• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.2 Ketimpangan Antar daerah

Peningkatan pendapatan perkapita memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan perkapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan telah merata. Seringkali di negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan modal daripada penggunaan tenaga kerja sehingga keuntungan dari perkonomian tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat saja. Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan.

Berkaitan dengan pembangunan ekonomi regional, Williamson (1965) menyatakan bahwa dalam tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih maju, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak bahwa keseimbangan antar daerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.

Myrdal (1957) menyatakan bahwa tingkat kemajuan ekonomi antar

daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash

effect) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effect) terhadap

pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang memiliki kekuatan di pasar secara normal akan meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad,

1999).

Ketimpangan antar daerah juga disebabkan oleh mobilisasi sumber-sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah. Sumber-sumber-sumber daya tersebut antara

lain akumulasi modal, tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki. Adanya heterogenitas dan beragam karateristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Melihat fakta ini dapat dikatakan bahwa disparitas regional merupakan konsekuensi dari pembangunan itu sendiri.

Pendapatan perkapita banyak digunakan sebagai tolak ukur untuk mengukur ketimpangan dalam suatu daerah. Pendapatan ini tidak dilihat dari tinggi tidaknya pendapatan melainkan apakah pendapatan tersebut terdistribusikan secara merata atau tidak ke seluruh masyarakat.

Alisjahbana dan Akita (2002), melakukan studi tentang kesenjangan pendapatan regional dengan membandingkan Cina dan Indonesia, dan menunjukkan bahwa terjadi penurunan kesenjangan selama krisis ekonomi. Kim (1996), dengan penelitian di Korea menjelaskan bahwa sektor publik lokal mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Korea selama periode 1970-1991. Knowles (2002) dengan menggunakan model pertumbuhan Barro, menjelaskan bahwa tidak ada bukti yang signifikan hubungan antara inequality dan pertumbuhan ekonomi. Yilmaz (2002), meneliti bagaimana pola dan struktur perekonomian cenderung konvergen atau divergen. Hasilnya menjelaskan bahwa perbedaan wilayah dan perilaku temporal dari perekonomian nasional mempunyai efek terhadap kecepatan kondisi konvergensi. Ying (2000) melakukan penelitian di Cina tentang kesenjangan regional di 30 propinsi di Cina periode tahun 1978-1994.

Kuncoro (2002), dengan menggunakan indeks Entropy Theil, menjelaskan bahwa kebijakan deregulasi dan liberalisasi yang diterapkan di Indonesia sejak

tahun 1983 mendorong kecenderungan konsentrasi geografis di Indonesia. Martin dan Ottaviano (2001), menyebutkan bahwa ada hubungan yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dan aglomerasi. Bahwa kenaikan pertumbuhan urbanisasi, tetapi juga karena adanya pengelompokan industri secara parsial terhadap pertumbuhan, untuk 16 negara di Eropa selama periode 1984-1995. Hasilnya menjelaskan bahwa persebaran yang sama untuk kegiatan ekonomi berpengaruh baik terhadap pertumbuhan ekonomi.

Isu kesenjangan ekonomi antar daerah telah lama menjadi bahan kajian para pakar ekonomi regional. Hendra Asmara (1975) merupakan peneliti pertama yang mengukur kesenjangan ekonomi antar daerah. Berdasarkan data dari tahun 1950 hingga 1960, ia menyimpulkan Indonesia merupakan negara dengan katagori kesenjangan daerah yang rendah apabila sektor migas diabaikan.

Ardani (1966) telah menganalisis kesenjangan pendapatan dan konsumsi antar daerah dengan menggunakan indeks Williamson selama 1968-1993 dan 1983-1993. Kesimpulannya mendukung hipotesis Williamson (1965) bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi terdapat kesenjangan kemakmuran antar daerah. Namun semakin majunya pembangunan ekonomi kesenjangan tersebut semakin menyempit. Studi Ardani agaknya sejalan dengan hasil studi Akita dan Lukman (1994) yang menemukan tidak terdapatnya perubahan kesenjangan ekonomi antar daerah selama 1983-1990. Dalam konstelasi perkembangan terakhir di Indonesia, kesenjangan ekonomi setidaknya dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu berdasarkan tingkat kemodernan, regional dan etnis. Dilihat dari tingkat kemodernan terdapat kesenjangan antara sektor modern dan sektor tradisional. Sektor modern umumnya berada di perkotaan dan sektor industri,

sedangkan sektor tradisional berada di pedesaan dan sektor tradisional. Sementara kesenjangan regional adalah kesenjangan antara Katimin (Kawasan Timur Indonesia) dan Kabarin (Kawasan Barat Indonesia). Sedangkan kesenjangan menurut etnis yaitu kesenjangan antara pribumi dan non-pribumi.

Otonomi daerah harus benar-benar diarahkan pada optimalisasi manfaat yang akan diterima oleh masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Jika otonomi tidak dilaksanakan dengan pertimbangan-pertimbangan tadi, atau rendahnya komitmen serta kesiapan daerah dalam melaksanakan otonomi tersebut, bukannya akan menimbulkan efek positif dalam pemberdayaan ekonomi daerah, tetapi justru mengancam kondisi perekonomian secara keseluruhan.

Beberapa sumber kebocoran ekonomi ketika otonomi dilaksanakan tidak sungguh-sungguh atau kesiapan daerah dan pusat tidak “memadai”, dapat diidentifikasi antara lain (Prud’ Homme, 1995): Pertama, semakin tingginya disparitas antar daerah. Hal ini didasarkan kepada anggapan bahwa potensi dan kemampuan setiap daerah berbeda-beda, terutama dalam pemilikan sumber daya. Sementara itu, desentralisasi berarti memberikan kewenangan yang luas kepada daerah dalam mengurusi aktivitasnya termasuk aktivitas ekonomi. daerah bebas dalam mengolah sumber daya, menerapkan kebijakan-kebijakan fiskal (memungut pajak, retribusi, dan melakukan belanja), serta dalam menentukan arah pembangunan ekonominya demi kesejahteraan rakyat dalam daerah yang bersangkutan. Akhirnya, karena potensi dan kemampuan daerah berbeda-beda, maka disparitas antar daerah akan semakin tinggi. daerah yang kaya dan memiliki

struktur yang lebih seimbang akan melaju cepat, sementara itu daerah yang miskin akan ketinggalan.

Kedua, inefisiensi produksi dan alokasi sebagai akibat desentralisasi murni

disebabkan karena daerah akan memaksakan diri dalam melakukan produksi suatu komoditas tertentu meskipun secara ekonomis tidak terlalu menguntungkan. Selain itu, terdapat kemungkinan suatu komoditas hanya akan efisien jika diproduksi dalam skala besar (economics of scale), tetapi karena daerah memaksakan diri untuk memproduksinya, maka yang terjadi adalah banyaknya perusahaan sejenis dalam skala yang relatif kecil. Masih dalam koteks pemaksaan diri dalam memproduksi suatu komoditas, maka secara nasional dapat dinilai juga sebagai inefisiensi dalam alokasi sumber daya. Sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk komoditas lain, karena motivasi kemandirian, akhirnya dialokasikan kepada komoditas tertentu yang kurang efisien.

Ketiga, instabilitas yang berpangkal dari luasnya kewenangan daerah

dalam menetapkan kebijakan fiskal. Dengan keluasan pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan tersebut, maka efektivitas kebijakan fiskal yang digulirkan oleh pemerintahan pusat akan berkurang. Dengan demikian apabila terjadi suatu masalah dalam perekonomian, sulit bagi pemerintahan nasional untuk mengatasinya, dan efek dari kebijakan fiskal bagi setiap daerah akan berbeda-beda.

Argumentasi di atas, nampaknya didukung oleh data-data Laporan Bank Dunia Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa: “meskipun desentralisasi fiskal

memberikan manfaat di beberapa negara seperti China, India, negara-negara

memunculkan 3 (tiga) permasalahan utama, yaitu: meningkatnya ketidakadilan

(kesenjangan), instabilitas makroekonomi, dan adanya resiko kewenangan lokal

yang dapat menyebabkan kesalahan dalam alokasi sumber daya” (World

Development Report: The State in a Changing World, 1997).

Meskipun kondisi Indonesia tidak sama dengan negara-negara sebagaimana yang diteliti oleh Bank Dunia, namun hal tersebut dapat dijadikan pelajaran untuk memacu kinerja kebijakan desentralisasi yang digulirkan Pemerintah Indonesia lebih baik. Artinya, hal-hal negatif yang muncul di beberapa negara dalam konteks desentralisasi ini, terutama ketidaksiapan pusat dan daerah, harus mampu dieliminasi.

Pembangunan yang dilakukan di daerah-daerah pada dasarnya adalah juga pembangunan nasional. Atas dasar pemikiran itu, muncul pendekatan pembangunan atas dasar sektor-sektor kegiatan tanpa memperhatikan lokasinya. Namun, dalam perkembangannya pendekatan tersebut dirasakan kurang lengkap, karena kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua daerah memiliki kondisi dan potensi yang sama, sehingga muncul permasalahan kesenjangan (inequality) dan inefisiensi dalam pembangunan.

Masih dalam tataran konsepsi pembangunan nasional, muncul pendekatan yang lebih memperhatikan kondisi dan potensi setiap region dalam suatu nation tertentu, yaitu pendekatan pembangunan regional. Pendekatan pembangunan regional, pada babak selanjutnya terus berkembang dan menjadi perhatian baik di kalangan praktisi maupun di kalangan akademisi.

Yang semula banyak didasarkan atas pertimbangan ekonomi saja, kemudian diintegrasikan dengan perkembangan masyarakat yang makin menuntut

kualitas dan kuantitas pelayanan dari pemerintah serta tuntutan kemandirian dan partisipasi pembangunan. Kini masalah kebijakan pembangunan regional tidak lagi hanya dikaitkan dengan masalah efisiensi dan pemerataan saja, melainkan pula dikaitkan dengan masalah pelayanan kepada masyarakat dan perkembangan aspirasi masyarakat tersebut.

Kebijakan pembangunan merupakan unit pemerintahan pada tingkat manapun yang mengimplementasikannya, secara ekonomis ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah meningkatnya pendapatan perkapita. Dan peningkatan pendapatan perkapita ini bisa dicapai apabila terjadi pertumbuhan dalam bidang ekonomi.

Ada dua alternatif kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional yang ketinggalan menurut Richardson (Baban Sobandi, 2000). Pertama, jika efisiensi nasional merupakan tujuan utama yang harus dicapai, maka kebijakan mendorong migrasi tenaga kerja inter-regional lebih baik dari pada mendorong relokasi industri. Tetapi jika pemuasan preferensi-preferensi lokasional merupakan prioritas yang lebih tinggi, maka usaha untuk mendorong perpindahan modal harus lebih ditekankan. Kedua, metode “tenaga kerja keluar pekerjaan masuk” (labour out jobs in) dapat dilakukan jika yang merupakan permasalahan regional adalah ketidakseimbangan pasar tenaga kerja lokal dan untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan pengangguran regional.

Bagi masyarakat di daerah, baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, jelas merupakan prospek yang menjanjikan adanya

perubahan dan perbaikan kinerja kebijakannya termasuk kinerja kebijakan ekonomi makronya. Hal ini didasarkan kepada kenyataan bahwa pemerintah daerah sekarang ini telah diberikan keleluasaan dalam perumusan dan penetapan kebijakan daerah, dan untuk melaksanakan kebijakan tersebut telah dialokasikan dana perimbangan dari kas negara.

Otonomi daerah dalam bidang fiskal sebagaimana tertuang dalam kedua undang-undang tersebut, termasuk Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pada dasarnya merupakan instrumen yang paling memungkinkan bagi daerah, terutama Daerah Kabupaten/Kota, untuk mampu berperan dalam memberdayakan ekonomi daerahnya. Akan tetapi kebijakan tersebut bukan tidak ada bahayanya, terutama jika implementasi kebijakan tersebut tidak dilengkapi dengan instrumen pengendalian yang memadai oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah propinsi sebagai wakil pemerintah pusat. Pengeluaran (expenditure atau spending) pemerintah daerah yang tidak terkendali yang bersumber dari PAD, Dana Perimbangan ataupun pinjaman daerah (Dalam Negeri maupun Luar Negeri) sehingga mengakibatkan defisit yang berlebihan, akan berdampak kepada kondisi stabilitas makro ekonomi.

Dalam pengertian ini, pemerintah harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sedemikian rupa dengan berbagai program pembangunan yang diarahkan kepada sektor-sektor produktif di daerah. Pembiayaan pembangunan harus betul-betul diarahkan kepada sektor-sektor yang secara langsung mampu mendorong terciptanya kegiatan produktif masyarakat, penciptaan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, serta penciptaan lapangan pekerjaan yang baru; dengan

tetap memperhatikan sektor-sektor lainnya yang secara langsung dapat menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia, penyediaan sumber-sumber produksi dan sebagainya.

Kita sadari bahwa dalam kondisi dewasa ini, perekonomian daerah yang pada umumnya masih mengandalkan kepada sektor pertanian dirasakan sudah kurang mampu menghasilkan tingkat produktivitas ekonomi yang tinggi. Kondisi ini berbeda dengan struktur perekonomian nasional yang telah cenderung di dominasi oleh produktivitas sektor sekunder, yaitu sektor perindustrian bersama-sama sektor jasa-jasa. Memang, dalam periode krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang lalu, perekonomian daerah cenderung bertahan justru karena sektor pertanian tidak terkena dampaknya.

Akan tetapi dalam kondisi normal hal itu tidak dapat dibiarkan terus berlangsung, karena bagaimanapun pertumbuhan ekonomi yang hanya didominasi oleh sektor primer, pada akhirnya cenderung akan tertinggal dan terus merosot. Akibatnya, kondisi kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat juga akan semakin merosot pula, karena daya beli masyarakat yang cenderung menurun. Akibat lanjutannya, pemerintah daerah juga akan menemukan kesulitan dalam menarik dana dari masyarakat melalui sistem perpajakan daerah. Jika ini yang terjadi, maka perekonomian daerah kembali akan sangat bergantung kepada kekuatan-kekuatan ekonomi eksternal, baik yang berasal dari daerah lain yang bertetangga, bantuan-bantuan pemerintah atau propinsi, bahkan kekuatan perekonomian global yang masuk ke daerah yang bersangkutan.

Dengan semakin luasnya otonomi daerah yang dapat diselenggarakan di daerah, maka pemerintah daerah harus memiliki inisiatif dan kreatifitas yang lebih

baik lagi dalam memberikan insentif bagi pertumbuhan kemandirian ekonomi daerah. Namun demikian, hendaknya pemerintah daerah tidak terjebak kepada opsi kebijakan yang cenderung terlalu bersifat redistributif, dengan mengobral subsidi ataupun bantuan-bantuan sosial ekonomi yang tidak mendidik masyarakat untuk produktif dan memiliki daya saing. Sebaliknya, masyarakat juga sebaiknya jangan selalu mengharapkan bahwa pemerintah daerah akan datang memberikan paket-paket bantuan seperti itu, karena pada kenyataannya kemampuan daerah sangat terbatas. Jika kita perhatikan, kontribusi pengeluaran pemerintah daerah dalam PDRB secara umum hanyalah berkisar antara 10% hingga 20% dari total PDRB daerah. Ini berarti peranan ekonomi pemerintah sendiri dalam perekonomian daerah adalah relatif rendah. Namun yang terpenting adalah seberapa jauh program pembelanjaan anggaran daerah dapat memberikan efek penggandaan (Multiplier Effect) yang cukup signifikan bagi terciptanya peningkatan pertumbuhan ekonomi produktif masyarakat. Oleh karena itu strategi dasar yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah sejalan dengan kebijakan otonomi yang berlaku, dampaknya adalah menciptakan efisiensi ekonomis dan efektivitas program-program pembelanjaan daerah.

Dalam pembebanan kewenangan dan tanggung jawab pada berbagai tingkatan pemerintahan, Bryant dan White (1989) menyarankan hal-hal sebagai berikut: Pertama, suatu proyek atau program hendaknya diserahkan pada organisasi apapun yang memiliki “insentif” untuk melaksanakannya. Kedua, “lingkungan politis” suatu organisasi harus menunjang pelaksanaan proyek atau program tersebut. Ketiga, bahwasanya kebanyakan proyek melibatkan beberapa organisasi, sehingga hubungan antar organisasi dan cara-cara organisasi

berinteraksi menjadi penting untuk diperhatikan. Keempat, harus dibuat pilihan-pilihan dengan mempertimbangkan bukan hanya kapasitas yang telah dimiliki organisasi, melainkan juga sehubungan dengan pengembangan kemampuan kelembagaan organisasi-organisasi di daerah itu sendiri.

Cara lain untuk mempertimbangkan kapan suatu aktivitas pembangunan dilaksanakan oleh pemerintahan tingkat nasional dan kapan dilakukan oleh pemerintahan regional tergantung kepada tiga hal yaitu: Pertama, banyaknya informasi yang diperlukan. Sejauh bahwa kebijakan itu didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman yang baik serta pada kepastian tentang prosedur serta hasil akhir, maka dapat dijalankan pengarahan dan kontrol sentral yang lebih besar. Tetapi kalau suatu kebijakan dioperasikan dalam konteks yang tidak menyediakan informasi yang cukup lengkap, preferensi dan kebutuhan-kebutuhan konsumennya kurang jelas, dan tugas-tugas administratornya kabur, maka sebaiknya dilaksanakan di tingkat daerah.

Kedua, cara pemasokan komoditas yang diperlukan oleh masyarakat

konsumen. Ada barang-barang yang harus diproduksi pada skala besar dan memerlukan modal yang besar (capital intensive), namun ada pula barang atau jasa yang pemasokannya melibatkan kontak antar individu, misalnya pelayanan kesehatan. Untuk komoditas jenis pertama lebih baik dilakukan atau dipasok pada tingkat nasional. Sementara itu, untuk jenis yang kedua lebih baik dipasok pada tingkat regional atau lokal, karena lebih sulit dipantau, bervariasi sesuai dengan lokasinya, dan sangat bergantung kepada pandangan masyarakat. Semakin banyak kontak tatap muka yang dituntut, akan makin sulitlah mengelola suatu organisasi

besar karena kesulitan mengawasi mutu hubungan antar pribadi dan sukarnya mengukur hasil.

Ketiga, peraturan dan daya tanggap. Peraturan dan pengaturan berarti

memberlakukan standar-standar yang adil. Dan keadilan sering tercapai dengan baik bila pengaturan ditangani di tingkat nasional. Namun, bila daya tanggap menjadi perhatian utama, mungkin bermanfaat jika dilakukan desentralisasi tugas-tugas, sehingga petugas-petugas lokal dapat menyesuaikan programnya dengan kondisi-kondisi lokal.

Sementara itu Leftwich, et.all (1980) menyatakan bahwa penentuan pihak yang berwenang atas pelaksanaan dan pembiayaan pembangunan harus didasarkan pada pertimbangan net benefit yang paling maksimal yang dapat diperoleh dari pembangunan tersebut, yaitu pada saat marginal benefit sama dengan marginal cost dari pengeluaran untuk barang atau jasa publik yang harus disediakan. Prasyarat ini dikenal dengan equimarginal principle.

Pengeluaran pemerintah harus meningkat ketika manfaat dari rupiah terakhir yang dikeluarkan lebih besar dari biayanya. Sementara itu, pengeluaran pemerintah harus dikurangi ketika manfaat yang didapatkan dari rupiah terakhir yang dikeluarkan lebih kecil dibandingkan dengan biayanya. Tingkatan pemerintahan yang mempunyai equimarginal level yang lebih rendahlah yang semestinya berwenang dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan pembiayaan suatu jenis barang atau jasa publik.

Berdasarkan beberapa argumentasi tersebut, maka dari sudut pandang ekonomi, otonomi daerah harus benar-benar diarahkan pada optimalisasi net

benefit yang akan diterima oleh masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian. Dalam pengumpulan data yang diperlukan untuk menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

3.1 Lokasi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, daerah penelitiannya adalah seluruh kabupaten pemekaran di Sumatera Utara setelah adanya pemekaran daerah tahun 2001, yang terdiri dari 7 kabupaten pemekaran yaitu :

1. Kabupaten Mandailing Natal 2. Kabupaten Toba Samosir 3. Kabupaten Nias Selatan

4. Kabupaten Humbang Hasundutan 5. Kabupaten Pakpak Bharat

6. Kabupaten Samosir

7. Kabupaten Serdang Bedagai

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk data berkala (time series) dengan kurun waktu 2001-2006. Sedangkan sumber data diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sumatera Utara.

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan melalui bahan-bahan kepustakaan berupa tulisan-tulisan ilmiah, jurnal, artikel, majalah, lapoan-laporan penelitian ilmiah yang ada hubungannya dengan topik yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah melakukan pencatatan langsung berupa data time series dari tahun 2001 sampai 2006 ( 6 tahun ).

3.4 Pengolahan Data

Penulis menggunakan program komputer E-Views 5.0 untuk mengolah data dalam skripsi ini.

3.5 Model Analisis

Dalam pembahasan akan dikemukakan bagaimana 4 model analisis berikut terdapat ketimpangan serta potensi ekonomi di suatu daerah, yaitu:

3.5.1 Regional Income Disparities

Ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran yang terjadi di Sumatera Utara dapat dianalisis dengan menggunakan indeks ketimpangan regional (regional Inequality) yang dinamakan indeks ketimpangan Williamson (Sjafrizal, 1997):

Index Williamson (IW) =

Y n fi x Y Yi

2 ) (

Dimana: IW = Indeks Williamson

Yi = PDRB perkapita Kabupaten pemekaran Y = PDRB perkapita rata-rata Sumatera Utara

Fi = Jumlah penduduk Kabupaten pemekaran n = Jumlah penduduk Sumatera Utara

Hasil perhitungan dengan metode indeks Williamson diatas bersifat relatif karena pengukurannya semakin besar (mendekati 1), maka ketimpangan akan semakin besar atau sangat tidak merata dan sebaliknya jika nilai Vw semakin kecil (mendekati 0), maka ketimpangan kecil/merata.

3.5.2Potensi Ekonomi

Yaitu metode analisis yang dipergunakan untuk melihat dan menghitung potensi ekonomi daerah (keuntungan lokasi) dari setiap region untuk suatu sektor tertentu.

Bentuk formulasi modelnya adalah:

∑∑

= = = = = n i m j ij m j ij n i ij ij ij Y Y Y Y LQ 1 1 1 1 > < 1

Dimana: LQij = Angka koefisien lokasi sektor i region j Yij = PDRB sektor di region j (jutaan Rp)

=n i

ij

Y 1

= PDRB total seluruh sektor di region j (jutaan

Rp)

m= j ij Y 1

∑∑

=n = i m j ij Y 1 1

= PDRB total seluruh sektor propinsi (jutaan Rp)

Bila:

LQij >1 = sektor/kegiatan ekonomi berpotensi untuk dikembangkan. Lqij < 1 =sektor/kegiatan ekonomi kurang/tidak berpotensi untuk

dikembangkan.

3.5.3 Model Analisis Ekonometrika

Untuk menganalisis faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan, maka diuji regresi antara Indeks Williamson dengan jumlah penduduk, PDRB, dan pengeluaran pemerintah.

IW = f {X1,X2,X3} atau:

Dalam menganalisis data pada skripsi ini, penulis menggunakan metode analisis data panel. Dimana data panel merupakan data campuran

cross section dan time series (Wahyu A. Pratomo, 2007). Penggunaan

data panel didasarkan pada kenyataan bahwa data yang tersedia, seriesnya tidak mencukupi untuk dilakukan analisis. Model yang digunakan adalah: it it it it it

X X X

Y =α +β

1 1

2 2

3 3

Dimana : t = Tahun i = Kabupaten/kota Y = Ketimpangan Pendapatan α = Intercept/konstanta 3 2 1,β ,β β = Koefisien regresi

1

X = Jumlah penduduk kabupaten pemekaran (Juta

jiwa)

2

X = PDRB (Milyar Rupiah)

3

X = Pengeluaran Pemerintah (Milyar Rupiah)

µ = Error Term

Secara matematis bentuk hipotesisnya adalah:

0 1> ∂X

Y

, artinya jumlah penduduk di kabupaten pemekaran (X ) 1

mengalami kenaikan, maka ketimpangan pendapatan ( Y ) akan mengalami kenaikan, ceteris paribus.

0

2 <

X

Y

, artinya PBRD di kabupaten pemekaran (X ) mengalami 2

kenaikan, maka ketimpangan pendapatan ( Y ) akan mengalami penurunan, ceteris paribus.

0 3< ∂X

Y

, artinya pengeluaran pemerintah (X ) mengalami kenaikan, 3

maka ketimpangan pendapatan ( Y ) akan mengalami penurunan, ceteris paribus.

3.6 Metode Analisis

Metode yang digunakan dalam penelitian ini pertama sekali dilakukan dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Metode ini dilakukan untuk melihat apakah metode ini mampu membentuk sebuah model ekonometrika yang konsisten dan lebih efisien untuk jenis data panel. Hal ini dikarenakan jenis data

Dokumen terkait