• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Penyedia Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Pencapaian Eliminasi Malaria di Kabupaten Aceh Besar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Penyedia Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Pencapaian Eliminasi Malaria di Kabupaten Aceh Besar"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN PENYEDIA PELAYANAN KESEHATAN SWASTA DALAM PENCAPAIAN ELIMINASI MALARIA

DI KABUPATEN ACEH BESAR

TESIS

Oleh HERDIANA 127032259 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

THE ROLE OF PRIVATE HEALTH CARE PROVIDERS IN ACHIEVING MALARIA ELIMINATION IN ACEH BESAR DISTRICT

THESIS

By HERDIANA 127032259 / IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

PERANAN PENYEDIA PELAYANAN KESEHATAN SWASTA DALAM PENCAPAIAN ELIMINASI MALARIA

DI KABUPATENACEH BESAR

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh HERDIANA 127032259 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Judul Tesis : PERANAN PENYEDIA PELAYANAN KESEHATAN SWASTA DALAM

PENCAPAIAN ELIMINASI MALARIA DI KABUPATEN ACEH BESAR

Nama Mahasiswa : Herdiana Nomor Induk Mahasiswa : 127032259

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Juanita, S.E, M.Kes) (Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes

Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(5)

Telah Diuji

pada Tanggal : 29 Oktober 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Juanita, S.E, M.Kes

Anggota : 1. Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes 2. Drs. Amru Nasution, M.Kes

(6)

PERNYATAAN

PERANAN PENYEDIA PELAYANAN KESEHATAN SWASTA DALAM PENCAPAIAN ELIMINASI MALARIA

DI KABUPATEN ACEH BESAR

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2014

(7)

ABSTRAK

Eliminasi malaria merupakan komitmen global dan Pemerintah Indonesia. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar melalui Peraturan Bupati No. 23/2013 menargetkan eliminasi malaria tahun 2015. Peranan pelayanan kesehatan swasta dalam konteks eliminasi malaria belum diketahui. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui peranan pelayanan kesehatan swasta dalam hal diagnosis, pengobatan, pencegahan dan pencatatan pelaporan dalam pencapaian eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar dan faktor-faktor yang mempengaruhi.

Jenis penelitian adalah potong lintang. Sampel menggunakan metode pencuplikan acak sederhana, jumlah 153 dibagi secara proporsional keenam jenis pelayanan kesehatan swasta. Data dari data primer dan sekunder. Analisis menggunakan uji Chi-Square dan logistik regresi ganda dengan aplikasi Epi Info versi 7.

Hasil penelitian: tingkat pendidikan (p = 0,045), pelatihan malaria (p = 0,004), karakteristik pekerjaan (p = 0,004), tingkat pengetahuan (p < 0,001) berpengaruh terhadap peran. Berpengetahuan baik berpengaruh 8 kali (OR 8,1; 95% CI 3,8 – 17,5) dan pelatihan berpengaruh 2,7 kali (OR 2,7; 95% CI 1,2 – 6,3). Kontribusi pelayanan kesehatan swasta, proporsi kasus suspek dikonfirmasi laboratorium 13,5%, proporsi kasus malaria diobati sesuai protokol 7,4%, proporsi kasus malaria terlapor ke pemerintah 5,6%. Pada apotek dan toko obat, mean pembeli suspek malaria per hari 4 orang, mean Klorokuin terjual perbulan 38 tablet.

Penyedia pelayanan kesehatan swasta masih berperan dalam pencapaian eliminasi malaria pada daerah endemis rendah menuju eliminasi. Perlu dibentuk jejaring kerjasama pemerintah-swasta formal untuk mengefektifkan komunikasi, koordinasi, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, menjamin ketersediaan alat dan bahan, pembinaan dan pengawasan.

(8)

ABSTRACT

Malaria elimination is a global commitment and a goal of the Government of Indonesia. The District of Aceh Besar has promulgated Regent’s Regulation No. 23/2013 which formally commits to achieve elimination by 2015. However, the role of private health care providers in progressing towards malaria elimination has not been identified. This study describes and quantifies the role of private health care in the malaria elimination effort in Aceh Besar.

A survey of six types of private health care providers through a simple random sampling method has been conducted. Primary and secondary data were collected from 153 providers. Data analysis was done using Chi-Square test and logictic regression with EPI Info version 7.

The result showed that educational background (p=0,045), participation in malaria training (p=0,004), occupational characteristics (p=0,004) and knowledge of malaria (p<0,001) were associated with involvement in malaria elimination program. Additionally, roles of private health care providers in malaria elimination were predominantly influenced by having good knowledge of malaria (OR 8.1; 95% CI 3.8–17.5) and participation in malaria training (OR 2.7; 95% CI 1.2–6.3). The contribution private providers to officially reported data for 2013 showed that, 13.5% of suspected malaria cases were laboratory-confirmed, 7.4% of malaria cases were treated by ACT, and 5.6% malaria cases treated were reported to government. At pharmacies and drug stores, an average of 4 people sought medication for malaria malaria daily, with pharmacies selling a mean of 38 chloroquine tablets monthly

Private health care providers play a pivotal role in low endemic area moving toward malaria elimination. This survey shows that the private sector in Aceh Besar falls far short of standards for diagnosis, treatment and reporting set by the public section. This highlights the need for established of an effective public-private network to ensure adherence to standards, effective monitoring, and good communication.

(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, atas rahmat serta karuniaNYa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Peranan Penyedia Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Pencapaian Eliminasi Malaria di Kabupaten Aceh Besar”.

Penyelesaian tesis ini sudah tentu melibatkan banyak pihak, baik yang telah ikut memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Juanita, S.E, M.Kes dan Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes selaku komisi pembimbing atassegala ketulusan dalam menyediakan waktu untukmemberikan bimbingan, dorongan, saran dan perhatian selama proses proposal hingga penulisan tesis selesai. Semoga Allah SWT senantiasa selalu memberikan rahmat dan taufik-Nya kepada ibu berdua.

(10)

memberikan masukan dan saran yang berharga dalam penyempurnaan penyusunan tesis ini.

6. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar dr Wahyu Zulfansyah M.Kes yang telah memberikan izin untuk pelaksanaan penelitian ini, serta dukungan dari Bidang P2P, Bidang Pelayanan Kesehatan dan Seksi Data Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar beserta jajaran Puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan swasta yang telah memberikan masukan, data dan kerjasamanya dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Seluruh para dosen pengajar dan staf di lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, khususnya pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat minat studi Administrasi Kebijakan dan Kesehatan, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dalam menjalani proses kuliah hingga penyelesaian tesis di kampus tercinta.

8. Teristimewa buat ayahanda Hasan Basri dan Ibunda Husna RM terhormat yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan doa serta rasa cinta yang ikhlas membesarkan penulis, memotivasi dan memberikan dukungan moril dan material sehingga penulis bisa mencapai pendidikan ini. Begitupula kepada kakak-kakak, seorang putri tersayang Alifa Wazhifatul Hakim, keponakan-keponakan, dan cucu-cucu yang telah mengisi warna kehidupan. Semoga pencapaian ini menjadi pembelajaran berharga dalam mencapai pendidikan tinggi dalam suka dan duka. 9. Kepada Hari Setiadi, Iqbal Elyazar, Lenny L Ekawati, Agus Rachmat, Yenni

(11)

10.Seluruh teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuannya dan memberikan semangat dalam penyusunan tesis.

Akhirnya penulis menyadari segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, untuk itu diharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan masyarakat dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Oktober 2014 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Herdiana, lahir pada tanggal 12 Desember 1978 di Teluk Betung, Bandar Lampung, anak terakhir dengan jumlah 5 (lima) bersaudara dari pasangan Ayahanda H. Hasan Basri dan Ibunda Hj. Husna RM. Tempat tinggal di Jln. T. Iskandar Villa Gading Mas No. 12, Ceurih, Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri 1 Panjang Utara, Bandar Lampung selesai tahun 1991, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Yogyakarta selesai tahun 1994, Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Yogyakarta selesai Tahun 1997, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta selesai Tahun 2004. Penulis menikah pada 13 Juli 2003 dengan Lukman Hakim dan telah dikaruniai seorang putri Alifa Wazhifatul Hakim.

(13)

DAFTAR ISI

2.1.3. Endemisitas dan Daerah Fokus Malaria ... 13

2.1.4. Diagnosis ... 15

2.1.5. Pengobatan ... 17

2.1.6. Pencegahan ... 19

2.1.7. Pengumpulan Data dan Pelaporan ... 20

2.1.8. Eliminasi Malaria ... 21

2.1.9. Intervensi Program Malaria ... 25

2.2. Pelayanan Kesehatan ... 25

2.3. Pelaku Penyedia Pelayanan Kesehatan ... 26

2.4. Peran Sektor Swasta dalam Program Malaria ... 30

2.5. Pendekatan Sistem Kesehatan dalam Program Malaria ... 37

(14)

3.3. Populasi dan Sampel ... 43

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ... 55

4.1.1. Keadaan Geografis ... 55

4.1.2. Keadaan Demografis ... 57

4.1.3. Sarana dan Tenaga Kesehatan ... 57

4.1.4. Situasi Program Malaria ... 59

4.2. Analisis Univariat ... 61

4.2.1. Karakteristik Petugas ... 62

4.2.2. Karakteristik Pekerjaan ... 63

4.2.3. Ketersediaan Alat dan Obat ... 65

4.2.4. Pengetahuan ... 66

4.2.5. Peran ... 75

4.3. Analisis Bivariat ... 81

4.3.1. Pengaruh Karakteristik Petugas dengan Peran ... 81

4.3.2. Pengaruh Karakteristik Pekerjaan dengan Peran ... 82

4.3.3. Pengaruh Ketersediaan Alat dan Bahan dengan Peran ... 84

4.3.4. Pengaruh Pengetahuan dengan Peran ... 84

4.4. Analisis Multivariat ... 85

BAB 5. PEMBAHASAN ... 87

5.1. Peranan Pemberi Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Mencapai Eliminasi Malaria... 87

5.2. Variabel-variabel yang Berpengaruh terhadap Peranan Penyedia Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Mencapai Eliminasi Malaria ... 94

5.2.1. Karakteristik Petugas ... 95

5.2.2. Karakteristik Pekerjaan ... 97

(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1. Monitoring Respon Pengobatan, Hasil, Kriteria dan Tindakan yang

Diambil ... 19

2.2. Pembagian Sasaran Puskesmas Per Target Tahun Pencapaian Eliminasi Malaria ... 24

3.1. Pengambilan Sampel Penelitian ... 45

3.2. Metode Pengukuran Variabel Bebas ... 52

4.1. Jenis Sarana Kesehatan Pemerintah dan Swasta ... 57

4.2. Jenis Tenaga Kesehatan ... 58

4.3. Angka Insidensi Malaria Per Puskesmas di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2009 – 2013 ... 60

4.4. Distribusi Frekuensi Karakterisik Responden ... 62

4.5. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pekerjaan ... 64

4.6. Distribusi Frekuensi Ketersediaan Alat dan Obat ... 65

4.7. Distribusi Frekuensi Ketersediaan Alat dan Bahan per Kelompok Responden ... 66

4.8. Distribusi Frekuensi Pengetahuan pada Seluruh Responden ... 66

4.9. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Per Komponen pada Kelompok Responden ... 67

4.10. Distribusi Alasan Komponen Pengetahuan Kelompok Klinik dan Praktik Perseorangan ... 69

4.11. Distribusi Alasan Komponen Pengetahuan Kelompok Apotek dan Toko Obat ... 73

(16)

4.13. Beberapa Alasan Responden Kelompok Klinik dan Praktik Perseorangan

pada Komponen Perilaku ... 76

4.14. Beberapa Alasan Responden Kelompok Apotek dan Toko Obat pada Komponen Perilaku ... 77

4.15. Indikator Potensi dan Kehilangan Kontribusi Pelayanan Kesehatan Swasta Menuju Eliminasi Malaria ... 78

4.16. Potensi Klinik dan Praktik Perseorangan pada Program Malaria ... 79

4.17. Potensi Apotek dan Toko Obat pada Program Malaria ... 80

4.18. Pengaruh Karakterisk Petugas dengan Peran ... 81

4.19. Pengaruh Karakteristik Pekerjaan dengan Peran ... 82

4.20. Tabulasi Silang Karakteristik Pekerjaan dengan Peran ... 83

4.21. Pengaruh Ketersediaan Alat dan Bahan dengan Peran... 84

4.22. Pengaruh Pengetahuan dengan Peran ... 84

(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Kerangka Teori ... 40 2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 41 4.1. Peta Endemisitas Malaria Per Kecamatan Tahun 2013 dan Lokasi

Penelitian di Kabupaten Aceh Besar ... 56 4.2. Jumlah Kasus Malaria dan Insidensi Malaria Kabupaten Aceh Besar

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Permintaan Menjadi Responden ... 125

2. Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden Penelitian ... 127

3. Pedoman Umum Wawancara ... 128

4. Hasil Uji Statistik ... 151

5. Surat Izin Penelitian ... 173

6. Surat Izin Survei Pendahuluan ... 174

(19)

ABSTRAK

Eliminasi malaria merupakan komitmen global dan Pemerintah Indonesia. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar melalui Peraturan Bupati No. 23/2013 menargetkan eliminasi malaria tahun 2015. Peranan pelayanan kesehatan swasta dalam konteks eliminasi malaria belum diketahui. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui peranan pelayanan kesehatan swasta dalam hal diagnosis, pengobatan, pencegahan dan pencatatan pelaporan dalam pencapaian eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar dan faktor-faktor yang mempengaruhi.

Jenis penelitian adalah potong lintang. Sampel menggunakan metode pencuplikan acak sederhana, jumlah 153 dibagi secara proporsional keenam jenis pelayanan kesehatan swasta. Data dari data primer dan sekunder. Analisis menggunakan uji Chi-Square dan logistik regresi ganda dengan aplikasi Epi Info versi 7.

Hasil penelitian: tingkat pendidikan (p = 0,045), pelatihan malaria (p = 0,004), karakteristik pekerjaan (p = 0,004), tingkat pengetahuan (p < 0,001) berpengaruh terhadap peran. Berpengetahuan baik berpengaruh 8 kali (OR 8,1; 95% CI 3,8 – 17,5) dan pelatihan berpengaruh 2,7 kali (OR 2,7; 95% CI 1,2 – 6,3). Kontribusi pelayanan kesehatan swasta, proporsi kasus suspek dikonfirmasi laboratorium 13,5%, proporsi kasus malaria diobati sesuai protokol 7,4%, proporsi kasus malaria terlapor ke pemerintah 5,6%. Pada apotek dan toko obat, mean pembeli suspek malaria per hari 4 orang, mean Klorokuin terjual perbulan 38 tablet.

Penyedia pelayanan kesehatan swasta masih berperan dalam pencapaian eliminasi malaria pada daerah endemis rendah menuju eliminasi. Perlu dibentuk jejaring kerjasama pemerintah-swasta formal untuk mengefektifkan komunikasi, koordinasi, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, menjamin ketersediaan alat dan bahan, pembinaan dan pengawasan.

(20)

ABSTRACT

Malaria elimination is a global commitment and a goal of the Government of Indonesia. The District of Aceh Besar has promulgated Regent’s Regulation No. 23/2013 which formally commits to achieve elimination by 2015. However, the role of private health care providers in progressing towards malaria elimination has not been identified. This study describes and quantifies the role of private health care in the malaria elimination effort in Aceh Besar.

A survey of six types of private health care providers through a simple random sampling method has been conducted. Primary and secondary data were collected from 153 providers. Data analysis was done using Chi-Square test and logictic regression with EPI Info version 7.

The result showed that educational background (p=0,045), participation in malaria training (p=0,004), occupational characteristics (p=0,004) and knowledge of malaria (p<0,001) were associated with involvement in malaria elimination program. Additionally, roles of private health care providers in malaria elimination were predominantly influenced by having good knowledge of malaria (OR 8.1; 95% CI 3.8–17.5) and participation in malaria training (OR 2.7; 95% CI 1.2–6.3). The contribution private providers to officially reported data for 2013 showed that, 13.5% of suspected malaria cases were laboratory-confirmed, 7.4% of malaria cases were treated by ACT, and 5.6% malaria cases treated were reported to government. At pharmacies and drug stores, an average of 4 people sought medication for malaria malaria daily, with pharmacies selling a mean of 38 chloroquine tablets monthly

Private health care providers play a pivotal role in low endemic area moving toward malaria elimination. This survey shows that the private sector in Aceh Besar falls far short of standards for diagnosis, treatment and reporting set by the public section. This highlights the need for established of an effective public-private network to ensure adherence to standards, effective monitoring, and good communication.

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu komponen penting dalam indeks pembangunan manusia (IPM). Masyarakat yang sehat merupakan investasi bagi suatu negara, dimana produktivitas pada masyarakat yang sehat menjadi lebih tinggi dan berdampak secara makro pada perekonomian suatu bangsa.

Malaria sebagai penyakit menular yang berbasis lingkungan terbukti dapat menurunkan produktivitas penderitanya dan terbukti berhubungan erat dengan kemiskinan (Worral et al, 2005), sehingga Menteri Kesehatan dalam Surat Keputusannya bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang hidup sehat, yang terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai tahun 2030 (Kepmenkes No.293/MENKES/SK/IV/2009). Keputusan ini sejalan dengan isu global, dimana pada World Health Assambly (WHA) ke-60 Tahun 2007 disepakati komitmen global bahwa setiap negara akan mencapai eliminasi malaria (WHO, 2007a).

(22)

(Global Health Group) Universitas California San Fransisco (UCSF) menyatakan bahwa sampai tahun 2010, ada 109 negara dengan kategori bebas malaria, 67 negara masih dalam tahap pemberantasan malaria, dan 32 negara sedang proses mengeliminasi malaria. Indonesia termasuk negara yang masih dalam tahap pemberantasan malaria (Feachem et al, 2009).

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), di Indonesia terdapat 417.819 kasus malaria positif terkonfirmasi laboratorium dimana 70% kasus tersebut berasal dari Indonesia Timur. Kawasan Timur Indonesia yang walaupun hanya memiliki sekitar 16 juta penduduk tersebar pada 84 kabupaten/kota, tetapi menyumbangkan paling banyak kasus malaria di Indonesia. Lebih lanjut, Kemenkes RI menyatakan ada 133 kabupaten/kota yang sudah bebas malaria, 204 kabupaten/kota sebagai daerah dengan insidensi malaria rendah (API < 1 per 1.000 penduduk), dan 85 kabupaten/kota dengan insidensi malaria sedang (API 1 - 5 per 1.000 penduduk) (Surya, 2013). Menurut laporan WHO (2011a), kematian karena malaria di Indonesia sebanyak 1.023 orang, tetapi angka ini lebih kecil dari model matematika menurut Murray et al (2012) yang memperkirakan angka kematian karena malaria di Indonesia sekitar 10.925 (interval antara 5.420–17.211, CI 95%).

(23)

kasus malaria terbesar di Kabupaten Aceh Besar yaitu sebanyak 64 kasus. Tiga puskesmas lain mempunyai insidensi parasit malaria (API) antara 1 – 5 ‰, yaitu Puskesmas Lhoong, Lembah Seulawah dan Kota Jantho. Sembilan puskesmas melaporkan tidak ditemukan kasus malaria pada tahun 2012, dan 15 puskesmas sisanya mempunyai angka insidensi malaria kurang dari 1‰ (Dinkes Aceh Besar, 2013).

Bila melihat situasi malaria di Kabupaten Aceh Besar dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan angka insidensi malaria, dimana tahun 2006 insidensi malaria tercatat 2.6 per 1.000 penduduk dan tahun 2012 menjadi 0.5 per 1.000 penduduk. Penurunan ini membuat para pemangku kebijakan di Kabupaten Aceh Besar berkeyakinan untuk memasuki tahap eliminasi malaria pada tahun 2015 yang tertuang pada Peraturan Bupati Aceh Besar No. 23/2013.

(24)

1%. Angka ini menunjukkan rendahnya penemuan kasus malaria karena angka ini masih berasal dari laporan Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah, sementara kegiatan penemuan kasus malaria dari penyedia pelayanan kesehatan swasta belum terlaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar. Menurut kunjungan lapangan awal, hal ini disebabkan belum adanya jejaring kerjasama antara fasilitas kesehatan pemerintah dengan penyedia pelayanan kesehatan untuk program malaria di Kabupaten ini.

Berdasarkan data laporan program malaria dari Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar didapatkan bahwa lebih dari 70% penderita malaria yang terlaporkan adalah pria dengan usia diatas 15 tahun (Dinkes Aceh Besar, 2013). Hal ini sesuai dengan karakteristik penderita malaria di kawasan Asia dan Amerika Selatan yang dihubungkan dengan resiko pekerjaan atau migrasi (Hsiang et al, 2009).

Data vektor penular malaria di Kabupaten Aceh Besar berdasar penelitian sebelumnya, teridentifikasi beberapa spesies Anopheles yaitu: Anopheles vagus, Anopheles aconitus, Anopheles hyrcanus group, Anopheles sinensis, Anopheles

(25)

Berdasarkan data diatas dan adanya komitmen Pemerintah Kabupaten Aceh Besar yang menargetkan mencapai eliminasi malaria pada tahun 2015, maka diperlukan suatu intervensi yang efektif dan terpadu.

Eliminasi malaria diartikan sebagai upaya masif untuk menghilangkan penularan malaria lokal/setempat, hal ini tidak berarti suatu daerah tidak melaporkan adanya kasus malaria, tetapi kasus malaria yang ditemukan telah diverifikasi sebagai kasus malaria impor dan daerah tersebut menjamin tidak ada kasus malaria yang ditularkan di wilayah kerjanya (WHO, 2007b). Disini diperlukan kecepatan diagnosis penyakit malaria pada penderita suspek sehingga apabila terbukti positif malaria yang terkonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium, maka penderita tersebut dapat diobati segera untuk memutus mata rantai penularan malaria.

(26)

Sektor pelayanan kesehatan swasta merupakan salah satu unsur penting dalam sistem kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Menurut AusAID (2012), di kawasan Asia Selatan sekitar 80 persen pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin disediakan oleh sektor swasta. Beberapa negara melaporkan pelayanan kesehatan swasta banyak dimanfaatkan bagi kelompok miskin pada negara-negara miskin dan berkembang, terutama pada daerah dengan sarana infrastruktur dan transportasi yang sulit. Di Guatemala sekitar 40-45% populasi pada kelompok kedua kuantil terendah mencari pelayanan pada sektor swasta (Makinen et.al., 2000).

(27)

Lebih lanjut pemanfaatan pemeriksaan malaria pada praktik dokter untuk daerah perdesaan sedikit lebih tinggi dibanding daerah perkotaan, yaitu 6,7% dengan 5,9%. Sementara praktik bidan tidak berbeda, baik diperkotaan maupun diperdesaan 1,9% rumah tangga yang memanfaatkannya. (Badan Litbangkes, 2010). Ditambah lagi dengan fenomena perilaku pencarian pengobatan masyarakat di Indonesia, Chee et al (2009) menyatakan sekitar 45% dari episode sakit terakhir pengobatan awal dilakukan pada pelayanan kesehatan rawat jalan dengan membeli obat sendiri pada toko obat atau apotek.

Fakta lain yang menarik berdasarkan kunjungan lapangan pendahuluan, bahwa pada Puskesmas Kuta Cot Glie, walaupun mempunyai jumlah kasus paling banyak, kesemua penderitanya adalah laki-laki diatas 15 tahun. Lebih lanjut menurut petugas puskesmas setempat, penderita malaria yang ada adalah orang-orang yang bekerja ke hutan, dimana mereka akan mengunjungi puskesmas bila sudah sakit berat. Fenomena lain terjadi pada puskesmas-puskesmas yang memiliki angka insidensi parasit malaria rendah, kebanyakan penderita malarianya dikategorikan sebagai kasus impor. Bahkan petugas malaria dari Puskesmas Krueng Barona Jaya menyatakan bahwa dua kasus malaria impor yang dilaporkan pada tahun 2012 ditemukan berobat pada penyedia layanan kesehatan swasta.

(28)

doktek, perawat atau bidan perseorangan, dimana belum ada komunikasi yang baik antara puskesmas dengan penyedia layanan kesehatan swasta ini.

Mempertimbangkan peluang kerjasama yang baik dengan fasilitas kesehatan swasta, maka sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Pedoman Eliminasi Malaria di Indonesia menyatakan pihak swasta harus mulai diperkuat peranannya untuk mendukung eliminasi malaria baik dari segi diagnosis, pengobatan dan pelaporan (Depkes, 2009). Selama ini untuk program yang bersifat vertikal seperti malaria dan TB, pemerintah menyediakan obat program secara gratis dan dapat digunakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta, namun pada studi lapangan awal, obat program hanya tersedia di puskesmas/pustu saja, rumah sakit pemerintah hanya tersedia bila ada permintaan ke Dinas Kesehatan kab/kota atau provinsi setempat, serta kurangnya komunikasi dan koordinasi diyakini sebagai salah satu tantangan (Kusriastuti dan Surya, 2012).

(29)

(Anonim, 2012b). Di wilayah kerja Puskesmas Sukamakmur terdapat tiga klinik, empat praktik dokter, lima praktik bidan, praktik perawat dua, toko obat delapan (Anonim, 2012c). Jumlah ini merupakan potensi bagi peningkatan cakupan penemuan kasus malaria yang belum teridentifikasi secara jelas.

Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh swasta banyak diteliti telah memberikan manfaat pada perluasan akses dengan harga yang terkadang lebih murah dari pelayanan di fasilitas pemerintah serta lebih tanggap terhadap kebutuhan dan keinginan penggunanya (Smith et.al., 2001). Tetapi, perkembangan pelayanan kesehatan swasta yang berkembang pesat dalam beberapa dekade sering menunjukkan rendahnya kualitas teknis dari petugas. Beberapa penelitian menyebutkan kualitas yang rendah pada penegakan diagnosis dan pengobatan tuberkulosis (Bustreo, 2003, Probandari et al, 2010), malaria (Brugha, 1998, Dinkes Kota Batam, 2002). Lebih lanjut Dinkes Kota Batam melaporkan bahwa masih banyak klinik atau balai pengobatan swasta yang memberikan pengobatan malaria tidak sesuai dengan pedoman Kementerian Kesehatan RI. Hal ini juga sesuai dengan studi lapangan pendahuluan di Aceh Besar, bahwa masih banyak penyedia pelayanan kesehatan swasta yang memberikan obat malaria kepada penderita suspek malaria tanpa konfirmasi laboratorium dan obat yang tidak sesuai protokol Kemenkes RI.

(30)

kasus malaria yang ditemukan difasilitas swasta jarang sekali yang terlaporkan ke Dinas Kesehatan.

Berdasarkan uraian diatas, menarik penulis untuk mengkaji sejauhmana peranan pelayanan kesehatan swasta dalam program malaria dengan konteks eliminasi malaria, dan bagaimana desain jejaring kerjasama antara fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan penyedia pelayanan kesehatan swasta untuk mencapai target eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar.

1.2.Permasalahan

Bagaimana peranan pelayanan kesehatan swasta mengenai diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam pencapaian eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar.

1.3.Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui peranan pelayanan kesehatan swasta mengenai diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam pencapaian eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar dan faktor–faktor yang mempengaruhinya.

1.4.Hipotesis

(31)

dalam diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam pencapaian eliminasi malaria di daerah penelitian.

1.5. Manfaat Penelitian a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Bagi pengembangan ilmu pengetahuan akan diketahuinya peranan pelayanan kesehatan swasta dan faktor-faktor yang mempengaruhi di Kabupaten Aceh Besar.

b. Bagi Pemerintah Aceh

Hasil penelitian ini akan menjadi bahan masukan bagi peranan pelayanan kesehatan swasta bagi kabupaten/kota yang menuju eliminasi malaria.

c. Bagi Masyarakat dan Petugas Pelaksana

(32)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Malaria

2.1.1. Etiologi dan Sejarah

Malaria berasal dari kata bahasa Italia yang telah diketahui lebih dari 4.000 tahun yang lalu, terdiri dari “mal” dan “aria” yang berarti udara yang jelek, Demam dan gejala–gejala klasik malaria diidentifikasi oleh Hippocrates. Parasit malaria dalam darah manusia pertama kali ditemukan oleh Charles Louis Alphonse Laveran pada tahun 1880. (CDC, 2010a).

2.1.2. Epidemiologi 2.1.2.1. Penjamu/Host

Manusia merupakan penjamu utama dalam penularan malaria. Selain manusia, hewan golongan primata juga merupakan penjamu penyakit ini, seperti lutung, simpanse, monyet, gorila (Coatney et al, 1971). Pada penyakit malaria memerlukan penjamu perantara (intermediatary host) yang dikenal sebagai vektor. Vektor malaria adalah nyamuk Anopheles sp betina (CDC, 2010b).

(33)

2.1.2.2. Agen

Agen penyebab penyakit malaria adalah parasit plasmodium. Di dunia lebih dari 100 spesies plasmodium yang dapat menginfeksi hewan seperti burung, reptil dan mamalia. Ada empat spesies plasmodium yang telah lama diketahui menginfeksi manusia yaitu: Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae. Saat ini Plasmodium knowlesi telah dikonfirmasi dapat menginfeksi malaria dan monyet jenis macaca (Coatney, 1971; CDC, 2010c).

2.1.2.3. Lingkungan

Faktor lingkungan yang mempengaruhi penyakit malaria dibagi menjadi lingkungan fisik, biologi, kimia dan sosial budaya (WHO, 1975). Lingkungan fisik dibagi menjadi suhu, kelembaban, curah hujan, kecepatan angin, ketinggian, topografi, jenis genangan air, tanah, dan penggunaan peptisida. Lingkungan biologi tergantung pada faktor hewan predator, jenis parasit yang menyerang larva nyamuk, penyakit patogen pada larva, dan perubahan genetik pada nyamuk Anopheles. Lingkungan kimia termasuk kadar garam (Surendran et al, 2011), tingkat keasaman air (Rao, 1984), dan penyerapan oksigen (dissolved oxygent) (Dejenie et al 2011). 2.1.3. Endemisitas dan Daerah Fokus Malaria

Tingkat endemisitas malaria menurut WHO dibedakan menjadi empat yaitu: hipoendemik, mesoendemik, hiperendemik, holoendemik berdasar prevalensi parasit/spleen rate anak usia 2-9 tahun, tipe epidemik, rasio inokulasi entomologi (EIR), dan stabilitas (Mendis et al, 2009).

(34)

275/MENKES/SK/III/2007 tentang Pedoman Surveilans Malaria mengklasifikasikan wilayah sampai tingkat desa berdasarkan angka insidensi parasit malaria per tahun menjadi: 1) daerah insidensi kasus malaria tinggi (HCI: High Case Incidence) dengan angka insiden parasit malaria per tahun (API: Annual Parasite Incidence) > 5 ‰; 2) daerah insidensi kasus malaria sedang (MCI: Moderate Case Incidence) dengan API 1-5 ‰; 3) daerah insidensi kasus malaria rendah (LCI: Low Case Incidence) dengan API < 1‰ (Depkes, 2007).

Pembagian daerah fokus menurut WHO (2007c) didefinisikan sebagai suatu daerah terbatas yang pernah ataupun masih ada kasus malaria serta memiliki faktor-faktor epidemiologi yang menunjang terjadinya penularan malaria baik secara terus menerus maupun intermiten.

(35)

(Rahmadyani et al, 2012). 2.1.4. Diagnosis

Gejala malaria tanpa komplikasi atau gejala awal sering tidak spesifik dan di diagnosis sebagai penyakit infeksi sistemik virus maupun bakteri lainnya. Gejala – gejalanya berupa sakit kepala, lemas, letih lesu, nyeri perut, nyeri sendi dan otot, yang diikuti dengan demam, menggigil, berkeringat, mual, dan muntah (WHO, 2010a).

Pada fase eliminasi menurut WHO (2012) yang diadaptasi oleh Pemerintah Aceh (Rahmadyani et al, 2012), diagnosis kasus malaria pada fasilitas kesehatan memiliki kriteria sebagai berikut:

Kriteria umum:

a. Penderita demam atau yang memiliki riwayat demam dalam 24 jam dan anemia yang berasal dari daerah endemis malaria tinggi dan sedang dan dari daerah fokus A dan B.

b. Penderita demam yang memiliki riwayat perjalanan dari daerah endemis malaria tinggi dan sedang dan dari daerah fokus A dan B.

Kriteria tambahan:

a. Penderita demam dan yang memiliki riwayat malaria dalam 3 tahun terakhir. b. Penderita demam yang memiliki riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria

dalam 1 tahun terakhir, apabila P.vivax dalam 3 tahun terakhir. c. Penderita demam, menggigil, beringat, dan lemas.

(36)

e. Penderita pembesaran hati dan atau limpa (hepatomegali dan atau splenomegali). f. Penderita demam yang menerima transfusi darah dalam 3 bulan terakhir.

Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Hasil anamnesis saja belum bisa digunakan untuk keputusan pemberian pengobatan anti malaria. Menurut kebijakan Kemenkes RI, diagnosis pasti malaria apabila ditemukan parasit didalam darah penderita (Ditjen PPPL, 2011). Metode diagnosis malaria saat ini sudah sangat berkembang pesat, antara lain (WHO, 2010a, WHO, 2010b; Ditjen PPPL, 2011; Feachem et al, 2009) : 1. Diagnosis klinis: disebut sebagai diagnosis awal untuk menentukan penderita

suspek malaria, dengan kriteria gejala utama dan tambahan yang telah dijelaskan diatas.

2. Diagnosis mikroskopis: metode ini merupakan baku emas (gold standard) yang memerlukan teknik pengambilan apusan darah tebal dan tipis serta pewarnaan. 3. Diagnosis antigen: metode ini menggunakan teknis imunokromatografi yang

mendeteksi antigen parasit dalam darah. Ada tiga antigen yang dapat dideteksi oleh metode ini yaitu HRPII (Histidine Rich Protein II), pLDH (Plasmodium lactate dehydrogenase), dan pan-aldolase. Metode ini dikenal sebagai alat diagnosis cepat (Rapid Diagnosis Test disingkat RDT).

4. Diagnosis molekuler: metode ini menggunakan teknik reaksi penggandaan asam nukleat (polymerase chain reaction disingkat PCR) dari parasit.

(37)

immunoflourescence disingkat IFA) atau enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).

2.1.5. Pengobatan

Pengobatan malaria mengacu pada protokol Kemenkes RI tahun 2011 yang membagi jenis obat dan dosis berdasarkan jenis spesies plasmodium, umur penderita, berat badan penderita, derajat kesakitan (tanpa komplikasi dan dengan komplikasi), status kehamilan dan menyusui, serta adanya resistensi obat menurut hasil monitoring pengobatan (Ditjen PPPL, 2011).

WHO (2010a) menganjurkan kepada semua negara untuk menerapkan kebijakan kombinasi obat malaria berbasis artemisinin atau dikenal sebagai Artemisinin Combined Therapy (ACT). Di Indonesia, ACT yang direkomendasikan adalah Dihydroartemisinin Piperaquin (DHP) dan Artesunate Amodiakuin. Selain kedua jenis ACT, obat malaria lain yang digunakan di Indonesia adalah Primakuin, Kina, Klindamisin, Tetrasiklin, Doksisiklin. Pemberian obat malaria tersebut dikombinasikan dua atau lebih jenis obat untuk mencegah munculnya resistensi. Pada semua jenis Plasmodium, ACT diberikan selama 3 hari, sementara Primakuin diberikan hanya pada hari pertama untuk P.falsiparum, untuk P.vivaks dan P.ovale diberikan selama 14 hari (Ditjen PPPL, 2011).

(38)

0,75mg/kgBB. Pengobatan malaria pada penderita dengan defisiensi G6PD segera rujuk ke Rumah Sakit (WHO, 2010a; Ditjen PPPL, 2011).

Penatalaksanaan kasus malaria berat pada prinsipnya meliputi: 1) Pemberian obat anti malaria, 2) Penanganan komplikasi, 3) Tindakan penunjang atau pengobatan simptomatik. Pengobatan malaria dengan komplikasi dibedakan pada tahap pra-rujukan, artinya masih dilakukan di puskesmas yang bertujuan penyelamatan hidup (life saving). Selanjutnya tahap rujukan yang penatalaksanaannya dilakukan di Rumah Sakit oleh dokter ahli.

Berdasarkan kebijakan Kemenkes RI (Ditjen PPPL, 2011) pilihan pertama obat tetap berbasis Artemisinin. Di puskesmas digunakan injeksi Artemeter, sementara di Rumah Sakit menggunakan injeksi Artesunate.

Di Indonesia, pengawasan pengobatan atau strategi DOTs (Direct Observed Treatments) pada penyakit malaria dilakukan oleh petugas atau kader dengan cara pendampingan minum obat selama hari pertama sampai ketiga untuk P.falsiparum atau P.malariae, dan hari pertama sampai ke-14 untuk jenis P.vivaks atau P.ovale (Pemerintah Aceh, 2010; Dinkes Kota Sabang, 2010).

(39)

demam setelah hari ke-3 sampai hari ke-28 penderita juga diharuskan kembali ke Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan sediaan darah dan evaluasi klinis. Kegiatan ini bertujuan untuk menyatakan apakah penderita malaria telah sembuh, atau gagal pengobatan. Rangkuman monitoring pengobatan, hasil pengobatan dan tindakan yang diambil dijelaskan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Monitoring Respon Pengobatan, Hasil, Kriteria dan Tindakan yang Diambil

No. Hari Ke Hasil Pengobatan Kriteria Keterangan Klinis Parasit

Malaria Berat Rujuk ke RS

(40)

2.1.6. Pencegahan

Pencegahan penyakit malaria secara epidemiologi dapat dilihat dari sisi agen atau parasit Plasmodium melalui pengobatan malaria secara radikal dan pemberian obat profilaksis untuk orang dari daerah non-endemis yang akan memasuki daerah endemis malaria, 2) sisi vektor atau nyamuk Anopheles melalui pencegahan gigitan nyamuk dengan menggunakan kelambu berinsektisida (LLINs), repelan atau obat nyamuk oles, pemasangan kasa nyamuk pada ventilasi jendela rumah; dan membunuh nyamuk melalui penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (Indoor Residual Spray atau disingkat IRS), 3) sisi lingkungan melalui penanganan tempat perkembangbiakan nyamuk seperti mengalirkan genangan air, menyemprotkan larvasida, memberikan ikan predator atau pemakan jentik (WHO, 2003).

2.1.7. Pengumpulan Data dan Pelaporan

Menurut Depkes RI (2007), pengumpulan data dilakukan mulai dari jenjang Puskesmas, Kabupaten, Provinsi dan Pusat yang berisi data situasi malaria secara umum, seperti:

a. Data kasus, yang meliputi data kematian, kasus klinis/suspek, kasus positif, data diagnosis, data pengobatan.

b. Data vektor dan intervensi pemberantasan vektor, yang meliputi pengamatan jentik, penyemprotan rumah, pembagian kelambu, penaburan larvasida pada tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles.

(41)

d. Data demografi, meliputi jumlah penduduk per desa, per golongan umur, pekerjaan, dll.

e. Data lingkungan, meliputi stratifikasi desa fokus/endemis malaria, pemetaan tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles potensial, dll.

Sumber data dapat diperoleh dari buku registrasi Puskesmas Pembantu (Pustu), buku registrasi puskesmas, Laporan Juru Malaria Desa (JMD) atau kader, bidan desa, penyedia pelayanan kesehatan swasta, RS, dan lintas sektor terkait.

Data tersebut dianalisis paling rendah di tingkat puskesmas yang divisualisasikan ke dalam bentuk tabel, grafik, peta dan sebagainya. Selanjutnya data dilaporkan ke jenjang diatasnya dengan periode pengiriman sesuai pedoman dan kebutuhan, misalnya pada saat terjadi bencana maupun kejadian luar biasa (KLB). Secara umum, pelaporan rutin bersifat bulanan.

2.1.8. Eliminasi Malaria

Eliminasi malaria diartikan sebagai suatu upaya untuk menghentikan penularan malaria setempat dalam satu wilayah geografis tertentu, dan bukan berarti tidak ada kasus malaria impor serta sudah tidak ada vektor malaria di wilayah tersebut, sehingga tetap dibutuhkan kegiatan kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali (Depkes, 2009).

(42)

a) Tahap Pemberantasan (Control)

Pada tahap ini belum semua unit pelayanan kesehatan mampu memeriksa kasus secara laboratorium (Mikroskopis); cakupan pelayanan dan sumber daya terbatas; bila semua penderita demam di unit pelayanan kesehatan sudah dilakukan pemeriksaan sediaan darah, maka SPR masih > 5%; adanya upaya pengendalian malaria secara intensif untuk mencapai SPR < 5 %.

b) Tahap Pra-Eliminasi

Disini semua unit pelayanan kesehatan sudah mampu memeriksa kasus secara laboratorium (mikroskopis); semua penderita malaria klinis di unit pelayanan kesehatan sudah dilakukan pemeriksaan sediaan darah dan SPR mencapai < 5%; adanya peningkatan kualitas dan cakupan upaya pengendalian malaria (surveilans, penemuan dan pengobatan, pemberantasan vektor) untuk mencapai API < 1/1000 penduduk berisiko; adanya peningkatan keterlibatan pemerintah, pemerintah daerah, swasta, LSM, organisasi profesi, lembaga internasional, lembaga donor dan lain-lain (Tim Gebrak Malaria atau forum kerja sama lain yang sudah ada di Provinsi dan Kabupaten/Kota); tersedianya peraturan perundangan di tingkat Provinsi/ Kabupaten/ Kota yang mendukung kebijakan dan sumber daya untuk pelaksanaan eliminasi malaria.

c) Tahap Eliminasi

(43)

pemerintah maupun swasta yang terlibat dalam eliminasi sudah dicapai dengan baik; lintas sektor terkait telah berperan secara penuh dan sinergis mulai dari pemerintah, pemerintah daerah, LSM, organisasi profesi, lembaga internasional, lembaga donor dan lain-lain dalam eliminasi malaria yang tertuang didalam Peraturan Perundangan daerah; upaya penanggulangan malaria dilakukan secara intensif sehingga kasus dengan penularan setempat (indigenous) tidak ditemukan dalam periode waktu satu tahun terakhir.

d) Tahap Pemeliharaan

Mempertahankan kasus indigenous tetap nol; kegiatan surveilans yang baik masih dipertahankan; re-orientasi program menuju tahap pemeliharaan kepada semua petugas kesehatan, pemerintah maupun swasta yang terlibat dalam eliminasi sudah dicapai dengan baik; adanya konsistensi tanggung jawab pemerintah daerah dalam tahap pemeliharaan secara berkesinambungan dalam kebijaksanaan, penyediaan sumber daya baik sarana dan prasarana serta sumber daya lainnya yang tertuang dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Perundangan yang diperlukan di Provinsi/ Kabupaten/ Kota.

(44)

NTB, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi pada tahun 2020; dan 4) Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi NTT, Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara pada tahun 2030. (Depkes RI, 2009).

Pemerintah Provinsi Aceh menindaklanjuti kebijakan pemerintah pusat tersebut dengan mengesahkan Peraturan Gubernur No. 40 tahun 2010 tentang Pedoman Eliminasi Malaria di Provinsi Aceh yang menargetkan rencana eliminasi malaria dalam tiga tahun yang berbeda berdasarkan beban malaria dan infrastruktur kesehatan. Pada tahun 2013, ada tujuh kabupaten/kota yang ditargetkan memasuki tahap eliminasi malaria, 10 kabupaten/kota lainnya ditetapkan mencapai eliminasi malaria tahun 2014, dan sisa enam kabupaten/kota terakhir diharapkan mencapai eliminasi malaria tahun 2015 bersamaan dengan target Provinsi Aceh. Kabupaten Aceh termasuk kabupaten dalam kelompok tahun 2015.

(45)

Lebih lanjut Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mengeluarkan Peraturan Bupati No. 26 tahun 2013 tentang Pedoman Eliminasi Malaria dalam Kabupaten Aceh Besar, yang pada bagian kedua pasal 6 membagi sasaran eliminasi malaria dalam tiga kelompok seperti tabel 2.2.

2.1.9. Intervensi Program Malaria

Menurut WHO (2007b) dan Kepmenkes RI No.293 tahun 2009 bahwa intervensi program malaria berbeda untuk setiap tahapan program. Dimana ada lima jenis kelompok intervensi besar bagi setiap tahap yaitu: 1) Penemuan dan tata laksana penderita malaria; 2) Pencegahan dan penanggulangan resiko; 3) Surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah; 4) Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE); 5) Peningkatan sumber daya manusia.

Penyedia pelayanan kesehatan swasta mulai dilibatkan secara intensif pada tahap pra-eliminasi pada hampir semua kelompok intervensi besar, kecuali pada kegiatan pencegahan dan penanggulangan resiko (Depkes, 2009).

2.2. Pelayanan Kesehatan

(46)

perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.

Menurut Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009, pelayanan kesehatan terdiri dari pelayanan kesehatan perseorangan, dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pembagian ini ditujukan pada perbedaan sasaran penerima pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga. Sementara pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat. Selain kedua jenis pelayanan kesehatan tersebut, Undang-undang ini juga mengatur tentang pelayanan kesehatan tradisional yang diartikan sebagai pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Lebih lanjut pelayanan kesehatan meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (anonim, 2009).

2.3. Pelaku Penyedia Pelayanan Kesehatan

(47)

Menurut Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, pengertian tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sementara fasilitas pelayanan kesehatan diartikan sebagai suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat (anonim, 2009).

Pada Peraturan Presiden RI No 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional mengatur keterlibatan penyedia pelayanan kesehatan swasta pada sub sistem upaya kesehatan meliputi unsur pemberian pelayanan kesehatan perseorangan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan pada tingkat pertama/primer, pelayanan kesehatan tingkat kedua/sekunder dan pelayanan kesehatan tingkat ketiga/tersier.

WHO (2006) membagi penyedia pelayanan kesehatan secara garis besar menjadi dua, yaitu:

a) Pelayanan Kesehatan Pemerintah

Seluruh penyedia pelayanan kesehatan yang bekerja di sektor publik atau pemerintah, yang menerima gaji atau remunerasi untuk pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan dari pemerintah.

b) Pelayanan Kesehatan Swasta

(48)

et al (2002) memasukkan perusahaan komersial berskala besar atau kecil, kelompok-kelompok profesional seperti asosiasi dokter, lembaga swadaya masyarakat tingkat nasional maupun internasional, penyedia layanan individu maupun penjaga toko obat.

Jenis pelayanan kesehatan yang diberikan bervariasi dari rumah sakit, klinik bersalin, klinik rawat inap, klinik rawat jalan yang diberikan oleh dokter, perawat, bidan dan paramedis lainnya, serta fasilitas diagnosis seperti laboratorium dan unit radiologi, ditambah lagi dengan apotek, dan depot obat maupun toko umum yang sering juga menjual obat – obatan (Mills et al, 2002). Sementara Bulsara et al (2012) membagi empat kategori penyedia pelayanan kesehatan swasta dalam program malaria sebagai berikut:

1. Penyedia pelayanan kesehatan swasta formal

Kelompok ini termasuk perusahaan komersial berskala besar atau kecil, kelompok – kelompok profesional kesehatan. Biasanya berlokasi di daerah perkotaan (urban) atau pinggiran kota (peri-urban).

2. Penyedia pelayanan kesehatan swasta informal

Kelompok ini termasuk penjual obat yang bersifat statis atau keliling, toko/depot obat, pengobatan alternatif/tradisional. Biasanya berlokasi di daerah pinggiran kota (peri-urban), dan perdesaan. Jangkauannya lebih luas dibanding penyedia pelayanan kesehatan swasta formal.

3. Organisasi kemasyarakatan

(49)

perantara antara penyedia pelayanan pemerintah dan swasta. Kelompok ini termasuk LSM (NGO: non-government organisation) tingkat nasional dan internasional. Kelompok ini sering lebih luas menjangkau daerah secara geografis.

4. Perusahaan-perusahaan swasta

Kelompok ini termasuk perusahaan besar yang berinvestasi dalam program kesehatan, khususnya perusahaan yang bergerak di industri energi, sumber daya alam dan pertanian. Kegiatan yang dilakukan mencakupi wilayah kerja baik pagi karyawananya sendiri maupun masyarakat yang tinggal di lingkungan kerja perusahaan.

Menurut Permenkes RI No. 920/Men.Kes/Per/XII/86 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik pada Bab II dan III pasal 2, 3 dan 4 membagi pelayanan kesehatan swasta medik menjadi dua yaitu pelayanan medik dasar dan pelayanan medik spesialistik.

Bentuk pelayanan medik dasar adalah: Praktik Perorangan Dokter Umum; Praktik Perorangan Dokter Gigi; Praktik Berkelompok Dokter Umum; Praktik Berkelompok Dokter Gigi; Balai pengobatan; Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak; Rumah Bersalin; Pelayanan Medik Dasar lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

(50)

Kesehatan.

Peraturan diatas diubah ke dalam Permenkes No.028/MENKES/PER/2011 tentang Klinik yang membagi berdasarkan jenis pelayanannya menjadi klinik pratama dan klinik utama. Klinik disini diartikan sebagai fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis. Klinik dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun masyarakat, sehingga peraturan ini tidak khusus mengatur pelayanan kesehatan swasta.

Secara umum, batasan antara penyedia layanan kesehatan publik dan swasta terkadang tidak jelas, karena banyak tenaga kesehatan pemerintah yang juga bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan swasta atau menjalanknan praktik pribadi diluar jam kerja atau istilah ini dikenal sebagai dual practice (Bulsara et al, 2012).

2.4. Peran Sektor Swasta dalam Program Malaria

(51)

Berdasarkan kegiatan pada setiap tahapan program malaria, penyedia pelayanan kesehatan swasta terlibat aktif dalam pencapaian eliminasi malaria, dari kelompok intervensi penemuan dan tatalaksana penderita malaria, pencegahan dan penanggulangan resiko, surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah, peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), dan peningkatan sumber daya manusia (Depkes RI, 2009).

Menurut Bulsara et al (2012) peran penyedia pelayanan kesehatan swasta untuk mencapai spesifik kelompok sasaran telah terbukti efektif. Lebih lanjut analisis peran sektor swasta dalam program malaria dibagi menjadi empat strategi utama sebagai berikut:

1. Pendekatan berbasis pasar (market-based approaches)

Disini termasuk insentif berbasis pasar, mekanisme pasar, dan kerjasama secara organisasi. Organisasi kemasyarakatan (CSO) biasanya memainkan peranan penting dalam pemasaran sosial yang menjadi penengah antara sektor publik dan swasta dengan memanfaatkan kapasitas retail sektor swasta. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk memastikan cakupan, kualitas dan harga. Ada empat komponen yang harus diperhatikan pada pendekatan ini:

a. Mekanisme keuangan

Tujuannya adalah memfasilitasi fungsi pasar yang adil dan berbasis ekuitas. Adapun yang termasuk kedalam strategi sektor kesehatan swasta disini sebagai berikut:

(52)

yang telah ditetapkan.

2. Insentif keuangan: penggunaan hibah, subsidi, insentif pajak dan dukungan yang ditujukan untuk mempengaruhi penyediaan pelayanan swasta, termasuk juga subsidi produk-produk yang berbasis manufaktur. 3. Kontrak: pembelian jasa dari penyedia layanan swasta melalui sistem

kontrak, dengan menerapkan tolok ukur untuk jenis pelayanan, kualitas

pelayanan, hasil kesehatan yang diharapkan.

4. Pembelian: membeli barang dan jasa dari penyedia pelayanan kesehatan swasta untuk waktu yang terbatas, metode ini dianggap memilki risiko dan

komitmen lebih rendah dari kontrak.

b. Mekanisme pasar

Tujuan mekanisme pasar adalah untuk menciptakan sumber – sumber penawaran dan permintaan baru. Adapaun jenis kegiatan yang termasuk di kelompok mekanisme pasar ini sebagai berikut:

1. Pemasaran sosial: menggunakan saluran, teknik dan komunikasi komersial untuk memasarkan produk dengan manfaat kesehatan masyarakat, biasanya LSM nasional atau internasional yang mengelola operasional kegiatan ini.

(53)

3. Pengembangan pasar strategis: analisis terperinci mengenai keseluruhan pasar komoditas ritel yang ada dan keunggulan komparatif dari semua pemangku kepentingan. Mengaktifkan/mendanai pertumbuhan pasar misalnya melalui peraturan, alih teknologi, meningkatkan rantai pasokan dll. Membuat sebuah mekanisme pasar yang mandiri dan berkelanjutan untuk peningkatan pasokan produk – produk kesehatan yang penting seperti kelambu berinsektisida (ITN/LLIN), dll sebagai tujuan dari metode.

4. Program kewirausahaan sosial: membangun pelatihan dan dukungan jaringan individu untuk menyediakan barang dan jasa.

c. Kerjasama secara organisasi

Tujuan utama kerjasama ini mengubah kondisi pasar untuk meningkatkan partisipasi penyedia pelayanan kesehatan pada program malaria. Kegiatan – kegiatan yang termasuk disini adalah:

1. Aliansi antara penyedia layanan: membangun dan mendorong hubungan formal dan kolaborasi antara penyedia.

(54)

d. Dialog kebijakan

Dialog kebijakan: melibatkan sektor swasta dalam diskusi – dapat memperluas konsultasi dalam pengembangan legislasi, standar, regulasi dan sistem fasilitasi.

2. Pendekatan bersifat legal dan administrasi

Regulasi dan pelatihan termasuk kedalam pendekatan ini. Keterlibatan sektor swasta dapat memperkuat pelayanan kesehatan yang ada. Jaringan penyedia pelayanan kesehatan swasta yang sering mengadakan pelatihan standar kualitas dan terapi melalui warabala sosial (social franchising). Hal ini sering dipicu karena lemahnya regulasi pemerintah untuk mengatur pelayanan kesehatan swasta.

a. Regulasi

1. Akreditas/sertifikasi: menyusunan dan menegakkan standar antar organisasi. Tujuannya untuk meningkatkan standar pelayanan, hasil – hasil kesehatan, dan efisiensi dengan memungkinkan dasar empiris untuk menilai kualitas.

2. Lisensi: menyusun dan menegakkan standar bagi penyedia pelayanan secara individu. Tujuannya untuk meningkatkan standar penyedia pelayanan kesehatan individu dengan menyusun dan mengatur kriteria untuk praktik pribadi.

(55)

monitoring dan mengatur harga obat – obat penting dan teknologi lainnya. 4. Regulasi teknologi: menegaskan persetujuan resmi dan struktur

penggantian, proses dan pelaksanaan. Tujuannya untuk menegaskan pengendalian keamanan, efikasi dan biaya pelayanan kesehatan dengan mengatur ketersediaan/ penjualan bahan-bahan farmasi dan kelambu berinsektisida (LLIN).

5. Regulasi pasar: termasuk anti monopoli/peraturan kompetisi, mekanisme perlindungan konsumen dan pelaksanaan. Tujuannya untuk menegaskan perlidungan masyarakat dari tingginya harga akibat monopoli.

b. Pelatihan

Pelatihan bagi penyedia pelayanan kesehatan: pendidikan dan dukungan bagi penyedia pelayanan kesehatan swasta. Tujuan pelatihan disini untuk meningkatkan standar pelayanan dari penyedia pelayanan kesehatan swasta. 3. Pendekatan pemberdayaan masyarakat

Penyebaran informasi dan partisipasi menjadi bagian dari pendekatan ini. Komunikasi perubahan perilaku (Behaviour Change Communication/BCC) biasanya dikelola oleh sektor swasta melalui iklan produk. Sektor swasta juga dapat mendorong kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan untuk kampanye BCC. Tujuan dari pendekatan ini untuk menjamin cakupan dan kualitas. Ada tiga kelompok kegiatan yang menjadi bagian dari pendekatan ini:

(56)

dapat dilaksanakan LSM dan organisasi-organisasi pemasaran sosial. Tujuannya untuk memdidik dan berkomunikasi dengan masyarakat mengenai pencegahan, diagnosis, pengobatan dini malaria.

b. Partisipasi: membentuk kesempatan dan peluang resmi bagi masyarakat untuk mengkomunikasikan pendapat mereka mengenai pelayanan kesehatan yang diperoleh dan penyedia pelayanan kesehatan itu sendiri.

c. Komunikasi resmi/umpan balik: pembentukan jabatan yang dibayar resmi yang bertugas mensupervisi/memastikan kepatuhan penyedia pelayanan kesehatan swasta, seperti badan Ombudsman dalam rangka menginisiasi hubungan publik-swasta yang mempunyai kapasitas untuk merekomendasikan dan menjatuhkan sanksi.

4. Pendekatan inovasi produk

Disini kerjasama mengembangkan produk (product development partnerships/ PDPs) seperti inovasi pengembangan obat malaria dan insektisida, yang hasilnya dapat dipasarkan dengan menggunakan insentif keuangan yang lebih besar seperti dalam bentuk dana hibah, subsidi, insentif pajak, subsidi berbasis perusahaan dan dukungan dari dalam untuk mempengaruhi penyedia pelayanan kesehatan swasta.

2.5. Pendekatan Sistem Kesehatan dalam Program Malaria

(57)

akuntabilitas, transparansi, regulasi, insentif, dan desain sistem, 2) Tenaga kesehatan diartikan sebagai responsif, adil, efisien dalam penyediaan sumber daya dan kondisi yang mendukung, dan tersedia dengan jumlah yang memadai, 3) Pembiayaan, meningkatkan anggaran yang adekuat untuk kesehatan dengan menjamin masyarakat dapat menggunakan layanan yang dibutuhkan dan terlindungi dari katastropi biaya dan pemiskinan akibat membayar biaya kesehatan, 4) Obat – obatan dan teknologi, menjamin produk obat, vaksin, diagnosis, dan teknologi lain yang terjamin kualitas, keamanan, efikasi, biaya-efektif, 5). Informasi, menjamin produksi, analisis, diseminasi dan penggunaan informasi yang realibel dan tepat waktu mengenai determinan kesehatan, kinerja sistem kesehatan, dan status kesehatan, 6) Pelayanan kesehatan, termasuk intervensi kesehatan individu dan masyarakat yang efektif, aman dan berkualitas yang tersedia bagi yang membutuhkan (termasuk infrastruktur), dengan meminimalisir pembuangan sumber daya.

(58)

memelihara eliminasi malaria?, 2) blok tenaga kesehatan tentang apa organisasi dan manajemen yang tepat, keterampilan, struktur sumber daya manusia dan faktor-faktor pendukung efektifitas pelayanan kesehatan?, 3) blok pembiayaan tentang alat-alat untuk pengembangan administrasi dan pengambilan keputusan terdesentralisasi yang efisien?, 4) blok informasi tentang bagaimana melibatkan penyedia pelayanan kesehatan swasta dan mendapatkan data dari mereka, 5) gabungan blok pelayanan kesehatan dan obat –obat dan teknologi, yang membahas bagaimana keterlibatan penyedia pelayanan kesehatan swasta dalam tatalaksana kasus, surveilans dan pengendalian vektor malaria dapat dimanfaatkan?.

(59)

2.6. Landasan Teori

(60)
(61)

• Karakteristik Petugas • Karakteristik

pekerjaan

• Ketersediaan alat dan obat

• Pengetahuan

Peran dalam mencapai eliminasi

malaria: • Diagnosis • Pengobatan • Pencegahan • Pencatatan dan

Pelaporan

Berperan

Tidak berperan 2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan tinjauan kepustakaan dan landasan teori, maka fokus penelitian ini adalah sebagai berikut:

(62)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian potong lintang yang berjenis eksploratif analitik. Jenis penelitian ini dipilih berdasarkan tujuan penelitian yang hendak menggambarkan situasi awal pada gejala atau fenomena yang belum diketahui atau masih baru (Prasetyo dan Jannah, 2005), dimana peranan pelayanan kesehatan swasta dalam konteks menuju eliminasi malaria belum pernah digali dalam penelitian sebelumnya.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian diseluruh wilayah kerja Kabupaten Aceh Besar dengan alasan Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten/kota yang memiliki jumlah penyedia pelayanan swasta cukup banyak dengan kasus malaria yang terus turun setiap tahunnya, sehingga Pemerintah Kabupaten Aceh Besar berkomitmen untuk mencapai eliminasi malaria pada tahun 2015.

3.2.2. Waktu Penelitian

(63)

lapangan, analisa data dan penyusunan laporan akhir, yang dimulai dari bulan Januari-Oktober 2014.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penyedia pelayanan kesehatan swasta di Kabupaten Aceh Besar. Berdasarkan hasil survei lapangan pendahuluan ke setiap puskesmas, berdasarkan data 2013, terdapat 249 penyedia pelayanan kesehatan swasta yang terdiri dari 27 balai pengobatan atau klinik, 35 praktik dokter, 77 praktik bidan, 42 praktik perawat, 7 apotek dan 61 toko obat.

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini ditentukan dengan pencuplikan secara acak sederhana yang diambil dari seluruh jumlah penyedia pelayanan kesehatan swasta yang ada di Kabupaten Aceh Besar berdasar data survei lapangan pendahuluan. Maka berdasar rumus Lemeshow (1990), besar sampel penelitian ini adalah:

N Z21-α/2

n = --- P (1 - P) (N - 1) d2 + Z21-α/2

di mana :

P (1 - P)

n = besar sampel minimum Z 1-α/2

P = proporsi di populasi (berdasarkan survei belum diketahui, menggunakan 50% = 0,5)

= nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu (95%), 1,96

(64)

N = besar populasi, 249

Maka besar sampel penelitian ini adalah: 249 x 1,962

n =

x 0,50 x (1 – 0,50) 0,052 (249 – 1) + 1,962

239,14

x 0,50 x (1 – 0,50)

n =

1,58

n = 151,31-151 orang

Untuk menghindari sampel yang drop out maka perlu dilakukan koreksi terhadap besar sampel yang dihitung dengan menambahkan sejumlah sampel agar besar sampel tetap terpenuhi dengan rumus:

n n' =

(1 - f ) Keterangan :

n = besar sampel yang dihitung, 151 f = perkiraan proporsi drop out (1%)

151

Perhitungan : n' = = 152,7 ~ 153 (1 - 0,10)

(65)

dengan jumlah populasi keseluruhan dikalikan 100%, atau disebut sebagai sampel fraction, dimana pada penelitian ini adalah adalah 61%. Pengambilan sampel terpilih pada tiap-tiap penyedia pelayanan kesehatan swasta didasarkan pada pencuplikan acak sederhana sampai memenuhi jumlah sampel yang diharapkan.

Distribusi sampel setiap jenis penyedia pelayanan kesehatan swasta tercantum pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Pengambilan Sampel Penelitian

No.

Kriteria pemilihan responden per jenis pelayanan kesehatan swasta sebagai berikut:

1. Balai Pengobatan/Klinik adalah pemilik atau pegawai yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat, dalam hal ini responden adalah dokter dan perawat jaga.

(66)

memberikan pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat. Tempat praktik bersifat tetap dan terdapat ruang praktik khusus.

3. Apotek dan toko obat adalah pemilik atau penjaga apotek dan atau toko obat yang dijumpai pada hari wawancara.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, pengumpulan data menggunakan adalah kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti dengan pertanyaan tertutup dan terbuka yang disesuaikan dengan variabel pada tujuan penelitian, dan disertai daftar tilik pengamatan langsung. Jenis dan sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:

3.4.1. Data Primer

Data primer penelitian ini dihimpun melalui teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung dan wawancara langsung dengan menggunakan blanko isian dan panduan berupa kuesioner dengan pertanyaan tertutup dan terbuka. Wawancara yang berpedoman pada kuesioner meliputi pertanyaan: 1) karakteristik petugas; 2) karakteristik pekerjaan; 3) ketersediaan alat dan bahan; 4) Pengetahuan; 5) Peran. Kuesioner dibedakan menjadi dua tipe yaitu 1) kuesioner untuk balai pengobatan atau klinik, praktik dokter, praktik bidan, praktik perawat; 2) kuesioner untuk apotek dan toko obat.

3.4.2. Data Sekunder

(67)

laporan program malaria dan Dinas Kesehatan Aceh Besar tahun 2011, 2012 dan 2013.

3.5. Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini terdiri dari karakteristik petugas, karakteristik pekerjaan, ketersediaan alat dan bahan, pengetahuan, perilaku dan peran penyedia pelayanan kesehatan swasta dalam diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan. Adapun definisi masing-masing variabel sebagai berikut: 1) Karakteristik Petugas: merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh petugas penyedia

pelayanan kesehatan swasta, yang meliputi:

a. Umur: perkiraan tahun lahir berdasarkan tahun lahir.

b. Jenis kelamin: jenis kelamin petugas yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

c. Pendidikan: latar belakang pendidikan terakhir petugas penyedia pelayanan kesehatan dan pelatihan malaria yang diperoleh.

d. Pelatihan: jenis pelatihan atau seminar malaria yang diikuti petugas pelayanan kesehatan swasta.

2) Karakteristik pekerjaan: merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh petugas penyedia pelayanan kesehatan swasta dan fasilitas yang berkaitan dengan pekerjaan, yang meliputi:

(68)

b. Kepemilikan fasilitas kesehatan: status kepemilikan tempat petugas bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan swasta.

c. Pembiayaan: sumber penerimaan fasilitas pelayanan kesehatan swasta dari pasien atau pembeli, yang berasal dari pembayaran langsung (out of pocket), asuransi pemerintah, asuransi swasta, dan kombinasi.

d. Lama fasilitas beroperasi: lamanya fasilitas pelayanan kesehatan beroperasi, dilihat dari tahun pendirian.

e. Jumlah hari fasilitas beroperasi: jumlah hari operasional dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pengunjung/pasien setiap minggu.

f. Jam kerja fasiltias: adalah jumlah jam kerja fasilitas beroperasi per hari. g. Lama bekerja: lamanya petugas pelayanan kesehatan bekerja pada fasilitas

pelayanan kesehatan swasta.

(69)

4) Pengetahuan: merupakan pengetahuan petugas penyedia pelayanan kesehatan swasta tentang prinsip-prinsip diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria.

5) Peran penyedia pelayanan kesehatan swasta dalam kegiatan diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria adalah ukuran proses dan output dari pelaksanaan kegiatan diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria oleh penyedia pelayanan kesehatan swasta sesuai standar Kemenkes RI. Perilaku: merupakan perbuatan yang pernah dilakukan oleh petugas pelayanan kesehatan swasta dalam diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria. Pengukuran melalui pemberian skor pada perilaku yang telah dijalankan oleh petugas dan data – data sekunder yang dikumpulkan dari tempat pelayanan kesehatan swasta, puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar. Variabel dalam analisis dibedakan menjadi indikator potensi (potential indicator) dan indikator kehilangan kesempatan (misopportunity indicator) yang pembilangnya adalah data dari pelayanan kesehatan, dengan penyebut yang berbeda. Skala ukur: interval. Berikut definisi operasional untuk variabel komposit dari peran dalam pencapaian eliminasi malaria:

(70)

dibandingkan seluruh jumlah kasus suspek malaria yang dikonfirmasi laboratorium dari seluruh fasilitas kesehatan di Kabupaten Aceh Besar pada waktu yang sama (potential indicator). 2) jumlah kasus suspek malaria yang berasal dari pelayanan kesehatan swasta yang dikonfirmasi laboratorium dibandingkan seluruh jumlah kasus suspek malaria dari pelayanan kesehatan swasta pada lokasi dan waktu yang sama (misopportunity indicator).

b. Proporsi kasus malaria yang diobati sesuai protokol di pelayanan kesehatan swasta: yaitu 1) jumlah kasus malaria yang diobati sesuai protokol di pelayanan kesehatan swasta dibandingkan dengan jumlah kasus malaria yang diobati sesuai protokol dari seluruh fasilitas kesehatan di Kabupaten Aceh Besar pada waktu yang sama (potential indicator). 2) jumlah kasus malaria yang diobati sesuai protokol di pelayanan kesehatan swasta dibandingkan dengan jumlah kasus malaria pada pelayanan kesehatan swasta pada lokasi dan waktu yang sama (misopportunity indicator).

Gambar

Tabel 2.1. Monitoring Respon Pengobatan, Hasil, Kriteria  dan Tindakan yang Diambil
Tabel 2.2. Pembagian Sasaran Puskesmas Per Target Tahun Pencapaian Eliminasi Malaria
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait