• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Perikanan Tangkap terhadap Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan yang kemungkinan besar dapat berpengaruh terhadap kehidupan ikan adalah intensitas cahaya, suhu, salinitas, oksigen, curah hujan, dan arus. Profil temperatur dan salinitas perairan disekitar lokasi rumpon yang diamati dapat dilihat pada Gambar 30. Sebaran vertikal temperatur dan salinitas pada kedua lokasi pengamatan menunjukkan pola yang hampir sama. Lapisan homogen dengan kondisi temperatur dan salinitas relatif stabil, terdapat sampai kedalaman sekitar 30 meter dengan rata-rata suhu 29,23ºC dan salinitas 33,27 psu. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat indikasi terjadinya lapisan termoklin mulai dari kedalaman 30 meter.

Menurut Nursalam (1982), Gunarso (1985), Nontji (1987), Uktolseja et al. (1991), Jamal (2003) jenis ikan tuna dan cakalang merupakan spesies oseanik yang ditemui dibawah dan diatas termoklin, pada suhu 17-32°C, dengan kisaran

salinitas perairan yang disukai 30 - 35 psu. Penyebaran habitat pada daerah tropis terletak antara 30° LU sampai 20° LS, dengan fishing ground terbesar berada sepanjang katulistiwa 10° LU dan 10° LS. Wilayah renang tuna dan cakalang dapat tertangkap di kedalaman 0 - 400 meter.

Hasil penelitian Priatna et al. pada bulan Agustus 2009 di sekitar rumpon Pelabuhanratu yang juga masih merupakan perairan Samudera Hindia menggambarkan sebaran vertikal suhu dan salinitas di sekitar rumpon menunjukkan pola lapisan homogen hingga kedalaman 50 meter dengan rata-rata suhu 27ºC dan salinitas 34,5 psu (Priatna et al., 2010).

Perbedaan kondisi lingkungan ini kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan waktu pengambilan data yaitu Prigi pada musim peralihan II (ke musim barat tahun 2010) terjadi musim penghujan sehingga keadaan suhu perairan menjadi lebih hangat dan salinitas menurun, sedangkan Pelabuhanratu pada musim timur tahun 2009 terjadi musim kemarau. Kondisi cuaca (curah hujan dan angin) yang ekstrim sepanjang tahun 2010 hampir terjadi di seluruh wilayah perairan Indonesia.

Kondisi kecerahan saat penelitian mencapai 17 - 18 meter. Kecerahan menggambarkan sifat perairan dalam menyerap sinar matahari yang masuk kedalam perairan. Jika kadar kecerahan tinggi maka akan tinggi penetrasi sinar matahari yang terserap begitupun sebaliknya bila kekeruhan suatu perairan tinggi, maka akan mengurangi penetrasi cahaya yang terserap, sehingga akan mempengaruhi fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton yang menjadi makanan utama dalam jaringan rantai makanan

Pengoperasian alat tangkap di sekitar rumpon oleh nelayan Prigi sebagian besar hanya sampai kedalaman 50 meter, yang mana menurut mereka (nelayan Prigi) ikan banyak berkumpul pada kedalaman 50 meter yang ditengarai pada kedalaman tersebut merupakan tempat ikan cakalang dan tuna yang berukuran kecil (juvenil) atau belum layak tangkap.

Hasil penelitian Josse et al. (2000b) dengan menggunakan perangkat akustik sebanyak 16 kali ulangan menunjukkan schooling ikan tuna kecil pada strata kedalaman 10 – 50 meter merupakan area dengan kepadatan dan jumlah schooling terbesar pada jarak horizontal kurang dari 200 meter (0,0 – 0,1 nmil)

dari FADs yang kemudian terus menurun dengan nilai kepadatan minimum ditemukan antara 0,5 – 0,6 nmil dari FADs.

Priatna et al. (2010) lebih lanjut menyatakan bahwa kepadatan ikan (density) di sekitar rumpon tertinggi ditemukan pada lapisan permukaan hingga kedalaman 50 meter, dengan dominasi 80% ukuran ikan 40 – 70 cm berada pada kedalaman 25 sampai 50 meter yang diduga kuat adalah jenis cakalang dan tuna. Semakin bertambahnya kedalaman perairan maka semakin besar pula ukuran ikan yang terdeteksi dengan kepadatan yang lebih rendah.

Yusfiandayani (2004) menyatakan bahwa ikan-ikan yang tertangkap dan berkumpul di sekitar rumpon adalah ikan yang belum memijah dan belum dewasa yang mana penangkapannya dapat membahayakan kelestarian sumberdaya perikanan di wilayah perairan tersebut.

Nikijuluw (2009) menyatakan bahwa di Perairan Samudera Hindia untuk jenis ikan cakalang cenderung bergerombol dengan juvenil ikan tuna mata besar dan tuna sirip kuning yang pada umumnya hidup di bawah benda yang terapung. Cakalang pada saat matang gonad pertama (Lm) berkisar pada ukuran 41 – 43 cm, untuk tuna mata besar dan tuna sirip kuning 100 cm. Tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nootmorn et al. (2004) yang menyatakan bahwa di Samudera Hindia bagian barat sebanyak 80% jenis tuna mata besar dan 78% tuna sirip kuning yang tertangkap oleh armada purseseine Thailand adalah juvenile.

Nugraha dan Mardlijah (2006) menyatakan bahwa ukuran Lm tuna mata besar di Laut Banda untuk ikan jantan 146,1 cm dan betina 133,5 cm. Nootmorn (2004) di Western Indian Ocean untuk Lm jantan 86,85 cm dan betina 88,08 cm. Farley et al. (2003) di Samudera Hindia Lm sebesar 102,4 cm. Sedangkan pada Fish base ukuran Lm berkisar 100 – 125 cm. Mardlijah (2008) menyatakan bahwa ukuran Lm tuna sirip kuning di Perairan Marisa (Sulawesi Utara) untuk ikan betina 94,8 cm dengan kisaran 89,2 – 100,9 cm. Zubaidi (1994) di Perairan Maluku untuk Lm jantan 118,7 cm dan betina 113 cm. Sedangkan pada Fish base ukuran Lm berkisar 107,5 cm.

Perbedaan ukuran Lm tersebut dapat terjadi karena ukuran panjang pertama kali matang gonad (Lm) sangat bervariasi diantara jenis ikan itu sendri, dengan demikian individu yang berasal dari satu kelas umur ataupun kelas

panjang yang sama, tidak harus selalu mencapai panjang pertama kali matang gonad pada ukuran yang sama (Udupa, 1986).

Hubungan panjang dan berat juga dapat digunakan untuk melihat kondisi ikan atau kondisi lingkungan ikan. Dalam penelitian ini sampel ikan yang digunakan tidak membedakan jenis kelamin. Nilai b dari hubungan panjang dan berat ikan cakalang adalah 2,733 (alometrik negatif), tuna mata besar 3,096 dan tuna sirip kuning 3,960 (alometrik positif). Untuk mengetahui sejauh mana hubungan panjang dengan berat ikan ada beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi nilai b, dimana salah satunya adalah faktor lingkungan perairan.

Nugraha dan Mardlijah (2006) menyatakan bahwa pola pertumbuhan tuna mata besar hasil tangkapan rawai tuna di Laut Banda bersifat alometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,470 untuk jantan dan 2,567 untuk betina. Lebih lanjut Nugraha et al. (2010) menyatakan bahwa cakalang hasil tangkapan huhate di Laut Banda bersifat alometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,751. Faizah dan Prisantoso (2010) menyatakan bahwa pola pertumbuhan tuna mata besar hasil tangkapan tuna longline di Samudera Hindia bersifat alometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,965. Hasil penelitian Zubaidi et al. (1994) hasil tangkapan tuna sirip kuning dengan pancing ulur di Bacan-Maluku Utara bersifat alometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,67 untuk betina dan 2,81 untuk jantan.

Pada penelitian ini bila dilihat berdasarkan musim, hubungan panjang dan berat ikan cakalang bersifat alometrik negatif pada musim timur dan barat, sedangkan untuk ikan tuna mata besar dan tuna sirip kuning pada musin timur bersifat alometrik negatif, dan pada musim barat bersifat alometrik positif. Hal ini menandakan pada musim barat untuk kedua jenis tuna mengalami pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan musim timur, sehingga baik untuk dilakukan penangkapan. Namun karena kendala kondisi alam buruk pada waktu tersebut (musim barat) nelayan memiliki keterbatasan untuk melakukan operasi penangkapan ikan.

Menurut Tesch (1971) dalam Hossain (2010) hubungan panjang dan berat ikan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya habitat, lingkungan, musim, isi perut, matang gonad, kesehatan dan jenis kelamin. King (2007) menyatakan bahwa hubungan panjang dan berat dapat digunakan untuk menentukan

kemungkinan perbedaan antara jenis ikan yang sama pada stok yang berbeda. Faktor kondisi dasar hubungan panjang dan berat sebagai indikator ketersediaan makanan di wilayah perairan dan secara umum siklus perubahan musim dapat mempengaruhi perkembangan gonad (Hossain, 2010).

Dokumen terkait