UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
MEDAN
ANALISIS KETIMPANGAN PENDAPATAN
ANTAR KABUPATEN PEMEKARAN DI SUMATERA UTARA
Skripsi
Diajukan Oleh :
LIA MAHARANI FADILLA 040501063
EKONOMI PEMBANGUNAN
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Medan
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis ketimpangan pendapatan
antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara dengan menggunakan data panel
dari tahun 2001-2006. Penelitian ini menggunakan uji Hausman dalam memilih
model terbaik untuk metode General Least Square (GLS) dan hasil uji tersebut
menunjukkan bahwa Rendom Effects Model (REM) yang digunakan dalam
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan antar
kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.
Berdasarkan hasil estimasi tersebut bahwa variabel jumlah penduduk (JP)
berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar
kabupaten pemekaran di Sumatera Utara. Sedangkan variabel PDRB (PDRB)
berpengaruh negatif dan signifikan, dan pengeluaran pemerintah (PP) berpengaruh
positif tetapi tidak signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten
pemekaran di Sumtera Utara.
Kata Kunci: Ketimpangan pendapatan, Jumlah penduduk, PDRB, Pengeluaran
ABSTRACT
The object of this research is to analyze inequality of incomes between the
unfold regent at Sumatera Utara using panel data in 2001-2006. This research is
examined with Hausman test in order to select the best model for Generalized
Least Square (GLS). The result of the test show Random Effects Model (REM)
used to analizy the factors that inequality of incomes between the unfold regent at
Sumatera Utara.
Based on the estimation the net of people (JP) influences significantly the
inequality of incomes between unfold regent at Sumatera Utara. While PDRB
variable (PDRB) have negative sign but significantly the inequality incomes and
expenditures (PP) have positif sign but insignificant the inequality incomes.
Keywords: Inequality of incomes, Net of people, PDRB, Expenditure, PDRB
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala atas
limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Dan
Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam, keluarga beliau, sahabat serta orang-orang yang
mengikuti beliau hingga hari akhir.
Skripsi yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar
Kabupaten Pemekaran di Sumatera Utara” ditujukan sebagai salah satu syarat
dalam rangka meraih gelar Sarjana Ekonomi dari program pendidikan Strata-1
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Sebagaimana ada pepatah yang berbunyi “Tak ada gading yang tak retak”
sehingga penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tentu belum
sempurna. Karena penulis hanyalah manusia yang tidak luput dari kekhilafan dan
kesalahan oleh karena itu penulis mohon maaf dan berharap dalam kesempatan
lain akan lebih baik lagi.
Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan serta
dorongan dari pihak lain. Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis yaitu Ayahanda H. M. Hafiz dan Ibunda Hj.
Murniati, yang telah mendidik, mengasihi, dan membimbing serta
mendukung penulis didalam doa sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
Serta telah memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis
beserta keponakanku Nazrah dan abrar, Abangda M. Affan Phalestin dan
Kakanda Dewi, serta Abangda M. Reza Bafilla dan Kakanda Wiwiek yang
memberi inspirasi bagi penulis.
2. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga,M.Ec selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Wahyu Ario Pratomo,SE,M.Ec selaku Ketua Departemen Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Paidi Hidayat, SE, MSi selaku dosen pembimbing penulis yang
telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran didalam membantu penulisan
skripsi ini.
5. Bapak Dr. Ramli, MS selaku dosen penguji I yang telah banyak
memberikan petunjuk, saran, dan kritik dalam penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku dosen penguji II yang juga telah
banyak memberikan petunjuk, saran, dan kritik dalam penyusunan skripsi
ini.
7. Bapak Kasyful Mahalli, SE, MSi selaku dosen wali yang telah
memberikan semangat dalam penulisan skripsi ini.
8. Seluruh staf pengajar dan karyawan pada Fakultas Ekonomi Universitas
Sumatera Utara khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan.
9. Kepada yang terkasih Mohd. Fachreza Saleh yang karena kasihnya
memberi motivasi dan mendukung penulis sehingga segera menyelesaikan
10.Kepada sahabat-sahabatku (Ema, Dewi, Momon, Hera, Sonya, Hikmah,
Windy, Lindy, Dafi, Adi, Irfan, Putra, Andi, Lia ndut) yang telah
memberikan dukungan serta semangatnya kepada penulis.
11.Teman-teman di Ekonomi Pembangunan khususnya angkatan 2004 yang
juga telah mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12.Kepada sahabat-sahabatku (Ulan dan Tia) yang telah banyak memberikan
bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
13.Sepupu-sepupuku Iin, Kak Ira, Kak Eka, Kak Indri, Kak Ika, Dina, Dini,
Fadli, Dian, yang selalu memberi semangat kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
14.Kepada seluruh pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga Allah membalas segala budi dan pengorbanan yang telah
diberikan. Akhir kata penulis mengharapkan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat
dan membantu semua pihak yang memerlukannya, terutama rekan mahasiswa
Ekonomi Pembangunan.
Medan, Mei 2008
Penulis
Lia Maharani
DAFTAR ISI DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi ... 9
2.2 Ketimpangan Antar daerah...
12
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian ...
26
3.2 Jenis dan Sumber Data ...
26
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...
27
3.4 Pengolahan Data ...
3.5 Model Analisis ...
27
3.5.1 Regional Income Disparities ...
27
3.5.2 Potensi Ekonomi ...
28
3.5.3 Model Analisis Ekonometrika ...
29
3.6 Metode Analisis ...
31
3.7 Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian) ...
32
3.7.1 Koefisien Determinasi (R-Square) ...
32
3.7.2 Uji t-statistik ...
32
3.7.3 Uji F-statistik ...
34
3.8 Defenisi Operasional ...
35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ...
37
4.1.1 Perkembangan dan Struktur Ekonomi ...
37
4.1.2 Analisis Ketimpangan Pembangunan ...
38
4.1.3 Potensi Ekonomi ...
40
4.2 Analisis Data ...
4.2.1 Analisa Hasil Estimasi dengan GLS ...
42
4.2.1.1 Uji Hausman ...
44
4.2.1.2 Rendom Effect Model (REM) ...
45
4.2.2 Interpretasi Model ...
45
4.2.2.1 Jumlah Penduduk (X1) ...
45
4.2.2.2 PDRB (X2) ...
46
4.2.2.3 Pengeluaran Pemerintah (X3) ...
46
4.2.3 Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit) ...
47
4.2.4.1 Koefisien Determinasi (R-Square) ...
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
1.1 Laju Pertumbuhan Penduduk dan PDRB Indonesia dan
Sumatera Utara
4
4.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Pemekaran di Sumatera Utara
Tahun 2001-2006
37
4.2 Indeks Williamson Antar Kabupaten Pemekaran di Sumatera Utara
Tahun 2001-2006 39
4.3 Indeks Location Quotient Kabupaten pemekaran
di Sumatera Utara Tahun 2004-2006
42
4.4 Hasil Estimasi GLS (FEM dan REM)
45
4.5 Hasil Uji Hausman untuk fixed effect dengan rendom effect
46
4.6 Hasil Estimasi Rendom Effect Model (REM)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Regression Model GLS Fixed Effect (FEM)
Lampiran 2 Hasil Regression Model GLS Random Effect (REM)
Lampiran 3 Hasil Hausman Test
Lampiran 4 Data Ketimpangan Pendapatan, Jumlah Penduduk, PDRB, dan
Pengeluaran Pemerintah Kabupaten Pemekaran di Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Perkembangan pemekaran wilayah Kabupaten/kota yang begitu pesat di
Propinsi Sumatera Utara, telah menambah jumlah Kabupaten/kota pada tahun
2004 menjadi 25 Kabupaten/kota, yang terbagi dalam 18 kabupaten, 7 kota, 326
kecamatan, 5466 desa/kelurahan dengan ibukota propinsinya Medan dengan luas
2
256km dan jumlah penduduk ± 2 juta jiwa. Hubungan eksekutif dan legislatif di
Sumatera Utara terbina dengan sangat baik. Hal ini terlihat pada saat pemilihan
kepala daerah yang berlangsung secara demokratis.
Dalam perkembangan perekonomian, Sumatera Utara sejak masa krisis
ekonomi tahun 1998 terus mengalami perbaikan dengan ditandai oleh
pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara yang terus mengalami peningkatan
pertumbuhan dari 4,81 persen pada tahun 2003 menjadi 5,74 pada tahun 2004.
Pembangunan ekonomi masyarakat hakekatnya merupakan usaha yang
dapat ditempuh untuk meningkatkan pendapatan masyarakatnya. Menurut Meier
(Gemmell, 1994: 196) pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat
menciptakan pendapatan riil perkapita sebuah negara meningkat untuk periode
jangka panjang dengan syarat, sejumlah orang hidup dibawah garis kemiskinan
mutlak tidak naik, dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang.
Tetapi berbicara mengenai masalah ketertinggalan, negara ini
sesungguhnya sedang mengalami proses ketertinggalan yang lambat tetapi pasti.
ketimpangan pendapatan, pendidikan, maupun ketimpangan kualitas institusi
birokrasi di negara ini. Salah satu hasil studi William Easterly (2006)
mengungkapkan bahwa tingkat ketimpangan (inequality) yang tinggi merupakan
penghambat dari kemakmuran, tumbuhnya institusi yang berkualitas, dan
berkembangnya pendidikan yang bermutu tinggi.
Laporan Bank Dunia (2005) bertajuk World Development Report
menyebutkan dalam pengantarnya bahwa keadilan (equity) adalah salah satu
aspek fundamental dalam mencapai kemakmuran jangka panjang bagi masyarakat
secara keseluruhan. Meskipun begitu, perdebatan mengenai pengaruh
ketimpangan terhadap pembangunan ekonomi masih berlanjut dengan serius.
Dalam hal ini perlu ditegaskan, bahwa ketimpangan berkaitan dengan distribusi
hasil (outcomes) seperti pendapatan, kemakmuran, konsumsi, dan
dimensi-dimensi lain dari apa yang disebut sebagai kesejahteraan (well being). Sedangkan
ketidakadilan (inequality) merujuk pada distribusi kesempatan (opportunities)
yang mencakup aspek-aspek ekonomi, politik, dan sosial.
Gelombang pertama (first wave) literatur mengenai pembangunan
berargumentasi bahwa tingkat ketimpangan yang tinggi dapat mempercepat
pertumbuhan dengan mengarahkan pendapatan lebih banyak lagi kepada para
pemodal bertabungan tinggi (high saving capitalist) (Lewis, 1954, Kaldor, 1956,
1961). Argumen ini berangkat dari standar hipotesis dimana tingkat tabungan
individu akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan. Ketika
redistribusi sumberdaya dari golongan kaya ke golongan miskin cenderung
kapital akan menurun seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya
ketidaksamaan cenderung meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Ketimpangan pembangunan pada prinsipnya merupakan ketimpangan
ekonomi yang mengandung makna kemiskinan dan kesenjangan. Agar
ketimpangan dan perkembangan antar suatu daerah dengan daerah lain tidak
menciptakan jurang yang semakin lebar, maka implikasi kebijaksanaan terhadap
daur perkembangan dari pembangunan haruslah dirumuskan secara tepat
(Suryana, 2000: 29).
Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan merupakan masalah pokok yang
dihadapi oleh setiap negara yang sedang berkembang dalam usaha pembangunan
yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi tersebar cukup merata dan diikuti dengan membaiknya taraf
hidup di bawah garis kemiskinan. Sasaran yang ingin dicapai pada umumnya
dalam pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang adalah untuk
mencapai tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertambahan penduduk (Robinson, 2004:
Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan Penduduk dan PDRB Indonesia dan Sumatera Utara
Laju Pertumbuhan Tahun Indonesia Sumatera Utara
Penduduk 1980-1990
Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara
Jumlah penduduk tersebar di Sumatera Utara ada di Kota Medan, yaitu
sebanyak 2.036.185 jiwa, merupakan 16,51 % dari total persentase keseluruhan
penduduk Sumatera Utara sejumlah 12.326.678 jiwa ditahun 2005. Sementara itu
PDRB perkapita yang tertinggi di Sumatera Utara tercapai pada tahun 2005 yaitu
sebesar Rp.7.130.696,- atau naik sebesar Rp.955.007,- dari tahun 2001 yang
merupakan suatu keadaan dimulainya kebijakan otonomi daerah dan juga
pemekaran wilayah.
Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses
yang menyebabkan GNP (Gross National Product) perkapita atau pendapatan
masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang (Sirojuzilam, 2005: 1).
Walaupun banyak mendapat tanggapan dikalangan masyarakat namun tidak dapat
disangkal bahwasanya pemerataan pembangunan merupakan salah satu indikator
keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara (Todaro, 1994:
164).
Sebelum diberlakukannya kebijakan otonomi daerah tahun 1999,
pemerintah daerah baik tingkat propinsi (Dati I) maupun kabupaten/kota (Dati II)
lebih banyak tergantung pada pemerintah pusat (Kuncoro, 1995). Dalam hal ini,
keikutsertaan subsidi dari pemerintah pusat dalam struktur penerimaan pemerintah
daerah sangat tinggi, jauh melebihi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Studi Rappaport (1999) dimaksudkan untuk mengkaji empat kelompok
fakta-fakta empiris dari pertumbuhan ekonomi antar daerah (lokal) di Amerika
Serikat dengan menggunakan data panel berbagai atribut lokal Amerika Serikat
tahun 1970-1990. salah satu kelompok fakta empiris yang dikaji adalah
korelasi-korelasi kebijakan anggaran pemerintah dari pertumbuhan ekonomi lokal. Dalam
hal hubungan antara kebijakan anggaran pemerintah lokal dengan pertumbuhan
ekonomi lokal tersebut (dilihat dari tiga indikator: migrasi netto, pertumbuhan
pendapatan per kapita, dan pertumbuhan harga perumahan), dari
estimasinya-estimasinya, Rappaport mendapatkan empat fakta proses pertumbuhan ekonomi
lokal di Amerika Serikat.
Keempat fakta proses pertumbuhan ekonomi lokal Amerika Serikat
tersebut adalah: pertama, bahwa dari tahun 1970 sampai 1990, pertumbuhan
ekonomi lokal berkorelasi negatif dengan besaran keuangan pemerintah lokal;
kedua, pertumbuhan ekonomi lokal sepanjang periode yang diamati berkorelasi
positif dengan pengeluaran pemerintah lokal untuk pendidikan dasar dan
pendidikan menengah; ketiga, pertumbuhan ekonomi daerah tahun 1970 sampai
pertumbuhan ekonomi daerah berkorelasi negatif dengan pajak penjualan tertentu
yang diambil oleh pemerintah lokal. Tampak yang diamati di sini bukan hanya
komposisi investasi pemerintah tetapi juga komposisi penerimaan pemerintah
lokal.
Berdasarkan uraian diatas, penulis menganalisa sejauh mana peran
pendapatan perkapita daerah pemekaran dapat mempengaruhi ketimpangan
pendapatan suatu daerah pemekaran, dengan judul : “Analisis Ketimpangan
Pendapatan Antar Kabupaten Pemekaran Di Sumatera Utara”.
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang dapat diambil
sebagai dasar dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh jumlah penduduk terhadap ketimpangan pendapatan
antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara?
2. Bagaimana pengaruh PDRB terhadap ketimpangan pendapatan antar
kabupaten pemekaran di Sumatera Utara?
3. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan
pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara?
1.3Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara atau kesimpulan sementara
terhadap permasalahan yang menjadi objek penelitian, yang kebenarannya masih
harus diuji atau dibuktikan secara empiris. Dari rumusan masalah di atas, maka
1. Tingkat jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap ketimpangan
pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.
2. Jumlah PDRB berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendapatan antar
kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.
3. Pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif terhadap ketimpangan
pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.
1.4 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka
tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh jumlah penduduk terhadap
ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh PDRB terhadap ketimpangan
pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap
ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.
1.5Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Menambah, melengkapi sekaligus sebagai pembanding hasil-hasil
penelitian yang sudah ada yang menyangkut topik yang sama.
2. Sebagai informasi dan bahan referensi bagi penelitian-penelitian
3. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi
mahasiswa fakultas ekonomi, khususnya mahasiswa Departemen Ekonomi
Pembangunan.
4. Sebagai tambahan wawasan bagi penulis untuk mengetahui bagaimana
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi mencakup pengertian yang sangat luas dan tidak
hanya sekedar menaikkan pendapatan perkapita pertahun saja. Bahkan inidikator
PNB, sebagai indikator utama, tidak selalu dapat menggambarkan suksesnya
suatu pembangunan. Indiktor-indikator yang lain seperti pendidikan, distribusi
pendapatan, jumlah penduduk miskin, juga menunjukkan keberhasilan
pembangunan. Pengalaman pada dekade tahun 1950-an dan tahun 1060-an telah
membuktikan hal ini. Pada saat itu banyak negara-negara dunia ketiga mencapai
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sesuai dengan target namun gagal
dalam meningkatkan taraf hidup sebagian besar masyarakatnya. Masalah-masalah
sosial seperti pengangguran, kesenjangan pendapatan, dan sebagainya tidak
mengalami perbaikan. Melihat kenyataan ini, semakin banyak para ahli yang
menganggap GNP (Gross National Product) sebagai indikator tunggal
pembangunan tidak berhasil. Selama dekade tahun 1970-an mulai muncul
pandangan bahwa tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan bukan
menciptakan tingkat pertumbuhan GNP yang tinggi melainkan penghapusan atau
pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan,
penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang.
Dalam pengertian ekonomi yang murni, pembangunan secara tradisional
mengandung pengertian kapasitas perekonomian nasional yang kondisi ekonomi
untuk menghasilkan dan mempertahankan tingkat kenaikan produksi nasional
kotor (PNK).
Pembangunan ekonomi dipandang sebagai kenaikan dalam pendapatan
perkapita dan lajunya pembangunan ekonomi ditujukan dengan menggunakan
tingkat pertambagan PDB (Produk Domestik Brutto) untuk tingkat nasional dan
PDRB untuk tingkat wilayah atau regional. Tingkat PDB ini juga ditentukan oleh
lajunya pertumbuhan penduduk lebih dari PDRB maka ini menunjukkan
perubahan terhadap pendapatan perkapita, maka pertambahan PDRB ini tidak
memperbaiki tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Pembangunan
menyangkut perubahan mendasar dari seluruh struktur ekonomi dan ini
menyangkut perubahan-perubahan dalam produksi dan permintaan maupun
peningkatan dalam distribusi pendapatan dan pekerjaan. Konsekuensinya adalah
diciptakan perekonomian yang lebih beragam.
Tujuan dari pembangunan ekonomi adalah untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh kecenderungan kenaikan
pendapatan perkapita dalam jangka panjang. Tapi ini bukan berarti kenaikan
pendapatan perkapita yang terus-menerus. Banyak faktor yang dapat
menyebabkan perekonomian mengalami stagnan bahkan kemunduran seperti
perang, kekacauan politik, dan lain-lainnya. Apalagi jika kemunduran
perekonomian hanya terjadi sementara saja dan perekonomian cenderung
meningkat maka dapat dikatakan pembangunan ekonomi sedang berlangsung.
Atas dasar inilah maka pembangunan ekonomi perlu dipandang sebagai
suatu proses saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang
peristiwa-peristiwa apa saja yang menimbulkan peningkatan maupun penurunan
kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dalam suatu tahap pembangunan
ke tahap pembangunan lainnya.
Menurut Gant (1971) ada dua tahap dalam tujuan pembangunan yaitu
tahap pertama pembangunan bertujuan untuk menghapuskan kemiskinan. Jika
tujuan ini sudah tercapai maka tahap kedua adalah menciptakan
kesempatan-kesempatan bagi warganya untuk dapat mencukupi segala kebutuhannya.
Adapun sasaran yang ingin dicapai dari pembangunan (Suryana, 2000:29)
antara lain:
1. Dipenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan serta
peralatan sederhana dari berbagai kebutuhan yang secara luas
dipandang perlu oleh masyarakat yang memerlukan.
2. Dibutuhkan kesempatan yang luas untuk memperoleh berbagai jasa
publik, pendidikan, kesehatan, pemukiman yang dilengkapi
infrastruktur yang layak serta komunikasi dan lain-lain. Dijaminnya
hak untuk memperoleh kesempatan kerja yang produktif yang
memungkinkan adanya balas jasa yang setimpal untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga.
3. Terbinanya prasarana yang memungkinkan produksi barang dan jasa
atau pedagang internasional untuk memperoleh keuntungan dengan
kemampuan untuk menyisihkan tabungan untuk pembiayaan
usaha-usaha selanjutnya.
4. menjamin partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan
2.2 Ketimpangan Antar daerah
Peningkatan pendapatan perkapita memang menunjukkan tingkat
kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan
perkapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan telah
merata. Seringkali di negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih
menekankan penggunaan modal daripada penggunaan tenaga kerja sehingga
keuntungan dari perkonomian tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat saja.
Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh
lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan dalam
distribusi pendapatan.
Berkaitan dengan pembangunan ekonomi regional, Williamson (1965)
menyatakan bahwa dalam tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi
lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap
yang lebih maju, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak bahwa keseimbangan
antar daerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.
Myrdal (1957) menyatakan bahwa tingkat kemajuan ekonomi antar
daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash
effect) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effect) terhadap
pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan.
Pelaku-pelaku yang memiliki kekuatan di pasar secara normal akan meningkat
bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad,
1999).
Ketimpangan antar daerah juga disebabkan oleh mobilisasi
lain akumulasi modal, tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki. Adanya
heterogenitas dan beragam karateristik suatu wilayah menyebabkan
kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi
suatu daerah. Melihat fakta ini dapat dikatakan bahwa disparitas regional
merupakan konsekuensi dari pembangunan itu sendiri.
Pendapatan perkapita banyak digunakan sebagai tolak ukur untuk
mengukur ketimpangan dalam suatu daerah. Pendapatan ini tidak dilihat dari
tinggi tidaknya pendapatan melainkan apakah pendapatan tersebut terdistribusikan
secara merata atau tidak ke seluruh masyarakat.
Alisjahbana dan Akita (2002), melakukan studi tentang kesenjangan
pendapatan regional dengan membandingkan Cina dan Indonesia, dan
menunjukkan bahwa terjadi penurunan kesenjangan selama krisis ekonomi. Kim
(1996), dengan penelitian di Korea menjelaskan bahwa sektor publik lokal
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Korea
selama periode 1970-1991. Knowles (2002) dengan menggunakan model
pertumbuhan Barro, menjelaskan bahwa tidak ada bukti yang signifikan hubungan
antara inequality dan pertumbuhan ekonomi. Yilmaz (2002), meneliti bagaimana
pola dan struktur perekonomian cenderung konvergen atau divergen. Hasilnya
menjelaskan bahwa perbedaan wilayah dan perilaku temporal dari perekonomian
nasional mempunyai efek terhadap kecepatan kondisi konvergensi. Ying (2000)
melakukan penelitian di Cina tentang kesenjangan regional di 30 propinsi di Cina
periode tahun 1978-1994.
Kuncoro (2002), dengan menggunakan indeks Entropy Theil, menjelaskan
tahun 1983 mendorong kecenderungan konsentrasi geografis di Indonesia. Martin
dan Ottaviano (2001), menyebutkan bahwa ada hubungan yang kuat antara
pertumbuhan ekonomi dan aglomerasi. Bahwa kenaikan pertumbuhan urbanisasi,
tetapi juga karena adanya pengelompokan industri secara parsial terhadap
pertumbuhan, untuk 16 negara di Eropa selama periode 1984-1995. Hasilnya
menjelaskan bahwa persebaran yang sama untuk kegiatan ekonomi berpengaruh
baik terhadap pertumbuhan ekonomi.
Isu kesenjangan ekonomi antar daerah telah lama menjadi bahan kajian
para pakar ekonomi regional. Hendra Asmara (1975) merupakan peneliti pertama
yang mengukur kesenjangan ekonomi antar daerah. Berdasarkan data dari tahun
1950 hingga 1960, ia menyimpulkan Indonesia merupakan negara dengan
katagori kesenjangan daerah yang rendah apabila sektor migas diabaikan.
Ardani (1966) telah menganalisis kesenjangan pendapatan dan konsumsi
antar daerah dengan menggunakan indeks Williamson selama 1968-1993 dan
1983-1993. Kesimpulannya mendukung hipotesis Williamson (1965) bahwa pada
tahap awal pembangunan ekonomi terdapat kesenjangan kemakmuran antar
daerah. Namun semakin majunya pembangunan ekonomi kesenjangan tersebut
semakin menyempit. Studi Ardani agaknya sejalan dengan hasil studi Akita dan
Lukman (1994) yang menemukan tidak terdapatnya perubahan kesenjangan
ekonomi antar daerah selama 1983-1990. Dalam konstelasi perkembangan
terakhir di Indonesia, kesenjangan ekonomi setidaknya dapat dilihat dari tiga
dimensi yaitu berdasarkan tingkat kemodernan, regional dan etnis. Dilihat dari
tingkat kemodernan terdapat kesenjangan antara sektor modern dan sektor
sedangkan sektor tradisional berada di pedesaan dan sektor tradisional. Sementara
kesenjangan regional adalah kesenjangan antara Katimin (Kawasan Timur
Indonesia) dan Kabarin (Kawasan Barat Indonesia). Sedangkan kesenjangan
menurut etnis yaitu kesenjangan antara pribumi dan non-pribumi.
Otonomi daerah harus benar-benar diarahkan pada optimalisasi manfaat
yang akan diterima oleh masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun dalam
jangka panjang. Jika otonomi tidak dilaksanakan dengan
pertimbangan-pertimbangan tadi, atau rendahnya komitmen serta kesiapan daerah dalam
melaksanakan otonomi tersebut, bukannya akan menimbulkan efek positif dalam
pemberdayaan ekonomi daerah, tetapi justru mengancam kondisi perekonomian
secara keseluruhan.
Beberapa sumber kebocoran ekonomi ketika otonomi dilaksanakan tidak
sungguh-sungguh atau kesiapan daerah dan pusat tidak “memadai”, dapat
diidentifikasi antara lain (Prud’ Homme, 1995): Pertama, semakin tingginya
disparitas antar daerah. Hal ini didasarkan kepada anggapan bahwa potensi dan
kemampuan setiap daerah berbeda-beda, terutama dalam pemilikan sumber daya.
Sementara itu, desentralisasi berarti memberikan kewenangan yang luas kepada
daerah dalam mengurusi aktivitasnya termasuk aktivitas ekonomi. daerah bebas
dalam mengolah sumber daya, menerapkan kebijakan-kebijakan fiskal (memungut
pajak, retribusi, dan melakukan belanja), serta dalam menentukan arah
pembangunan ekonominya demi kesejahteraan rakyat dalam daerah yang
bersangkutan. Akhirnya, karena potensi dan kemampuan daerah berbeda-beda,
struktur yang lebih seimbang akan melaju cepat, sementara itu daerah yang miskin
akan ketinggalan.
Kedua, inefisiensi produksi dan alokasi sebagai akibat desentralisasi murni
disebabkan karena daerah akan memaksakan diri dalam melakukan produksi suatu
komoditas tertentu meskipun secara ekonomis tidak terlalu menguntungkan.
Selain itu, terdapat kemungkinan suatu komoditas hanya akan efisien jika
diproduksi dalam skala besar (economics of scale), tetapi karena daerah
memaksakan diri untuk memproduksinya, maka yang terjadi adalah banyaknya
perusahaan sejenis dalam skala yang relatif kecil. Masih dalam koteks pemaksaan
diri dalam memproduksi suatu komoditas, maka secara nasional dapat dinilai juga
sebagai inefisiensi dalam alokasi sumber daya. Sumber daya yang seharusnya
dialokasikan untuk komoditas lain, karena motivasi kemandirian, akhirnya
dialokasikan kepada komoditas tertentu yang kurang efisien.
Ketiga, instabilitas yang berpangkal dari luasnya kewenangan daerah
dalam menetapkan kebijakan fiskal. Dengan keluasan pemerintah daerah dalam
menetapkan kebijakan tersebut, maka efektivitas kebijakan fiskal yang digulirkan
oleh pemerintahan pusat akan berkurang. Dengan demikian apabila terjadi suatu
masalah dalam perekonomian, sulit bagi pemerintahan nasional untuk
mengatasinya, dan efek dari kebijakan fiskal bagi setiap daerah akan
berbeda-beda.
Argumentasi di atas, nampaknya didukung oleh data-data Laporan Bank
Dunia Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa: “meskipun desentralisasi fiskal
memberikan manfaat di beberapa negara seperti China, India, negara-negara
memunculkan 3 (tiga) permasalahan utama, yaitu: meningkatnya ketidakadilan
(kesenjangan), instabilitas makroekonomi, dan adanya resiko kewenangan lokal
yang dapat menyebabkan kesalahan dalam alokasi sumber daya” (World
Development Report: The State in a Changing World, 1997).
Meskipun kondisi Indonesia tidak sama dengan negara-negara
sebagaimana yang diteliti oleh Bank Dunia, namun hal tersebut dapat dijadikan
pelajaran untuk memacu kinerja kebijakan desentralisasi yang digulirkan
Pemerintah Indonesia lebih baik. Artinya, hal-hal negatif yang muncul di
beberapa negara dalam konteks desentralisasi ini, terutama ketidaksiapan pusat
dan daerah, harus mampu dieliminasi.
Pembangunan yang dilakukan di daerah-daerah pada dasarnya adalah juga
pembangunan nasional. Atas dasar pemikiran itu, muncul pendekatan
pembangunan atas dasar sektor-sektor kegiatan tanpa memperhatikan lokasinya.
Namun, dalam perkembangannya pendekatan tersebut dirasakan kurang lengkap,
karena kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua daerah memiliki kondisi dan
potensi yang sama, sehingga muncul permasalahan kesenjangan (inequality) dan
inefisiensi dalam pembangunan.
Masih dalam tataran konsepsi pembangunan nasional, muncul pendekatan
yang lebih memperhatikan kondisi dan potensi setiap region dalam suatu nation
tertentu, yaitu pendekatan pembangunan regional. Pendekatan pembangunan
regional, pada babak selanjutnya terus berkembang dan menjadi perhatian baik di
kalangan praktisi maupun di kalangan akademisi.
Yang semula banyak didasarkan atas pertimbangan ekonomi saja,
kualitas dan kuantitas pelayanan dari pemerintah serta tuntutan kemandirian dan
partisipasi pembangunan. Kini masalah kebijakan pembangunan regional tidak
lagi hanya dikaitkan dengan masalah efisiensi dan pemerataan saja, melainkan
pula dikaitkan dengan masalah pelayanan kepada masyarakat dan perkembangan
aspirasi masyarakat tersebut.
Kebijakan pembangunan merupakan unit pemerintahan pada tingkat
manapun yang mengimplementasikannya, secara ekonomis ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator terjadinya
peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah meningkatnya pendapatan
perkapita. Dan peningkatan pendapatan perkapita ini bisa dicapai apabila terjadi
pertumbuhan dalam bidang ekonomi.
Ada dua alternatif kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
regional yang ketinggalan menurut Richardson (Baban Sobandi, 2000). Pertama,
jika efisiensi nasional merupakan tujuan utama yang harus dicapai, maka
kebijakan mendorong migrasi tenaga kerja inter-regional lebih baik dari pada
mendorong relokasi industri. Tetapi jika pemuasan preferensi-preferensi
lokasional merupakan prioritas yang lebih tinggi, maka usaha untuk mendorong
perpindahan modal harus lebih ditekankan. Kedua, metode “tenaga kerja keluar
pekerjaan masuk” (labour out jobs in) dapat dilakukan jika yang merupakan
permasalahan regional adalah ketidakseimbangan pasar tenaga kerja lokal dan
untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan pengangguran regional.
Bagi masyarakat di daerah, baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang
perubahan dan perbaikan kinerja kebijakannya termasuk kinerja kebijakan
ekonomi makronya. Hal ini didasarkan kepada kenyataan bahwa pemerintah
daerah sekarang ini telah diberikan keleluasaan dalam perumusan dan penetapan
kebijakan daerah, dan untuk melaksanakan kebijakan tersebut telah dialokasikan
dana perimbangan dari kas negara.
Otonomi daerah dalam bidang fiskal sebagaimana tertuang dalam kedua
undang-undang tersebut, termasuk Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang
perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, pada dasarnya merupakan instrumen yang paling memungkinkan bagi
daerah, terutama Daerah Kabupaten/Kota, untuk mampu berperan dalam
memberdayakan ekonomi daerahnya. Akan tetapi kebijakan tersebut bukan tidak
ada bahayanya, terutama jika implementasi kebijakan tersebut tidak dilengkapi
dengan instrumen pengendalian yang memadai oleh pemerintah pusat ataupun
pemerintah daerah propinsi sebagai wakil pemerintah pusat. Pengeluaran
(expenditure atau spending) pemerintah daerah yang tidak terkendali yang
bersumber dari PAD, Dana Perimbangan ataupun pinjaman daerah (Dalam Negeri
maupun Luar Negeri) sehingga mengakibatkan defisit yang berlebihan, akan
berdampak kepada kondisi stabilitas makro ekonomi.
Dalam pengertian ini, pemerintah harus mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah sedemikian rupa dengan berbagai program pembangunan yang
diarahkan kepada sektor-sektor produktif di daerah. Pembiayaan pembangunan
harus betul-betul diarahkan kepada sektor-sektor yang secara langsung mampu
mendorong terciptanya kegiatan produktif masyarakat, penciptaan nilai tambah,
tetap memperhatikan sektor-sektor lainnya yang secara langsung dapat menunjang
peningkatan kualitas sumber daya manusia, penyediaan sumber-sumber produksi
dan sebagainya.
Kita sadari bahwa dalam kondisi dewasa ini, perekonomian daerah yang
pada umumnya masih mengandalkan kepada sektor pertanian dirasakan sudah
kurang mampu menghasilkan tingkat produktivitas ekonomi yang tinggi. Kondisi
ini berbeda dengan struktur perekonomian nasional yang telah cenderung di
dominasi oleh produktivitas sektor sekunder, yaitu sektor perindustrian
bersama-sama sektor jasa-jasa. Memang, dalam periode krisis ekonomi seperti yang terjadi
pada tahun 1997-1998 yang lalu, perekonomian daerah cenderung bertahan justru
karena sektor pertanian tidak terkena dampaknya.
Akan tetapi dalam kondisi normal hal itu tidak dapat dibiarkan terus
berlangsung, karena bagaimanapun pertumbuhan ekonomi yang hanya didominasi
oleh sektor primer, pada akhirnya cenderung akan tertinggal dan terus merosot.
Akibatnya, kondisi kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat juga akan semakin
merosot pula, karena daya beli masyarakat yang cenderung menurun. Akibat
lanjutannya, pemerintah daerah juga akan menemukan kesulitan dalam menarik
dana dari masyarakat melalui sistem perpajakan daerah. Jika ini yang terjadi,
maka perekonomian daerah kembali akan sangat bergantung kepada
kekuatan-kekuatan ekonomi eksternal, baik yang berasal dari daerah lain yang bertetangga,
bantuan-bantuan pemerintah atau propinsi, bahkan kekuatan perekonomian global
yang masuk ke daerah yang bersangkutan.
Dengan semakin luasnya otonomi daerah yang dapat diselenggarakan di
baik lagi dalam memberikan insentif bagi pertumbuhan kemandirian ekonomi
daerah. Namun demikian, hendaknya pemerintah daerah tidak terjebak
kepada opsi kebijakan yang cenderung terlalu bersifat redistributif, dengan
mengobral subsidi ataupun bantuan-bantuan sosial ekonomi yang tidak mendidik
masyarakat untuk produktif dan memiliki daya saing. Sebaliknya, masyarakat juga
sebaiknya jangan selalu mengharapkan bahwa pemerintah daerah akan datang
memberikan paket-paket bantuan seperti itu, karena pada kenyataannya
kemampuan daerah sangat terbatas. Jika kita perhatikan, kontribusi pengeluaran
pemerintah daerah dalam PDRB secara umum hanyalah berkisar antara 10%
hingga 20% dari total PDRB daerah. Ini berarti peranan ekonomi pemerintah
sendiri dalam perekonomian daerah adalah relatif rendah. Namun yang terpenting
adalah seberapa jauh program pembelanjaan anggaran daerah dapat memberikan
efek penggandaan (Multiplier Effect) yang cukup signifikan bagi terciptanya
peningkatan pertumbuhan ekonomi produktif masyarakat. Oleh karena itu strategi
dasar yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah sejalan dengan kebijakan
otonomi yang berlaku, dampaknya adalah menciptakan efisiensi ekonomis dan
efektivitas program-program pembelanjaan daerah.
Dalam pembebanan kewenangan dan tanggung jawab pada berbagai
tingkatan pemerintahan, Bryant dan White (1989) menyarankan hal-hal sebagai
berikut: Pertama, suatu proyek atau program hendaknya diserahkan pada
organisasi apapun yang memiliki “insentif” untuk melaksanakannya. Kedua,
“lingkungan politis” suatu organisasi harus menunjang pelaksanaan proyek atau
program tersebut. Ketiga, bahwasanya kebanyakan proyek melibatkan beberapa
berinteraksi menjadi penting untuk diperhatikan. Keempat, harus dibuat
pilihan-pilihan dengan mempertimbangkan bukan hanya kapasitas yang telah dimiliki
organisasi, melainkan juga sehubungan dengan pengembangan kemampuan
kelembagaan organisasi-organisasi di daerah itu sendiri.
Cara lain untuk mempertimbangkan kapan suatu aktivitas pembangunan
dilaksanakan oleh pemerintahan tingkat nasional dan kapan dilakukan oleh
pemerintahan regional tergantung kepada tiga hal yaitu: Pertama, banyaknya
informasi yang diperlukan. Sejauh bahwa kebijakan itu didasarkan pada
pengetahuan dan pemahaman yang baik serta pada kepastian tentang prosedur
serta hasil akhir, maka dapat dijalankan pengarahan dan kontrol sentral yang lebih
besar. Tetapi kalau suatu kebijakan dioperasikan dalam konteks yang tidak
menyediakan informasi yang cukup lengkap, preferensi dan kebutuhan-kebutuhan
konsumennya kurang jelas, dan tugas-tugas administratornya kabur, maka
sebaiknya dilaksanakan di tingkat daerah.
Kedua, cara pemasokan komoditas yang diperlukan oleh masyarakat
konsumen. Ada barang-barang yang harus diproduksi pada skala besar dan
memerlukan modal yang besar (capital intensive), namun ada pula barang atau
jasa yang pemasokannya melibatkan kontak antar individu, misalnya pelayanan
kesehatan. Untuk komoditas jenis pertama lebih baik dilakukan atau dipasok pada
tingkat nasional. Sementara itu, untuk jenis yang kedua lebih baik dipasok pada
tingkat regional atau lokal, karena lebih sulit dipantau, bervariasi sesuai dengan
lokasinya, dan sangat bergantung kepada pandangan masyarakat. Semakin banyak
besar karena kesulitan mengawasi mutu hubungan antar pribadi dan sukarnya
mengukur hasil.
Ketiga, peraturan dan daya tanggap. Peraturan dan pengaturan berarti
memberlakukan standar-standar yang adil. Dan keadilan sering tercapai dengan
baik bila pengaturan ditangani di tingkat nasional. Namun, bila daya tanggap
menjadi perhatian utama, mungkin bermanfaat jika dilakukan desentralisasi
tugas-tugas, sehingga petugas-petugas lokal dapat menyesuaikan programnya dengan
kondisi-kondisi lokal.
Sementara itu Leftwich, et.all (1980) menyatakan bahwa penentuan pihak
yang berwenang atas pelaksanaan dan pembiayaan pembangunan harus
didasarkan pada pertimbangan net benefit yang paling maksimal yang dapat
diperoleh dari pembangunan tersebut, yaitu pada saat marginal benefit sama
dengan marginal cost dari pengeluaran untuk barang atau jasa publik yang harus
disediakan. Prasyarat ini dikenal dengan equimarginal principle.
Pengeluaran pemerintah harus meningkat ketika manfaat dari rupiah
terakhir yang dikeluarkan lebih besar dari biayanya. Sementara itu, pengeluaran
pemerintah harus dikurangi ketika manfaat yang didapatkan dari rupiah terakhir
yang dikeluarkan lebih kecil dibandingkan dengan biayanya. Tingkatan
pemerintahan yang mempunyai equimarginal level yang lebih rendahlah yang
semestinya berwenang dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan
pembiayaan suatu jenis barang atau jasa publik.
Berdasarkan beberapa argumentasi tersebut, maka dari sudut pandang
benefit yang akan diterima oleh masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang akan dilakukan
dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan
dan menguji hipotesis penelitian. Dalam pengumpulan data yang diperlukan untuk
menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
3.1 Lokasi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, daerah penelitiannya adalah seluruh
kabupaten pemekaran di Sumatera Utara setelah adanya pemekaran daerah tahun
2001, yang terdiri dari 7 kabupaten pemekaran yaitu :
1. Kabupaten Mandailing Natal
2. Kabupaten Toba Samosir
3. Kabupaten Nias Selatan
4. Kabupaten Humbang Hasundutan
5. Kabupaten Pakpak Bharat
6. Kabupaten Samosir
7. Kabupaten Serdang Bedagai
3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
dalam bentuk data berkala (time series) dengan kurun waktu 2001-2006.
Sedangkan sumber data diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS)
3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian
kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan melalui
bahan-bahan kepustakaan berupa tulisan-tulisan ilmiah, jurnal, artikel, majalah,
lapoan-laporan penelitian ilmiah yang ada hubungannya dengan topik yang diteliti.
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah melakukan pencatatan
langsung berupa data time series dari tahun 2001 sampai 2006 ( 6 tahun ).
3.4 Pengolahan Data
Penulis menggunakan program komputer E-Views 5.0 untuk mengolah data
dalam skripsi ini.
3.5 Model Analisis
Dalam pembahasan akan dikemukakan bagaimana 4 model analisis berikut
terdapat ketimpangan serta potensi ekonomi di suatu daerah, yaitu:
3.5.1 Regional Income Disparities
Ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran yang terjadi
di Sumatera Utara dapat dianalisis dengan menggunakan indeks
ketimpangan regional (regional Inequality) yang dinamakan indeks
ketimpangan Williamson (Sjafrizal, 1997):
Index Williamson (IW) =
Y
Dimana: IW = Indeks Williamson
Yi = PDRB perkapita Kabupaten pemekaran
Fi = Jumlah penduduk Kabupaten pemekaran
n = Jumlah penduduk Sumatera Utara
Hasil perhitungan dengan metode indeks Williamson diatas
bersifat relatif karena pengukurannya semakin besar (mendekati 1),
maka ketimpangan akan semakin besar atau sangat tidak merata dan
sebaliknya jika nilai Vw semakin kecil (mendekati 0), maka
ketimpangan kecil/merata.
3.5.2Potensi Ekonomi
Yaitu metode analisis yang dipergunakan untuk melihat dan
menghitung potensi ekonomi daerah (keuntungan lokasi) dari setiap region
untuk suatu sektor tertentu.
Bentuk formulasi modelnya adalah:
∑∑
Dimana: LQij = Angka koefisien lokasi sektor i region j
Yij = PDRB sektor di region j (jutaan Rp)
= PDRB total seluruh sektor di region j (jutaan
Rp)
∑∑
=n == PDRB total seluruh sektor propinsi (jutaan Rp)
Bila:
LQij >1 = sektor/kegiatan ekonomi berpotensi untuk dikembangkan.
Lqij < 1 =sektor/kegiatan ekonomi kurang/tidak berpotensi untuk
dikembangkan.
3.5.3 Model Analisis Ekonometrika
Untuk menganalisis faktor yang menyebabkan terjadinya
ketimpangan pendapatan, maka diuji regresi antara Indeks Williamson
dengan jumlah penduduk, PDRB, dan pengeluaran pemerintah.
IW = f {X1,X2,X3} atau:
Dalam menganalisis data pada skripsi ini, penulis menggunakan
metode analisis data panel. Dimana data panel merupakan data campuran
cross section dan time series (Wahyu A. Pratomo, 2007). Penggunaan
data panel didasarkan pada kenyataan bahwa data yang tersedia,
seriesnya tidak mencukupi untuk dilakukan analisis. Model yang
digunakan adalah:
Y = Ketimpangan Pendapatan
α = Intercept/konstanta
3 2 1,β ,β
1
X = Jumlah penduduk kabupaten pemekaran (Juta
jiwa)
2
X = PDRB (Milyar Rupiah)
3
X = Pengeluaran Pemerintah (Milyar Rupiah)
µ = Error Term
Secara matematis bentuk hipotesisnya adalah:
0 1>
∂∂X Y
, artinya jumlah penduduk di kabupaten pemekaran (X ) 1
mengalami kenaikan, maka ketimpangan pendapatan ( Y ) akan
mengalami kenaikan, ceteris paribus.
0
2
<
∂
∂
X
Y
, artinya PBRD di kabupaten pemekaran (X ) mengalami 2
kenaikan, maka ketimpangan pendapatan ( Y ) akan mengalami
penurunan, ceteris paribus.
0 3<
∂∂X Y
, artinya pengeluaran pemerintah (X ) mengalami kenaikan, 3
maka ketimpangan pendapatan ( Y ) akan mengalami
penurunan, ceteris paribus.
3.6 Metode Analisis
Metode yang digunakan dalam penelitian ini pertama sekali dilakukan
dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Metode ini dilakukan untuk
melihat apakah metode ini mampu membentuk sebuah model ekonometrika yang
konsisten dan lebih efisien untuk jenis data panel. Hal ini dikarenakan jenis data
panel memiliki prilaku data yang berbeda (tidak seragam) di masing-masing
Menurut Gujarati (2003), yang menemukan bahwa mengestimasi jenis data
panel dengan metode OLS tidak konsisten dan efisien (inefisiensi), sehingga
disarankan untuk menggunakan metode Generalized Least Square (GLS). Dimana
dalam metode ini dapat dianalisis dengan dua model pendekatan, yaitu fixed
effects model (FEM) dan rendom effects model (REM). Kemudian dari kedua
model tersebut dapat ditentukan model yang terbaik untuk digunakan dalam
model persamaan ekonometrika.
Untuk menentukan model mana yang terbaik dalam metode GLS tersebut
maka dapat dilakukan dengan Uji Hausman, 1978 (Gujarati, 2003). Dan sebagai
alat bantu untuk mengolah data tersebut adalah dengan menggunakan program
Eviews 5.0.
3.7 Test of Goodness Fit (Uji Kesesuaian) 3.7.1 Koefisien Determinasi (R-Square)
Koefisien determinasi (R-Square) dilakukan untuk melihat
seberapa besar kemampuan variabel independen secara bersama mampu
memberi penjelasan terhadap variabel dependen.
3.7.2 Uji t-statistik
Uji t-statistik merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk
mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak
terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel lainnya konstan.
Dalam uji ini digunakan hipotesis sebagai berikut:
Ho : bi = b
Dimana bi adalah koefisien variabel independen ke-i nilai
parameter hipotesis, biasanya b dianggap = 0. Artinya tidak ada pengaruh
variabel Xi terhadap Y. Bila nilai t-hitung > t-tabel maka tingkat
kepercayaan tertentu Ho ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel
independen yang diuji berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap
variabel dependen. Nilai t-hitung diperoleh dengan:
Sbi b bi
t* = ( − )
Dimana: bi = koefisien variabel ke-i
b = nilai hipotesis nol
Sbi = simpangan baku dari variabel independen
ke-i
Kriteria Pengambilan Keputusan:
Ho : β = 0 Ho diterima (t*<ttabel) artinya variable independen
secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap
variabel dependen.
Ha : β≠ 0 Ha diterima (t*.ttabel) artinya variable independen
secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel
Ho diterima
Uji F-statistik ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh
variabel independen sevarabersama-sama terhadap variabel independen.
Untuk pengujian ini digunakan hipotesa sebagai berikut:
Ho ... : bi = b bk 2 = 0 (tidak ada
pengaruh)
Ha ... : bi ≠ 0 i = 0 (ada pengaruh)
Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan niali F-hitung
dengan F-tabel. Jika F-hitung > F-tabel maka Ho ditolak, yang berarti
variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel
dependen. Nilai F-hitung dapat diperoleh dengan rumus:
K = Jumlah variabel independen ditambah intercept dari
suatu model persamaan
n = Jumlah sampel
Kriteria pengambilan keputusan:
Ho : β1 = β2 = β3 = 0 Ho diterima (F*<Ftabel), artinya variable independen
secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata
terhadap variabel dependen.
Ha : β1 ≠β2 ≠β3 ≠ 0 Ha diterima (F*Ftabel), artinya variable independen
secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap
variabel dependen.
Ho diterima
0
Gambar 3.2 Kurva Uji F statistik
3.8 Defenisi Operasional
1. Ketimpangan pendapatan merupakan ketidakseimbangan pemerataan
2. Jumlah penduduk adalah akumulasi dari seluruh masyarakat yang ada di
suatu daerah tertentu dan dihitung berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan
perempuan di suatu daerah tertentu.
3. PDRB merupakan jumlah seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh
masyarakat pada suatu daerah dalam satu wilayah tertentu pada periode
tertentu.
4. Pengeluaran pemerintah adalah jumlah pengeluran yang dilakukan oleh
pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Hal ini
terkait dengan kemajuan suatu daerah atau wilayah baik dibidang
pendidikan, budaya, dan lain sebagainya.
5. Kabupaten pemekaran adalah kabupaten yang berdiri sendiri setelah
diberlakukannya otonomi daerah agar daerah yang dianggap terbelakang
mampu mengelola daerahnya sendiri, sehingga menjadi daerah yang lebih
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Perkembangan dan Struktur Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dari keberhasilan
pembangunan pembangunan yang dilaksanakan dalam bidang ekonomi.
Pertumbuhan tersebut merupakan rangkuman laju pertumbuhan berbagai
sektor ekonomi yang menggambarkan tingkat perubahan ekonomi yang
terjadi. Bagi daerah, indikator ini sangatlah penting untuk mengetahui
keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dan berguna untuk
menentukan arah pembangunan pada masa yang akan datang.
Tabel 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten pemekaran di Sumatera Utara Tahun 2001-2006 (%)
No Kabupaten 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rerata Rata-rata pertumbuhan ekonmi Kabupaten/kota pemekaran 5,85 Sumatera Utara 3,72 4,07 4,81 5,74 5,48 6,18 5,00 Sumber: BPS Sumut
Berdasarkan tabel 4.1 diatas, bahwa pertumbuhan ekonomi kabupaten
pemekaran di Sumatera Utara mengalami pertumbuhan yang fluktuatif
dengan pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara sebesar 5% pertahun.
Sedangkan kabupaten pemekaran yang mengalami pertumbuhan yang cukup
tinggi yaitu kabupaten Toba Samosir dan kabupaten Serdang Bedagai
dengan 9,34% dan 6,06% per tahun. Sementara kabupaten Nias Selatan dan
Samosir merupakan daerah yang pertumbuhan ekonominya cukup rendah
karena berada dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara yaitu
4,14% dan 4,54%.
4.1.2 Analisis Ketimpangan Pembangunan
Untuk memberikan gambaran terhadap disparitas atau ketimpangan
pembangunan antar kabupaten/kota pemekaran di Sumatera Utara, maka alat
analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson (IW). Berdasarkan hasil
analisis tersebut maka diperoleh nilai Indeks Williamson untuk
masing-masing kabupaten pemekaran di Sumatera Utara seperti yang ditunjukkan
Tabel 4.2 Indeks Williamson Antar Kabupaten Pemekaran di Sumatera Utara
Rata-rata Indeks Williamson 0,041
Sumber: BPS Sumut
Dari tabel di atas menunjukkan angka Indeks Williamson atau
ketimpangan PDRB perkapita antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara
selama periode 2001-2006, yaitu rata-rata sebesar 0,041. Angka ini memberi
arti bahwa ketimpangan pembangunan antar kabupaten pemekaran di
Sumatera Utara relatif kecil. Hal ini sesuai dengan kriteria dari Indeks
Williamson yang mengatakan bahwa jika angka IW semakin kecil atau
mendekati nol, maka ketimpangan akan semakin kecil pula atau dengan kata
lain semakin merata pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera
Utara.
Rendahnya nilai Indeks Williamson yang menunjukkan bahwa
semakin kecilnya tingkat ketimpangan pembangunan yang terjadi sehingga
tingkat pendapatan semakin merata. Tetapi hal ini tidak berarti menunjukkan
bahwa kabupaten pemekaran di Sumatera Utara lebih baik tingkat
kesejahteraan masyarakatnya dibandingkan dengan kabupaten lain yang ada
di Sumatera Utara juga. Semua ini disebabkan karena masing-masing
daya alam yang dimilikinya yang merupakan pemicu dalam pertumbuhan
ekonomi wilayah yang bersangkutan. Adanya keragaman budaya
(heterogenitas) dan keragaman karakteristik suatu wilayah dapat
menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar
sektor ekonomi suatu daerah.
Dari tabel 4.2 diatas dapat diketahui bahwa kabupaten Mandailing
Natal, Nias Selatan, dan Serdang Bedagai memiliki angka IW mendekati
angka rata-rata IW di Sumatera Utara. Hal ini berarti ketiga daerah tersebut
memiliki ketimpangan pendapatan yang cukup tinggi atau dengan kata lain
tidak meratanya pendapatan masyarakat. Hal ini juga dapat menyebabkan
tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang rendah.
4.1.3 Potensi Ekonomi
Wilayah Sumatera Utara memiliki potensi lahan yang cukup luas dan
subur untuk dikembangkan menjadi areal pertanian yang dapat menunjang
pertumbuhan industri. Dalam wilayah Sumatera Utara juga terkandung
bahan galian dan tambang seperti kapur, belerang, pasir kuarsa, kaolin,
diatone, emas, batu bara serta minyak dan gas bumi.
Kegiatan perekonomian yang terpenting di Sumatera Utara adalah di
sektor pertanian yang menghasilkan bahan pangan dan komoditi ekspor
seperti dari perkebunan, tanaman pangan, peternakan, perikanan dan
kehutanan. Sedangkan industri yang berkembang di Sumatera Utara adalah
industri pengolahan yang menunjang sektor pertanian, industri yang
Posisi strategis wilayah Sumatera Utara dalam jalur perdagangan
internasional, ditunjang oleh adanya berbagai pelabuhan udara dan laut yaitu
pelabuhan udara Polonia, Pinang Sori, Binaka, Aek Godang, dan pelabuhan
laut Belawan, Sibolga, Gunung Sitoli, Tanjung Balai, Teluk Bitung, Kuala
Tanjung, dan Labuhan Bilik. Disamping fasilitas pelabuhan ini, sektor jasa
berkaitan dengan fasilitas perbankan dan jasa-jasa perdagangan lainnya
serta komunikasi seperti perhubungan darat, telepon, teleks, faksmili, pos
dan giro, telah cukup berkembang dan mampu mencapai sebagian besar
kecamatan.
Kota Medan sebagai ibukota Propinsi Tingkat I Sumatera Utara,
disamping merupakan salah satu pusat pengembangan wilayah Sumatera
Utara, sekaligus merupakan pusat pengembangan wilayah pembangunan
kelompok Sumatera, memiliki fasilitas komunikasi, perbankan dan jasa-jasa
perdagangan lainnya yang mampu mendorong pertumbuhan wilayah
belakangnya.
Di Sumatera Utara juga terdapat lembaga-lembaga pendidikan dan
penelitian seperti perguruan tinggi, termasuk politeknik, balai penelitian dan
balai pelatihan kerja yang mampu membentuk tenaga pembangunan yang
terdidik dan terampil serta hasil-hasil penelitian yang bermanfaat bagi
Tabel 4.3 Indeks Location Quotient Kabupaten pemekaran di Sumatera Utara Tahun 2004-2006
No Kabupaten 2004 2006
Primer Skunder Tertier Primer Skunder Tertier 1 Mandailing Natal 1,211 0,891 0,653 1,189 0,921 0,705
Dari data tabel 4.4 diatas, dapat disimpulkan bahwa sektor-sektor
primerlah yang memiliki potensi ekonomi paling besar di masing-masing
kabupaten pemekaran. Hal ini dapat dikatakan bahwa sektor pertanianlah
yang mengungguli potensi ekonomi yang paling besar, kecuali di kabupaten
Samosir dengan jasa-jasa yang paling besar dan kabupaten Toba Samosir
dengan sektor bahan galianlah yang paling besar potensi ekonominya.
4.2 Analisis Data
4.2.1 Analisa Hasil Estimasi dengan Generalized least square (GLS)
Oleh karena itu, hasil estimasi ketimpangan pendapatan antar
kabupaten pemekaran di Sumatera Utara untuk data panel dengan
menggunakan metode OLS terbukti tidak konsisten dan efisien, maka
langkah selanjutnya adalah menganalisis dan mengestimasi dengan metode
Generalized Least Squares (GLS) seperti yang disarankan oleh Gujarati
Gujarati (2003) mengatakan bahwa untuk data panel, metode
Generalized Least Squares (GLS) ini adalah lebih baik dan konsisten
dibandingkan dengan metode OLS. Hal ini dikarenakan metode GLS dapat
dianalisis dengan fixed effects model (FEM) dan rendom effects model
(REM), sehingga dapat diketahui model mana yang terbaik. Berikut ini
dapat dilihat hasil estimasi dari kedua model tersebut dengan metode GLS
seperti berikut ini.
Tabel 4.4 Hasil Estimasi GLS (FEM dan REM)
Variabel Terikat : Ketimpangan Ekonomi (Y) Untuk Periode 2001-2006 Variabel Bebas Rendom Effect Fixed Effect
Konstanta 6,561204 0,534615
Sumber: Data diolah (Lampiran 1 & 2)
Berdasarkan hasil estimasi dengan metode GLS di atas, fixed effect
model (FEM) menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan rendom
effect model (REM). Hal ini bisa dilihat dari nilai koefisien regresi dari
masing-masing variabel bebasnya dan secara statistik berpengaruh
signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekran di
Sumatera Utara. Disamping itu, nilai R-square (R2) dan nilai
Durbin-Watson yang lebih baik pada fixed effect model (FEM) dibandingkan dengan
rendom effect model (REM).
Setelah dilakukan analisis untuk kedua model tersebut, maka untuk
dengan uji Hausman, 1978 (Gujarati, 2003). Untuk penelitian ini, uji
Hausman diestimasi dengan program Eviews versi 5.0 dan akan diperoleh
nilai Chi-Squarenya. Kesimpulan dari uji Hausman adalah apabila null
hypothesis (H0) diterima, maka model yang digunakan adalah rendom
effect model (REM) dan sebaliknya apabila null hypothesis (H0) ditolak,
maka model yang akan digunakan adalah fixed effect model (FEM).
4.2.1.1. Uji Hausman
Uji ini dilakukan untuk menentukan model mana yang terbaik antara
fixed effect model (FEM) dan rendom effect model (REM) dalam metode
Generalizad Least Square (GLS). Berdasarkan hasil uji Hausman ini,
diperoleh nilai Chi-Squarenya seperti pada tabel 4.5 berikut ini.
Tabel 4.5 Hasil Uji Hausman untuk fixed effect dengan rendom effect
Chi-sqr Stat = 8,039552
Chi-sqr d.f = 3
Prob = 0,0452
Sumber: Data diolah (Lampiran 3)
4.2.1.2. Rendom Effect Model (REM)
Sebagaimana analisa sebelumnya, dari hasil uji Hausman diperoleh
model terbaik untuk penelitian ini yakni rendom effect model (REM).
Berdasarkan hasil estimasi dengan menggunakan metode rendom effect
model (REM) memperlihatkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0,478242, yang berarti secara keseluruhan variabel bebas yang ada
dalam model persamaan tersebut mampu menjelaskan variasi ketimpangan
pendapatan sebesar 47,82 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain
Tabel 4.6 Hasil Estimasi Rendom Effect Model (REM) Y = 6,561204 + 0,000166JP – 0,000136PDRB + 0,003235PP
(4,768) (-3,013) (1,053)
2
R = 0,478242 DW-Stat = 1,685763 Sumber: Data diolah (Lampiran 2)
Cat : Angka dalam kurung adalah nilai t-Statistik 4.2.2 Interpretasi Model
Dilihat dari hasil regres tersebut maka interpretasinya yakni:
1. Jumlah penduduk kabupaten pemekaran di Sumatera Utara mempunyai
pengaruh positif terhadap tingkat ketimpangan pendapatan dan
koefisiennya sebesar 0,000166 artinya apabila jumlah penduduk kabupaten
pemekaran di Sumatera Utara naik sebesar 1%, cateris paribus maka
tingkat ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera
Utara naik sebesar 0,000166%. Artinya, jumlah penduduk memiliki
pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat ketimpangan pendapatan
antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara. Semakin banyak jumlah
penduduk maka tingkat konsumsi masyarakat akan semakin tinggi pula.
Hal ini akan mengakibatkan tingkat ketimpangan pendapatan yang cukup
tinggi antar kabupaten pemekaran. Jika pendapatan perkapita masyarakat
tetap maka ketimpangan akan semakin tinggi. Sementara, pertumbuhan
ekonomi di masing-masing kabupaten pemekaran di Sumatera Utara tidak
sama. Maka dapat disimpulkan jumlah penduduk berpengaruh secara nyata
dan cukup besar terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten
pemekaran di Sumatera Utara.
2. PDRB perkapita kabupaten pemekaran di Sumatera Utara mempunyai
koefisiennya sebesar -0,000136 artinya apabila PDRB perkapita di
Sumatera Utara naik sebesar 1%, cateris paribus maka ketimpangan
pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara mengalami
penurunan sebesar -0,000136%. Sesuai dengan studi Rappaport (1999),
yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi lokal berpengaruh
negatif terhadap besaran keuangan pemerintah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tingkat PDRB perkapita didasarkan pada pertumbuhan
ekonomi lokalnya. Hal ini juga yang membuat PDRB perkapita
berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendapatan di suatu daerah.
3. Pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat
ketimpangan pendapatan di Sumatera Utara dan koefisiennya sebesar
0,003235 artinya apabila pengeluaran pemerintah naik sebesar 1%, cateris
paribus maka ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di
Sumatera Utara mengalami kenaikan sebesar 0,003235%. Yang sesuai
dengan studi Rappaport (1999), bahwa pertumbuhan ekonomi lokal
sepanjang periode yang diamati berkorelasi positif dengan pengeluaran
pemerintah lokal untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
4.2.3 Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit)
a.
Koefisien determinasi (R-Square) dari model tersebut adalah sebesar
0,48 atau 48%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel independen seperti X1
(jumlah penduduk), X2 (PDRB perkapita) dan X3 (pengeluaran pemerintah)
mampu memberikan penjelasan terhadap ketimpangan pendapatan antar
yaitu sebesar 52% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam
model estimasi.
b.
H0: i = 0 Tidak signifikan
Uji t-statistik (Uji Parsial)
Untuk menguji apakah variabel-variabel independen tersebut secara
parsial berpengaruh nyata terhadap variabel dependen, maka digunakan uji t.
Adapun uji-t dapat didefenisikan sebagai berikut:
Ha: i # 0 Signifikan
Artinya berdasarkan data yang tersedia akan dilakukan pengujian
terhadap koefisien regresi populasi. Apabila hasilnya sama dengan nol
artinya variabel independen tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap
variabel dependen atau apabila hasinya tidak sama dengan nol artinya
variabel independen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel
dependen.
1). Variabel Jumlah Penduduk Kabupaten Pemekaran di Sumatera Utara
(X1)
Dari hasil analisis regresi diketahui t-hit adalah 4,768 dan t-tabel
adalah 2,704. Dari hasil estimasi regresi di atas menunjukkan bahwa jumlah
penduduk di Sumatera Utara signifikan pada = 1% dengan t-hit > t-tabel
(4,768 > 2,704) artinya Ha diterima. Ini menunjukkan bahwa jumlah
penduduk kabupaten pemekaran di Sumatera Utara (X1) berpengaruh
signifikan (nyata) terhadap ketimpangan pendapatan di Sumatera Utara pada
tingkat kepercayaan 99%.