• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Sistem Moneter Internasional dengan Sistem Moneter yang

Dalam dokumen Analisis Perkembangan Sistem Moneter Int (Halaman 28-34)

BAB II PEMBAHASAN

2.8 Keterkaitan Sistem Moneter Internasional dengan Sistem Moneter yang

Rentang masa pada tahun 1945 – 1949, dimana Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda merupakan masa teramat buruknya kondisi perekonomian yang dialami. Meskipun Belanda saat itu telah mengakui secara de jure kedaulatan Republik Indonesia, tetapi usaha-usaha mengontrol dan mengintervensi ekonomi Indonesia masih menjadi tujuan strategis mereka ketika berada di wilayah kedaulatan. Ini terbukti dari langkah-langkah mereka dalam menguasai sebagian wilayah Indonesia dan Indonesia beberapa kali mengalami pergantian penguasa dan pusat Negara (Ibukota) yang disebabkan penculikan yang dilakukan kepada penguasa saat itu (Soekarno).

Selama masa itu (1945 – 1949) perkembangan perekonomian Indonesia amat sangat menyedihkan. Seluruh indikator makro ekonomi dengan tiada kecualinya dengan jelas bahwa kondisi jatuhnya ekonomi teramat dalam. Penurunan produksi yang penyebab utamanya adalah hancurnya faktor-faktor produksi akibat perang. Deficit neraca perdagangan terjadi beberapa tahun, deficit anggaran belanja Republik Indonesia dan Pemerintahan Hindia Belanda (pemeintahan buatan Belanda yang dibentuk di Indonesia) juga terjadi karena sebagian besar dipergunakan untuk bidang militer yang masing-masing kepentingannya untuk berperang diantara keduanya. Sehingga saat itu penambahan volume peradaran uang yang berlebihan akibat pencetakan yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan excess demand (permintaan berelebih) dari jumlah penawaran yang tetap dan terjadi inflasi yang sangat tinggi.

Data saat itu menunjukkan bahwa volume peredaran uang telah mencapai Rp. 6 miliar untuk wilayah yang dikuasai Indonesia, sedangkan pada wilayah penguasaan Belanda jumlahnya mencapai Rp. 3,7 miliar (tahun 1949).

Pada tahun yang sama terdapat berbagai jenis mata uang yang beradar dalam masyarakat yang berbeda-beda nilai tukarnya mengakibatkan situasi moneter menjadi teramat kacau (chaos) dan membigungkan. Kebijakan-kebijakan keuangan Negara di daerah tidak banyak perbedaan dengan kebijakan daerah pendudukan Belanda. Anggaran belanja kedua pemerintahan terus-menerus deficit hanya untuk memenuhi kebutuhan perang dengan tanpa memperbaiki kondisi perekonomian yang saat itu inflasi terlampau tinggi. Kendati demikian, pada tahun itu, Amerika Serikat dalam rangka melaksanakan program

‘Marshal Plan’ telah bersedia menyediakan dana bagi negara-negara eropa

untuk membantu memulihkan perkonomiannya. Nah, karena Indonesia

merupakan ‘dependent territory’ dari Belanda (Nederland), maka berhak

menerima baik langsung atau pada kondisi tertentu. Yang menjadi syarat pemberian bantuan tersebut adalah bahwa nilai lawan dalam mata uang Indonesia (pendudukan Belanda) harus disetor ke dalam sebuah rekening

‘E.C.A. Counterpart Fund’, yang mulai diberlakukan untuk tujuan

selektif. Akibat hal itu, lalu lintas pembayaran antara Indonesia dengan luar negeri berlangsung di bawah suatu ‘rezim devisa’, yang telah diberlakukan pada pertengahan 1940. Pangkal pokoknya dari ‘rezim devisa’ tersebut adalah bahwa devisa dan emas pada prinsipnya hanya

diperkenankan dimiliki oleh negara. Dampak selanjutnya adalah valuta asing yang telah diperoleh dari hasil ekspor harus diserahkan kepada dana devisa.

Ekonomi moneter daerah kekuasaan Indonesia dengan secara langsung mengalami keadaan yang pasif, dimana hanya mampu memberikan akomodasi kepada keperluan-keperluan polotik dan militer serta mengusahakan jaminal yang sangat minimal untuk kehidupan rakyat.

2.8.1 Peredaran Mata Uang di Indonesia

Jumlah uang yang telah beradar di masyarakat pada saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia secara de jure adalah jumlah uang tersebut ditambah dengan jumlah uang yang dikeluarkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berikut adalah jenis-jenis mata uang yang telah diedarkan oleh pemerintahan Indonesia dan beberapa jenis mata uang yang beredar di Indonesia.

2.8.2 Jenis Mata Uang Pemerintah Pencetak Daerah Peredaran  ORI Pemerintah Pusat (Yogyakarta) Jawa dan Madura

 URIBA Pemda Aceh Aceh

 URITA Pemda Tapanuli Tapanuli

 ORIPS Pemda Sumatera Tengah Sumatera Tengah

 URISU Pemda Sumatera Utara UMUT dan Aceh

 URIDAB Pemda Banten Banten

 Uang Mandat Dewan Pertahanan Daerah SUMSEL SUMSEL

 Straits Dollar Pemerintah Singapura dan Malaya Kepulauan Riau

 Nieuw Gulden Pemerintah Hindia Belanda Irian Barat

 Gunpyo Militer Jepang Pendudukan Jepang

Ketika masa pendudukan Belanda mata uang yang berlaku adalah mata uang yang dikeluarkan pemerintahan Hindia Belanda, yaitu uang kertas De Javasche Bank dan uang kertas pemerintah Hindia Belanda (munbilyet). Mata uang tersebut tetap dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk aktivitas ekonomi Indonesia. Pada saat

peredaran uang ‘muntbilyet’ itu, pemerintah Jepang mengeluarkan jenis

mata uang sebagai alat pembayaran yang dikenal dengan ‘uang invasi’.

Ketika pendudukan Indonesia oleh Jepang, ketiga mata uang tersebut beredar dan berlaku untuk segala transaksi perdagangan. Namun kondisi itu tidak berlangsung lama sebab mata uang Jepang mampu mendominasi

peredarannya di Indonesia melebihi kedua mata uang lainnya ketika Jepang mampu menggelembungkan volume jumlah uang dengan usaha perang Jepang yang meningkat. Berikut adalah sebaran peredaran mata

“uang invasi” (Jepang) di Indonesia pada pertengahan Agustus 1945:

2.8.3 Daerah Peredaran Volume

1. Pulau Jawa 2,4 miliar 2. Sumatera 1,6 miliar

3. Kalimantan dan Sulawesi 4 miliar Total Peredaran diperkirakan 8 miliar

2.8.4 ORI Sebagai Instrumen Moneter

Oeang Republik Indonesia (ORI) merupakan uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Kepentingan pencetakan ORI adalah untuk menggantikan uang Hindia Belanda dan uang Jepang yang telah lama beredar dan berlaku di Indonesia. Saat pengeluaran ORI berjalan penuh hambatan karena rencana pembuatan yaitu pada saat pemerintahan berada di Jakarta sedangkan ketika ORI sudah dikeluarkan pemerintahan berpindah ke Yogyakarta. Dala fungsiya sebagai alat pembayaran revolusi, ORI dapat disamakan dengan

continental money” (greenbacks), yang dikeluarkan oleh negara-negara koloni di Amerika Serikat. ORI juga sebagai “instrumen of revolution

karena dipergunakan untuk administrasi negara, memperkuat kebutuhan tentara, memelihara kemanan dan ketertiban, serta mensejahterakan rakyat.

Ketika ORI akan diedarkan, pemerintah menarik kedua mata uang yang saat itu beredar di masyarakat. Tetapi menjadi hal yang tidak mungkin penarikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang terlalu besar, maka akan terjadi kekacauan perekonomian dan kerugian bagi masyarakat. Maka dari itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk

menarik mata uang Hindia Belanda dan Jepang secara berangsur. Tindakan yang dilakukan pertama kali adalah pelarangan orang membawa uang tersebut lebih dari f 1000(uang Jepang) dari daerah Keresidenan Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor dan Priangan ke daerah-daerah lain di Jawa dan Madura, tanpa seizing terlebih dahulu dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Hal ini dilakukan pada tanggal22 Juni 1946. Dan kemudian berangsur berkurang peredarannya hingga uang-uang tersebut disimpan pada bank-bank yang ditunjuk, yaitu Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan Pos dan Rumah Gadai.

ORI ditandatangani oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis pada tanggal 17 Oktober 1945 dan kemudian mulai beredar pada tanggal 30 Oktober 1946. Hanya bertahan selama 3 tahun 5 bulan atau tepatnya pada bulan Maret 1950 ORI kembali ditarik dari peredaran sehingga mata uang ini yang tidak sempat disebarkan ke berbagai daerah di Indonesia dibuatlah jenis mata tiap daerah oleh Pemerintah Daerah untuk memenuhi kebutuhan alat pembayaran yang sah sebagaimana disebutkan penyusun pada pembahasan sebelumnya. ORI pada akhir tahun 1949 telah mencapai volume Rp. 6 miliar. Pemerintah saat itu sangat menyadari bahwa kebijakan deficit financing menyebabkan perkembangan inflasi yang sangat tinggi. Tetapi pemerintah berada dalam kondisi yang dilema disebabkan kebutuhan yang sangat besar untuk perang.tindakan-tindakan perpajakan sangat tidak mungkin dilakukan karena kondisi yang sangat tidak memungkinkan.

2.8.5 Perubahan Fungsi Bank Central dari BNI ke BI

Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang no 2/1946 tanggal 5 Juli 1946 Bank Negara Indonesia (BNI) ditetapkan sebagai Bank sirkulasi dan Bank sentral kendati demikian BNI juga sebagai Bank Umum.

Dalam kondisi perekonomian Indonesia pasca proklamasi yang masih menyedihkan, BNI sebagai bank sentral dan bank sirkulasi tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai pengambil kebijakan moneter Indonesia secara maksimal. Kondisi perjuangan melawan penjajahan menyudutkan BNI untuk tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Walaupun sudah memenuhi wewenangnya dan berperan serta dalam penerbitan ORI, tetapi proses pengawalan moneter menjadi terbengkalai. Pengeluaran ORI dalam volume yang sangat banyak menyebabkan BNI tidak mampu mengendalikan arus inflasi yang terjadi akibat kelebihan permintaan pada jumlah penawaran yang tetap.

BNI memiliki beberapa tugas dan wewenang dalam memlihara stabilitas moneter dan mengamankan pertumbuhan ekonomi. Beberapa kategorinya pekerjaan yang sangat luas tersebut termasuk kebijakan pembatasan perkreditan secara kuantitatif dan kualitatif; penetpan dan perubahan tingkat bunga; penentuan junlah uang beredar, dan yag diperkirakan diperlukan sesuai dengan pertumbuhan ekonomi tertentu. Sekali lagi, bahwa kondisi-kondisi yang penuh dengan kekacauan tugas-tugas tersebut tidajk dapat dipenuhi kecuali BNI pernah memberikan kredit ke berbagai bank-bank lain.

Dalam aktivitasnya menjadi Bank Umum, BNI telah mampu menghimpun dana simpanan dari masyarakat hingga mencapai Rp 40 juta pada akhir 1947.

Pembahasan tentang BNI sebagai bank sentral masuk dalam pembahasan di Konferensi Meja Bundar yang berlangsung pada tanggal 19 – 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan 31 Juli – 2 Agustus 1949 di Jakarta. KMB menetapkan bahwa BNI ditentutak sebagai Bank Pembangunan. Ada banyak protes keras yang tujukan kepada pemerintah saat itu tentang persoalan ini. Ketidakjelasan penetapan pemerintah mengenai status BNI, BNI dengan inisiatif mengalihkan dirinya pada kegiatan ke bidang

pembangunan ekonomi dan perdagangan, sehingga secara langsung fingsinya berubah menjadi murni sebagai bank umum. Penegasan status BNI sebagai bank umum melalui peraturan perundan-undangan ditetapkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 2 tahun 1955. Maka secara resmi status BNI sebagai bank sentral dan bank sirkulasi praktis bukan menjadi wewenangnya.

Lahirnya Bank Indonesia (BI) merupakan kelanjutan dari penerapan undang-undang tentang nasionalisasi De Jaavasche Bank dengan pemindahan hak milik saham-saham tersebut dari tangan pemilik swasta ke tangan pemerintah. Langkah nasionalisasi De Javasche Bank bertujuan untuk membentuk satu bank sentral yang dimiliki negara Indonesia sesuai dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka dab berdaulat. Pada tanggal 10 April 1953 parlemen Indonesia telah selesai membahas dan menyetujui dari rencana Undang-Undang Pokok Bank Indonesia yang diajukan pemerintah yang disertai perubahan penting lainnya. Kemudia pada tanggal 2 Juni 1953 Undang-undag tersebut diumumkan pada Lembaran Negara No. 40 dan dengan demikian telah berlaku pada

tanggal 1 Juli 1953 dengan nama ‘Bank Indonesia’ yang tugas dan

wewenangnya serupa ketika BNI berstatus sebagai bank sentral.

Dalam dokumen Analisis Perkembangan Sistem Moneter Int (Halaman 28-34)

Dokumen terkait