• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Penyedia Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Pencapaian Eliminasi Malaria di Kabupaten Aceh Besar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Penyedia Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Pencapaian Eliminasi Malaria di Kabupaten Aceh Besar"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu komponen penting dalam indeks

pembangunan manusia (IPM). Masyarakat yang sehat merupakan investasi bagi suatu

negara, dimana produktivitas pada masyarakat yang sehat menjadi lebih tinggi dan

berdampak secara makro pada perekonomian suatu bangsa.

Malaria sebagai penyakit menular yang berbasis lingkungan terbukti dapat

menurunkan produktivitas penderitanya dan terbukti berhubungan erat dengan

kemiskinan (Worral et al, 2005), sehingga Menteri Kesehatan dalam Surat

Keputusannya bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang hidup sehat, yang

terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai tahun 2030 (Kepmenkes

No.293/MENKES/SK/IV/2009). Keputusan ini sejalan dengan isu global, dimana

pada World Health Assambly (WHA) ke-60 Tahun 2007 disepakati komitmen global

bahwa setiap negara akan mencapai eliminasi malaria (WHO, 2007a).

Menurut laporan World Health Organization (WHO) (2011a), pada tahun

2010 di seluruh dunia diperkirakan terdapat 219 juta kasus malaria (interval antara

154-289 juta) dan 660.000 orang meninggal karena malaria (interval antara

610.000-971.000). Angka ini berasal dari laporan surveilans negara-negara yang diperkirakan

baru mencakup 10% saja dari total kasus malaria yang sebenarnya di lapangan

(2)

(Global Health Group) Universitas California San Fransisco (UCSF) menyatakan

bahwa sampai tahun 2010, ada 109 negara dengan kategori bebas malaria, 67 negara

masih dalam tahap pemberantasan malaria, dan 32 negara sedang proses

mengeliminasi malaria. Indonesia termasuk negara yang masih dalam tahap

pemberantasan malaria (Feachem et al, 2009).

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), di Indonesia terdapat 417.819

kasus malaria positif terkonfirmasi laboratorium dimana 70% kasus tersebut berasal

dari Indonesia Timur. Kawasan Timur Indonesia yang walaupun hanya memiliki

sekitar 16 juta penduduk tersebar pada 84 kabupaten/kota, tetapi menyumbangkan

paling banyak kasus malaria di Indonesia. Lebih lanjut, Kemenkes RI menyatakan

ada 133 kabupaten/kota yang sudah bebas malaria, 204 kabupaten/kota sebagai

daerah dengan insidensi malaria rendah (API < 1 per 1.000 penduduk), dan 85

kabupaten/kota dengan insidensi malaria sedang (API 1 - 5 per 1.000 penduduk)

(Surya, 2013). Menurut laporan WHO (2011a), kematian karena malaria di Indonesia

sebanyak 1.023 orang, tetapi angka ini lebih kecil dari model matematika menurut

Murray et al (2012) yang memperkirakan angka kematian karena malaria di Indonesia

sekitar 10.925 (interval antara 5.420–17.211, CI 95%).

Di Provinsi Aceh, jumlah kasus malaria pada tahun 2012 sebanyak 2.943

kasus positif terkonfirmasi laboratorium (Fatah, 2013). Dari angka ini, Kabupaten

Aceh Besar menyumbang sebanyak 171 kasus malaria. Di Kabupaten Aceh Besar

dari 28 puskesmas, hanya satu puskesmas dengan angka insidensi parasit malaria

(3)

kasus malaria terbesar di Kabupaten Aceh Besar yaitu sebanyak 64 kasus. Tiga

puskesmas lain mempunyai insidensi parasit malaria (API) antara 1 – 5 ‰, yaitu

Puskesmas Lhoong, Lembah Seulawah dan Kota Jantho. Sembilan puskesmas

melaporkan tidak ditemukan kasus malaria pada tahun 2012, dan 15 puskesmas

sisanya mempunyai angka insidensi malaria kurang dari 1‰ (Dinkes Aceh Besar,

2013).

Bila melihat situasi malaria di Kabupaten Aceh Besar dari tahun ke tahun

menunjukkan penurunan angka insidensi malaria, dimana tahun 2006 insidensi

malaria tercatat 2.6 per 1.000 penduduk dan tahun 2012 menjadi 0.5 per 1.000

penduduk. Penurunan ini membuat para pemangku kebijakan di Kabupaten Aceh

Besar berkeyakinan untuk memasuki tahap eliminasi malaria pada tahun 2015 yang

tertuang pada Peraturan Bupati Aceh Besar No. 23/2013.

Selain itu, Kabupaten Aceh Besar dalam tiga tahun terakhir (data 2011-2013)

telah mencapai angka insidensi parasit malaria kurang dari satu per 1.000 penduduk

berisiko. Bila merujuk pada indikator perpindahan tahapan program malaria menurut

WHO (2007b) dari tahap pra-eliminasi ke eliminasi, yaitu API kurang dari satu per

1.000 penduduk berisiko, maka Kabupaten Aceh Besar dapat diasumsikan telah

memasuki tahap eliminasi. Tetapi, bila merujuk pada indikator proporsi penderita

malaria positif terkonfirmasi laboratorium diantara semua penderita suspek malaria

atau lebih dikenal sebagai Slide Positivity Rate (SPR) dan proporsi jumlah sediaan

darah malaria yang diperiksa dalam satu tahun (Anuual Blood Examination

(4)

1%. Angka ini menunjukkan rendahnya penemuan kasus malaria karena angka ini

masih berasal dari laporan Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah, sementara

kegiatan penemuan kasus malaria dari penyedia pelayanan kesehatan swasta belum

terlaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar. Menurut kunjungan

lapangan awal, hal ini disebabkan belum adanya jejaring kerjasama antara fasilitas

kesehatan pemerintah dengan penyedia pelayanan kesehatan untuk program malaria

di Kabupaten ini.

Berdasarkan data laporan program malaria dari Dinas Kesehatan Kabupaten

Aceh Besar didapatkan bahwa lebih dari 70% penderita malaria yang terlaporkan

adalah pria dengan usia diatas 15 tahun (Dinkes Aceh Besar, 2013). Hal ini sesuai

dengan karakteristik penderita malaria di kawasan Asia dan Amerika Selatan yang

dihubungkan dengan resiko pekerjaan atau migrasi (Hsiang et al, 2009).

Data vektor penular malaria di Kabupaten Aceh Besar berdasar penelitian

sebelumnya, teridentifikasi beberapa spesies Anopheles yaitu: Anopheles vagus,

Anopheles aconitus, Anopheles hyrcanus group, Anopheles sinensis, Anopheles tesselatus dan Anopheles kochi (Syafruddin et al, 2006; Rinidar, 2010). Data vektor

tersebut ditemukan di perkampungan sekitar perbukitan dan hutan, sementara Dinas

Kesehatan Aceh Besar tidak memiliki data vektor didataran rendah dan pinggir

pantai. Hal ini sejalan dengan data kasus malaria yang dilaporkan oleh puskesmas

yang secara geografis memiliki wilayah perbukitan atau hutan (Dinkes Aceh Besar,

(5)

Berdasarkan data diatas dan adanya komitmen Pemerintah Kabupaten Aceh

Besar yang menargetkan mencapai eliminasi malaria pada tahun 2015, maka

diperlukan suatu intervensi yang efektif dan terpadu.

Eliminasi malaria diartikan sebagai upaya masif untuk menghilangkan

penularan malaria lokal/setempat, hal ini tidak berarti suatu daerah tidak melaporkan

adanya kasus malaria, tetapi kasus malaria yang ditemukan telah diverifikasi sebagai

kasus malaria impor dan daerah tersebut menjamin tidak ada kasus malaria yang

ditularkan di wilayah kerjanya (WHO, 2007b). Disini diperlukan kecepatan diagnosis

penyakit malaria pada penderita suspek sehingga apabila terbukti positif malaria yang

terkonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium, maka penderita tersebut dapat

diobati segera untuk memutus mata rantai penularan malaria.

Selain kecepatan diagnosis dan pengobatan, perlunya investigasi kasus segera

untuk memverifikasi sumber penularan kasus malaria tersebut, dan dilakukannya

survei kontak untuk mengetahui apakah kasus malaria ini telah menularkan ke

lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Sistem surveilans yang cepat tanggap dan

dapat dipercaya menjadi keharusan dalam mencapai eliminasi suatu penyakit, untuk

itu jejaring kerjasama antar fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta perlu dibentuk

(Feachem et al, 2009; Moonen et al, 2010). Kerjasama tersebut dapat berupa

penemuan segera penderita suspek malaria untuk dikonfirmasi dengan pemeriksaan

laboratorium, terapi antimalaria radikal sesuai standar dan kegiatan yang bersifat

(6)

Sektor pelayanan kesehatan swasta merupakan salah satu unsur penting dalam

sistem kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Menurut AusAID (2012), di

kawasan Asia Selatan sekitar 80 persen pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin

disediakan oleh sektor swasta. Beberapa negara melaporkan pelayanan kesehatan

swasta banyak dimanfaatkan bagi kelompok miskin pada negara-negara miskin dan

berkembang, terutama pada daerah dengan sarana infrastruktur dan transportasi yang

sulit. Di Guatemala sekitar 40-45% populasi pada kelompok kedua kuantil terendah

mencari pelayanan pada sektor swasta (Makinen et.al., 2000).

Sementara pemanfaatan unit pemeriksaan malaria oleh masyarakat di

Indonesia paling banyak di Puskesmas 40,4 %, RS pemerintah 16,5 %, sementara

untuk fasilitas pelayanan swasta yang tercakup pada RS, balai pengobatan/klinik,

praktik dokter, praktik perawat/bidan sebanyak 35,9% (Badan Litbangkes, 2010).

Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan negara Kamboja yang 90% kasus

demam di daerah terpencil mencari pengobatan di penyedia pelayanan swasta (Yeung

et.al, 2008). Di Uganda, dari seluruh yang mencari pengobatan diluar rumah, 62.7%

yang memilih mencari pengobatan pertama ke toko obat atau klinik swasta, dan

hanya 33.1% yang memilih pelayanan kesehatan pemerintah (Rutebemberwa et al,

2009). Fenomena hampir serupa terjadi di Provinsi Aceh, dimana pemanfaatan

fasilitas pemeriksaan darah malaria tertinggi di Puskesmas/pustu 17,2%, diikuti

dengan RS 16,9% dan polindes serta poskesdes digabungkan sekitar 7,9%. Sementara

praktik dokter dan bidan hanya dimanfaatkan sebanyak 12,1% rumah tangga (Badan

(7)

Lebih lanjut pemanfaatan pemeriksaan malaria pada praktik dokter untuk

daerah perdesaan sedikit lebih tinggi dibanding daerah perkotaan, yaitu 6,7% dengan

5,9%. Sementara praktik bidan tidak berbeda, baik diperkotaan maupun diperdesaan

1,9% rumah tangga yang memanfaatkannya. (Badan Litbangkes, 2010). Ditambah

lagi dengan fenomena perilaku pencarian pengobatan masyarakat di Indonesia, Chee

et al (2009) menyatakan sekitar 45% dari episode sakit terakhir pengobatan awal

dilakukan pada pelayanan kesehatan rawat jalan dengan membeli obat sendiri pada

toko obat atau apotek.

Fakta lain yang menarik berdasarkan kunjungan lapangan pendahuluan,

bahwa pada Puskesmas Kuta Cot Glie, walaupun mempunyai jumlah kasus paling

banyak, kesemua penderitanya adalah laki-laki diatas 15 tahun. Lebih lanjut menurut

petugas puskesmas setempat, penderita malaria yang ada adalah orang-orang yang

bekerja ke hutan, dimana mereka akan mengunjungi puskesmas bila sudah sakit berat.

Fenomena lain terjadi pada puskesmas-puskesmas yang memiliki angka insidensi

parasit malaria rendah, kebanyakan penderita malarianya dikategorikan sebagai kasus

impor. Bahkan petugas malaria dari Puskesmas Krueng Barona Jaya menyatakan

bahwa dua kasus malaria impor yang dilaporkan pada tahun 2012 ditemukan berobat

pada penyedia layanan kesehatan swasta.

Petugas malaria Puskesmas Sukamakmur dan Indrapuri menyatakan bahwa

klinik swasta yang berada didaerah kerjanya telah pro-aktif untuk berkonsultasi bila

ditemukan pasien malaria, sementara untuk pelaporan bulanan, petugas malaria yang

(8)

doktek, perawat atau bidan perseorangan, dimana belum ada komunikasi yang baik

antara puskesmas dengan penyedia layanan kesehatan swasta ini.

Mempertimbangkan peluang kerjasama yang baik dengan fasilitas kesehatan

swasta, maka sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Pedoman Eliminasi Malaria di Indonesia

menyatakan pihak swasta harus mulai diperkuat peranannya untuk mendukung

eliminasi malaria baik dari segi diagnosis, pengobatan dan pelaporan (Depkes, 2009).

Selama ini untuk program yang bersifat vertikal seperti malaria dan TB, pemerintah

menyediakan obat program secara gratis dan dapat digunakan oleh fasilitas pelayanan

kesehatan pemerintah dan swasta, namun pada studi lapangan awal, obat program

hanya tersedia di puskesmas/pustu saja, rumah sakit pemerintah hanya tersedia bila

ada permintaan ke Dinas Kesehatan kab/kota atau provinsi setempat, serta kurangnya

komunikasi dan koordinasi diyakini sebagai salah satu tantangan (Kusriastuti dan

Surya, 2012).

Berdasar data Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar, terdapat 249

penyedia pelayanan kesehatan swasta yang terdiri dari 27 Balai Pengobatan atau

Klinik, 35 praktik dokter, 77 praktik bidan dan 42 praktik perawat, apotek 7 dan toko

obat 61 yang kesemuanya tersebar di wilayah puskesmas (Anonim, 2013).

Berdasarkan kunjungan awal, Puskesmas Kuta Cot Glie mempunyai pelayanan

kesehatan swasta yang terdiri dari dua dokter praktik, tiga praktik perawat/mantri dan

tiga toko obat (Anonim, 2012a). Sementara profil Puskesmas Indrapuri tahun 2011

(9)

(Anonim, 2012b). Di wilayah kerja Puskesmas Sukamakmur terdapat tiga klinik,

empat praktik dokter, lima praktik bidan, praktik perawat dua, toko obat delapan

(Anonim, 2012c). Jumlah ini merupakan potensi bagi peningkatan cakupan

penemuan kasus malaria yang belum teridentifikasi secara jelas.

Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh swasta banyak diteliti telah

memberikan manfaat pada perluasan akses dengan harga yang terkadang lebih murah

dari pelayanan di fasilitas pemerintah serta lebih tanggap terhadap kebutuhan dan

keinginan penggunanya (Smith et.al., 2001). Tetapi, perkembangan pelayanan

kesehatan swasta yang berkembang pesat dalam beberapa dekade sering

menunjukkan rendahnya kualitas teknis dari petugas. Beberapa penelitian

menyebutkan kualitas yang rendah pada penegakan diagnosis dan pengobatan

tuberkulosis (Bustreo, 2003, Probandari et al, 2010), malaria (Brugha, 1998, Dinkes

Kota Batam, 2002). Lebih lanjut Dinkes Kota Batam melaporkan bahwa masih

banyak klinik atau balai pengobatan swasta yang memberikan pengobatan malaria

tidak sesuai dengan pedoman Kementerian Kesehatan RI. Hal ini juga sesuai dengan

studi lapangan pendahuluan di Aceh Besar, bahwa masih banyak penyedia pelayanan

kesehatan swasta yang memberikan obat malaria kepada penderita suspek malaria

tanpa konfirmasi laboratorium dan obat yang tidak sesuai protokol Kemenkes RI.

Fakta peranan pelayanan kesehatan swasta yang besar dalam kesehatan

masyarakat tidak bisa dipungkiri, namun masih terbatasnya data mengenai peranan

pelayanan kesehatan swasta dalam pengendalian malaria di Indonesia. Kurangnya

(10)

kasus malaria yang ditemukan difasilitas swasta jarang sekali yang terlaporkan ke

Dinas Kesehatan.

Berdasarkan uraian diatas, menarik penulis untuk mengkaji sejauhmana

peranan pelayanan kesehatan swasta dalam program malaria dengan konteks

eliminasi malaria, dan bagaimana desain jejaring kerjasama antara fasilitas pelayanan

kesehatan pemerintah dengan penyedia pelayanan kesehatan swasta untuk mencapai

target eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar.

1.2.Permasalahan

Bagaimana peranan pelayanan kesehatan swasta mengenai diagnosis,

pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam pencapaian

eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar.

1.3.Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui peranan pelayanan kesehatan swasta mengenai diagnosis,

pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam pencapaian

eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar dan faktor–faktor yang

mempengaruhinya.

1.4.Hipotesis

Ada pengaruh karakteristik petugas, karakteristik pekerjaan, ketersediaan alat

(11)

dalam diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam

pencapaian eliminasi malaria di daerah penelitian.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Bagi pengembangan ilmu pengetahuan akan diketahuinya peranan pelayanan

kesehatan swasta dan faktor-faktor yang mempengaruhi di Kabupaten Aceh

Besar.

b. Bagi Pemerintah Aceh

Hasil penelitian ini akan menjadi bahan masukan bagi peranan pelayanan

kesehatan swasta bagi kabupaten/kota yang menuju eliminasi malaria.

c. Bagi Masyarakat dan Petugas Pelaksana

Sebagai masukkan terhadap perbaikan akses dan kualitas pelayanan khusus

penyakit malaria yang diberikan oleh pihak swasta, dimana masyarakat sebagai

penerima manfaat dapat mengawasi pelaksanaan program kesehatan, serta dapat

menjadi masukan bagi petugas penyedia pelayanan kesehatan di sektor swasta

Referensi

Dokumen terkait

In SVAT models, the effect of soil water stress on plant transpiration is generally represented by applying a function depending on soil moisture or soil water potential to

Hasil pengujian nilai CBR sebelum pencampuran Kapur Cangkang Kerang sebesar 4,6 %, dan setelah pencampuran kapur didapat nilai sebesar 9 %, maka disini terjadi kenaikan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, melalui penerapan model pembelajaran Numbered Heads Together dapat meningkatkan keterampilan guru, aktivitas

To answer the first questions in research problems, the writer computed the collected data of x variable using descriptive statistic and the frequency in SPSS 16.0 to

Dengan demikian dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui regimen terapi captopril tunggal yang meliputi dosis dan aturan pakai yang digunakan dalam penanganan

Oleh karena terdapatnya reaksi Fe 2+ yang ada dalam hemoglobin dengan oksigen yang terdapat di alam dan perbedaan tingkat suhu dan kelembaban, maka

Kongkritnya gerakan intelektual yang berkembang dalam konteks modernisme Islam akhir-akhir ini berbeda dengan pembaruan sebelumnya baik dalam konsepsi dan aplikasi ide-idenya

Pengetahuan dan pelaksanaan inisiasi menyusui dini (IMD) sangat berperan dalam keberhasilan ASI eksklusif serta pencapaian status gizi yang baik untuk anak. Namun,