• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.2. Variabel-variabel yang Berpengaruh terhadap Peranan Penyedia

5.2.3. Ketersediaan Alat dan Bahan

Pada tabel 4.21. menunjukkan bahwa ketersediaan alat dan bahan yang berkaitan dengan program malaria di pelayanan kesehatan swasta seperti alat diagnosis, obat anti malaria, materi komunikasi-informasi-edukasi (KIE), kelambu berinsektisida tahan lama (LLIN) dan pencatatan pelaporan tidak berpengaruh terhadap peranan dalam pencapaian eliminasi (p = 0,212) pada uji Chi-square.

Permasalahan ketersediaan ini sudah menjadi isu lama di seluruh dunia. Ketersediaan obat anti malaria yang sesuai dengan standar WHO atau Kemenkes RI hanya terbatas pada fasilitas kesehatan pemerintah, terutama jenis ACT. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.6. obat anti malaria hanya tersedia pada 57 responden (37,3%) dari total 153 responden. Hal yang menarik adalah obat ACT juga tersedia pada 10

responden, sementara jenis obat anti malaria yang paling banyak tersedia adalah Klorokuin pada 19 responden kelompok klinik dan praktik perseorangan dan 18 toko obat. Ketersediaan obat ACT yang sedikit ini disebabkan oleh keterbatasan penjualan dan pendistribusiannya. Obat anti malaria ACT masih diadakan oleh pemerintah pusat yang didistribusikan ke fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah melalui Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, walaupun pelayanan kesehatan swasta berhak mengakses obat ini, tetapi informasi mengenai prosedur permintaan masih terbatas (Kusriastuti dan Surya, 2012).

Hal serupa terjadi di Somalia, dimana menurut studi dilaporkan bahwa lebih dari 30% pelayanan kesehatan swasta yang memiliki pelayanan diagnosis parasitologi, hanya 22 (42%) apotek/toko obat yang memiliki obat anti malaria jenis ACT (Noor, 2009).

Selanjutnya, terbatasnya ketersediaan obat anti malaria yang sesuai standar telah menjadi isu internasional yang dipaparkan dalam sensus di 6 (enam) negara endemis malaria didapatkan dari 28.263 pelayanan kesehatan kesehatan yang diperiksa, 51.158 obat anti-malarials diaudit, dan 9.118 penyedia pelayanan diwawancara. Pada pelayanan kesehatan pemerintah, terdapat 43 – 85% yang memiliki paling sedikit satu jenis obat anti malaria ACT, sementara pada fasilitas pelayanan kesehatan swasta paling sedikit memiliki satu jenis obat anti malaria non- ACT, seperti Klorokui dan SP yang tersedia di lebih dari 95% tempat dibandingkan jenis obat anti malaria ACT yang tersedia < 25% (O’Connell et al, 2011).

Permasalahan yang muncul dengan terbatasnya ketersediaan obat anti malaria dapat dilihat dampaknya pada penelitian ini bahwa dari 23 kasus malaria positif yang didapatkan di fasilitas pelayanan kesehatan swasta hanya 13 kasus (56,5%) yang mendapat pengobatan sesuai Protokol Kemenkes RI. Sementara alat dan bahan diagnosis malaria hanya tersedia pada 14 responden (9%) dari total 153 responden, paling banyak jenis RDT yang tersedia di 10 responden dan mikroskop tersedia di 7 responden. Sebanyak 5 responden menyatakan alat diagnosis ini berasal dari pengadaan sendiri, sementara 6 responden menyatakan dari sumbangan pemerintah. Hal ini tentu saja dapat menyulitkan Kabupaten Aceh Besar dalam menghilangkan penularan malaria lokal untuk tujuan eliminasi malaria, karena masih banyak penderita malaria yang tidak mendapat pengobatan yang tepat dan dapat memicu resistensi obat.

Permasalahan lain yang timbul adalah masifnya penjualan dan praktik pemberian obat anti malaria yang tidak standar. Berdasarkan jumlah apotek dan toko obat yang aktif menjual obat malaria sebanyak 24 responden (58,5%), dan hampir seluruhnya menjual obat anti malaria yang tidak sesuai Protokol Kemenkes RI yaitu Klorokuin, dengan mean Klorokuin terjual tanpa resep dokter/paramedik sebanyak 38,3 tablet per bulannya. Dibandingkan dengan mean jumlah obat anti malaria yang sesuai Protokol Kementerian Kesehatan RI yaitu ACT hanya sebanyak 0,5 tablet per bulan. Hal serupa dilaporkan pada studi di pedalaman Tanzania, dimana satu toko obat dapat menyediakan obat anti malaria bagi setiap 834 orang yang dibandingkan

dengan satu fasilitas kesehatan yang menyediakan obat anti malaria bagi setiap 4.368 orang (Goodman et al, 2004). Sistem penjaminan mutu pengobatan juga perlu diterapkan untuk memastikan kualitas obat yang diberikan kepada penderita malaria sesuai dengan estándar WHO dan Kemenkes RI (Ditjen PPPL, 2011)

Hal yang menarik pada penelitian ini adalah adanya satu toko obat yang memiliki alat diagnosis malaria RDT dan obat ACT, dimana keduanya berasal dari sumbangan pemerintah. Hal ini mengindikasikan bahwa toko obat dan apotek dapat terlibat mendekatkan akses diagnosis dan pengobatan kepada masyarakat, namun yang menjadi pertanyaan adalah batasan wewenang apotek dan toko obat dalam menjual alat diagnosis dan obat anti malaria yang kesemuanya tanpa dilengkapi resep dokter (PP RI, 2009). Bila melihat label obat Klorokuin pada kemasannya dengan lingkaran bewarna biru dengan garis tepi berwarna hitam yang berarti obat bebas terbatas (Depkes RI, 1983) yaitu dapat dibeli secara bebas tanpa resep dokter dengan (Depkes RI, 2000), memungkinkan bagi toko obat untuk menjual tanpa resep dokter. Praktik penjualan obat Klorokuin tanpa resep dokter ini disetujui oleh responden dengan alasan penjualan obat malaria termasuk katergori obat bebas (22,2%), dan berlabel biru (11,2%).

Lebih lanjut penelitian ini mengungkap, apotek dan toko obat menjual obat anti malaria jenis Klorokuin kepada pembeli yang akan naik ke gunung tanpa resep dokter atau memberikan konseling cara penggunaan obat untuk kepentingan profilaksis. Maraknya penjualan jenis Klorokuin pada pembeli yang akan naik

gunung ini sesuai dengan penyebaran penyakit malaria di Kabupaten Aceh Besar yang lebih banyak di daerah pegunungan (Dinkes Aceh Besar, 2013) dan adanya sejarah panjang pemberian obat anti malaria Klorokuin sebagai profilaksis.

Sementara obat ACT yang digunakan di Indonesia berjenis kombinasi Artesunate-Amodiakuin-Primakuin, dan Dihidroartemisinin Piperakuin-Primakuin (Ditjen PPPL, 2011), dimana Primakuin dan ACT memiliki label merah yang berarti obat keras harus dengan resep dokter (Depkes, 1993). Tentu saja pendistribusian obat jenis ini diperlukan suatu sistem yang kuat, terutama pengawasan penggunaan dan pemberian ke masyarakat.

Mempertimbangkan masifnya pemberian obat anti malaria yang tidak sesuai Protokol Kemenkes RI yaitu Klorokuin di Kabupaten Aceh Besar, dimana sesuai dengan penelitian Badan Litbangkes RI di Kota Sabang bahwa Klorokuin telah menunjukkan resistensi pada P.falsiparum (Ompusungu et al, 1989). Hampir diseluruh dunia resisten pada P.falsiparum sekitar akhir tahun 1950-an dan pada P.vivax 1989 (CDC, 2014). Untuk itu diperlukan upaya untuk menghentikan praktik pemberian obat Klorokuin pada penderita suspek malaria maupun penderita yang sudah terkonfirmasi pemeriksaan laboratorium. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.293/MENKES/SK/IV/2009 yang menyatakan bahwa pada daerah pra-eliminasi dan eliminasi, penegakan diagnosis dan pengobatan malaria melibatkan penyedia pelayanan kesehatan swasta, sehingga obat anti malaria sesuai

protokol Kemenkes RI seyogyanya dapat diakses oleh fasilitas pelayanan kesehatan swasta sesuai dengan wewenang menurut peraturan yang berlaku.

Lebih lanjut, isu resistensi obat anti malaria jenis Artemisinin saat ini menjadi isu hangat di dunia internasional, dimana berdasarkan laporan lembaga CSIS bahwa di sub regional Great Mekong telah terjadi perlambatan efektifitas obat Artemisinin akibat pemakaian Artemisinin monoterapi yang berlangsung jangka panjang, pemberian obat anti malaria kepada pasien demam tanpa konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium, kesalahan diagnosis, obat anti malaria tidak sesuai dosis dan durasi pemakaian, keterlambatan pengobatan dan mutu obat yang jelek (Daniel, 2013). Hal ini memicu dikeluarkannya pedoman WHO untuk mencegah meluasnya resistensi obat jenis Artemisinin ini (WHO, 2011b).

Kerjasama antara pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta secara resmi perlu diadakan segera untuk mengatasi isu keterbatasan kesediaan obat di fasilitas kesehatan swasta. Walaupun, pada penelitian ini menemukan ada 3 klinik, 3 praktik dokter mandiri, 1 praktik perawat, 2 praktik bidan dan 1 toko obat yang memiliki obat anti malaria jenis ACT yang mendapat sumbangan dari pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara resmi belum ada jejaring kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam hal ini Dinas Kesehatan dengan fasilitas pelayanan kesehatan swasta, tetapi di lapangan telah ada inisiasi kerjasama antara fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan swasta, hal ini diperkuat dengan keterangan petugas malaria Puskesmas Sukamakmur dan Indrapuri pada survei

pendahuluan bahwa klinik swasta telah pro-aktif berkonsultasi bila ditemukan pasien malaria.

Pada negara endemis malaria terbatasnya kesediaan obat anti malaria ini berbahaya bagi keselamatan pasien malaria. Di Kenya, akses yang jelek pada obat anti malaria yang efektif berkontribusi pada tingginya angka kesakitan dan kematian karena malaria. Sekitar 12% anak-anak yang menerima obat anti malaria dalam 24 jam pertama pada saat mereka demam, dan yang menjadi tempat mencari pertolongan pertama adalah toko obat lokal. Peranan apotek, toko obat dan praktik swasta menjadi penting di daerah seperti ini (Smith et, 2011).

Pada klinik dan praktik dokter, seluruhnya memiliki buku register atau rekam medik. Sementara sebanyak 12 praktik perawat (46,2%) dan 35 praktik bidan (76,1%) yang mempunyai buku register/rekam medik. Lebih lanjut ketersediaan formulir pelaporan pasien malaria maupun alat malaria sangat minim pada semua jenis pelayanan kesehatan swasta. Hasil penelitian menunjukkan dari setiap jenis pelayanan kesehatan hanya satu responden yang memiliki formulir pelaporan, kecuali pada pada kelompok praktik bidan, dimana sebanyak 8 responden (17,0%) memiliki formulir pelaporan kasus malaria.

Pada tabel 4.15 menunjukkan bahwa jumlah kasus malaria yang ditemukan di pelayanan kesehatan swasta hanya menyumbang 5,6 % (9 dari 162 kasus malaria positif) dan dibandingkan dengan jumlah seluruh kasus malaria yang didapatkan di pelayanan kesehatan swasta sebanyak 39% (9 dari 23 kasus malaria positif).

Sementara pada penemuan kasus suspek, dari 953 kasus suspek yang ditemukan di pelayanan kesehatan swasta hanya 139 kasus suspek yang terlaporkan di puskesmas. 5.2.4. Pengetahuan

Pada tabel 4.22, pengetahuan secara total mengenai malaria berpengaruh terhadap pencapaian eliminasi malaria (p < 0,001). Selanjutnya berdasarkan analisis yang dalam menunjukkan bahwa pengetahuan per komponen diagnosis (p = 0,002), dan pengobatan (p < 0,001) mempunyai pengaruh signifikans dengan peran penyedia pelayanan kesehatan swasta dalam mencapai eliminasi malaria pada kelompok klinik dan praktik perseorangan.

Pengetahuan penyedia pelayanan kesehatan swasta yang rendah dapat memicu terjadinya kesalahan diagnosis malaria dan pengobatan. Pada penelitian ini responden yang dapat menyebutkan dengan benar dan lengkap gejala malaria hanya 24 orang (21,4%) pada kelompok klinik dan praktik perseorangan dan 4 orang (9,7%) pada kelompok apotek dan toko obat.

Studi di daerah rural Tanzania menemukan bahwa penjaga toko kelontongan yang menjual obat malaria kurang paham tentang gejala-gejala malaria dibandingkan penjaga toko obat. Begitu pula dengan pengetahuan tentang pengobatan malaria, pejaga toko obat memiliki pengetahuan yang lebih baik secara signifikan dibanding responden pejaga toko kelontongan. Lebih lanjut, kedua tipe penjaga toko ini tidak menyebutkan pengobatan tradisional atau tidak diberikan terapi apapun (Hetzel et al, 2008).

Studi kualitatif di Nigeria bagian tenggara melaporkan persepsi penyedia pelayanan kesehatan mengenai gejala malaria yang mirip dengan gejala penyakit lain membuat petugas mengirimkan pasien untuk pemeriksaan laboratorium malaria, tetapi ketidakakuratan hasil dan kompetensi teknisi yang kurang membuat petugas tidak percaya dengan hasil pemeriksaan malaria. Sementara petugas pelayanan kesehatan swasta hanya mengirimkan pasien dengan kondisi sakit yang berat dan atas kesediaan pasien untuk diperiksa. Beberapa alasan tidak memeriksakan pasien suspek malaria dengan pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan membutuhkan biaya dari pasien, kurang tersedianya alat diagnosis dan persepsi masyarakat mengenai akurasi hasil laboratorium (Ezeoke et al, 2012).

Lebih lanjut, meskipun pengetahuan mengenai pencegahan tidak berpengaruh dengan peranan dalam pencapaian eliminasi malaria pada penelitian ini, penelitian serupa dilaporkan oleh Hoffman et all (2011) yang dilakukan di 4 (empat) negara bahwa dari 374 responden hanya 13% penyedia pelayanan kesehatan yang dapat menjawab dengan benar mengenai kelambu berinsektisida sebagai salah satu metode pencegahan malaria, Ghana (10%), Laos (0%), Senegal (4%) dan Tanzania (33%).

Pentingnya pencatatan dan pelaporan secara umum telah diketahui, pada tabel 4.7. menunjukkan dari 153 responden terdapat 83 orang (54,2%) yang mempunyai pengetahuan baik. Lebih lanjut mengenai pentingnya kasus malaria dicatat paling banyak untuk mengetahui jumlah kasus malaria sebagai data atau laporan (17 orang kelompok klinik dan praktik perseorangan dan 3 orang kelompok apotek dan toko

obat). Selanjutnya pengetahuan pentingnya melaporkan kasus malaria dalam 1 x 24 jam ke pemerintah paling banyak untuk alasan pengobatan segera (10 responden kelompok klinik dan praktik perseorangan) dan penanganan lebih lanjut dijawab 8 responden.

Rendahnya kasus suspek malaria yang bisa didiagnosis malaria di pelayanan kesehatan swasta dapat disebabkan karena ketersediaan alat dan bahan diagnosis malaria dan pengetahuan tentang diagnosis malaria. Pengetahuan tentang diagnosis malaria pada kelompok responden klinik dan praktik perseorangan cukup menggembirakan, dimana 67 responden (59,8%) mempunyai pengetahuan baik, sementara pada kelompok apotek dan toko obat hanya 17 responden (41,5%) yang baik.

Studi yang dilaporkan oleh Damte M (2014) menunjukkan dari 264 petugas kesehatan yang bekerja pada 264 fasilitas kesehatan swasta mengetahui pengobatan pada pasien malaria yang terkonfirmasi laboratorium (91,3% untuk P.vivax dan 88,6% untuk P.falsiparum). Hampir 92,4% kasus suspek dilakukan pemeriksaan parasitologi, dengan nilai SPR yang tinggi yaitu 37,5%, tetapi hanya 60,6% yang mendapat terapi malaria. Sementara Meremikwu (2007) melaporkan hasil studi di Nigeria bagian Tenggara bahwa hanya 45% dari 665 pasien yang mendapat pemeriksaan laboratorium dengan mikroskop.

Dokumen terkait