• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen biaya investasi dan modal kerja armada jaring insang

No.Komponen Biaya investasi Satuan Besaran Biaya Total satuan (Rp) biaya (Rp) A. Biaya Investasi Rumpon

1 1.1. Tali utama rol 50 400.000 20.000.000

1.2. Ban bekas buah 30 5.000 150.000

1.3. Pemberat buah 25 140.000 3.500.000

1.4. Blarak (atraktor) buah 30 3.500 105.000

1.5. Kili-kili besar buah 1 300.000 300.000

1.6. Kili-kili kecil buah 2 100.000 200.000

1.7. Pelampung buah 1 4.000.000 4.000.000

1.8. Selang rol 2 75.000 150.000

1.9. Tali rafia rol 2 6.000.000 12.000.000

1.10. Tenaga kerja hari 10 700.000 7.000.000

2 Sub Total (1.1. S/d 1.10) 47.405.000

3 Biaya Investasi Kapal

3.1. Kapal unit 1 60.000.000 60.000.000

3.2. Mesin Kapal (30 PK) unit 2 10.000.000 20.000.000 3.3. Mesin Kapal (24 PK) unit 1 4.000.000 4.000.000

3.4. Pancing tonda unit 8 100.000 800.000

3.5. Jaring insang piece 5 1.800.000 9.000.000

3.6. Pancing layang-layang unit 5 100.000 500.000

3.7. Pancing rentak unit 6 110.000 660.000

3.8. Rawai unit 200 15.000 3.000.000

3.9. Pancing ulur unit 6 100.000 600.000

3.10. Diesel (genset) unit 1 4.500.000 4.500.000

3.11. Lampu mercury kuning (400 watt) buah 2 670.000 1.340.000 3.12. Lampu mercury putih (400 watt) buah 4 850.000 3.400.000

3.13. GPS unit 1 800.000 800.000

3.14. Kompas unit 1 1.000.000 1.000.000

4 Sub total (3.1. S/d 3.1.4.) 109.600.000

5 Total Biaya Investasi (2+4) 157.005.000

No.Komponen Biaya tetap Satuan Besaran Biaya Total satuan (Rp) biaya (Rp) B. Biaya tetap

1 1.1 Perawatan rumpon bulan 12 100.000 1.200.000

1.2 Perawatan kapal bulan 12 300.000 3.600.000

1.3 Perawatan alat tangkap bulan 12 200.000 2.400.000

1.4 Perawatan mesin bulan 12 300.000 3.600.000

1.5 Pajak kapal / tahun tahun 1 100.000 100.000

Lanjutan

No.Komponen biaya tidak tetap Satuan Besaran Biaya Total satuan (Rp) biaya (Rp) C. Biaya operasional per trip

1 1.1. Bahan bakar liter 300 4.500 1.350.000

1.2. Oli mesin liter 7 20.000 140.000

1.3. Gas (3 kg) 4 15.000 60.000

1.4. Es balok buah 40 8.000 320.000

1.5. Biaya makan orang 5 200.000 1.000.000

1.6. Obat-obatan Paket 1 100.000 100.000

1.7. Umpan pancing Paket 1 200.000 200.000

1.8. Air Paket 1 100.000 100.000

1.9. Retribusi % 2% 10.308.333 206.167

2 Total (1.1 S/d 1.9) 3.476.167

3 Biaya operasional per bulan trip 3 3.476.167 10.428.500 4 Total Biaya tidak tetap per tahun trip 36 3.476.167 125.142.000 No.Komponen penerimaan Satuan Besaran Biaya Total

satuan (Rp) biaya (Rp) D Musim puncak per trip (Jul s/d Nov)

1 1.1 Tuna kg 650 13.000 8.450.000

1.2 Cakalang kg 500 11.000 5.500.000

1.3 Lainnya kg 350 8.000 2.800.000

2 Total (1.1 s/d 1.3) 16.750.000

3 Penerimaan musim puncak 15 16.750.000 251.250.000 4 Musim sedang per trip (Jun&Des)

1.1 Tuna kg 450 15.000 6.750.000

1.2 Cakalang kg 250 12.000 3.000.000

1.3 Lainnya kg 100 9.000 900.000

5 Total (1.1 s/d 1.3) 10.650.000

6 Penerimaan musim sedang 6 10.650.000 63.900.000 7 Musim paceklik per trip (Jan s/d Mei)

1.1 Tuna kg 125 18.000 2.250.000

1.2 Cakalang kg 70 14.000 980.000

1.3 Lainnya kg 50 10.000 500.000

8 Total (1.1 s/d 1.3) 3.730.000

9 Penerimaan musim paceklik 15 3.730.000 55.950.000

Lanjutan

No.Komponen penyusutan Satuan Besaran Biaya Total (%) satuan (Rp) biaya (Rp) E Biaya penyusutan per tahun

1 1.1. Penyusutan rumpon unit 40 47.405.000 18.962.000 2 Penyusutan kapal dan alat tangkap

2.1. Kapal unit 10 44.250.000 4.425.000

2.2. Mesin Kapal (30 PK) unit 10 11.000.000 1.100.000

2.3. Mesin Kapal (24 PK) unit 10 4.000.000 400.000

2.4. Pancing tonda unit 20 100.000 20.000

2.5. Jaring insang pis 20 1.800.000 360.000

2.6. Pancing layang-layang unit 20 100.000 20.000

2.7. Pancing rentak unit 20 110.000 22.000

2.8. Rawai unit 20 15.000 3.000

2.9. Pancing ulur unit 20 100.000 20.000

2.10. Diesel (genset) unit 10 4.400.000 440.000

2.11. Lampu mercury kuning (400 w) buah 10 670.000 67.000 2.12. Lampu mercury putih (400 w) buah 10 850.000 85.000

2.13. GPS unit 10 800.000 80.000

2.14. Kompas unit 10 1.000.000 100.000

3 Sub total (2.1. S/d 2.14.) 7.142.000

4 Total penyusutan 26.104.000

No.Komponen tenaga kerja Satuan Besaran Biaya Total satuan (Rp) biaya (Rp) F Upah dan bonus

1 1.1 Bagi hasil (pemilik 50% : ABK 50%) % 50 235.058.000 117.529.000

1.2 Bonus juru mudi (1%) % 1 371.100.000 3.711.000

1.3 Upah teknisi bulan 12 300.000 3.600.000

2 Total upah dan bonus tahun 124.840.000

TR (total penerimaan) D10 Rp 371.100.000

TC (total biaya) B2+C4+E4 Rp 162.146.000

(keuntungan) Rp 208.954.000

R/C rasio 2.29

ii

ERFIND NURDIN. The Sustainable technology and management of FADs- based tuna fisheries in Prigi, East Java. Supervised by AM AZBAS TAURUSMAN and ROZA YUSFIANDAYANI.

Fish Aggregating Device is an auxiliary gear for fishing, operated to attract and aggregate the fish school. The advantage of FADs used on short-term increase the efficiency and effectivity of fishing operations and the number of fish caught by fisherman, however FADs could also result negative impact on sustainable fish stock.

This study was conducted in the fishing ground of Prigi National Fishing Port, East Java. The objective of this study are to access: the utilization status, technical, ecological and economical feasibilities of FADs tuna fisheries, optimization number of fishing units and number of FADs. Some analysis methods were applied in this study: technicaly such as linear goal programming (LGP), fisheries status: fishing power indeks (FPI), catch per unit effort (CPUE) and maximum sustainable yield (MSY); bioecology: relationship between length and weight, seasonal fishing index; economical feasibility: profitability, payback period, net present value (NPV), internal rate of return (IRR) dan net benefit cost – rasio (Net B/C).

The result showed that the tuna fisheries in Prigi Waters has indicated an overexploitation status. The FADs construction was feasible in a technical and economical manners however interm of ecological aspect such as size of dominant fish caught showing lower than legth at first maturity. The optimum allocation for gillnet are 43 units, troll 63 units and The FADs 33 units for the fishing ground area of 8.940 km².

Keywords: sustainable fisheries, FADs-based tuna fisheries, Prigi-National Fishing Port

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di perairan Samudera Hindia dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat, hal ini terindikasi dengan semakin bertambahnya ijin usaha penangkapan dan jumlah armada yang beroperasi. Setelah dikembangkan rumpon di perairan Samudera Hindia, aktifitas perikanan tuna skala kecil (small scale tuna fisheries) semakin ramai. Herrera (2002) menyatakan bahwa pada tahun 2000 hasil tangkapan longline yang beroperasi di perairan Samudera Hindia yang berbasis di 3 pelabuhan perikanan utama (Jakarta, Cilacap dan Benoa) diperkirakan mencapai 54.000 ton, pancing tonda, pukat cincin mini dan jaring insang mencapai 50.000 ton.

Unit armada penangkapan yang taktik penangkapannya menggunakan alat bantu pengumpul ikan seperti rumpon banyak ditemukan pada perikanan tuna skala kecil. Saat ini kompetisi antara unit penangkapan ikan dalam penggunaan rumpon semakin tinggi sehingga mengakibatkan kontra produktif terhadap efisiensi penangkapan dan dapat menimbulkan dampak negatif tehadap sumberdaya dan lingkungan.

Rumpon telah terbukti dapat meningkatkan efisiensi penangkapan melalui ketepatan daerah penangkapan. Pengembangan penggunaan rumpon yang terjadi di perairan samudera Hindia diikuti dengan berkembangnya usaha penangkapan tuna oleh armada penangkapan di bawah 20 GT yang menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Perkembangan usaha penangkapan tuna telah memberikan konstribusi yang cukup signifikan di beberapa daerah. Namun data sementara menunjukkan bahwa porsi terbesar hasil tangkapan yang didaratkan tergolong surface tuna yang pada umumnya memiliki ukuran panjang belum layak tangkap (Nurdin, 2009). Peningkatan kapasitas armada penangkapan ikan skala kecil di perairan Indonesia telah menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan kapasitas penangkapan yang berlebih.

Salah satu pusat pendaratan tuna skala kecil (small scale) di selatan pulau Jawa adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi, Trenggalek – Jawa Timur. Kegiatan penangkapan dilakukan di Perairan Selatan Jawa dengan

menggunakan alat bantu rumpon. Armada penangkapan yang dominan melakukan penangkapan di rumpon dengan tujuan utama jenis ikan tuna dan cakalang adalah armada tonda dan jaring insang yang menggunakan beberapa jenis alat tangkap yaitu tonda (troll lines), jaring insang hanyut (drift gill net), pancing ulur (hand line), pancing tomba (vertical lines) dan pancing layang- layang (kite hook and line). Hasil tangkapan tuna cakalang oleh armada tonda pada tahun 2005 mencapai 2.155 ton dan armada jaring insang mencapai 1.020 ton (Statistik PPN Prigi, 2010).

Sumberdaya perikanan umumnya dalam kondisi sebagai milik bersama (common property), dimana pemanfaatan dapat digunakan secara terbuka dalam waktu yang bersamaan oleh beberapa pelaku perikanan (open access). Hal inilah yang memudahkan keluar masuknya pelaku usaha pemanfaatan sumberdaya ikan. Pada jenis usaha yang memberikan tingkat keuntungan yang relatif lebih baik, maka tekanan pemanfaatan akan semakin kuat. Pemanfaatan sumberdaya ini bila tidak diatur dengan baik, maka akan cenderung ke arah pemanfaatan yang berlebih dan akan menimbulkan dampak yang dapat mengancam kelangsung usaha itu sendiri. Oleh sebab itu perlu adanya pengelolaan yang seksama agar produktivitas optimum dapat terjaga.

Monintja dan Zulkarnain (1995) dan Diniah et al. (2006) menyatakan bahwa hasil penelitian menunjukkan pada awal keberadaan rumpon, mampu meningkatkan hasil tangkapan. Namun dengan semakin padatnya pemasangan rumpon menyebabkan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya, yang dimulai dengan tanda-tanda ukuran rata-rata ikan yang tertangkap memperlihatkan kecenderungan yang lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya.

Langkah awal yang sebaiknya dilakukan untuk pengembangan sumberdaya ikan adalah menentukan: besarnya stok sumberdaya ikan (stock assessment); jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau dimanfaatkan; dan pengalokasian stok sumberdaya ikan tersebut bagi wilayah daerah otonom (shared stock). JTB adalah jumlah tangkapan yang dibolehkan yang berisi tentang besarnya atau banyaknya sumberdaya ikan yang boleh ditangkap (80 % dari potensi lestari) dengan memperhatikan aspek konservasi di wilayah perikanan Indonesia.

Pasca dicanangkannya revitalisasi perikanan tuna, perkembangan teknologi rumpon sebagai alat bantu penangkapan semakin meningkat. Blooming rumpon untuk penangkapan ikan tuna dan cakalang banyak ditemui khususnya di sepanjang perairan selatan Jawa, hal ini memicu peningkatan aktivitas penangkapan, sehingga dapat berdampak terhadap penurunan hasil produksi.

Berbagai tipe alat tangkap saat ini banyak dioperasikan seperti pancing ulur, pancing tonda, jaring insang dan payang. Target spesies pengoperasian alat tangkap tersebut adalah kelompok ikan tuna dan cakalang. Data informasi yang ada menunjukkan bahwa ukuran ikan tuna yang tertangkap, umumnya adalah kelompok ukuran yang tergolong surface tuna, ikan tuna berukuran kecil.

Alat tangkap yang kini berkembang di tingkat nelayan cenderung terus meningkat efesiensi dan efektivitasnya. Namun peningkatan efesiensi dan efektivitas ini sering tidak sejalan dengan issue yang tengah berkembang. Perolehan hasil tangkapan secara berkelanjutan (sustainable yield) merupakan salah satu isu yang kuat dihembuskan untuk mengkritisi kecenderungan usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak mengindahkan kelestarian baik terhadap sumberdaya itu sendiri maupun lingkungan.

Meningkatnya hasil tangkapan dan berkembangnya upaya penangkapan telah mengarah pada menurunnya ukuran stok sumberdaya. Apabila ukuran hasil tangkapan ikan tuna muda semakin mengecil, hal ini akan mengakibatkan berkurangnya jumlah ikan tuna yang berkesempatan memijah, dan akan mengakibatkan rekruitmen berkurang. Terdapat keterkaitan antara berbagai alat tangkap dan skala usaha perikanan tuna yang beroperasi terhadap ketersediaan sumberdaya ikan tuna di suatu wilayah perairan.

Dampak negatif rumpon perlu diwaspadai secara serius apabila dalam pengoperasian melebihi kapasitas: a) jumlah ikan di daerah penangkapan sekitar pantai menurun dimana usaha penangkapan skala kecil beroperasi; b) Laju tangkap unit penangkapan di luar areal rumpon cenderung menurun; c) berhentinya operasi penangkapan dari sebagian unit penangkapan skala kecil (Simbolon, 2004). Ketersediaan data yang memadai mutlak diperlukan untuk menganalisis status sumberdaya, guna mengantisipasi kemungkinan pengambilan keputusan yang kurang tepat dalam pengelolaan sumberdaya ikan ini.

1.2 Perumusan Masalah

Tingkat pemanfaatan rumpon saat ini menunjukkan perkembangan yang pesat dari tahun ke tahun, hal ini dapat dilihat dengan bertambahnya jumlah armada kapal yang melakukan operasi penangkapan di sekitar rumpon. Penerapan teknologi rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan akan memberikan keuntungan dan juga kerugian, dalam jangka pendek adanya rumpon akan meningkatkan pendapatan nelayan, sedangkan pada jangka panjang dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap produksi hasil tangkapan, kesejahteraan nelayan dan kelestarian sumberdaya stok ikan.

Perumusan masalah pada penelitian ini didasari oleh produksi perikanan tuna berbasis rumpon yang terus menurun dengan ketersediaan sumberdaya yang terbatas, sementara upaya pemanfaatan semakin meningkat sehingga dipandang perlu adanya pengelolaan yang baik dan berkelanjutan.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka dianggap perlu untuk mengkaji tingkat kelayakan pemanfaatan rumpon dan optimalisasi armada penangkapan yang beroperasi di sekitar rumpon agar produktivitas optimum dapat terjaga. Dasar pertimbangan yang menjadi kerangka pemikiran adalah peningkatan pemasangan rumpon yang menyebabkan peningkatan aktivitas penangkapan di lokasi penelitian yang mengakibatkan terjadinya penurunan hasil produksi sehingga dianggap perlu adanya pengelolaan pemanfaatan secara optimal dengan menitik beratkan pada masalah jumlah rumpon dan alat tangkap yang beroperasi di sekitar rumpon.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Menganalisis status perikanan tuna berbasis rumpon di Prigi;

2) Menentukan kelayakan teknis, bioekologis dan ekonomis perikanan tuna berbasis rumpon di Prigi;

3) Menentukan tingkat pemanfaatan optimal perikanan tuna berdasarkan jumlah rumpon dan armada penangkapan di lokasi penelitian.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk :

1) Memberikan informasi ilmiah terkait perikanan tuna berbasis rumpon di perairan tropis;

2) Sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan jumlah rumpon dan alat tangkap optimal yang beroperasi;

3) Informasi manajemen pengelolaan perikanan rumpon yang berkelanjutan di lokasi penelitian.

1.5 Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Secara bioekologis hasil tangkapan ikan tuna di sekitar rumpon berukuran kecil (belum layak tangkap);

2) Pemanfaatan sumberdaya ikan tuna telah tereksploitasi secara berlebih dengan indikator terjadinya tren penurunan produksi hasil tangkapan dan nilai CPUE (catch per unit effort), yang menimbulkan persoalan kesejahteraan nelayan dan keberlanjutan usaha perikanan rumpon di lokasi penelitian.

1.6 Kerangka Pemikiran

Permasalahan yang ada dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tuna di Indonesia, terutama di Samudera Hindia adalah pemanfaatan yang bersifat open access, ketersediaan sumberdaya perikanan, eksploitasi berlebih dan pengelolaan yang bersifat internasional, hal ini dikarenakan ikan tuna termasuk jenis ikan yang daerah penyebarannya sangat luas (high migratory).

Dalam rangka pengelolaan perikanan tuna berbasis rumpon yang berkelanjutan, ketersediaan sumberdaya perikanan dan pemanfaatan yang bertanggungjawab menjadi hal yang sangat penting. Pengetahuan tentang hal ini sangat diperlukan dalam upaya manajemen pemanfaatan sumberdaya perikanan agar dapat memberikan hasil yang optimal dan berkelanjutan (lestari).

Pada kondisi perikanan yang open access kompetisi antar pelaku perikanan dalam pemanfaatan sumberdaya tidak terkendali, kapasitas upaya penangkapan ikan akan cenderung meningkat. Peningkatan upaya penangkapan

akan berdampak pada produksi hasil tangkapan, yang mana jika tidak dikelola dengan baik, maka dapat merusak kelangsungan sumberdaya perikanan itu sendiri.

Secara umum pemanfaatan sumberdaya tuna berbasis rumpon di Prigi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; (1) aspek sumberdaya perikanan; (2) aspek teknis penangkapan ikan; (3) aspek bioekologis; dan (4) aspek ekonomis. Agar pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat berlangsung terus menerus dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya, diperlukan suatu manajemen dengan mengukur kelayakan dari faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut (Gambar 1).

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis Besar

Tuna merupakan anggota famili Scombridae. Dilihat dari ukurannya, terdapat dua jenis tuna yang biasa dijumpai di Indonesia yaitu kelompok tuna besar dan tuna kecil. Beberapa jenis tuna besar yang selama ini banyak dijumpai adalah tuna sirip kuning (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), albakora (Thunnus alalunga) dan tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii). Selain itu ada jenis tuna yang berukuran relatif kecil yang terdiri dari cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tongkol (Auxis sp.).

Tuna merupakan ikan perenang cepat dan hidup bergerombol membentuk schooling, terutama pada waktu mencari makan. Tuna mampu berenang dengan kecepatan hingga 50 km/jam, karena kecepatan renangnya yang relatif tinggi inilah menyebabkan tuna memerlukan ruang gerak yang luas. Beberapa jenis tuna bahkan melakukan migrasi melintasi samudera dan mencirikannya sebagai highly migratory species. Nakamura (1969) menyatakan bahwa penyebaran tuna tidak dipengaruhi perbedaan garis bujur (longitude) maupun oleh perbedaan garis lintang (latitude). Di samudera Hindia dan Atlantik, tuna menyebar antara garis lintang 40o LU dan 40o LS (Collette and Nauen, 1983).

2.1.1 Biologi tuna mata besar (Bigeye tuna)

Tuna mata besar termasuk jenis tuna besar, sirip dada cukup panjang pada individu yang besar dan menjadi sangat panjang pada individu yang sangat kecil. Warna bagian bawah dan perut putih, garis sisi pada ikan yang hidup seperti sabuk berwarna biru membujur sepanjang badan, sirip punggung pertama berwarna kuning terang, sirip punggung kedua dan sirip dubur berwarna kuning muda, jari-jari sirip tambahan (finlet) berwarna kuning terang, dan hitam pada ujungnya. Panjang cagak maksimum lebih dari 200 cm, pada umumnya 180 cm.

Ukuran layak tangkap pada ikan dimulai pada saat ikan telah dewasa mencapai ukuran tertentu dan telah memijah untuk pertama kali (length at first maturity – Lm). Terdapat beberapa hasil penelitian tentang ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan tuna mata besar dengan hasil yang bervariasi. Menurut

Nugraha dan Mardlijah (2006) bahwa ukuran Lm tuna mata besar di Laut Banda untuk ikan jantan 146,1 cm dan betina 133,5 cm. Nootmorn (2004) di Western Indian Ocean untuk Lm jantan 86,85 cm dan betina 88,08 cm. Farley et al. (2003) di Samudera Hindia Lm ikan tuna mata besar 102,4 cm. Sedangkan pada Fish base ukuran Lm berkisar 100 – 125 cm.

Fukofuka dan Itano (2006), menyatakan bahwa tuna mata besar mempunyai ciri-ciri luar sebagai berikut :

• Sirip ekor mempunyai lekukan yang dangkal pada pusat celah sirip ekor. • Setelah dewasa matanya relatif besar dibandingkan dengan tuna yang lain. • Profil badan seluruh bagian dorsal dan ventral melengkung secara merata. • Sirip dada pada ikan dewasa, 1/4 - 1/3 kali fork length (FL).

• Sirip dada pada ikan yuwana lebih panjang dan selalu melewati belakang sebuah garis yang digambar di antara tepi-tepi anterior sirip punggung kedua dan sirip anal.

• Ikan-ikan < 75 cm (10 kg) mempunyai sirip dada yang lebih panjang dari pada tuna sirip kuning dari ukuran-ukuran yang sebanding.

• Ikan-ikan yuwana sering mempunyai 7-10 strip-strip yang berwarna putih dan tidak terputus-putus, menyilang tegak lurus pada sisi-sisi bagian bawah, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tuna sirip kuning.

Sumber : FAO (2005),www.figis@fao.org Gambar 2 Tuna mata besar (Thunnus obesus).

Di Indonesia, daerah penyebaran tuna, termasuk tuna mata besar, secara horisontal meliputi perairan barat dan selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut Banda dan sekitarnya, Laut Sulawesi dan perairan barat

Papua. Semua jenis tuna terdapat di Indonesia kecuali tuna sirip biru utara dan tuna sirip hitam, karena tuna sirip biru utara menghuni Samudera Pasifik dan Atlantik, sedangkan tuna sirip hitam hanya terdapat di Samudera Atlantik (Uktolseja, 1988).

Sumber : FAO (2005), www.figis@fao.org

Gambar 3 Peta penyebaran tuna mata besar di dunia.

Klasifikasi tuna mata besar (Saanin, 1986) : Kingdom : Animalia

Sub Kingdom : Metazoa Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Class : Pisces Sub Class : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Scombroidae

Family : Scombridae Genus : Thunnus

Species : Thunnus obesus

2.1.2 Biologi tuna sirip kuning (yellowfin tuna)

Tuna sirip kuning kuning adalah spesies oseanik yang ditemui dibawah dan diatas termoklin, pada suhu 18-31°C. Distribusi vertikal mereka nampak dipengaruhi oleh struktur panas dari kolom air, seperti yang ditunjukkan pada korelasi antara mudah tertangkapnya ikan oleh purse seine, kedalaman dari mixed

layer, dan kekuatan dari gradien suhu pada termoklin. Banyak dari mereka umumnya ditemui di bagian atas dari kedalaman 100 meter pada kolom air di area dimana cukup oksigen. Dibawah termoklin kandungan oksigen sangat rendah biasanya dibawah 2 ml/l sehingga ikan perenang cepat ini jarang ditemukan. Mereka biasanya bergerombol sesuai ukuran baik bersama spesies sejenis maupun dengan spesies lain.

Terdapat beberapa hasil penelitian tentang ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan tuna sirip kuning dengan hasil yang bervariasi. Menurut Mardlijah (2008) bahwa ukuran Lm tuna sirip kuning di Perairan Marisa (Sulawesi Utara) untuk ikan betina 94,8 cm dengan kisaran 89,2 – 100,9 cm. Zubaidi (1994) di Perairan Maluku untuk Lm jantan 118,7 cm dan betina 113 cm. Sedangkan pada Fish base ukuran Lm berkisar 107,5 cm.

Fukofuka dan Itano (2006) menyatakan ciri-ciri morfologi tuna sirip kuning adalah sebagai berikut :

Morfologi badan

• Badan memanjang dengan ekor panjang.

• Garis besar badan datar antara sirip punggung kedua dengan sirip ekor, dan antara sirip anal dengan sirip ekor.

Tanda-tanda Badan

• Pola chevron yang mencolok dari garis-garis yang berwarna keperakan yang jaraknya berdekatan.

• Garis-garis penuh yang diselang-selingi dengan baris-baris dari titik-titik. • Pola garis meluas dari ekor, ke arah depan sampai di bawah sirip dada dan

ke atas garis tengah sisi.

Badan bagian anterior di bawah dada tuna sirip kuning

• Pita-pita mencolok berselang-seling mengarah ke depan dan bawah sirip dada.

• Batas pemisah antara daerah bertanda dan tidak bertanda sangat jelas.

Pewarnaan

• Tuna sirip kuning segar memperlihatkan suatu pita pada tengah sisi berwarna kuning terang.

• Punggung berwarna hitam gelap, terpisah dari warna emas oleh suatu pita biru tipis.

• Sirip-sirip kuning sampai kekuning-kuningan, sirip anal kadang-kadang tersepuh dengan perak.

• Bagian sisi dan perut putih keperakan.

Panjang sirip dada

• Sirip dada pendek, hanya mencapai sirip punggung kedua. • Sirip dada lebih tebal, lebih kaku dan membulat pada ujungnya.

Morfologi kepala dan mata

• Panjang dan lebar kepala versus panjang cagak lebih pendek dari bigeye • Garis tengah mata lebih kecil dibandingkan dengan tuna mata besar pada

panjang cagak yang sama.

Sirip ekor

• Bagian pusat dari tepi ”trailing” membentuk lekukan yang nyata. • Ada dua punggung menonjol yang membentuk lekukan V atau M.

Pewarnaan pada finlet

• Kuning terang tidak ada warna hitam pada pinggir-pinggirnya.

Sumber : FAO (2005), www.figis@fao.org

Gambar 4 Tuna sirip kuning (Thunnus albacares).

Kedalaman renang tuna sirip kuning bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya tuna dan cakalang dapat tertangkap di kedalaman 0-400 meter. Salinitas perairan yang disukai berkisar 32-35 ppt atau di perairan oseanik. Suhu perairan berkisar 17-31 oC. Tuna sirip kuning (Thunnus albacares) tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Panjang dapat mencapai lebih dari 2 meter

(Uktolseja et al., 1991). Jenis ini menyebar di perairan dengan suhu yang berkisar antara 17-31 oC dengan suhu optimum yang berkisar antara 19-23 oC (Nontji, 1987), sedangkan suhu yang baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20- 28 oC (Uda, 1952 dalam Laevastu dan Hela, 1970).

Pergerakan migrasi kelompok ikan sirip kuning di wilayah perairan Indonesia mencakup wilayah perairan pantai, teritorial dan Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) Indonesia. Keberadaan mereka di suatu perairan sangat bergantung pada beberapa hal yaitu kondisi hidro-oseanografi perairan. Pada wilayah perairan ZEE Indonesia, migrasi jenis ekor kuning di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Spesies sirip kuning yang berukuran besar biasanya bergerombol dengan lumba-lumba. Ikan ini mendiami perairan yang hangat di Atlantik, Pasifik, dan Laut Indian. Di Atlantik Barat spesies ini ditemukan dari Massechusetts sampai Brazil, termasuk Teluk Meksiko dan Caribean. Migrasi tuna sirip kuning di Pasifik terjadi terus menerus antara Pasifik Timur dan Barat maupun Pasifik Utara

Dokumen terkait