluarga.

Suharsono (Wonosuprojo dkk, 1995) mengemukakan yang perlu diperhatikan dalam menentukan lokasi permukiman dari sudut geomorfologi adalah:

1. Relief, meliputi kemiringan dan besar sudut lereng. 2. Tanah, meliputi daya dukung tanah dan tekstur.

3. Proses geomorfologi, meliputi tingkat erosi, kenampakan gerakan masa kedalam saluran dan kerapatan aliran.

4. Batuan, meliputi tingkat kelapukan batuan dan kekuatan batuan. 5. Hidrologi, meliputi kedalaman air tanah pada sumur gali.

6. Klimatologi, meliputi curah hujan, suhu udara, kelembaban udara relatif, kecepatan dan arah mata angin.

7. Penggunaan lahan.

(26)

37

Dasra (1995) mengatakan bahwa faktor-faktor dominan dalam penentuan lokasi perumahan adalah:

a. Arah perkembangan kota, dengan faktor penentu adalah keadaan fisik kota (seperti adanya sungai, topografi tanak dsb).

b. Ketersediaan lahan dan harga tanah.

Tersedianya lahan yang belum terbangun, semakin mahal harga tanah maka biaya unit satuan perumahan akan semakin tinggi.

c. Kondisi sosial budaya.

Kecenderungan perkembangan penduduk (kepadatan, jumlah dan pertumbuhan penduduk) menentukan kebutuhan akan rumah.

d. Aksesibilitas.

Tersedianya sarana transportasi, baik skala lokal maupun regional. e. Transportasi dan utilitas,

Tersedianya pola jaringan jalan, jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan drainase serta jaringan air bersih.

(27)

pelayanan transportasi akan mempengaruhi pertumbuhan suatu lingkungan permukiman.

Yeri (2004) mengatakan faktor lokasi menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan perumahan. Faktor lain yang dipertimbangkan oleh konsumen adalah aspek lingkungan, fisik rumah, fungsi rumah dan kedekatan dengan berbagai fasilitas perkotaan lainnya.

Selain itu kondisi lingkungan yang asri, udara segar, ketersediaan air bersih, kenyamanan dan kondisi lingkungan yang aman akan menjadi pertimbangan konsumen.

2.3 Keterkaitan Antara Kawasan Industri dengan Kebutuhan Tempat Tinggal Buruh Industri

(28)

39

2.3.1 Buruh dan kebutuhan hunian

Pembangunan perumahan dan permukiman tidak dapat dipisahkan dari pembangunan perkotaan mengingat kawasan terbesar dari suatu kota adalah merupakan kawasan perumahan dan permukiman.

Dampak timbulnya aktifitas yang dihasilkan oleh suatu kegiatan perkotaan sering menimbulkan hunian/permukiman tidak dipenuhi maka akan menimbulkan kekumuhan disuatu bagian kota tertentu.

Hal ini disebabkan karena pekerja pendatang yang belum memiliki tempat tinggal akan membangun rumah-rumah sementara yang berlokasi dipinggiran sungai, sepanjang sisi rel kereta api dan tanah-tanah kosong milik pemerintah yang dapat menampung mereka untuk sementara waktu sebelum mendapatkan perumahan yang layak.

Eko Budiharjo, dalam bukunya menerangkan adanya interelasi antara kutub-kutub pada segitiga: Jobs (pekerjaan)–Housing (permukiman)–Environment

(lingkungan), yang bila terjadi penekanan pada salah satu kutub saja maka akan berpengaruh negatif pada seluruh sistem kota dan daerah (Budiharjo, 1985:90).

(29)

maupun tidak tetap. Status hunian ditinjau dari sudut mobilitas kerja hanya sementara dan tergantung kondisi atau musim, atau dikenal sebagai “migren sekuler”.

Karakteristik penting dari migrant non permanen atau migrant yang bersifat musiman adalah keinginan untuk menabung sebanyak mungkin selama mereka bekerja di kota dengan konsekuensi mengorbankan pengeluaran untuk kebutuhan akomodasi (Budiono Sundaru, 1993).

2.3.2 Kebutuhan tempat tinggal bagi buruh industri

Penentuan prioritas tentang tempat tinggal bagi seseorang yang berpenghasilan rendah, termasuk buruh industri, cenderung didasarkan pada prioritas utama yaitu lokasi tempat tinggal yang berdekatan dengan lokasi kerja dengan alasan penghematan biaya transportasi yang sekarang ini semakin melambung seiring tingginya harga bahan bakar minyak.

(30)

41

Turner dalam Panudju (1999:9) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara kondisi ekonomi seseorang dengan skala prioritas kebutuhan hidup dan prioritas kebutuhan perumahan seperti terlihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Hubungan Antara Tingkat Kebutuhan Tempat Tinggal dan Tingkat Pendapatan

Sumber: Turner Dalam Panudju, 1999

Seiring dengan meningkatnya pendapatan, prioritas kebutuhan tempat tinggal akan berubah pula. Status kepemilikan rumah menjadi prioritas utama, karena seseorang ingin mendapatkan kejelasan tentang status kepemilikan rumah. Hal ini memberikan keyakinan bahwa dia tidak akan digusur sehingga dapat bekerja dengan tenang untuk menaikkan pendapatannya. Pada tahap ini, prioritas kedekatan lokasi tempat tinggal dengan lokasi kerja menjadi prioritas kedua dan standar fisik hunian tetap menjadi prioritas terakhir (Turner, 1972:166).

(31)

Untuk masyarakat yang berpendapatan rendah/sangat rendah yang menjadi kebutuhan utama adalah lokasi, untuk kepemilikan dan kondisi fisik menempati urutan yang tidak penting bahkan di perhitungkan dalam menempati suatu hunian.

Sedangkan untuk rentang waktu huni, para pekerja pendatang yang meninggalkan keluarganya ditempat asal, cenderung untuk tidak menetap di kota karena untuk meyakinkan keberadaan lapangan kerja atau dapat diindikasikan bahwa kebanyakan pekerja pendatang ini dalam jangka waktu tertentu akan kembali lagi ke arah asalnya (Sheng, 1992:116). Sehingga bila telah mendapatkan pekerjaan yang menetap barulah mereka akan membawa keluarganya di kota dan untuk rentang waktu tersebut para pekerja pendatang cenderung untuk menyewa kamar di pemukiman kumuh yang berpenghuni enam atau lebih. Perhitungan kebutuhan hunian secara normal untuk menentukan jumlah kamar sewa yang dibutuhkan sangat di pengaruhi oleh berbagai macam faktor, tetapi secara garis besar untuk mengukur jumlah kamar yang dibutuhkan dari pertambahan pekerja pendatang ini secara langsung dapat diperkirakan melalui pertambahan pendapatan yang dilihat dengan kondisi umum yang terjadi di lapangan tentang banyaknya penghuni pada setiap kamarnya.

2.3.3 Tinjauan penyediaan tempat tinggal bagi buruh industri

Adapun penyediaan tempat tinggal buruh industri dapat ditinjau dari beberapa hal, yaitu antara lain sebagai berikut:

(32)

43

Masyarakat berpenghasilan rendah memiliki karakteristik yang heterogen, antara lain bila ditinjau dari besarnya pendapatan dan jumlah anggota keluarga yang dimiliki. Sifat heterogen lainnya yang mempengaruhi pemilihan bentuk tempat tinggal bagi buruh industri adalah preferensi lamanya tinggal disuatu tempat, ada yang berkeinginan hanya tinggal untuk sementara saja, namun ada pula yang berkeinginan untuk tinggal menetap. Menurut Sheng (1992:2-3), ada beberapa sub sistem pemasaran tempat tinggal, yaitu squatter housing sub system, worker’s housing sub system, filtered housing sub system, public housing sub system, dan rural commuter

sub system, dimana pada sub sistem tempat tinggal bagi

pekerja(worker’shousing sub system), penyediaan tempat tinggal lokasinya diarahkan pada atau dekat dengan tempat kerja. Lebih lanjut Sheng (1992:3) membagi sub system tersebut dalam 5 (lima) tipe, yaitu:

a. Work place site houses, didirikan atas ijin pemberi kerja

denganmenggunakan sebagian lahan pabrik, biasanya dibuat dari kayu dan bahan material bekas, dibangun untuk pekerja dan keluarganya. b. Factory site dormitories, biasanya berupa permukiman padat yangdihuni

oleh pekerja yang belum berkeluarga dengan ruang dan privasi yang terbatas.

c. Staff and servant quarters, disediakan bagi pekerja seperti

(33)

menengah dan kalangan atas atau pada institusi umum dan lokasi bisnis sebagai salah satu fasilitas yang disediakan oleh pemberi kerja.

d. Institutional housing, berupa barak tempat tinggal tentara atau

pekerjakereta api dan keluarganya.

e. Itinerant construction worker’s housing, merupakan bangunansementara bagi pekerja bangunan yang dibangun dari material bangunan

di lokasi tersebut untuk mereka huni bersama keluarganya.

Menurut Komarudin (1996:334), tempat tinggal sederhana buruh industri umumnya berbentuk kamar sewa atau indekos, rumah kontrakan, rumah pribadi yang dibeli dengan cara angsuran dan asrama. Beberapa bentuk dari hunian sewa bagi karyawan perusahaan dan pekerja lainnya adalah rumah pekerja atau karyawan bergabung dengan pabrik, rumah karyawan yang disewa perusahaan untuk dihuni pekerjanya, dan kamar sewa di rumah kecil ataupun berupa asrama (Sheng, 1992:125).

2. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penyediaan Tempat Tinggal

Buruh industri menghadapi kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan tempat tinggal mengingat rendahnya pengahasilan yang mereka miliki.Oleh karena itu, perlu keterlibatan berbagai pihak untuk membantu mereka agar dapat memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya.

(34)

45

industri secara perorangan, buruh industri melalui yayasan atau koperasi, masyarakat sekitar daerah industri melalui sewa menyewa dan jual beli, perusahaan atau pemilik industri, dan pihak ketiga (Pemerintah melalui KPR BTN dan Swasta melalui REI, developer, industrial estate).

Tidak menutup kemungkinan penyediaan tempat tinggal buruh industri tersebut dilakukan secara bersama-sama mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh masing-masing pihak tersebut.Misalnya, kerjasama antara perusahaan industri dengan pemerintah, dimana biasanya perusahaan industri mengalami kesulitan dalam penyediaan lahan maka pemerintah dapat membantu dengan penyediaan lahan.Payne dalam Panudju (1999:120) menekankan perlunya intervensi Pemerintah dalam upaya pengadaan site and service atau kapling siap bangun bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Bentuk kombinasi kerjasama yang lain adalah antara koperasi dan perusahaan industri. Keterbatasan dalam penyediaan lahan oleh koperasi dapat dibantu oleh perusahaan dengan cara memberikan pinjaman lunak untuk digunakan koperasi membeli lahan atau lahan dibeli oleh perusahaan untuk selanjutnya dibeli koperasi dengan cicilan ringan (Komarudin, 1996:230).

2.3.4 Perumahan buruh industri

(35)

permukiman menyangkut kehidupan manusia termasuk kebutuhan manusia yang terdiri dari berbagai aspek.

Sehingga dapat dirumuskan secara sederhana tentang ketentuan yang baik untuk suatu permukiman (Sinulingga, 2005:187-189) yaitu harus memenuhi sebagai berikut:

1. Lokasinya sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh kegiatan lain seperti pabrik, yang umumnya dapat memberikan dampak pada pencemaran udara atau pencemaran lingkungan lainnya.

2. Mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan lain-lain.

3. Mempunyai fasilitas drainase, yang dapat mengalirkan air hujan dengan cepat dan tidak sampai menimbulkan genangan air walaupun hujan yang lebat sekalipun.

4. Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa jaringan distribusi yang siap untuk disalurkan ke masing-masing rumah.

5. Dilengkapi dengan fasilitas air kotor/tinja yang dapat dibuat dengan sistem individual yaitu tanki septik dan lapangan rembesan, ataupun tanki septik komunal.

(36)

47

7. Dilengkapi dengan fasilitas umum seperti taman bermain bagi anak-anak, lapangan atau taman, tempat beribadat, pendidikan dan kesehatan sesuai dengan skala besarnya permukiman itu.

8. Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon.

Begitu pentingnya hunian bagi masyarakat, hal ini telah terakumulasi atau tersirat dalam prinsip piagam hak asasi manusia yang menyatakan live, liberty,

property yang dalam arti sempitnya hidup, kebebasan, tanah dan

Gambar

Gambar 2.1 Hubungan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tempat Tinggal Sumber: Moris Earl W dan Winter Mary, 1978:156-157
Gambar 2.2 Hubungan Antara Tingkat Kebutuhan Tempat Tinggal dan Tingkat Pendapatan Sumber: Turner Dalam Panudju, 1999

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi pencacah sel darah merah diharapkan dapat menghasilkan jumlah sel darah merah hasil pengolahan citra sesuai dengan hasil dari perhitungan manual, atau paling

berbeda dengan tingkat madrasah Tsnawiyah (Mts) dan Aliyah (MA), koordinator kesiswaan memiliki kredit poin dan fungsinya sangat dibutuhkan juga. meskipun begitu

Alur pelayaran diperoleh dari sinkronisasi data kedalaman hasil perum dengan data pasut berupa level muka air laut saat pemeruman, titik kritis yang mengancam alur kapal,

Selain itu, juga didapatkan nilai p value 0,004 berarti <0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kadar gula darah sewaktu

[r]

e. Penentuan dan pemilihan alat untuk kegiatan keterampilan, agar siswa bisa menjelaskan dan memahami manfaat alat dan kegunaanya dalam kegiatan keterampilan. Pengoperasian

Salah satu aspek penting adalah munculnya berbagai macam praktik baik (good practice) dan inovasi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang berperan

Sebab seandainya Allah benar-benar memiliki anak niscaya manusia paling utama dan rasul yang paling mulia yaitu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam tentu akan menjadi orang