• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Keterlibatan Ayah pada Perkembangan Anak

“Perkembangan atas ikatan hubungan antara anak dan orang tuanya membentuk salah satu aspek penting dalam sosial manusia dan perkembangan emosi” (Lamb dan Lewis, 2004).

a. Peran Ayah bagi Perkembangan Anak

Pada umumnya, ayah diketahui memiliki peran sebagai pencari nafkah atau disebut juga “unidimensional conceptualization” (Lamb dan LeMonda, 2004). Namun pada perkembangannya, banyak penemuan-penemuan tentang peranan ayah yang tidak hanya sebagai pencari nafkah melainkan juga sebagai pendamping, perawat, pasangan hidup, pelindung, panutan, moral guides, guru, pencari nafkah (Lamb. 2004). Halle (pg 3,4, 1999) menjabarkan secara mendetail terkait peran utama ayah yang juga mempengaruhi anak.

1. Sebagai pendukung finansial/ekonomi (economic provider)

Seorang ayah diharapkan mampu memenuhi kebutuhan anak dan keluarganya. (pg. 3)

2. Rekan dan teman bermain (friend & playmate),

Peran ayah dikaterogikan lebih ke arah teman yang menyenangkan terutama di dalam kegiatan fisik dibanding ibu.

3. Pengasuh (caregiver),

Serupa seperti ibu, ayah juga perlu berperan sebagai sosok yang memberikan kenyamanan dan afeksi bagi anaknya.

4. Guru dan panutan (teacher and role model),

Ayah juga memiliki tanggung jawab dalam menjadi pengajar bagi anak agar anak mampu bertahan hidup dalam kehidupannya. Secara tidak langsung pelajaran hidup dari ayah bisa didapat melalui interaksi saat mendampingi anak dalam tahap perkembangannya seperti mengajarkan bagaimana untuk bergaul dengan teman sebaya. (pg. 4)

5. Pengawas dan pemberi disiplin (monitor &disciplinary),

Ayah memiliki peran dalam pengasuhan dan pendampingan anak dalam pendisplinan dalam bersikap. Ayah juga dapat mengajarkan disiplin melalui cara bersikap terhadap ibu atau orang lain dan darisitu anak belajar.

6. Pelindung (protector),

Seorang ayah juga berperan sebagai pelindung bagi anak dengan menyiapkan lingkungan yang aman dan jauh dari bahaya saat berjaan atau bermain di area tempat tinggal. Selain itu, juga dalam

perkembangannya ayah bisa mengajarkan tentang bagaimana merawat diri dan menghindari penyakit tertentu.

7. Pemberi kesejahteraan dalam berbagai bentuk (advocate),

Ayah punya peranan penting dalam memenuhi kesejahtaraan anak dalam berbagi bentuk. Sebagai contoh, ayah menunjukan partisipasi dalam edukasi anaknya maka dari itu anak mampu merasa didukung oleh ayahnya dan termotivasi untuk belajar dengan lebih baik.

8. Pemberi dukungan (resource)

Ayah sebagai resource dapat dilihat dengan caranya untuk memberikan dukungan emosional bagi ibu dalam merawat anak.

Peran sebagai pendukung ekonomi (economic provider), pemberi kesejahteraan (advocate), pemberi dukungan (resource) memberikan pengaruh pada anak secara tidak langsung lewat dukungannya yang tidak langsung tertuju pada anak namun pada kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga ini nantinya akan berkontribusi untuk kesehatan emosional anaknya. (Amato & Sobolewski, this volume; Hetherington & Stanley-Hagan, 1997, dalam Lamb & Lemonda, 2000). Ayah yang mendukung perekonomian keluarganya tentunya juga bisa berdampak pada kesehatan fisik anaknya yang baik karena anak jadi lebih terfasilitasi terkait kebutuhan vitamin, protein, pangan yang mencukupi, serta akses ke instansi kesehatan. Peran ayah yang selanjutnya adalah sebagai rekan dan teman bermain (friend & playmate). Ayah yang terlibat dalam kegiatan bermain akan membuat tingkat IQ, kemampuan linguistik, serta kapasitas

kognitif dari sang anak meningkat. Mereka juga lebih mampu untuk mengatasi stress dan frustasi dalam kaitannya dengan sekolah. Dan hal ini kemudian akan berlangsung sampai pada remaja dan dewasa (Rosenberg & Wilcox, 2006).

Berikutnya adalah sebagai pengasuh (caregiver), dimana ayah yang mau mengasuh dan hangat dapat memprediksi kematangan moral pada anak secara signifikan, serta dapat di asosiasikan dengan perilaku yang senang bersosial dan perilaku positif pada anak laki-laki dan perempuan (Mosely & Thompson, 1995). Selain itu individu yang memasuki masa dewasa muda dan memiliki ayah yang selalu ada dan mau mengasuh ketika mereka bertumbuh cenderung memiliki skor yang tinggi dari hasil pengukuran penerimaan diri dan penyesuaian sosial (Fish & Biller, 1973), lebih sukses dalam pekerjaan mereka, serta sehat secara mental (Heath & Heath, 1991). Peran selanjutnya adalah sebagai guru dan panutan (teacher and role model), Lamb dan Lemonda (2000) menyatakan bahwa keterlibatan ayah pada pekerjaan di rumah akan membuat anak memperoleh referensi mengenai model perilaku yang bisa ditiru. Hal ini karena banyak pola perilaku sejak masih kanak-kanak adalah hasil dari pembelajaran yang muncul dari hasil mengamati orang lain dan penyesuaian suatu perilaku, dan tentu saja orang tua menjadi sosok yang bisa ditiru anak saat masih kecil (Bandura,1986, dalam Feist & feist, 2006). Selain itu, perlakuan ayah yang penuh hormat pada ibu dari anaknya dan kemampuan mengatasi konflik rumah tangga secara dewasa

dan tepat akan menginspirasi anak laki-laki dan perempuan mengenai pola interaksi dengan lawan jenis. Pada anak laki-laki, mereka belajar untuk memperlakukan wanita dengan baik, sedangkan pada anak perempuan mereka memunculkan suatu standar tentang perilaku yang seharusnya mereka terima dari laki-laki, dan hal ini pun yang membuat mereka terhindar dari hubungan yang tidak sehat dan penuh kekerasan (Rosenberg & Wilcox, 2006). Ketika ayah terlibat dalam pengasuhan dan pendampingan anak, maka disitulah peran mereka sebagai pemonitor, pemberi disiplin, serta pelindung dapat terlaksana. Ketika ayah cukup terlibat maka resiko perilaku kenakalan pun dapat terhindar (Harris et al., 1998). Dari sini dapat kita ketahui betapa pentingnya sosok ayah bagi perkembangan seorang anak.

Ragam peranan penting yang dimiliki ayah, akhirnya membuat beberapa peneliti merangkum tiga bentuk pengukuran keterlibatan ayah dalam keluarga dan perkembangan anak yaitu engagement, accessibility, dan responsibility (Lamb, Pleck, Charnov, dan Levine, 1987 dalam Lamb, 2004). Allen dan Daly (pg. 22, 2007) kemudian merangkum hasil penemuan terkait pengukuran keterlibatan ayah dalam tiga cara, yaitu:

 Keterlibatan Ayah diukur melalui waktu kebersamaan

Pengukuran ini termasuk dalam seberapa sering interaksi terjadi, seberapa besar waktu yang digunakan untuk

berkegiatan bersama dan bagaimana ayah mudah untuk dihubungi.

 Keterlibatan Ayah diukur melalui kualitas hubungan Ayah-Anak

Seorang ayah dianggap terlibat dalam hubungannya dengan anak dilihat melalui kedekatan secara emosional dengan melalui kepekaan, hangat, dekat, bersahabat, suportif, intim, perhatian, penuh kasih, dukungan, kenyamanan dan penerimaan yang diberikan oleh ayah.

 Keterlibatan Ayah diukur melalui Investasi dari Peran Keayahan

Seorang ayah terlibat dari tingkatan investasi dalam membesarkan anak. Kemampuan ayah menyeimbangkan antara ketegasan dan membebaskan anak sampai ke tahap memfasilitasi kebutuhan anak.

Melalui penjelasan terkait peranan dan cara pengukurannya, peranan ayah sendiri memliki dampak secara langsung dan tidak langsung bagi anak (Lamb, 2004). Lamb menjelaskan kembali bahwa anak terpengaruh secara langsung (direct) melalui perilaku, sikap dan pesan yang disampaikan ke anak (pg 8, 2004). Ayah mempengaruhi perkembangan anak secara tidak langsung yaitu secara dukungan ekonomi

untuk pemenuhan kebutuhan seperti sekolah (Amato & Sobolewski; Hetherington & Stanley-Hagan, 1997 dalam Allen dan Daly, 2004)

Rosenberg dan Wilcox (2006, pg. 12) menyatakan bahwa bahkan sejak lahir, anak yang memiliki ayah yang terlibat akan menjadi lebih stabil secara emosi, percaya diri untuk mengekplorasi dunia luar, dan dalam proses menuju kedewasaan, mereka akan memiliki hubungan sosial yang lebih baik dengan orang lain.

b. Situasi Ketiadaan Ayah (Fatherless) pada anak perempuan

Dewasa awal merupakan masa dimana seseorang melakukan peleburan identitas dengan orang lain sementara tetap mempertahankan identitas pribadi mereka. Rentang usia dewasa awal adalah 19-30 tahun (Erikson, 1963, dalam Feist & Feist, 2006). Menurut Erikson, pada masa perkembangan dewasa awal, individu akan mengalami krisis yaitu keintiman versus isolasi. Apabila tidak mampu melewati krisis tersebut maka akan berujung pada isolasi diri dan mengganggu kepribadian individu (Santrock, 2008). Secara umum, wanita cenderung lebih berorientasi pada relasi dibandingkan dengan laki-laki (Tannen, 1990, dalam Santrock, 2012). Anak perempuan atau dalam penelitian ini perempuan dewasa awal, belajar sejak kecil untuk berinteraksi dengan lawan jenis dari ayahnya. Ketika anak kehilangan ayah, maka ia tidak memiliki sosok yang bisa mengajarkan dia tentang cara menjalin relasi yang tepat dengan lawan jenisnya. Hal ini seringkali mengarahkan mereka dalam kegagalan dalam membina keintiman dengan lawan jenis. (Flouri &

Buchanan, 2004, dalam Zia, Malik & Ali, 2015). Erikson (1968) menyampaikan bahwa jika seseorang gagal dalam menjalin relasi yang intim di masa dewasa awal maka ia akan melakukan isolasi dimana ia bisa saja tidak akan mau mengakui, mengabaikan, atau menyerang orang-orang yang dianggap menimbulkan frustasi.

Istilah fatherless (anak tanpa ayah) dalam kamus Oxford merujuk pada situasi dimana anak tidak memiliki ayah yang dikarenakan kepergian ayah dari rumah atau karena meninggal. Definisi fatherless menurut Osmond (2010) adalah situasi anak yang harus tumbuh tanpa ayahnya baik secara fisik maupun emosional. Ditambah lagi belakangan ini penelitian telah mendefinisikan fatherless pada 3 situasi yaitu pada status perkawinan, pengabaian ayah, serta meninggalnya sang ayah (Daniels, 1998; Gallagher, 1998; Popenoe, 1996, dalam Osmond, 2010).

Situasi fatherless atau ketiadaan ayah dalam suatu keluarga tidak terjadi dengan begitu saja. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab dari ketiadaan ayah. Usman, Cangara, dan Muhammad (menyebutkan empat hal yang menyebabkan seseorang menjadi orang tua tunggal, yaitu:

a. Perceraian b. Kematian

c. Kehamilan diluar nikah

d. Bagi seorang wanita atau laki-laki yang tidak mau menikah, kemudian mengadopsi anak lain.

Seorang anak, secara umum akan berkembang dengan baik apabila kedua orang tuanya masih utuh (Lamb & Lemonda, 2004). Sedangkan, anak perempuan yang tidak tinggal dengan ayah mereka memiliki kecenderungan untuk berbuat curang, berbohong, dan tidak merasa bersalah setelah melakukan kesalahan (Parke, 1996; Mott et al., 1997 dalam Allen dan Daly, 2007). Penelitian lain juga menyebutkan beberapa hasil penelitian terkait dampak dari ketiadaan ayah yang terjadi pada anak laki-laki dan anak perempuan, yaitu kemungkinan sulit untuk puas, lemah dalam mengontrol amarah dan kepuasan seksual, dan kesulitan dalam memahami salah dan benar (Hetherington & Martin, 1979 dalam Allen & Dally, 2007)

Dokumen terkait