• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rumpon merupakan alat pemikat ikan yang digunakan untuk mengkonsentrasikan ikan sehingga operasi penangkapan ikan dapat dilakukan dengan mudah (Subani dan Barus, 1988). Disamping berfungsi sebagai pengumpul kawanan ikan, pada prinsipnya memudahkan kawanan ikan untuk ditangkap dan juga dapat menghemat waktu dan bahan bakar, karena daerah penangkapannya yang sudah pasti (Subani, 1986). Lebih lanjut Monintja (1990) menyatakan bahwa manfaat yang diharapkan selain menghemat waktu dan bahan bakar juga dapat menaikkan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan.

Rumpon telah lama dikenal di Indonesia maupun di negara-negara seperti Philipina dan negara-negara Pasifik Barat. Penggunaan rumpon secara tradisional di Indonesia telah lama dilakukan terutama oleh para nelayan di Mamuju, Sulawesi Barat dan Jawa Timur, sedangkan penggunaan rumpon secara modern baru dimulai pada tahun 1980 oleh Lembaga Penelitian Perikanan Laut (Monintja dan Zulkarnain, 1995.

Di Indonesia ada dua jenis rumpon, yaitu: a) rumpon laut dangkal, yang dipasang pada kedalaman kurang dari 100 meter dan biasanya untuk perikanan pelagis kecil, dan b) rumpon laut dalam, yang dipasang pada kedalaman lebih dari 600 meter (Baskoro dan Effendy, 2005).

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Per.02/Men/2011) tentang jalur penangkapan ikan, penempatan alat penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara republik Indonesia, menyebutkan bahwa rumpon merupakan alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Terdiri dari: a) rumpon hanyut, merupakan rumpon yang ditempatkan tidak menetap, tidak dilengkapi dengan jangkar dan hanyut mengikuti arah arus; dan b) rumpon menetap, merupakan rumpon yang ditempatkan secara menetap dengan menggunakan jangkar dan/atau pemberat.

Lebih lanjut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Per.02/Men/2011), menyebutkan bahwa rumpon menetap terdiri dari: 1) rumpon permukaan, merupakan rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang ditempatkan di kolom permukaan perairan untuk mengumpulkan ikan pelagis; dan 2) rumpon dasar, merupakan rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang ditempatkan di dasar perairan untuk mengumpulkan ikan demersal.

Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 51/Pkts/IK.250/I/1997 tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon, rumpon didefinisikan sebagai alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut. Berdasarkan tempat pemasangan dan pemanfaatan rumpon, dikatagorikan ada 3 jenis rumpon, yaitu: a) rumpon perairan dasar adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut; b) rumpon perairan dangkal adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalam sampai 200 meter; c) rumpon perairan dalam adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut lebih dari 200 meter.

Studi yang dilakukan Gafa et al. (1987) menunjukkan bahwa rumpon selain merupakan alat bantu pengumpul ikan tuna cakalang dan jenis ikan lainnya,

juga berfungsi sebagai penghambat laju pergerakan ikan bermigrasi serta sebagai tempat mencari makan, memijah dan berlindung, sehingga ikan akan berada disekitar rumpon untuk waktu yang lebih lama.

Menard et al. (2000a) mengemukakan bahwa rumpon selain sebagai tempat berlindung (refuge), rantai makanan (trophic function) dan titik temu (meeting point) juga berfungsi sebagai tempat berasosiasi (associated) terhadap jenis ikan pelagis lainnya seperti layaran (billfish) dan hiu (shark).

Samples dan Sproul (1985) menyatakan bahwa keberadaan ikan di sekitar rumpon disebabkan oleh: a) rumpon sebagai tempat berteduh (shading place) bagi beberapa jenis ikan tertentu; b) rumpon sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan-ikan tertentu; c) rumpon sebagai tempat berlindung dari predator bagi ikan-ikan tertentu; d) rumpon sebagai titik acuan navigasi (reference point) bagi ikan-ikan tertentu yang beruaya; e) rumpon sebagai sustrat untuk meletakkan telurnya bagi ikan-ikan tertentu. Lebih lanjut menurut Gooding dan Magnuson (1967) dinyatakan bahwa rumpon juga berfungsi sebagai stasiun pembersih (cleaning place) bagi ikan-ikan tertentu.

Dagorn et al. (2000b) menyatakan bahwa tropical tuna terutama jenis cakalang, tuna mata besar dan tuna sirip kuning berasosiasi dengan benda terapung di permukaan perairan. Menard, et al. (2000a) mengatakan bahwa hasil tangkapan ikan disekitar rumpon dengan purse seine terdiri dari jenis cakalang yang bercampur dengan tuna mata besar dan tuna sirip kuning tuna dengan ukuran yang hampir seragam yaitu sekitar 46 cm. Sedangkan hasil riset yang dilakukan Josse dan Bertrand (2000a) dengan tonda untuk tuna mata besar 50 cm dan tuna sirip kuning 56 cm. Josse et al. (2000b) dengan tonda untuk tuna mata besar dan tuna sirip kuning didominasi oleh ukuran 50 cm.

Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 51/kpts/ik.250/1/97, tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon, menyatakan bahwa rumpon dipasang dengan jarak pemasangan 10 mil laut antara rumpon satu dengan rumpon lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kleiber and Hampton (1994), Dragon et al. (2000a) yang menyatakan bahwa pengaruh FADs berada pada radius 9 km ( 5 nmil), dengan asumsi pengaturan jarak antar FAD 18 km ( 10 nmil).

Lebih lanjut Dagorn et al. (2000b) meyatakan bahwa ikan tuna mampu mendeteksi keberadaan mangsa dan FADs hingga jarak 1,8 km ( 1 nmil), tetapi ikan tersebut hanya mengetahui arah menuju FADs dan tidak mengetahui jarak ke FADs tersebut. Berdasarkan beberapa hasil penelitian rumpon yang diacu dalam Dagorn et al. (2000b) menyatakan bahwa radius area pengaruh FADs berkisar 4 – 7 nmil (7–13 km) (Holland et al., 1990; Cayré, 1991) and model (Hilborn and Medley, 1989; Kleiber and Hampton, 1994).

Menard et al. (2000b) dan Dagorn et al. (2000a) menyatakan bahwa ikan tuna kecil yang berasosiasi dengan FADs akan mengurangi aktivitas renangnya dibandingkan dengan yang berada di laut terbuka sehingga lebih mudah untuk ditangkap. Lebih lanjut Menard et al. (2000b) menyatakan bahwa pemanfaatan rumpon secara besar-besaran akan merubah pola migrasi dan pertumbuhan ikan, yang berpengaruh pada produksi dan distribusi geografis. FADs mempunyai keterbatasan pengaruh langsung terhadap ekosistem, sehingga pemanfaatannya yang intensif dapat berpengaruh negative pada yield per – recruitment.

Hasil penelitian Josse et al. (2000b) dengan menggunakan perangkat akustik sebanyak 16 kali ulangan menunjukkan bahwa schooling ikan tuna kecil pada strata kedalaman 10 – 50 meter merupakan area dengan kepadatan dan jumlah schooling terbesar pada jarak horizontal kurang dari 200 meter (0,0 – 0,1 nmil) dari FADs yang kemudian terus menurun dengan nilai kepadatan minimum ditemukan antara 0,5 – 0,6 nmil dari FADs.

Dalam menentukan lokasi pemasangan rumpon kita harus memperhatikan faktor-faktor kondisi lingkungan perairan yang disukai oleh jenis ikan tuna dan cakalang yang menjadi target utama penangkapan. Supadiningsih dan Rosana (2004) menyatakan bahwa penentuan daerah penangkapan ikan tuna cakalang dapat dilakukan dengan memanfaatkan data citra satelit (inderaja) yaitu suhu permukaan laut (SPL), pengangkatan massa air (upwelling), pertemuan dua massa air yang berbeda (sea front) dan perkiraan kandungan klorofil di perairan.

Jamal (2003) menyatakan bahwa parameter fisika kimia perairan disekitar rumpon berada pada kisaran normal, yaitu kecepatan arus berkisar antara 0,001- 0,30 m/det, suhu 29,33° - 30,33°C, salinitas 30-31 psu, kecerahan 77,33-84,67 % serta oksigen terlarut 4 - 4,57 ppm.

Dokumen terkait