ANALISIS PERKEMBANGAN SISTEM MONETER
INTERNASIONAL DAN KRISIS MONETER DI
INDONESIA
Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Ekonomi Internasional II
Dosen Pengampu: Bapak Samsul Arifin, SE., M.SE.
Disusun Oleh:
EDWIN RONALDO (NIM. 5553121723) TRIA ANUGRAH S. (NIM. 5553121832) DWI WAHYUNISSA (NIM. 5553122055) BAHAR OKTA P. (NIM. 5553122150)
Kelas : V F/ 5F
2014
JURUSAN ILMU EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena, atas berkat dan kehendak-Nyalah paper ini dapat selesai tepat pada
waktunya.
Dalam penulisan paper ini penulis menemukan banyak kesulitan, terutama
keterbatasan mengenai penguasaan Ilmu Ekonomi Internasional II. Tetapi berkat
bimbingan yang diberikan oleh berbagai pihak akhirnya penulis pun dapat
menyelesaikan paper ini. Karena itu penulis turut mengucapkan terima kasih
kepada :
Dosen Ilmu Ekonomi Internasional II, Bapak Samsul Arifin SE., M.SE., yang telah memberikan izin untuk mengkaji krisis moneter.
Ayah dan Ibu penulis tersayang yang telah memberikan dukungan atau motivasi secara moral, spiritual, dan materil.
Penulis menyadarai bahwa paper ini masih ditemukan banyak kekurangan.
Maka, kritik dan saran dirasakan sangat dibutuhkan untuk kemajuan penulis di
masa yang akan datang.
Penulis berharap, agar dengan adanya paper ini, dapat berguna bagi semua
Mahasiswa yang mengikuti Mata Kuliah Ekonomi Moneter 1 khususnya
mahasiswa/i Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Serang, 27 November 2014
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ... II DAFTAR ISI ... III DAFTAR TABEL ... V
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
BAB II PEMBAHASAN... 4
2.1 Pengertian Sistem Moneter Internasional... 4
2.2 Sejarah dan Perkembangan Sistem Moneter Internasional ... 5
2.2.1 Sistem Standar Emas (1876-1913) ... 5
2.2.2 Periode Perang Dunia (1914-1994) ... 6
2.2.3 Periode Kurs Tetap ... 6
2.2.4 Post Bretton Woods ... 7
2.2.5 Sistem Semenjak 1973 ... 8
2.3 Sistem Penetapan Kurs ... 9
2.3.1 Free Float (Mengambang Bebas) ... 9
2.3.2 Float yang dikelola (Managed Float) ... 9
2.3.3 Perjanjian Zona Target Tertentu ... 10
2.3.4 Sistem Kurs Tetap ... 11
2.4 Cara Melakukan Transaksi Internasional ... 11
2.5 Fenomena Aktual Ekonomi internasional ... 14
2.5.1 Persyaratan Optimum Currency Area ... 18
2.5.2 Karakteristik OCA Persyaratan Untuk OCA ... 18
2.5.3 Manfaat dan Biaya Integrasi Ekonomi ... 19
2.6 Faktor Penghambat Non Ekonomi Penerapan Mata Uang Tunggal di ASEAN ... 19
2.6.1 Heterogenitas Kultur Masyarakat di Kawasan ASEAN ... 19
2.6.3 Kondisi dan Letak Geografis Kawasan ASEAN ... 20
2.6.4 Kondisi Keamanan yang Belum Stabil ... 20
2.7 Kebijakan Moneter di Indonesia ... 21
2.7.1 Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia ... 21
2.7.2 Tujuan Kebijakan Moneter Di Indonesia ... 22
2.8 Keterkaitan Sistem Moneter Internasional dengan Sistem Moneter yang Dianut di Indonesia. ... 23
2.8.1 Peredaran Mata Uang di Indonesia ... 25
2.8.2 Jenis Mata Uang Pemerintah Pencetak Daerah Peredaran ... 25
2.8.3 Daerah Peredaran Volume ... 26
2.8.4 ORI Sebagai Instrumen Moneter ... 26
2.8.5 Perubahan Fungsi Bank Central dari BNI ke BI ... 27
2.9 Krisis Moneter di Indonesia ... 29
2.10 Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya ... 31
2.11 Program Reformasi Ekonomi IMF ... 41
2.12 Kritik Terhadap IMF ... 44
2.13 Dampak dari Krisis... 53
2.14 Prospek Ekonomi Indonesia ... 55
BAB III PENUTUP ... 57
3.1 Kesimpulan ... 57
3.2 Solusi atas Permasalahan ... 59
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sistem moneter internasional merupakan sistem keuangan yang
berlaku untuk semua Negara di dunia yang membahas tentang
pembayaran atas transaksi lintas negara dilaksanakan. Sistem ini
menentukan bagaimana kurs tukar asing ditentukan dan bagaimana
pemerintah dapat mempengaruhi kurs tukar. Sistem moneter
internasional yang berfungsi dengan baik akan memfasilitasi
perdagangan internasional dan investasi, serta mempermudah adaptasi
terhadap perubahan. Pembahasan inti dari sistem moneter internasional
adalah menentukan pengaturan sistem kurs tukar. Semenjak dimulainya
sistem standar emas hingga abad ke 20, sistem moneter internasional telah
mengalami pasang surut. Perubahan dari sistem ke sistem yang lain
diakibatkan oleh gejolak ekonomi pada saat itu. Sampai saat ini pun
sistem moneter internasional masih menjadi perhatian semua negara dan
masih ingin merubah sistemnya menjadi lebih berfungsi optimal. Belum
lagi rencana anggota Negara-negara asean untuk merumuskan kebijakan
pemberlakuan mata uang bersama yang hanya berlaku tunggal di
kawasan asean.
Sebelum pemberlakuan kebijakan mata uang bersama, krisis
moneter terlebih dahulu melanda negara-negara anggota ASEAN. Hal
tersebut telah menjadikanstruktur perekonomian negara-negara tersebut
terguncang. Krisis ini dimulai pada pertengahan tahun 1997 semua
perekonomian negara-negara ASEAN terpuruk oleh krisis ekonomi
regional yang disebabkan oleh depresiasi mata uang dollar terhadap
Amerika. Krisis moneter sendiri seperti virus yang mudah menular
India. Tak tekecuali bagi Indonesia, akibat dari terjadinya krisis moneter
yang kemudian berlanjut pada krisis ekonomi dan politik ini, yang telah
menyebabkan kerusakan yang cukup signifikan terhadap sendi-sendi
perekonomian nasional. “Secara garis besar, terganggunya perekonomian
Indonesia dicerminkan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi 1997 yang merosot
menjadi 4,65% bahkan pada triwulan III tahun 1998 pertumbuhannya minus
17,13%, turun drastis dari rata-rata pertumbuhan selama tiga tahun terakhir
sebesar 7,9%”. (Yudanto,Noor.1998). Hal ini diperparah dengan menurunya nilai tukar rupiah secara tajam terhadap dollar. Terganggunya
perekonomian ini memiliki dua makna terhadap sektor ekonomi. Disatu
pihak menimbulkan kelumpuhan pada sektor ekonomi daerah perkotaan
yang mungkin bergantung pada dollar Amerika. Disisi lain mungkin bagi
masyarakat pedesaan yang mayoritas petani kurang merasakan akibat
terpuruknya keadaan ini, karena petani tidak bergantung pada dolar.
Akan tetapi sangat mungkin dampak yang dirasakan petani adalah
kenaikan harga barang-barang pokok karena pemerintah tidak bisa
membiayai impor bahan baku karena melemahnya pertumbuhan
ekonomi.
Untuk mengatasi keadaan ini pemerintah tidak tinggal diam. Hal ini
dibuktikan pemerintah dengan mengeluarkan beberapa kebijakan, baik
kebijakan sementara maupun tetap. Salah satunya pemerintah pada saat
itu mengeluarkan kebijakan sementara yang dipimpin langsung oleh
menteri keuangan saat itu. “Dalam jangka pendek kebijaksanaan ekonomi
tersebut memiliki dua sasaran strategis, yaitu pertama, mengurangi dampak
negatif dari krisis tersebut terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah
dan rentan; dan kedua, pemulihan pembangunan ekonomi ke jalur petumbuhan
yang tinggi”. (Kartasasmita,Ginandjar.1998)
Dengan kebijakan yang telah dibuat tersebut pemerintah optimis
krisis dapat segera diatasi, terutama perbaikan ekonomi bagi masyarakat
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan
yang akan dibahas dalam paper ini adalah sebagai berikut:
1 Bagaimanakah sejarah dan perkembangan sistem moneter
internasional ?
2 Bagaimanakah keterkaitan sistem moneter internasional dengan sistem
moneter yang dianut di Indonesia?
3 Faktor apakah yang menyebabkan Indonesia terkena krisis moneter?
4 Bagaimana dampak yang ditimbulkan krisis moneter terhadap
perekonomian Indonesia?
5 Bagaimanakah peran IMF dalam membantu mengatasi masalah krisis
moneter di Indonesia?
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sistem Moneter Internasional
Dalam ekonomi internasional dikenal suatu sistem
yang memungkinkan suatu negara dapat saling berhubungan satu
dangan yang lain. Sistem tersebut disebut sebagai sistem moneter
internasional.
Sistem moneter internasional menunjukkan seperangkat kebijakan,
institusi, praktik, peraturan dan mekanisme yang menentukan tingkat
dimana suatu mata uang diitukarkan dengan mata uang lain.(Shapiro,
1992). Sistem keuangan internasional dari sejarahnya telah mengalami
begitu banyak perkembangan dan transpormasi dari masa ke masa.
Perkembangan ini disebabkan oleh adanya perubahan ekonomi dan
politik domestik serta internasional pada masing-masing masa.
Jika dalam skala domestik atau nasional problema
ketidakseimbangan pembayaran antar daerah dapat disesuaikan melaui
pergerakan modal ataupun kebijakan fiskal dan moneter, dalam skala
internasional akan sedikit lebih rumit. Pembayaran yang tidak seimbang
antar negara dapat diselesaikan melalui financing, perubahan kebijakan
domestik untuk menggeser pola perdagangan dan investasi, melalui
kontrol devisa untuk melakukan penjatahan pasokan devisa, atau dengan
cara membiarkan nilai tukar mata uang berubah sesuai situasi dan
kondisi. Sehingga yang terpenting dalam sistem moneter internasional
adalah tersedianya alat atau cara untuk menyesuaikan ketidakseimbangan
2.2 Sejarah dan Perkembangan Sistem Moneter Internasional 2.2.1 Sistem Standar Emas (1876-1913)
Sistem standar emas internasional muncul mulai tahun 1870 di
Inggris. Pemerintah Inggris menetapkan nilai pounsterling dengan emas.
Perkembangan industri yang terjadi di Inggris serta perdagangan dunia
yang makin berkembang pada abad 19 menambah kepercayaan dunia
terhadap emas. Kepercayaan ini diperkuat dengan ditemukannya
tambang emas di Amerika dan Afrika Utara. Dengan kejadian-kejadian
tersebut sistem standar emas merupakan suatu sistem yang dipakai oleh
banyak negara semenjak 1970 hingga perang dunia pertama.
Perdagangan yang semakin meningkat membuat kebutuhan sistem
pertukaran yang lebih formal menjadi semakin terasa. Standar emas pada
dasarnya menetapkan nilai tukar mata uang negara berdasarkan emas.
Pemerintah atau Negara yang bersangkutan harus menjaga persediaan
emas yang cukup untuk menjamin jual-beli emas. Jika pemerintah negara
lain juga menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan, maka kurs antar
dua mata uang bisa ditentukan. Nilai emas terhadap barang lain tidak
banyak berubah dalam jangka panjang, stabilitas nilai uang dan kurs mata
uang tidak banyak berfluktuasi dalam jangka panjang.
Standar emas berbeda dengan mata uang fiat (fiat money). Dalam
mata uang fiat, nilai mata uang ditentukan berdasarkan kepercayaan
terhadap kemauan pemerintah menjaga integritas menjag mata uang
tersebut. Seringkali kepercayaan tersebut disalahgunakan. Pemerintah
kadang tergoda menerbitan uang baru, karena biaya produksi penerbitan
tersebut adalah 0 rupiah. Dengan menggunakan standar emas, nilai mata
uang didasarkan pada emas. Pemerintah tidak bisa seenaknya menambah
Dengan proses tersebut kurs mata uang bisa terjaga selama
negara-negara di dunia memakai emas sebagai standar mata uangnya. Inflasi
yang berkepanjangan tidak akan terjadi di dalam situasi semacam itu.
Dengan adanya Perang Dunia I (1919-1923) serta depresi dunia
(1931-1934) negara-negara di Eropa dilanda inflasi serta ketidaksetabilan
politik. Sistem moneter Internasional menjadi kacau. Kekacauan ini
menimbulkan kurang kepercayaan dunia terhadap pounsterling yang
masih dikaikan dengan emas. Ponsterling makin lama makin lemah
posisinya. Kelemahan ini ditambah keharusan Inggris untuk memberi
bantuan kepada Jerman. Pada tahun 1931 Inggris menanggalkan standar
emas dan pounsterlling jatuh nilainya, diikuti oleh dolar Amerika.
2.2.2 Periode Perang Dunia (1914-1994)
Perang dunia I mengakhiri standar emas klasik. Periode antara
kedua perang dunia secara umum ditandai oleh kekacauan perdagangan
dan keuangan internasional. Terjadinya fluktuasi kurs sejak akhir perang
sampai tahun 1925 (kecuali di Amerika Serikat, yang kembali ke standar
emas dalam tahun 1919). Mulai tahun 1925, suatu usaha dilakukan untuk
menetapkan kembali standar emas, akan tetapi runtuh tahun 1991 pada
waktu Depresi Besar. Kemudian disusul dengan periode persaingan
Devaluasi, ketika negara-negara mencoba untuk mengekspor
pengangguran mereka (kebijakan mengemis tetangga mereka). Tarif,
kuota dan pengawasan nilai tukar juga meluas, dengan akibat volume
perdagangan dunia berkurang hampir setengahnya. Kecenderungan
devlasioner dapat diatasi sepenuhnya suaktu negara-negara dipersenjatai
kembali untuk perang dunia II.
2.2.3 Periode Kurs Tetap
Periode ini dimulai dengan perjanjian Bretton Woods. Melalui perjanjian
tetapi tidak diharuskan memenuhi konverbilitas mata uang mereka dalam
emas. Negara anggota diminta menjaga kursnya dalam batas 1% (naik
atau turun) dan bersedia menjaga kurs tersebut. IMF membantu negara
anggotanya dalam rangka menjaga kurs mata uangnya.
Tekanan spekulasi menyebabkan sistem kurs tetap tidak layak lagi
dipertahankan. Pasar keuangan dunia sempat tutup selama beberpa
minggu dalam bulan Maret 1973. Ketika pasar tersebut dibuka, kurs mata
uang dibiarkan mengambang sampai ke kurs yang ditentukan oleh
kekuatan pasar.
2.2.4 Post Bretton Woods
Pada tanggal 22 Juli 1944 diadakan suatu konferensi moneter
Internasional, yang dikenal dengan The Bretton Woods Conference, yang
dihadiri oleh 44 negara. Konferensi tersebut bertujuan untuk menyusun
rencana pembuatan sistem moneter. Dua tahun setelah konferensi
tersebut, didirikan IMF dan Bank Dunia untuk mengawasi sistem
tersebut. .
Selama periode 1944-1973 dolar merupakan mata uang yang sangat
penting dalam lalu lintas pembayaran Internasional. Peranan dolar ini
timbul setelah perang dunia II, dusebabkan saat itu terjadi kekurangan
dolar. Negara-negara Eropa yang sangat memerlukan uang /dana untuk
memulihkan keadaan ekonominya. Satu-satunya sumber adalah Amerika
Serikat, sehingga dolar banyak diminta. Konsekuensinya, emas menjadi
tergeser oleh dolar. Sebab, disamping memiliki tenaga beli yang kuat di
Amerika, reserves dalam bentuk dolar akan membelikan penghasilan
bunga. Dengan semakin pentingnya fungsi dolar, maka setiap anggota
menetapkan perbandingan mata uangnya terhadap dolar, yang kemudian
DMI beranggotakan 134 negara, diantaranya 10 negara maju
mempunyai posisi yang sangat kuat di dalam mengambil keputusan.
Setiap anggota memperoleh jatah/quota, yang harus dibayar 25% dengan
emas dan sisanya 75% dengan mata uangnya. Besarnya quota
menentukan hak suaranya serta jumlah pinjaman yang dapat diperoleh
dari DMI. Dana pertama DMI dengan sendirinya 25% terdiri dari emas
dan 75% berbagai mata uang negara anggota. Pinjaman diberikan kepada
dalam mata uang negara lain yang harus di tukar dengan mata uang
negara peminjam.
2.2.5 Sistem Semenjak 1973
Semenjak 1973 sistem moneter internasional merupakan campuran
antara kurs tetap dengan kurs berubah-ubah. Mata uang Yen, dolar
Kanada, franc Perancis, dan Swiss berfluktuas tergantung dari permintaan
dan pernawaran. Sering juga penguasa moneter negara-negara tersebut
melakukan campur tangan di pasar valuta asing untuk mengurangi
fluktuasi kurs yang berlebihan. Caranya apabila negara mengalami defisit
dalam neraca pembayaran, kurs valuta asing cenderung naik. Untuk
mencegah hal ini bank Central menjual valuta asing. Demikian juga
apabila surplus di dalam neraca pembayaran, bank sentral membeli valuta
asing di pasar untuk mengurangi penurunan kurs. Sisitem kurs demikian
di sebut “managed atau dirty” float, sebagai lawan dari “clean” floatt
di mana bank Sentral sama sekali tidak campur tangan di dalam pasar
valuta asing.
Lima negara Eropa (Jerman Barat, Belgia, Luxembrug, Swedia,
Netherlan dan Norwegia) mengadakan pengaturan secara tersendiri. Krus
tetap berlaku di antara mereka, tetapi berubah-ubah secara bersama-sama
terhadap mata uang negara lain. Sisten krus semacam ini (mengambang
bersama-sama) menghasilakan fluktuasi yang menyerupai ular, yang
Negara-negara Eropa dan Jepang telah melepaskan ikatan mata
uangnya dengan dolar Amerika Serikat. Dengan demikian, telah
merupakan mata uang yang mengambang. Namun demikian Dolar masih
memegang peranan penting dalam lalu lintas pembayaran internasiolal.
Pembayaran luar negeri, kebijakan campur tangan dalam valuta asing
oleh Bank Sentral, serta catatan-catatan statistik Dana Moneter
Internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa masih menggunakan dasar
mata uang Dolar.
2.3 Sistem Penetapan Kurs
Mekanisme penentuan kurs bisa dikategorikan menjadi beberapa
kelompok:
2.3.1 Free Float (Mengambang Bebas)
Berdasarkan sistem ini, kurs mata uang dibiarkan mengambang
bebas tergantung kekuatan pasar. Beberapa faktor yang mempengaruhi
kurs, misal inflasi, pertumbuhan ekonomi, inflasi akan digunakan oleh
pasar dalam mengevaluasi kurs mata uang negara yang bersangkutan.
Jika variable tersebut berubah, atau penghargaan terhadap variable
tersebut berubah, kurs mata uang akan berubah. Sistem mengambang
bebas juga disebut sebagai clean float.
2.3.2 Float yang dikelola (Managed Float)
Sistem mengambang bebas mempunyai kerugian karena
ketidakpastian kurs cukup tinggi. Sistem float yang dikelola, yang sering
disebut juga sebagai dirty float, dilakukan melalui campur tangan Bank
Sentral yang cukup aktif.
Bank Sentral kemudian akan melakukan intervensi jika kurs yang
a) Menstabilkan fluktuasi harian. Bank Sentral melakukan cara ini
dengan tujuan menjaga stabilasisasi kurs agar perubahan atau
pergerakan kurs tetap teratur.
b) Menunda kurs (leaning against the wind). Melalui cara ini bank sentral
melakukan intervensi dengan tujuan mencegah atau mengurangi
fluktuasi jangka pendek yang cukup tajam, yang diakibatkan oleh
kejadian yang sifatnya sementara.
c) Kurs tetap secara tidak resmi (unofficial pegging). Melalui cara ini
Bank Sentral melawan kekuatan pasar dengan menetapkan (secara
resmi) kurs mata uangnya.
2.3.3 Perjanjian Zona Target Tertentu
Melalui perjanjian ini, beberapa negara sepakat untuk menentukan
kurs mata uangnya secara bersama dalam wilayah kurs tertentu. Jika kurs
melewati batas atas atau batas bawah, Bank Sentral negara yang
bersangkutan akan melakukan intervensi.
a. Dikaitkan dengan Mata Uang Lain
Sekitar 62 negara dari 162 negara anggota IMF mengkaitkan nilai
mata uangnya terhadap mata uang lainnya. Sebagian mengkaitkan
nilai mata uangnya terhadap mata uang negara tetangga.
b. Dikaitkan dengan Kelompok Mata Uang lain
Sekitar 21 negara mengkaitkan mata uangnya terhadap kelompok
mata uang lainnya. Basket, kelompok, atau portofolio mata uang
tersebut biasanya terdiri dari mata uang partner dagang yang
penting. 19 negara mengkaitkan nilai mata uangnya terhadap
portofolio yang mereka buat sendiri.
c. Dikaitkan dengan Indikator Tertentu
Dua negara, Chili dan Nikaragua, mengkaitkan mata uangnya
terhadap indikator tertentu, seperti kurs riil efektif, kurs yang telah
2.3.4 Sistem Kurs Tetap
Di bawah sistem kurs tetap, pemerintah atau Bank Sentral
menetapkan kurs secara resmi. Kemudian Bank Sentral akan selalu
melakukan intervensi secara aktif untuk menjaga kurs yang telah
ditetapkan tersebut.
Jika kurs resmi dirasakan sudah tidak sesuai dengan kondisi
fundamental ekonomi negara tersebut, devaluasi atau revaluasi
dilakukan. Cara yang bisa dilakukan selain devaluasi adalah:
1. pinjaman asing
2. pengetatan
3. pengendalian harga dan upah
4. pembatasan aliran modal keluar
2.4 Cara Melakukan Transaksi Internasional
Adapun cara untuk melakukan pembayaran internasional yang
timbul akibat perdagangan dan peminjaman internasional antara lain
sebagai berikut:
a. Pembayaran dengan Surat Wesel Dagang (Commercial Bill of
Exchange atau Commercial draft atau Trade Bill)
Surat wesel dagang adalah pembayaran yang dilakukan dengan cara
eksportir menarik surat wesel atas importir sejumlah harga
barang-barang beserta biaya-biaya pengirimannya.
Dalam surat wesel tersebut harus dilampiri dokumen-dokumen
berupa:
- faktur (invoice),
- konosemen atau surat muatan (bill of lading),
- daftar isi barang (packing list),
- surat keterangan asal barang (certificate of origin),
- surat asuransi (insurence).
Cara pembayaran semacam ini sekarang masih banyak digunakan
dalam lalu lintas pembayaran internasional. Dengan surat wesel,
apabila eksportir membutuhkan uang sebelum jatuh tempo, maka ia
dapat menjualnya kepada pihak lain, yang kelak akan
menukarkannya kepada importir setelah wesel itu jatuh tempo.
b. Kompensasi Pribadi
kompensasi pribadi adalah adalahcara pembayaran dengan
mengalihkan penyelesaian utang piutang pada seorang penduduk
dalam satu negara tempat penduduk tersebut tinggal.
Cara pembayaran ini digunakan di Indonesia sekitar tahun 1960-an,
namun sekarang sudah tidak banyak lagi digunakan dalam
perdagangan internasional.
c. Pembayaran Tunai
Pembayaran tunai atau pembayaran di muka adalah pembayaran
yang dilakukan dengan menggunakan uang tunai atau cek, yang
dilakukan bersama-sama dengan surat pesanan atau menunggu
diterimanya kabar bahwa barang yang telah dipesan dikapalkan
oleh eksportir. Cara pembayaran ini mempunyai risiko yang besar.
d. Pembayaran dengan Letter of Credit
Letter of credit atau commercial letter of credit adalah surat yang
dikeluarkan oleh bank atas permintaan pembelian sejumlah barang
di mana bank sendiri yang mengakseptir (menyetujui) dan
membayar surat wesel yang ditarik oleh eksportir.
- L/C biasa, artinya L/C dimana seorang importir bisa langsung
membayar sesuai dengan harga barang melalui bank yang
ditunjuk
- Merchant L/C, artinya L/C dimana seorang importir dapat
memasukkan barang terlebih dahulu dengan melakukan
pembayaran sebagian, sedangkan sisanya dibayar kemudian.
- Indutrial L/C, artinya impor banang-barang industri atau
barang modal
- secara cepat dan tidak dipakai untuk barang konsumsi.
- Red Clause L/C, artinya L/C yang mencantumkan instruksi
kepada
- Advising Bank (bank yang ditunjuk) untuk melaksanakan
pembayaran sebagian dari jumlah L/C kepada eksportin
sebelum mengapalkan barang-barang ekspor.
- Usance L/C, artinya L/C yang pembayarannya baru dilakukan
dengan tenggang waktu tertentu, misalnya 1 bulan dari
pengapalan barang atau 1 bulan setelah penunjukan dokumen.
e. Pembayaran Kemudian atau Rekening Terbuka (Open Account)
Pembayaran kemudian atau rekening terbuka adalah cara
membiayai transaksi perdagangan internasional di mana eksportir
mengirimkan barang kepada importir tanpa adanya
dokumen-dokumen untuk meminta pembayaran. Pembayaran dilakukan
setelah barang laku dijual atau satu sampai dengan tiga bulan
setelah tanggal pengiriman, sesuai dengan penjanjian yang
disepakati bersama. Sistem ini sangat membantu pengimpor
melakukan transaksi perdagangan, akan tetapi berisiko besar bagi
f. Pembayaran dengan Konsinyasi (Consignment)
Pembayararan secara konsinyasi dilakukan setelah barang yang
dikirim sudah terjual seluruhnya atau sebagian. Metode ini biasanya
dilakukan kepada orang yang telah dikenal dengan baik. Jadi,
barang yang akan dijual merupakan barang titipan untuk jangka
waktu tertentu dan pembayaran dengan termin waktu. Untuk
memperkecil risiko penjual, sebaiknya menggunakan jasa bank
dalam pengiriman dokumen penagihan dan bonded warehouse untuk
penitipan barangnya. Apabila barang sudah terjual, pembeli
membayar kepada bank sejumlah uang atas nilai barang dan sebagai
gantinya bank akan menyerahkan delivery instruction kepada bonded
warehouse untuk mengeluarkan barangnya.
2.5 Fenomena Aktual Ekonomi internasional
Fenomena yang terjadi saat ini khususnya di kawasan ASEAN
adalah penyatuan mata uang di antara Negara ASEAN, atau pencanangan
mata uang tunggal. Hal tersebut di lakukan kerena mengingat adanya
keberhasilan kawasan ekonomi eropa memberlakukan kebijakan mata
uang bersama.Dari sisi ekonomi jika sekelompok negara ternyata
memiliki mata uang yang berkorelasi sangat erat, maka secara implisit
kelompok negara tersebut dapat menggabungkan mata uangnya.
Dengan kata lain negara tersebut dapat melepaskan kekuasaan
moneternya dan memberikan kepada suatu badan supra nasional (dalam
wadah ekonomi bersama).Salah satu contoh yang paling sukses dari
proses penggabungan ini adalah keberadaan European Monetary Union,
(EMU) dan mata uang tunggal dengan European Central Bank (ECB)
sebagai bank sentralnya. Namun demikian proses kearah penggabungan
moneter sebenarnya telah berlangsung cukup lama. Treaty Of Rome (1957)
dapat dikatakan titik tolak yang meletakkan dasar atau fase yang harus
satu studi penting yang melakukan penelitian terhadap kesiapan
prasyarat optimum current area atau OCA di ASEAN dan perbandingan
versus Uni Eropa dilakukan oleh Bayoumi dan Mauro. Mereka
berpendapat bahwa negara-negara ASEAN telah mencapai level yang
sama dengan Uni Eropa sebelum traktat Maastricth 1991 pada beberapa
aspek. Aspek tersebut adalah:
1. Perdagangan intra wilayah (yang diukur oleh share perdagangan
internal terhadap GDP).
2. Komposisi perdagangan berdasarkan tipe produk. Dengan
berlangsungnya transisi ekonomi, negara-negara di wilayah ini
(kecuali Singapura) memiliki tendensi sebagai Negara manufaktur.
3. Pola goncangan ekonomi. Meskipun dampak goncangan adalah lebih
besar di ASEAN tetapi kecepatan pemulihan lebih tinggi di wilayah
ini. Dengan demikian dapat dikatakan hasil bersih dari pola
goncangan ekonomi semacam ini adalah cenderung netral.
Namun demikian mereka juga menemukan beberapa faktor yang
dianggap dapat mengurangi daya tarik penyatuan moneter bagi wilayah
ASEAN. Faktor-faktor ini adalah :
a) Diversifikasi budaya dan system politik di ASEAN cenderung lebih
tinggi dibandingkan Uni Eropa
b) Diversifikasi perdagangan yang signifikan.
Meskipun US, Jepang dan Zona Eropa adalah rekan dagang utama,
namun proporsi masing-masing adalah heterogen. Hal ini berimplikasi
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu
Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model
Vector Error Correction bahwa setiap negara ASEAN memiliki suatu
OCA index (Eichengreen dan Bayoumi, 1996) menunjukkan kesiapan
negara ASEAN masih kalah dengan negara Eropa pra traktat Maastricth.
Disini ditunjukkan divergennya arah keterkaitan mata uang ASEAN
terhadap salah satu mata uang utama dunia. Singapura,Malaysia dan
Philipina misalnya, lebih cocok masuk sebagai blok USD. Sedangkan
Indonesia dan Thailand cenderung kepada blok JPY. Hasil ini
mengkonfirmasi temuan empiris Frankel dan Wei (1994), Kim dan Ryou
(2001) dan Alesina et al (2002) bahwa permasalahan yang dihadapi dalam
penyatuan keuangan Negara-negara ASEAN adalah tidak adanya suatu
mata uang anchor yang tunggal bagi mata uang negara ASEAN tersebut.
Dari sisi institusi, aktivitas ditingkat ofisial tentang keberadaan OCA
dapat dikatakan langka. Beberapa lembaga kerjasama regional telah ada
diwilayah ini, misalnya ASEAN, AFTA dan SEACEN, ASEAN misalnya
bahkan telah berdiri sejak 1967.
Namun demikian diskursus mengenai suatu kerjasama regional
yang lebih erat melalui kerjasama moneter (dan mata uang bersama) baru
terdengar pasca krisis keuangan Asia 1997. Era sebelum ini suatu
kerjasama moneter yang lebih serius tampaknya terkendala oleh
keberadaan rezim nilai tukar yang heterogen diwilayah Asia (Wilson,
2002).
Tahun 1997, Jepang menawarkan ide Asian Monetary Fund (AMF).
Hal ini merupakan wujud dari kesadaran terhadap perlunya suatu dana
emergency yang siap digunakan ketika dibutuhkan.
Tampaknya ini juga merupakan reaksi kecewa terhadap sikap
lamban IMF dalam mengatasi krisis Asia. Ide ini memperoleh resistensi
keras dari IMF (dan stake holder utamanya, sehingga akhirnya gagal
diwujudkan. Sebagai pengganti, dalam kerangka ASEAN+3 suatu
kesepakatan dalam hal penyediaan dana emergency diwujudkan dalam
Dari forum ini tampaknya terlihat adanya perkembangan kearah suatu
instrument obligasi Asia. Dari sisi upaya penyatuan mata uang,
negara-negara diwilayah ini terlihat jauh lebih kaku Meskipun dibawah Hanoi
Plan Action dibulan Desember 1998, pemimpin wilayah ASEAN sepakat
untuk memulai suatu studi kelayakan atas adopsi mata uang bersama.
Namun baru Januari 2001, suatu proyek resmi untuk penelitian ini
dimulai (Wilson, 2002). Proyek ini dikenal dengan nama Kobe Research
Project. Meskipun ditingkat pengambil kebijakan arah penyatuan moneter
adalah bergerak lamban, pra kondisi bagi negara Asia sebenarnya telah
ada Eichengreen dan Bayoumi (1996) dalam suatu studinya
berkesimpulan bahwa wilayah Asia Timur telah memenuhi persyaratan
standar OCA serta telah memiliki kesiapan yang sama dengan wilayah
zona Eropa.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010 (1999) juga
mengusulkan hal yang serupa, namun dengan mesyaratkan perlunya
suatu komitmen politik untuk memastikan bahwa proyek ini akan
berhasil. Proposal lainnya dapat dilihat misalnya Wilson (2002), Mundel
(2003), dan Branson dan Healy (2005). Syarat dan kondisi teoritis dimana
penyatuan mata uang adalah menguntungkan merupakan subyek dari
teori Optimum Currency Area (OCA). Teori OCA modern secara
komprehensif diuraikan oleh Robert Mundell (1961) dalam seminar paper
nya yang berjudul A Theory Of Optimum Currency Areas.
Secara ringkas teori tersebut menguraikan bahwa sekelompok
negara dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dengan melepaskan
penggunaan mata uang sendiri dan (secara bersama) mengadopsi mata
uang lain atau menerapkan rezim nilai tukar tetap (khususnya antar mata
uang negara anggota OCA.
Manfaat yang lebih besar ini dapat terjadi karena berbagai hal
mobilitas faktor produksi yang tinggi, korelasi siklus bisnis. Dalam
kondisi ini manfaat yang diperoleh dengan tetap menggunakan mata
uang sendiri (berupa seignorage dan independensi kebijakan moneter)
lebih kecil dari manfaat yang diperoleh dari penyatuan mata uang
(berupa biaya transaksi yang rendah, stabilitas dan kredibilitas kebijakan).
Untuk mencapai optimalitas wilayah mata uang bersama perlu dipenuhi
beberapa karakteristik tertentu. Karakteristik ini menunjukkan kondisi
yang diperlukan agar manfaat OCA yang diperoleh para anggotanya
dapat maksimal. dibawah ini merangkum karakteristik OCA dimaksud
(Mongeli, 2002).
Pada satu dekade belakangan ini berkembang suatu pemikiran
kontemporer didalam teori OCA. Berbeda dengan pola pemikiran
sebelumnya dimana wilayah moneter bersama akan optimal jika
negara-negara anggotanya memenuhi syarat karakteristik OCA, Frankel dan Rose
(1998), justru berpendapat sebaliknya: karakteristik OCA adalah bersifat
endogen. Dengan kata lain sekelompok negara dapat saja tidak memenuhi
satu-lebih karakteristik OCA.
2.5.1 Persyaratan Optimum Currency Area
1. Fleksibilitas harga dan upah
2. Mobilitas faktor produksi
3. Integrasi pasar keuangan
4. Tingkat keterbukaan ekonomi
5. Diversifikasi produksi dan konsumsi
6. Kesamaan tingkat inflasi
7. Integrasi fiskal
8. Integrasi politis
2.5.2 Karakteristik OCA Persyaratan Untuk OCA
Fleksibilitas harga dan upah didalam dan diantara negara
Mobilitas faktor produksi, termasuk tenaga kerja, antar negara OCA
memperkecil penyesuaian harga factor produksi dan nilai tukar terhadap
kejutan Integrasi finansial dalam bentuk mobilitas modal (FDI,
portfolioinvestment, pinjaman) antar negara OCA memungkinkan
penyesuian kejutan melalui aliran modal. Keterbukaan ekonomi antara
negara OCA yang tinggi akan memperbesar transmisi harga internasional
ke harga domestik.
Keberagaman tenaga kerja, sektor ekonomi dan produksi antar
negara OCA memperkecil penyesuaian Term Of Trade Kesamaan inflasi
(dalam arti rendah dan stabil) antar negara OCA mendorong stabilitas
term of trade dan menyeimbangkan current account. Sistem transfer fiskal
antar negara OCA memungkinkan distribusi dana ke negara yang
membutuhkan. Kemauan politik memperkuat kepatuhan komitmen
bersama, kerjasama berbagai kebijakan ekonomi, dan hubungan
kelembagaan antar Negara OCA.
2.5.3 Manfaat dan Biaya Integrasi Ekonomi
1. Peningkatan efisiensi mikro karena penggunaan uang yang lebih
luas.
2. Perbaikan stabilitas makro dan pertumbuhan karena stabilitas harga
dan Akses dana yang lebih besar dari integrasi finansial.
3. Positive externality dari biaya transaksi dan cadangan devisa yang
lebih rendah serta koordinasi kebijakan yang lebih efektif.
2.6 Faktor Penghambat Non Ekonomi Penerapan Mata Uang Tunggal di ASEAN
2.6.1 Heterogenitas Kultur Masyarakat di Kawasan ASEAN
Masyarakat ASEAN terdiri dari berbagai etnis, ras, budaya, bahasa,
serta adat istiadat yang berbeda-beda antar berbagai Negara, bahkan
dalam satu lingkup negara pun masih terdapat heterogenitas masyarakat
satu penghambat penerapan mata uang tunggal di kawasan ASEAN, dari
hal tersebut kemngkinan akan terjadi permasalahan di dalamnya,
diantaranya konflik-konflik kerena latarbalakang yang berbeda-beda.
2.6.2 Masih Rendahnya Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kawasan ASEAN
Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di
kawasan ASEAN terutama yang terdapat di Negara-negara seperti
indonesia, Timor leste, dan Negara lain yang masih tergolong Negara
berkembang menjadi salah satu penghambat dari peneapan mata uang
tunggal di kawasan ASEAN. Karna faktor pendidikan sangat domonan
dalam melakukan transformasi-transformasi di sebuah kawasan atau
Negara.
2.6.3 Kondisi dan Letak Geografis Kawasan ASEAN
Kondisi serta letak geografis Negara-negara di kawasan ASEAN
yang terdiri dari ribuan pulau yang masing-masing di pisahkan oleh laut,
menjadikan arus mobilitas, baik dari segi ekonomi maupun social agak
terganggu. Karena keberhasilan arus mobolitas sebuah kawasan faktor
yang utama di dukung oleh akses lalulintas ekonomi yang baik, serta
mudah di jangkau.hal tersebut menjadi salah stu masalah dalam
memberlakukan penerapan mata uang tunggal ASEAN.
2.6.4 Kondisi Keamanan yang Belum Stabil
Konflik-konflik yang terjadi di kawasan ASEAN baik konflik
horizontal.vertikal, maupun diagonal yang terjadi di dalam Suatu Negara
atau sengketa antar Negara belum dapat di minimalisir secara optimal
oleh pemerintah masing-masing Negara di kawasan ASEAN, contohnya
konflik yang terjadi di Filipina Antara pemerintah flipin, Indonesia,
Myanmar, Thailand, serta Kamboja. Faktor tersebut menjadi salah satu
2.7 Kebijakan Moneter di Indonesia
Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut
sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework
(ITF). Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli 2005, setelah
sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang
primer (base money) sebagai sasaran kebijakan moneter. Sesuai dengan UU
No. 3 tahun 2004 pasal 7 Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal yang dimaksud dengan
kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga
barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan
tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka
kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan
moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai
tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat
penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh
karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk
mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk
mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
2.7.1 Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia
Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi
kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran
inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran
inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya
perubahan stance kebijakan moneter dilakukan melaui evaluasi apakah
perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang
telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga
ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik.
Secara operasional, stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan
bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit
perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi
output dan inflasi.
2.7.2 Tujuan Kebijakan Moneter Di Indonesia
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No.
3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain
adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin
pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank
Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai
sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan
menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran
kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan
sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan
kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang
berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan
untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran
moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama
menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara
operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut
menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di
pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto,
penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau
pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara
2.8 Keterkaitan Sistem Moneter Internasional dengan Sistem Moneter yang Dianut di Indonesia.
Rentang masa pada tahun 1945 – 1949, dimana Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda merupakan
masa teramat buruknya kondisi perekonomian yang dialami. Meskipun
Belanda saat itu telah mengakui secara de jure kedaulatan Republik
Indonesia, tetapi usaha-usaha mengontrol dan mengintervensi ekonomi
Indonesia masih menjadi tujuan strategis mereka ketika berada di wilayah
kedaulatan. Ini terbukti dari langkah-langkah mereka dalam menguasai
sebagian wilayah Indonesia dan Indonesia beberapa kali mengalami
pergantian penguasa dan pusat Negara (Ibukota) yang disebabkan
penculikan yang dilakukan kepada penguasa saat itu (Soekarno).
Selama masa itu (1945 – 1949) perkembangan perekonomian Indonesia amat sangat menyedihkan. Seluruh indikator makro ekonomi
dengan tiada kecualinya dengan jelas bahwa kondisi jatuhnya ekonomi
teramat dalam. Penurunan produksi yang penyebab utamanya adalah
hancurnya faktor-faktor produksi akibat perang. Deficit neraca
perdagangan terjadi beberapa tahun, deficit anggaran belanja Republik
Indonesia dan Pemerintahan Hindia Belanda (pemeintahan buatan
Belanda yang dibentuk di Indonesia) juga terjadi karena sebagian besar
dipergunakan untuk bidang militer yang masing-masing kepentingannya
untuk berperang diantara keduanya. Sehingga saat itu penambahan
volume peradaran uang yang berlebihan akibat pencetakan yang
dilakukan oleh pemerintah menyebabkan excess demand (permintaan
berelebih) dari jumlah penawaran yang tetap dan terjadi inflasi yang
sangat tinggi.
Data saat itu menunjukkan bahwa volume peredaran uang telah
mencapai Rp. 6 miliar untuk wilayah yang dikuasai Indonesia, sedangkan
pada wilayah penguasaan Belanda jumlahnya mencapai Rp. 3,7 miliar
Pada tahun yang sama terdapat berbagai jenis mata uang yang
beradar dalam masyarakat yang berbeda-beda nilai tukarnya
mengakibatkan situasi moneter menjadi teramat kacau (chaos) dan
membigungkan. Kebijakan-kebijakan keuangan Negara di daerah tidak
banyak perbedaan dengan kebijakan daerah pendudukan Belanda.
Anggaran belanja kedua pemerintahan terus-menerus deficit hanya untuk
memenuhi kebutuhan perang dengan tanpa memperbaiki kondisi
perekonomian yang saat itu inflasi terlampau tinggi. Kendati demikian,
pada tahun itu, Amerika Serikat dalam rangka melaksanakan program
‘Marshal Plan’ telah bersedia menyediakan dana bagi negara-negara eropa
untuk membantu memulihkan perkonomiannya. Nah, karena Indonesia
merupakan ‘dependent territory’ dari Belanda (Nederland), maka berhak
menerima baik langsung atau pada kondisi tertentu. Yang menjadi syarat
pemberian bantuan tersebut adalah bahwa nilai lawan dalam mata uang
Indonesia (pendudukan Belanda) harus disetor ke dalam sebuah rekening
‘E.C.A. Counterpart Fund’, yang mulai diberlakukan untuk tujuan
selektif. Akibat hal itu, lalu lintas pembayaran antara Indonesia dengan
luar negeri berlangsung di bawah suatu ‘rezim devisa’, yang telah
diberlakukan pada pertengahan 1940. Pangkal pokoknya dari ‘rezim devisa’ tersebut adalah bahwa devisa dan emas pada prinsipnya hanya
diperkenankan dimiliki oleh negara. Dampak selanjutnya adalah valuta
asing yang telah diperoleh dari hasil ekspor harus diserahkan kepada
dana devisa.
Ekonomi moneter daerah kekuasaan Indonesia dengan secara
langsung mengalami keadaan yang pasif, dimana hanya mampu
memberikan akomodasi kepada keperluan-keperluan polotik dan militer
serta mengusahakan jaminal yang sangat minimal untuk kehidupan
2.8.1 Peredaran Mata Uang di Indonesia
Jumlah uang yang telah beradar di masyarakat pada saat pengakuan
kedaulatan Republik Indonesia secara de jure adalah jumlah uang tersebut
ditambah dengan jumlah uang yang dikeluarkan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Berikut adalah jenis-jenis mata uang yang telah
diedarkan oleh pemerintahan Indonesia dan beberapa jenis mata uang
yang beredar di Indonesia.
2.8.2 Jenis Mata Uang Pemerintah Pencetak Daerah Peredaran ORI Pemerintah Pusat (Yogyakarta) Jawa dan Madura
URIBA Pemda Aceh Aceh
URITA Pemda Tapanuli Tapanuli
ORIPS Pemda Sumatera Tengah Sumatera Tengah
URISU Pemda Sumatera Utara UMUT dan Aceh
URIDAB Pemda Banten Banten
Uang Mandat Dewan Pertahanan Daerah SUMSEL SUMSEL
Straits Dollar Pemerintah Singapura dan Malaya Kepulauan Riau
Nieuw Gulden Pemerintah Hindia Belanda Irian Barat
Gunpyo Militer Jepang Pendudukan Jepang
Ketika masa pendudukan Belanda mata uang yang berlaku adalah
mata uang yang dikeluarkan pemerintahan Hindia Belanda, yaitu uang
kertas De Javasche Bank dan uang kertas pemerintah Hindia Belanda
(munbilyet). Mata uang tersebut tetap dipergunakan sebagai alat
pembayaran yang sah untuk aktivitas ekonomi Indonesia. Pada saat
peredaran uang ‘muntbilyet’ itu, pemerintah Jepang mengeluarkan jenis
mata uang sebagai alat pembayaran yang dikenal dengan ‘uang invasi’.
Ketika pendudukan Indonesia oleh Jepang, ketiga mata uang tersebut
beredar dan berlaku untuk segala transaksi perdagangan. Namun kondisi
peredarannya di Indonesia melebihi kedua mata uang lainnya ketika
Jepang mampu menggelembungkan volume jumlah uang dengan usaha
perang Jepang yang meningkat. Berikut adalah sebaran peredaran mata
“uang invasi” (Jepang) di Indonesia pada pertengahan Agustus 1945:
2.8.3 Daerah Peredaran Volume
1. Pulau Jawa 2,4 miliar
2. Sumatera 1,6 miliar
3. Kalimantan dan Sulawesi 4 miliar
Total Peredaran diperkirakan 8 miliar
2.8.4 ORI Sebagai Instrumen Moneter
Oeang Republik Indonesia (ORI) merupakan uang kertas pertama
yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Kepentingan
pencetakan ORI adalah untuk menggantikan uang Hindia Belanda dan
uang Jepang yang telah lama beredar dan berlaku di Indonesia. Saat
pengeluaran ORI berjalan penuh hambatan karena rencana pembuatan
yaitu pada saat pemerintahan berada di Jakarta sedangkan ketika ORI
sudah dikeluarkan pemerintahan berpindah ke Yogyakarta. Dala fungsiya
sebagai alat pembayaran revolusi, ORI dapat disamakan dengan
“continental money” (greenbacks), yang dikeluarkan oleh negara-negara koloni di Amerika Serikat. ORI juga sebagai “instrumen of revolution”
karena dipergunakan untuk administrasi negara, memperkuat kebutuhan
tentara, memelihara kemanan dan ketertiban, serta mensejahterakan
rakyat.
Ketika ORI akan diedarkan, pemerintah menarik kedua mata uang
yang saat itu beredar di masyarakat. Tetapi menjadi hal yang tidak
mungkin penarikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang terlalu besar,
maka akan terjadi kekacauan perekonomian dan kerugian bagi
menarik mata uang Hindia Belanda dan Jepang secara berangsur.
Tindakan yang dilakukan pertama kali adalah pelarangan orang
membawa uang tersebut lebih dari f 1000(uang Jepang) dari daerah
Keresidenan Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor dan Priangan ke
daerah-daerah lain di Jawa dan Madura, tanpa seizing terlebih dahulu dari
pemerintah daerah yang bersangkutan. Hal ini dilakukan pada tanggal22
Juni 1946. Dan kemudian berangsur berkurang peredarannya hingga
uang-uang tersebut disimpan pada bank-bank yang ditunjuk, yaitu Bank
Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Surakarta, Bank
Nasional, Bank Tabungan Pos dan Rumah Gadai.
ORI ditandatangani oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis pada
tanggal 17 Oktober 1945 dan kemudian mulai beredar pada tanggal 30
Oktober 1946. Hanya bertahan selama 3 tahun 5 bulan atau tepatnya pada
bulan Maret 1950 ORI kembali ditarik dari peredaran sehingga mata uang
ini yang tidak sempat disebarkan ke berbagai daerah di Indonesia
dibuatlah jenis mata tiap daerah oleh Pemerintah Daerah untuk
memenuhi kebutuhan alat pembayaran yang sah sebagaimana disebutkan
penyusun pada pembahasan sebelumnya. ORI pada akhir tahun 1949
telah mencapai volume Rp. 6 miliar. Pemerintah saat itu sangat menyadari
bahwa kebijakan deficit financing menyebabkan perkembangan inflasi
yang sangat tinggi. Tetapi pemerintah berada dalam kondisi yang dilema
disebabkan kebutuhan yang sangat besar untuk perang.tindakan-tindakan
perpajakan sangat tidak mungkin dilakukan karena kondisi yang sangat
tidak memungkinkan.
2.8.5 Perubahan Fungsi Bank Central dari BNI ke BI
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang no 2/1946 tanggal
5 Juli 1946 Bank Negara Indonesia (BNI) ditetapkan sebagai Bank sirkulasi
Dalam kondisi perekonomian Indonesia pasca proklamasi yang
masih menyedihkan, BNI sebagai bank sentral dan bank sirkulasi tidak
dapat melaksanakan fungsinya sebagai pengambil kebijakan moneter
Indonesia secara maksimal. Kondisi perjuangan melawan penjajahan
menyudutkan BNI untuk tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Walaupun sudah memenuhi wewenangnya dan berperan serta dalam
penerbitan ORI, tetapi proses pengawalan moneter menjadi terbengkalai.
Pengeluaran ORI dalam volume yang sangat banyak menyebabkan BNI
tidak mampu mengendalikan arus inflasi yang terjadi akibat kelebihan
permintaan pada jumlah penawaran yang tetap.
BNI memiliki beberapa tugas dan wewenang dalam memlihara stabilitas
moneter dan mengamankan pertumbuhan ekonomi. Beberapa
kategorinya pekerjaan yang sangat luas tersebut termasuk kebijakan
pembatasan perkreditan secara kuantitatif dan kualitatif; penetpan dan
perubahan tingkat bunga; penentuan junlah uang beredar, dan yag
diperkirakan diperlukan sesuai dengan pertumbuhan ekonomi tertentu.
Sekali lagi, bahwa kondisi-kondisi yang penuh dengan kekacauan
tugas-tugas tersebut tidajk dapat dipenuhi kecuali BNI pernah memberikan
kredit ke berbagai bank-bank lain.
Dalam aktivitasnya menjadi Bank Umum, BNI telah mampu menghimpun
dana simpanan dari masyarakat hingga mencapai Rp 40 juta pada akhir
1947.
Pembahasan tentang BNI sebagai bank sentral masuk dalam
pembahasan di Konferensi Meja Bundar yang berlangsung pada tanggal
19 – 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan 31 Juli – 2 Agustus 1949 di Jakarta. KMB menetapkan bahwa BNI ditentutak sebagai Bank Pembangunan.
Ada banyak protes keras yang tujukan kepada pemerintah saat itu tentang
persoalan ini. Ketidakjelasan penetapan pemerintah mengenai status BNI,
pembangunan ekonomi dan perdagangan, sehingga secara langsung
fingsinya berubah menjadi murni sebagai bank umum. Penegasan status
BNI sebagai bank umum melalui peraturan perundan-undangan
ditetapkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 2 tahun
1955. Maka secara resmi status BNI sebagai bank sentral dan bank
sirkulasi praktis bukan menjadi wewenangnya.
Lahirnya Bank Indonesia (BI) merupakan kelanjutan dari penerapan
undang-undang tentang nasionalisasi De Jaavasche Bank dengan
pemindahan hak milik saham-saham tersebut dari tangan pemilik swasta
ke tangan pemerintah. Langkah nasionalisasi De Javasche Bank bertujuan
untuk membentuk satu bank sentral yang dimiliki negara Indonesia
sesuai dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka dab berdaulat. Pada
tanggal 10 April 1953 parlemen Indonesia telah selesai membahas dan
menyetujui dari rencana Undang-Undang Pokok Bank Indonesia yang
diajukan pemerintah yang disertai perubahan penting lainnya. Kemudia
pada tanggal 2 Juni 1953 Undang-undag tersebut diumumkan pada
Lembaran Negara No. 40 dan dengan demikian telah berlaku pada
tanggal 1 Juli 1953 dengan nama ‘Bank Indonesia’ yang tugas dan
wewenangnya serupa ketika BNI berstatus sebagai bank sentral.
2.9 Krisis Moneter di Indonesia
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, yang
telah mengalami perubahan menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya
kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan
meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak
seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena
sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara
bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di
banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama
Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada
pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya.
Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia
di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank
Dunia (lihat World Bank: Bab 2 dan Hollinger). Yang dimaksud dengan
fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah,
neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit
neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali,
cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih
menunjukkan sedikit surplus (Lihat Tabel). Namun di balik ini terdapat
beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik
yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan
kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan
kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak
pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui
sistem perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari
luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis
moneter, terjadi juga krisis kepercayaan (Bandingkan juga IMF, 1997: 1).
Namun semua kelemahan ini masih mampu ditampung oleh
perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang badai
yang sangat besar, yang tidak mampu dibendung oleh tembok penahan
yang ada, yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai
terpaan gelombang yang datang mengancam.
Tabel 2. 1 Indikator Utama Ekonomi Indonesia 1990 – 1997
Neraca modal
Pemerintah
Swasta
PMA
Cadangan devisa akhir tahun (US$ juta)
(bulan impor non migas c dan f)
Sumber: BPS Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia; World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998.
Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada
tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah
terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya
berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed
floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan
demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta
asing untuk menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan
oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan
cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp
13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali
menjadi sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.
2.10 Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya
Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia
yang selama ini lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas,
tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai
jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri,
melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang
mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya1 . Krisis yang
1
berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang
sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi
terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar
negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar
AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro,
ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain,
walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila
tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi
juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan
gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai
faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari
faktor-faktor penyebab ini penting, karena penyembuhannya tentunya
tergantung dari ketepatan diagnosa.
Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang
luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional
sebagai akar dari terjadinya krisis finansial (Nasution: 28). Bank Dunia
melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis
menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang
pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun
1992 hingga Juli 1997, sehingga 95% dari total kenaikan utang luar negeri
berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18
bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah
jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan pada sistem
perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan
pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian berubah
menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan
bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidakpastian
politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan
Presiden Soeharto pada waktu itu.
Sementara menurut penilaian penulis, penyebab utama dari
terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor
satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi
pandang masing-masing pengamat. Berikut ini adalah rangkuman dari
berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
1) Dianutnya sistem devisa yang terlalu bebas tanpa adanya
pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valuta
asing dapat mengalir keluar-masuk secara bebas berapapun
jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia
menganut rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel,
sehingga membuka peluang yang sebesar-besarnya untuk orang
bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening valas
di dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di
dalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di
pusat-pusat keuangan di luar negeri.
2) Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4%
(1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang
berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah
secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan
pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif
lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan
produk dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan
produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti juga proteksi
industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif
murah dan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat
produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang
kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued
ini sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan,
karena tidak mencerminkan nilai tukar yang nyata.
3) Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta
jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat
tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk
membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan
juga Wessel et al.: 22), ditambah sistem perbankan nasional yang
lemah. Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun
1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan sudah
jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun
terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada tiga
pihak yang bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur.
Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang
salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah
terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga
pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam
mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di
dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar
negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam
rupiah. Jadi di sini pemerintah dihadapi dengan hasil perbuatannya.
Keadaan ini menguntungkan pengusaha selama tidak terjadi
devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun sehingga memberi
rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah
yang semakin besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi
atas signal yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu pemerintah
sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap utang-utang
swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek
negeri, terjadinya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar ini, di
samping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala yang
dalam teori ekonomi dikenal sebagai fallacy of thinking2 , di mana
pengusaha beramai-ramai melakukan investasi di bidang yang sama
meskipun bidangnya sudah jenuh, karena masing-masing
pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak
memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar
negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi
pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan (bandingkan IMF, 1998:
5). Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut
menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.
Kalau masalahnya hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja,
meskipun masalahnya juga cukup berat karena selama
bertahun-tahun telah terjadi net capital outflow 3 yang semakin lama semakin
membesar berupa pembayaran cicilan utang pokok dan bunga,
namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan
modal luar negeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman
swasta, pinjaman luar negeri pemerintah sifatnya jangka panjang,
ada tenggang waktu pembayaran, tingkat bunganya relatif rendah,
dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru.
Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800
perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64
milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Sebagian besar
dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge (Nasution: 12).
Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan
menikmati selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri
2
Yang dimaksud di sini adalah perilaku pengusaha yang bertindak atas pertimbangan dirinya sendiri tanpa mengetahui apa yang dilakukan oleh pengusaha lainnya. Misalnya pengusaha ramai-ramai mendiri-kan apotik, membuka tambak udang, membangun realestat dan kondomium.
3