• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Sikap dan Aksi Konservasi

10. Ketidak-sejalanan stimulus terhadap sikap dan aksi

kepada masyarakat, namun sebenarnya pengelola belum memahami apa substansi penyuluhan yang akan diberikan kepada masyarakat. Ini ditunjukkan melalui respon negatif yang diberikan pengelola, bahwa sebenarnya pengelola belum memahami kebutuhan konservasi kedawung.

Keterangan

No Pernyataan kebutuhan aksi konservasi kedawung Skor rata2 Sikap*)

18 Menyemaikan atau menyebarkan biji Kedawung di areal hutan alam. 1,6 -

21 Pohon kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam. 2,9 -

23 Biji kedawung direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, lalu dikecambahkan. 2,8 -

24 Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya. 3,2 -

25 Jarak tanam kedawung di lahan rehabilitasi sebaiknya diperlebar sekurangnya 30 m. 2,8 -

26 Patroli dan larangan masyarakat masuk hutan, bukan kegiatan penting untuk dilakukan 2,2 - *) + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8)

Gambar 31. Aksi pengelola tidak sejalan dengan harapan konservasi kedawung Pernyataan 25 tentang “Jarak antar pohon kedawung di lahan rehabilitasi sebaiknya diperlebar/berjauhan”, pihak pengelola menyikapinya negatif dan hanya memandang sisi sempit saja, yaitu agar tetelan (istilah masyarakat untuk lahan rehabilitasi) segera tertutup dengan vegetasi, tanpa melihat kualitas apa yang akan terjadi pada tanaman pokok itu sendiri. Pengalaman dan fakta dari demplot kedawung 7 ha menunjukkan bahwa pertumbuhan pohon kedawung lambat dan kerdil. Sampai saat ini pengelola tetap mengharuskan masyarakat melakukan penanaman dengan jarak tanam 6 m x 5 m dan sejak tahun 1999 lebih dari 20.000 pohon kedawung yang ditanam. Sekiranya pohon kedawung yang ditanam di tetelan (lahan rehabilitasi) tidak segera dijarangi sesuai dengan sifat hidupnya di hutan alam, yaitu hidup soliter dari jenis sesamanya, maka akan terjadi kegagalan pada panen kedawung di masa datang.

Secara keseluruhan pengelolapun belum memahami tentang teknologi untuk mempermudah biji kedawung berkecambah, seperti melalui perendaman dengan air panas. Padahal teknologi sederhana ini sudah lama dikembangkan. Juga di

Aksi Konservasi kedawung

yang tidak terkait dengan aksi pengelola

18, 21, 23, 24, 25 dan 26

Aksi Pengelola

101 dalam kalangan pengelola sendiri belum berkembang proses pembelajaran mandiri tentang budidaya kedawung di hutan alam meskipun ada beberapa orang staf taman nasional di Resort Sarongan yang telah berpengalaman dengan teknik mempercepat berkecambahnya biji dengan memotong sedikit ujung biji dengan menggunakan “gunting kuku” dan persentase berkecambahnya meningkat.

Sampai sekarang pola pikir pengelola dalam menjalankan tugas sehari- harinya berpegang pada tafsiran peraturan perundangan yang kaku dan sempit. Pengelola masih berpikir pengelolaan taman nasional dan konservasi adalah perlindungan kawasan dan memisahkan masyarakat dengan hutan habitat tempat hidup mereka. Padahal paradigma pengelolaan kawasan konservasi saat ini dan ke depan seharusnya masyarakat lokal sekitar hutan berperan sebagai subjek yang merupakan satu kesatuan sistem pengelolaan kawasan konservasi yang dinamis.

6. Bias stimulus terhadap aksi konservasi masyarakat dan pengelola

Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa terjadi bias terhadap pemahaman stimulus kedawung, sehingga aksi konservasi oleh masyarakat maupun aksi konservasi oleh pengelola tidak terjadi atau tidak dilakukan sejalan dengan stimulus kedawung. Bias pemahaman terutama terjadi terhadap stimulus kelangkaan, kondisi populasi dan regenerasinya. Hal ini menunjukan bahwa sinyal tentang kelangkaan tidak menjadi informasi bagi masyarakat dan pengelola yang ditunjukkan oleh kedawung di hutan alam melalui tidak adanya anakan yang hidup dan tumbuh selama lebih dari 10 tahun terakhir.

Begitu juga buah kedawung yang tumbuh di pinggir tajuk umumnya diambil masyarakat dan ini sangat sukar bagi masyarakat mengambilnya tanpa melakukan dengan cara memotong cabang atau ranting (seperti pernyataan 19). Artinya sinyal atau fenomena ini menginformasikan bahwa buah kedawung yang tumbuh pada bagian pinggir tajuk terluar sangat berguna bagi pohon kedawung untuk regenerasinya secara alami.

Berikut ini penjelasan secara keseluruhan dikemukakan dalam bentuk Gambar 32, bahwa aksi-aksi konservasi yang diharapkan oleh kedawung terjadi, tetapi hal ini tidak dilakukan oleh masyarakat maupun pengelola.

102

Keterangan

No Pernyataan Harapan Aksi Konservasi Kedawung Masyarakat*) Pengelola*)

18 Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di areal hutan alam. (-) (-) 19 Buah kedawung yg tergantung di pinggir tajuk tidak semuanya dipungut (-) 0 20 Biji kedawung yang dipanen sendiri selalu ada yang dijadikan bibit. (-) 0 21 Kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam. (-) (-) 22 Ada biji kedawung tercecer diperjalanan di hutan sehabis memanen (-) 0 23 Biji direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, lalu disemaikan. (-) (-) 24 Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya. (-) (-) 25 Jarak tanam kedawung di lahan rehabilitasi diperlebar min. 30 m (+) (-) 26 Patroli dan larangan masuk hutan, bukan kegiatan penting dilakukan 0 (-)

Rata-rata 2,6 (-) (-)

*) 0 = tidak relevan untuk diujikan

+ = sangat suka atau suka/setuju ; - = tidak suka atau kurang suka/kurang setuju

Gambar 32. Bias pemahaman stimulus kedawung, tidak sejalan dengan aksi masyarakat dan aksi pengelola untuk konservasi kedawung 7. Kerelaan berkorban masyarakat untuk aksi konservasi

Penelitian untuk mengkaji stimulus religius apakah telah berperan mendorong sikap masyarakat pendarung untuk aksi konservasi didekati melalui kerelaan berkorban untuk aksi konservasi.

Berdasarkan hasil penelitian, secara keseluruhan menunjukkan dengan menguji 7 pernyataan tentang kerelaan berkorban dapat diketahui, bahwa sikap dan aksi masyarakat tidak dilandasi kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung. Artinya nilai-nilai religius dan nilai-nilai sosio-budaya masyarakat tradisional tidak menjadi stimulus bagi kerelaan berkorban untuk aksi konservasi.

Pernyataan “Biji kedawung yang dipanen, ada yang disisakan/ditinggalkan di hutan” menggambarkan bahwa sinyal ini tidak dipahami masyarakat, yaitu bahwa kedawung butuh bijinya disisihkan sebagian kecil untuk sumber bibit di hutan. Dipihak lain bagi masyarakat menganggap bahwa semua biji kedawung

Aksi masyarakat yg terkait erat harapan konservasi kedawung : 25

Terjadi bias pemahaman stimulus kedawung, sehingga harapan konservasi kedawung tidak sejalan dengan aksi masyarakat dan aksi pengelola : Aksi pengelola Harapan aksi konservasi kedawung

103 yang dipanen dapat dijadikan uang. Sangat jarang dengan kesadaran sendiri masyarakat rela menyisihkan sebagian kecil biji untuk dibibitkan. Dari 80 orang responden hanya 3 orang yang membibitkan kedawung dari biji yang mereka panen sendiri. Alasannya adalah karena pohon kedawung masih banyak di hutan dan bisa tumbuh sendiri secara alami. Rincian hasilnya dapat dilihat pada Gambar 33 berikut.

Keterangan

No Pernyataan kerelaan berkorban masyarakat untuk konservasi Skor rata2 Sikap

13 Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng 1,8 -

20 Biji kedawung yang dipanen sendiri selalu ada yang dijadikan bibit. 2,3 -

27 Kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia. 2,3 -

28 Kedawung ditanam di lahan rehabilitasi tanpa imbalan menanam palawija. 1,4 -

29 Kedawung ditanam di lahan pertanian hak milik pribadi masyarakat. 1,4 -

30 Permudaan kedawung di hutan tidak bisa diserahkan kepada alam saja. 2,3 -

31 Biji kedawung yang dipanen selama ini, ada yang ditinggalkan di hutan 1,8 -

Rata-rata 1,9 -

+ = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ;

-

= tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8)

Gambar 33. Kerelaan berkorban masyarakat belum ada untuk konservasi kedawung

Masyarakat pendarung tidak ada yang rela memindahkan anakan kedawung yang tumbuh dibawah pohon induknya, kecuali Mbah Setomi. Walaupun mereka mengetahui bahwa biji kedawung di bawah pohon induknya, tidak akan pernah bisa tumbuh menjadi pohon besar, kecuali dipindahkan jauh dari pohon induknya.

Masyarakat tidak pernah menanam pohon kedawung di lahan pertanian milik mereka sendiri, karena mereka tahu pohon kedawung yang sudah besar akan banyak mengambil luasan lahan pertanian mereka yang sempit. Hal ini sangat penting diperhatikan oleh pengelola, bahwa agar berhasil konservasi kedawung memerlukan lahan hutan atau perkebunan yang relatif luas.

Namun begitu, dapat diketahui bahwa masyarakat pendarung kelas umur diatas 40 tahun lebih rela berkorban untuk konservasi kedawung, sehingga

Kerelaan berkorban untuk konservasi : Nihil

13, 20, 27, 28, 29, 30 dan 31

Kerelaan berkorban masyarakat

104 penyuluhan dan pendampingan tentang konservasi kedawung perlu diprioritaskan kepada masyarakat kelompok umur muda dibawah 40 tahun.

Menurut Quedraogo (1995) nilai-nilai spritual pada masyarakat tradisional sekitar hutan di Afrika Barat sangat mendorong mereka untuk bersikap dan berperilaku untuk aksi konservasi terhadap sejenis pohon kedawung yang nama lokalnya nere (Parkia biglobosa Jack.). Pohon nere mempunyai fungsi spritual, dimana batangnya digunakan sebagai simbol dalam cerita populer dan kepercayaan spritual mereka. Daun nere banyak digunakan dalam upacara keagamaan dan adat, kelahiran, kebangkitan, pemakaman dan pemujaan. Bijinya banyak digunakan untuk ritus dan upacara adat pada hari kelahiran, pesta, hari memakaman dan bagi waris. Nilai-nilai religius inilah yang telah menjadi stimulus kuat bagi sikap dan perilaku konservasi nere dalam masyarakat tradisional Afrika Barat. Mereka sudah sejak turun temurun membudidayakan nere dan bahkan pengetahuan mereka mengenai pemanfaatan biji spesies ini sudah maju sampai kepada proses fermentasi.

Walaupun ada tradisi pada masyarakat pendarung yaitu bahwa sebelum mereka berangkat ke hutan, sehari sebelumnya mereka akan membuat acara syukuran di rumah bersama-sama keluarga dan anggota pendarung agar hasil panenan yang bisa dibawa pulang banyak. Namun tradisi religius ini tidak menjadi stimulus bagi sikap dan kerelaan berkorban masyarakat pendarung untuk aksi konservasi.

Menurut pengalaman penulis waktu kecil di kampung, kakek dan orang- orang tua dulu menanam pohon durian dengan niat untuk anak cucunya agar dapat memanen buah durian dimana mereka hanya berharap pahala dari Tuhan. Begitu juga dari pengalaman masyarakat adat suku Dayak di Kalimantan Barat yang pernah penulis wawancarai pada tahun 2005, bahwa terdapat norma dan hukum adat yang tidak memperbolehkan menebang pohon sialang tempat bersarang lebah madu, karena madu sangat berguna bagi kehidupan mereka. Pohon durian untuk anak cucu, pahala dan pohon sialang tempat bersarang lebah madu, merupakan stimulus untuk pembentukan sikap konservasi bagi orang-orang tua dahulu dan bagi masyarakat adat yang hidup di sekitar hutan

105 Berdasarkan uraian tersebut ternyata bahwa stimulus manfaat ekonomi dari kedawung telah mendorong dan menjadi sikap masyarakat pendarung untuk masuk hutan dan memanen buahnya. Namun stimulus manfaat ekonomi ini belum menjadikan bentuk motivasi dar masyarakat untuk berbuat konservasi terhadap kedawung di hutan alam. Hal ini terjadi karena modal sosial, spritual dan nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat sudah mulai menghilang.

Menurut Pranadji (2006) “tata nilai maju” suatu masyarakat yang berkaitan dengan keberlanjutan adalah masyarakat yang memiliki tata nilai dasar kuat yang merupakan gabungan keseluruhan atau beberapa tata nilai maju yang sekaligus membentuk nilai composit (gabungan) masyarakat untuk keberlanjutan. Nilai-nilai religius yang bersifat universal ini, yaitu : (1) rasa malu dan harga diri, (2) kerja keras, (3) rajin dan disiplin, (4) hidup hemat, tidak mubazir dan tidak boros (5) gandrung inovasi, (6) menghargai prestasi,(7) berpikir sistematik, (8) empati tinggi, (9) rasional/ impersional, (10) sabar dan syukur, (11) amanah (high trust), dan (12) visi jangka panjang. Nilai-nilai dasar inilah yang mulai melemah, belum berkelanjutan dan belum terpelihara dan berkembang dalam diri masyarakat. Hal ini terlihat dari sikap dan perilaku mereka antara lain kurang berempati kepada kedawung, tidak punya visi jangka panjang, tidak gandrung inovasi, kurang sabar dan syukur.

Kondisi ini terjadi, diduga kuat penyebabnya adalah karena adanya intervensi luar yang telah berlangsung lama dalam masyarakat pendarung. Berkaitan dengan dibatasinya akses masyarakat ke sumberdaya hutan taman nasional yang sudah berlangsung sejak tahun 1929, yaitu sejak ditetapkannya hutan Meru Betiri menjadi hutan lindung sampai sekarang ini. Faktor hak kepemilikan yang tidak jelas sangat mempengaruhi kerelaan berkorban masyarakat untuk aksi konservasi. Hal yang berbeda terjadi di masyarakat adat Pesisir Krui di Lampung yang berhasil melestarikan repong hutan damar mata kucing secara turun temurun. Keberhasilan ini terjadi, karena hak kepemilikan masyarakat adat terhadap sumberdaya hutannya legal dan jelas.

Faktor yang bersifat psikis dan sudah melekat pada komponen sikap affective dari kebanyakan masyarakat pendarung adalah antara lain masalah keteladanan dan ketidak keharmonisan hubungan dengan staf taman nasional.

106 Ungkapan kekecewaan dan benci yang direfleksikan oleh tetua masyarakat, seperti diungkapkan Mbah Setomi. Petugas PA sejak tahun 1972 mulai melarang dan menyita hasil hutan yang masyarakat bawa dari hutan. Mereka dituduh sebagai tukang ngerusak hutan, tukang membakar hutan, apa saja yang dihasilkan (dibawa) dari hutan akan dirampas semua. Tetapi kalau sudah berwujud uang, petugas juga meminta bagian. Pada tahun 1988 boreg-boreg (cukong-cukong pencuri kayu) kayu jati mulai ada, mereka mendatangi penduduk agar mau ngempleng (mencuri) jati dengan diiming-imingi pendapatan tinggi. Sejak itu pencurian kayu jati mulai marak dan terang-terangan, bahkan sampai ada yang memakai gergaji senso (chain saw. Masyarakat menjadi sangat kecewa, karena pelaku tidak ada yang ditangkap, bahkan mereka kerjasama dengan petugas PA, polisi dan tentara. Akhirnya masyarakat berpikir untuk apa menjaga kelestarian hutan.

8. Kerelaan berkorban pengelola untuk aksi konservasi

Berdasarkan hasil penelitian dengan menguji 5 pernyataan tentang kerelaan berkorban dapat diketahui, bahwa sikap dan aksi pengelola tidak dilandasi kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung, maupun kerelaan berkorban untuk masyarakat, seperti ditunjukkan pada Gambar 34.

Pernyataan stimulus 2 yaitu : Saat pohon kedawung berbuah, masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya”. Sebagaimana telah disebutkan di bagian awal dari bab ini, bahwa pengelola tidak suka masyarakat masuk kawasan hutan, pengelola beranggapan dan memandang masyarakat masuk hutan adalah pelanggaran peraturan perundangan yang berlaku dan masyarakat masih dianggap aktor perusak kawasan hutan taman nasional. Dari pernyataan sikap pengelola ini menunjukkan bahwa pengelola belum rela berkorban dan menyisihkan waktu, tenaga serta pikirannya untuk berpikir dan melakukan penyuluhan, bimbingan dan pendampingan kepada masyarakat. Masyarakat dengan cara demikian dapat tetap melakukan pemungutan buah kedawung secara lestari. Bahkan sekiranya pengelola meminta masyarakat untuk menyebarkan biji kedawung di hutan, maka masyarakat pendarung secara sukarela akan melakukan penyebaran biji kedawung ke tempat terbuka yang jauh dari pohon induknya dan sesuai bagi persyaratan kedawung untuk hidup.

107

Keterangan

No Pernyataan kerelaan berkorban pengelola untuk konservasi Skor rata- rata*)

Sikap*)

2 Saat kedawung berbuah, banyak masyarakat masuk hutan untuk memanennya. 2,0 - 3 Kkedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat. 3,5 - 27 Kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia. 2,6 - 28 Kedawung yg ditanam di lahan rehabilitasi dapat imbalan menanam palawija. 3,9 + 30 Permudaan kedawung di hutan alam tidak bisa diserahkan kepada alam saja. 2,6 -

Rata-rata 2,9 -

*) + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka/tak setuju (<3,8)

Gambar 34. Kerelaan berkorban pengelola untuk konservasi kedawung belum terjadi.

Hanya sebagian kecil pengelola yang suka dengan masyarakat yang menanam kedawung di lahan rehabilitasi dengan mendapat imbalan menanam palawija. Artinya dalam jangka panjang pengelola sangat khawatir lahan hutan dikuasai oleh masyarakat dan belum rela berkorban untuk membina masyarakat agar resiko yang dkhawatirkan tidak terjadi atau sekecil mungkin terjadi. Ini juga terlihat dalam surat DITJEN PKA 16 Des’ 1999 no. 1354/DJ-V/KK/1999 kepada Kepala Balai TNMB tentang kegiatan rehabilitasi kawasan butir 3 c alinea (3) Areal rehabilitasi dapat digarap oleh peserta rehabilitasi dalam jangka waktu 3 tahun dan setelah itu peserta harus dengan sukarela meninggalkan kawasan tanpa kompensasi.

Begitu juga pernyataan 27, 28 dan 30 yang direspon negatif oleh sebagian besar pengelola menunjukkan bahwa pengelola belum mempunyai kerelaan berkorban untuk aksi konservasi kedawung, yaitu pengelola belum rela berkorban untuk melakukan penyemaian bibit kedawung di hutan alam. Nilai-nilai religius tidak menjadi stimulus bagi kinerja pengelola untuk rela berkorban terhadap aksi konservasi. Hal ini juga dipengaruhi karena rendahnya insentif dan reward yang diberikan negara kepada pengelola selama ini.

Kerelaan berkorban pengelola

tidak ada untuk konservasi : 2, 3, 23, 27dan 30

Kerelaan berkorban pengelola

108 9. Perbedaan pengalaman masyarakat dengan pengelola

Berdasarkan hasil penelitian terbukti, bahwa ada perbedaan pengalaman antara masyarakat dengan pengelola, seperti ditunjukkan pada Tabel 16 berikut : Tabel 16. Perbedaan pengalaman masyarakat dengan pengelola tentang kedawung

No Pernyataan stimulus dan aksi konservasi kedawung terhadap sikap

masyarakat dan sikap pengelola

Masya- rakat

Penge -lola

Nilai manfaat ekonomi (stimulus manfaat)

1 Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang telah menghitam + +

2 Saat pohon kedawung berbuah, masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya. + -

3 Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat. + -

4 Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu + +

Nilai manfaat obat (stimulus manfaat)

5 Biji kedawung dipakai sendiri untuk obat sakit perut kembung. - -

6 Biji kedawung selalu ada disimpan di rumah untuk obat. - -

7 Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung. + +

8 Pohon kedawung adalah tumbuhan obat yang banyak khasiatnya. - - Nilai fungsi ekologis (stimulus alamiah)

9 Kedawung banyak tumbuh di lereng bukit yang terjal + +

10 Kedawung adalah pohon raksasa pengayom tumbuhan lainnya di hutan + -

11 Kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah madu. + -

12 Kedawung menggugurkan daunnya sebanyak 1 atau 2 kali setahun. + -

13 Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng - +

Kondisi populasi dan regenerasi (stimulus alamiah)

14 Anakan kedawung sangat jarang menjadi besar di sekitar pohon induknya. - -

15 Pohon kedawung muda sangat jarang ditemukan di kawasan hutan alam. - -

16 Anakan kedawung hanya hidup di tempat terbuka terkena sinar matahari. + -

17 Kedawung dewasa jauh lebih banyak dibanding pohon mudanya di hutan - - Aksi konservasi kedawung dan kerelaan berkorban

18 Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di areal hutan alam. - - 19 Buah kedawung yg tergantung di pinggir tajuk terluar tidak semuanya dipungut - + 20 Biji kedawung yang dipanen sendiri selalu ada yang dijadikan bibit. - - 21 Kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam. - - 22 Ada biji kedawung yang tercecer diperjalanan pulang di hutan sehabis memanen - - 23 Biji direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, lalu disemaikan. - -

24 Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya. - -

25 Jarak tanam Kedawung di lahan rehabilitasi baiknya diperlebar min. 30 m. + -

26 Patroli dan larangan masuk hutan, bukan kegiatan penting untuk dilakukan + -

27 Pohon kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia. - -

28 Pohon kedawung ditanam di lahan rehabilitasi tanpa imbalan menanam palawija. - -

29 Pohon kedawung ditanam di lahan pertanian hak milik pribadi masyarakat. - -

30 Permudaan kedawung di hutan alam tidak bisa diserahkan kepada alam saja. - -

31 Biji kedawung yang dipanen selama ini, ada yang ditinggalkan di hutan - - + = sangat suka atau suka/setuju - = tidak suka atau kurang suka/setuju/tak tahu

Berdasarkan Tabel 16 di atas dapat diketahui bahwa ternyata masyarakat lebih berpengalaman dengan kedawung, masyarakat lebih memahami potensi

109 stimulus kedawung, terutama stimulus tentang nilai manfaat ekonomi dan nilai fungsi ekologis. Sebagian masyarakat berpengalaman dalam menyebarkan biji di hutan alam, walaupun mereka melakukannya tidak sengaja atau tidak dengan sadar, yaitu melalui cara tercecernya biji waktu proses pengangkutan di dalam hutan. Hal ini terjadi karena masyarakatlah yang lebih banyak berinteraksi dengan kedawung dan interaksi ini terjadi berulang-ulang setiap tahun, terutama pada saat panen buah kedawung atau saat mereka masuk hutan mengambil tumbuhan obat lainnya.

Adanya perbedaan pengalaman antara masyarakat dan pengelola ini, akan menyebabkan perbedaan sikap dan perilaku untuk konservasi kedawung. Pengelola sampai saat ini masih menganggap masyarakat yang masuk hutan memanen buah kedawung adalah pelaku utama yang menyebabkan kedawung menjadi langka. Padahal berdasarkan pengalaman masyarakat malahan sebaliknya, tanpa disadari sebenarnya mereka membantu untuk konservasi kedawung dengan ikut menyebarkan biji di hutan.

Oleh karena itu seharusnya pengelola menjadikan kelompok masyarakat pendarung kedawung sebagai pelaku utama dalam konservasi kedawung. Cara ini bisa dilakukan secara sadar, mudah dan murah serta melakukan terlebih dahulu peningkatan kapasitas masyarakat pendarung tersebut.

Hubungan sikap-stimulus, erat keterkaitannya dengan keberlanjutan konservasi atau memungkinkan pula putusnya keberlanjutan konservasi tersebut. Sebagai contoh adalah stimulus manfaat ekonomi dari kedawung yang telah membuat sikap masyarakat pada periode Agustus-Oktober secara turun temurun untuk masuk hutan dan memanen buah masak dari tumbuhan obat ini. Semua biji habis mereka jual tanpa ada yang dijadikan bibit (pernyataan stimulus 2 dan 3). Masyarakat pendarung kedawung belum secara sadar untuk menyemaikan biji kedawung di areal hutan yang terbuka dan terkena sinar matahari. Keadaan seperti ini telah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Pengalaman dan perilaku masyarakat pendarung ini kurang tergali oleh pengelola, sehingga pengelola tidak dapat membuat umpan balik (feedback) kepada masyarakat. Misalnya, pengelola belum pernah memberikan penyuluhan kepada masyarakat pendarung agar mau dengan sadar menyemaikan biji kedawung di tempat-tempat terbuka di hutan yang

110 berjauhan dari pohon induknya. Hal ini sangat berguna bagi masyarakat pendarung dan generasi penerusnya agar dapat memanen buah kedawung secara berkelanjutan, bahkan dapat meningkatkan hasilnya, karena mereka melakukan intervensi untuk regenerasinya.

Berdasarkan hasil analisis data diketahui adanya perbedaan yang nyata pada sikap nilai manfaat obat, sikap terhadap kondisi populasi dan regenerasi, serta sikap dan aksi terhadap kebutuhan konservasi kedawung. Hal ini terjadi pada masyarakat dengan pengalaman lebih dari 10 tahun yang memiliki sikap lebih konservasi. Keadaan ini wajar dalam masyarakat yang normal, karena semakin banyak dan lama pengalaman mendarung kedawung, maka mereka akan semakin memiliki sikap dan aksi konservasi kedawung yang lebih baik.

Sikap terhadap nilai manfaat ekonomi, sikap nilai manfaat ekologis dan

Dokumen terkait