• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

3. Ketrampilan Berkomunikasi saat Siaran

a. Pengertian Ketrampilan Berkomunikasi saat Siaran

Radio adalah media komunikasi lisan (oral communication). Seorang penyiar radio profesional dituntut mampu menyampaikan pesan atau berita lebih efektif daripada dikomunikasikan melalui kata-kata yang tertulis. Penyiar juga diharapkan mampu memindahkan emosi yang sesuai dengan naskah dan dengan cara ini penyiar akan mampu memberikan variasi serta interpretasi kepada pendengar (Pane, 2004 : 3).

Naskah dalam radio adalah proyeksi ide penulis yang kemudian akan dikomunikasikan penyiar kepada pendengarnya. Keahlian memilih kata-kata yang paling efektif dan segar serta mengkomunikasikannya kepada pendengar dengan cara yang efektif juga disebut seni menyiar (the art of announcing).

Siaran dianggap tidak baik apabila penyiar radio gagal menyampaikan materi dengan jelas serta meyakinkan. Penyiar harus mampu menyampaikan sebuah ide secara efektif melalui kata-kata lisan dengan interpretasinya sendiri sehingga pendengar dapat terpengaruh dan mengerti terhadap ide yang disampaikan oleh penyiar.

Ketrampilan komunikasi adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif, mencakup pengetahuan tentang peran lingkungan, isi komunikasi, dan bentuk komunikasi (Spitzberg dan Cupach dalam De Vito, 1996 : 27). Komunikasi yang efektif adalah komunikasi dimana pesan yang diterima sama dengan pesan yang dimaksudkan atau dikehendaki oleh pengirim pesan (Hybels, 2004:24).

Secara khusus, ketrampilan berkomunikasi pada saat siaran terjadi apabila seorang penyiar mampu mengkomunikasikan secara efektif buah pikiran dan pendapat kepada orang lain (Pane, 2004:19). Efektivitas penyiar dalam mengkomunikasikan buah pikiran dan pendapatnya dapat terlihat dari respon pendengar. Hal ini mengacu pada tugas utama seorang penyiar yaitu mampu membuat pendengarnya mendengar, mengerti, merasa tertarik, lalu melakukan apa yang ia dengar.

Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Tubbs dan Moss (1999:9) yang menyatakan efektivitas komunikasi pada saat siaran siaran akan tercipta jika terjadi adanya pengertian, kesenangan, hubungan sosial yang makin baik, pengaruh pada sikap dan tindakan antara komunikator dan komunikan. Pengertian berarti penerimaan komunikan yang cermat atas isi pesan seperti yang dimaksud oleh komunikator. Kesenangan merupakan aspek komunikasi yang menjadikan hubungan sosial antar pelaku

komunikasi menjadi hangat, akrab, dan menyenangkan, sedangkan pengaruh pada sikap timbul dari persuasi sebagai komunikasi untuk mempengaruhi sikap komunikan.

Jadi dari penjelasan di atas dapat disimpulkan pengertian ketrampilan berkomunikasi pada saat siaran adalah kemampuan penyiar untuk mengkomunikasikan buah pikiran dan pendapat secara efektif agar pendengarnya mendengar, mengerti, merasa tertarik, lalu melakukan apa yang ia dengar.

b. Aspek-aspek Ketrampilan Berkomunikasi saat Siaran

Ketrampilan berkomunikasi pada saat siaran adalah kemampuan penyiar untuk mengkomunikasikan buah pikiran dan pendapat secara efektif agar pendengarnya mendengar, mengerti, merasa tertarik, lalu melakukan apa yang ia dengar.

Joseph de Vito (1986 : 68) mengindikasikan efektivitas komunikasi menjadi dua perspektif yaitu perspektif humanistik dan perspektif pragmatis. Gabungan kedua perspektif ini sebenarnya menunjukkan karakteristik komunikasi interpersonal yang efektif. Keadaan seperti ini dapat diperluas pada situasi komunikasi lain sehingga mencakup efektivitas komunikasi dalam siaran radio (Wolosin, 1975 dalam Rakhmat, 2004 : 118).

Pendekatan melalui perspektif humanistik berawal dari jenis-jenis kualitas komunikasi yang masih umum yang kemudian

dideduksikan menjadi perilaku spesifik yang dapat dijadikan karakteristik komunikasi yang efektif. Sebaliknya perspektif pragmatis mengawali pendekatannya melalui ketrampilan yang spesifik menuju perilaku-perilaku yang umum (De Vito, 1986:69). Berdasarkan alasan inilah peneliti akan melihat ketrampilan komunikasi saat siaran hanya melalui pendekatan perspektif humanistik.

Perspektif humanistik adalah perspektif yang menekankan pentingnya hubungan antar manusia. Terdapat lima hal yang dapat mengindikasikan efektivitas komunikasi menurut Joseph De Vito berdasarkan perspektif humanistik.

1. Openness (keterbukaan) adalah kemampuan keterbukaan dari individu. Kualitas dari openness tergantung pada tiga aspek dari komunikasi berikut :

a. Keinginan untuk terbuka atau mengungkapkan diri. Menyatakan informasi mengenai diri yang mungkin secara normal sering dibiarkan tersembunyi.

b. Keinginan untuk bereaksi jujur terhadap stimulus yang datang. Openness di sini ditunjukkan dengan merespon secara spontan dan tanpa dalih atau alasan saat berkomunikasi atau saat memberikan umpan balik.

c. Rasa memiliki serta bertanggung jawab atas perasaan dan pemikiran yang disampaikan. Untuk menjadi open dalam

pengertian ini, individu diharapkan mengakui dan menghargai perasaan serta pemikiran yang ia ekspresikan sebagai miliknya dan mampu menanggung semua tanggung jawab atasnya. Tidak mencoba mengalihkan semua tanggung jawab ke orang lain.

2. Empathy. Menuntut individu mampu memahami posisi dan kondisi orang lain sesuai dengan realitasnya bukan berdasarkan gambaran mengenai orang tersebut. Dapat dilakukan melalui : a. Tidak mengevaluasi orang yang diajak berbicara. Mencoba

memahami bukan sebagai kesalahan dalam mengambil keputusan, namun alasan dalam mengambil keputusan tersebut.

b. Mencoba mengenal lebih jauh orang yang diajak berbicara seperti alasan dan motivasi yang melatar belakangi perasaan dan pemikirannya.

c. Mencoba mengalami perasaan orang lain, melalui sudut pandangnya.

3. Supportiveness yaitu kemampuan individu dalam memberi dukungan kepada pihak lainnya ketika keduanya terlibat dalam komunikasi. Sikap ini diwujudkan melalui suasana :

a. Deskriptif : suasana komunikasi yang berisi informasi atau deskripsi kejadian, bukan komunikasi evaluatif ya ng akan

menjadikan pihak lain menjadi tertutup dalam mengekspresikan diri karena takut dikritik.

b. Spontan : respon yang langsung dan terbuka atas ide pihak lain. Individu terkadang menyembunyikan perasaan mereka yang sebenarnya, serta memberikan pendapat hanya agar orang yang diajak berbicara mempunyai mood menerima/mendengarkan yang baik.

c. Provisional : perilaku yang terbuka (open-minded) dan mau mendengarkan pandangan orang yang berbeda dengannya, serta mau mengubah beberapa hal jika ada pembenaran yang tepat.

4. Positiveness adalah ekspresi positif atas diri sendiri, orang lain, dan situasi sekitar. Sikap ini terwujud dalam upaya pemenuhan kebutuhan atas penghargaan baik pada diri sendiri maupun orang lain. Komunikasi possitiveness dapat berlangsung dalam dua cara :

a. Perilaku positif, mengacu pada 2 aspek yaitu :

1. Penghormatan yang positif untuk diri sendiri. Individu yang telah mampu menerima dirinya sendiri secara positif, pada gilirannya juga akan mampu melakukan hal yang sama terhadap orang lain.

2. Perasaan positif terhadap situasi komunikasi itu sendiri, dapat ditunjukkan dengan memberikan respon mendukung pada situasi atau konteks komunikasi. b. Memberikan ungkapan verbal ataupun non- verbal sebagai

bentuk pengakuan dari keberadaan serta menga nggap penting orang yang diajak berkomunikasi. Ungkapan verbal berupa kata-kata, sedang ungkapan non-verbal dalam komunikasi saat siaran bisa terungkap dalam :

1. Kunci nada termasuk daerah tangga nada (pitch range) 2. Volume atau tingkat kerasnya suara

3. Tempo atau irama dan tingkat kecepatan dari pengucapan

4. Vitalitas dan semangat 5. Cara pengucapan

6. Kualitas suara, meliputi warna suara dan nada suara 7. Bunyi yang diucapkan atau gerakan dari alat-alat

berbicara yang mengeluarkan suara (artikulasi).

5. Suasana equality, merupakan kondisi kesetaraan posisi antara komunikator dan komunikan yang mencegah terjadi monopoli atau intimidasi.

Gabungan kelima karakteristik komunikasi efektif tersebut menjadi indikator ketrampilan berkomunikasi saat siaran. Ind ikator merupakan sesuatu yang dapat memberikan (menjadi) petunjuk

atau keterangan (KBBI, 1997:376). Penyiar yang terampil berkomunikasi saat siaran akan mampu mengkomunikasikan buah pikiran dan pendapatnya secara efektif sehingga pendengar mau mendengar, mengerti, merasa tertarik, lalu melakukan apa yang ia dengar.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketrampilan

Berkomunikasi saat Siaran

Penyiar mempunyai tugas penting untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas dengan tujuan pendengarnya mau mendengar, mengerti, merasa tertarik, lalu melakukan apa yang disampaikan oleh penyiar. Agar pesan yang diterima oleh pendengar dapat sesuai dengan yang dimaksudkan penyiar maka seorang penyiar harus mempunyai ketrampilan berkomunikasi yang baik saat siaran.

Ada beberapa hal yang mempengaruhi ketrampilan berkomunikasi penyiar saat siaran, antara lain :

1. Bakat asli

Radio adalah media suara, oleh sebab itu seorang penyiar diharapkan mempunyai suara yang enak didengar, jelas, menawan, menggugah, serta memotivasi. Hal ini memang dapat dilatih, namun tak disangkal juga dibutuhkan

bakat awal untuk dapat mencapai bentuk suara seperti tersebut di atas.

Bakat lain yang juga dibutuhkan untuk menjadi penyiar yang terampil adalah kecakapan serta kemampuan berkomunikasi secara efektif. Sama seperti suara, kemampuan berkomunikasi ini juga dapat dilatih, namun akan lebih mudah seorang penyiar dengan kemampuan komunikasi yang baik untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaannya sebagai penyiar dibandingkan dengan penyiar yang kurang dalam kemampuan berkomunikasi (Pane, 2004:20).

2. Latihan- latihan intensif

Setiap penyiar pasti menginginkan kualitas siaran yang baik. Pencapaian semacam itu membutuhkan waktu dan latihan yang terus menerus. Kemahiran utama seorang penyiar radio bertumpu pada bagaimana mengolah suara dan seni berbicara, sehingga latihan yang dibutuhkan berupa latihan vokal atau suara serta latihan berbicara.

Latihan vokal dan suara dimaksudkan agar penyiar mampu memberi makna yang tepat dalam setiap kata yang terucap melalui tekanan, pengucapan, tempo, serta intonasi. Vokal dan suara yang telah terasah dengan baik akan menjadi lebih bermakna jika penyiar mampu mengkomunikasikan setiap kata secara efektif. Hal ini membutuhkan feeling dan

emosi yang kuat serta terkontrol agar penyiar dapat menghayati setiap sasaran, isi, dan tujuan acara (Bari, 1995:70).

Latihan intensif untuk meningkatkan ketrampilan berkomunikasi saat siaran dapat diperoleh penyiar dari pengalaman siaran yang dilalui (Pane, 2004:41). Semakin banyak waktu siaran seorang penyiar maka semakin terasah ketrampilan berkomunikasinya saat siaran.

3. Latar belakang pendidikan atau wawasan yang luas

Seorang penyiar boleh berceloteh menurut yang dikehendakinya, tetapi bila sampai pada informasi yang sifatnya prinsip, penyiar harus benar-benar menyampaikan informasinya dengan tepat, kena, dan benar. Hal ini berkaitan dengan penyiar sebagai nara sumber dan sumber informasi tidak boleh salah (Effendy, 1990:141). Untuk mencapai hal tersebut, seorang penyiar dituntut mempunyai pendidikan yang tinggi serta wawasan yang luas. Seorang penyiar juga harus mampu berpikir cepat dan memiliki pengetahuan luas, menaruh perhatian pada permasalahan manusia, ahli dalam masalah-masalah aktual, dan cakap atau cerdik.

4. Tim dan lingkungan kerja

Suatu stasiun radio pastilah mempunyai struktur organisasi dimana setiap jenis pekerjaan yang ada akan saling memberi pengaruh. Tim kerja ini pada dasarnya mempunyai

tujuan yang sama yaitu memberikan output yang terbaik. Output atau hasil kerja tim radio ini adalah berupa siaran yang baik. Salah satu syarat program siaran dapat dikatakan berhasil adalah jika penyiar mampu berkomunikasi secara efektif saat siaran. Hal ini membutuhkan ketrampilan khusus yakni ketrampilan berkomunikasi. Seorang penyiar akan mampu berkomunikasi secara terampil jika didukung oleh tim kerja serta lingkungan yang mendukung (Prayudha, 2004:77).

5. Kepribadian Penyiar

Seorang penyiar diharapkan mempunyai beberapa tipe kepribadian yang dapat mendukung suksesnya suatu program acara. Kepribadian seorang penyiar merupakan kualitas khusus dan abstrak yang membuat pendengar lebih tertarik kepada satu orang penyiar daripada yang lain. Kualitas semacam ini sangat menentukan dalam stasiun radio. Setidaknya seseorang yang berkepribadian dewasa biasanya memiliki karakteristik suara yang baik untuk radio (Stokkink, 1997). Keberhasilan dan kegagalan suatu program sangat tergantung pada kepribadian penyiar (Stokkink, 1997). Kepribadian yang sesuai dengan radio dapat menarik dan menyentuh pendengar.

Ishadi SK (1999) menyatakan ada 10 syarat untuk menjadi seorang penyiar yang baik, salah satunya adalah

memiliki kepribadian ekstravert, luwes, dan mudah bergaul, serta memiliki dasar berbicara di depan umum.

B. Tipe Kepribadian Introvert -Ekstravert 1. Pengertian Kepribadian

Berdasarkan arti katanya, kepribadian berasal dari bahasa Yunani ”persona”, yang berarti topeng (mask), karena pengertian kepribadian secara umum dianggap berkaitan dengan penampilan (Purwanto, 2000). Adler (dalam Hall&Lindzey, 1993:248) menyatakan kepribadian sebagai gaya hidup individu atau cara serta karakteristik seseorang untuk bereaksi termasuk masalah-masalah hidup serta tujuan hidup.

2. Dasar Tipe Kepribadian

Berbagai pendekatan dapat digunakan dalam menelaah kepribadian. Salah satunya adalah pendekatan faktor yang dikemukakan oleh Eysenck. Pendekatan faktor memandang bahwa kepribadian terdiri atas kumpulan trait dan ”tipe” (Eysenck dalam Marsella&Corsini, 1983:384). Pendekatan tipe kepribadian yang dikemukakan Eysenck ini, dilandasi oleh penelitian ilmiah sehingga hasilnya lebih dapat dipertanggungjawabkan dibandingkan pendekatan yang hanya menggunakan spekulasi atau intuisi klinis untuk mengasah asumsinya.

Eysenck (Hall & Lindzey, 1985:437) mendefinisikan kepribadian sebagai jumlah total dari pola perilaku yang aktual atau potensial yang ditentukan oleh hereditas dan lingkungan; yang berasal dan berkembang melalui interaksi fungsional dari empat sektor faktor utama yaitu kognitif (intelektual), afektif (temperamen), konatif (karakter), dan somatis (konstitusi).

Eysenck meyakini bahwa dasar dari kepribadian melibatkan faktor genetis, fisiologis, dan lingkungan. Pandangannya ini didukung dengan penelitian-penelitian tentang faktor genetis dimana faktor keturunan juga bisa mempengaruhi kepribadian seseorang. Ada tiga ide utama dalam pemikiran Eysenck (Monte, 1995), yaitu :

a. Sistem saraf pusat merupakan dasar dari fungsi kepribadian b. Banyak penelitian laboratorium tentang proses pembelajaran

conditioning, persepsi, dan efek obat-obatan menunjukkan bahwa seseorang dibedakan menjadi dua kelompok introvert dan ekstravert. Kelompok introvert mempunyai kecenderungan ”malu terhadap stimulus” karena sensitif pada rangsangan dari luar akibat tingkat arousal di otaknya tinggi. Berbeda dengan kelompok sebelumnya, kelompok ekstravert adalah kelompok orang yang ”haus stimulus” karena mereka mencari dan dapat dengan mudah mengolah rangsangan yang intense karena tingkat arousal yang rendah atau inhibited.

c. Kelompok introvert rentan terhadap gangguan kecemasan seperti fobia dan gangguan obsesi, sedang kelompok ekstravert lebih rentan pada gangguan acting-out, seperti gangguan histeria dan gangguan kepribadian antisosial.

Menurut Eysenck, kepribadian terdiri dari tindakan dan disposisi yang terorganisasi dalam suatu hirarki tertentu. Respon spesifik terjadi pada saat tertentu. Misal A membeli makan. Tahap berikutnya adalah respon habitual yang merupakan suatu tindakan yang terdiri dari beberapa respon spesifik, yang mungkin terjadi saat-saat yang serupa. Misal A suka pesta. Tiap akan mengadakan pesta, A membeli banyak makanan, telpon semua teman, dsb (lihat gambar 2.1). Selanjutnya adalah trait berupa kumpulan respon habitual yang saling berkaitan. Misal A yang suka pesta juga kerja sebagai salesperson sebuah koran serta merencanakan karier di bidang humas. Dalam hal ini, dapat diasumsikan bahwa orang tersebut memiliki trait sociability, sehingga ia cenderung memiliki aktivitas yang melibatkan dirinya dengan orang lain. Di atas trait ada tipe yakni sekumpulan trait yang saling berkaitan, yang merupakan tahap paling umum. Eysenck menggunakan istilah ”tipe” yang berarti dimensi luas dari kepribadian, bukan jenis seseorang. Sebagai contoh bila seseorang memiliki tingkat sociability tinggi, kecenderungan berani mengambil resiko, perasaan yang ”hidup”, dll, maka dapat diduga bahwa ia mempunyai

kecenderungan tipe kepribadian ekstravert dalam dimensi introvert-ekstravert.

TIPE Ekstravert

TRAIT Sociability Boldness Liveliness

RESPON Senang mengadakan kerja sebagai merencanakan karir HABITUAL pesta salesperson di bidang humas

RESPON membeli makanan telpon teman memindahkan

SPESIFIK perabot rumah

Gambar 2.1 Contoh Aspek-aspek Kepribadian Menurut Eysenck

Karakteristik mendasar dari kepribadian terletak pada dimensi extroversion-introversion (dimensi E) dan dimensi neurotic-stable (dimensi N). Eysenck meyakini bahwa setiap orang pasti terletak pada suatu posisi dalam kontinum kedua dimensi tersebut (Corsini&Marsella, 1983:384). Dimensi ketiga yang dikemukakan Eysenck adalah dimensi psychoticism (dimensi P) yang berbeda secara mendasar dari kedua dimensi yang dikemukakan sebelumnya. Menurut Eysenck, dimensi E merujuk pada kecenderungan kepribadian

seseorang dalam menghadapi situasi sosial dan dimensi N merujuk pada kadar dan kemampuan pengendalian kestabilan emosi seseorang dalam kepribadiannya, sedang dimensi P merujuk pada kecenderungan orang berpikir, berperasaan, dan bertindak tanpa orientasi. Dimensi P ini pada kenyataannya jarang ditemui pada populasi normal, karena telaah Eysenck mengenai dimensi P lebih didasarkan pada kepribadian abnormal.

Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas kepribadian introvert dan ekstravert. Eysenck (dalam Wallace, 1993) mengatakan bahwa dimensi ekstravert dan introvert merupakan dimensi yang paling penting dibandingkan dimensi tipe kepribadian lainnya. Selain itu, Jung dalam Purwanto (2000) mengatakan kepribadian manusia pada dasarnya dapat digolongkan ke dalam dua bagian yaitu introvert dan ekstravert.

3. Karakteristik Tipe Kepribadian Introvert-Ekstravert

Eysenck (dalam Eysenck, 1969:118) mengatakan bahwa orang dengan tipe kepribadian introvert adalah orang yang cenderung diam, suka menjauhkan diri dari orang lain, segan dan jarang memberi kecuali pada teman akrab. Dia cenderung untuk ”melihat sebelum terjun langsung”. Orang introvert tidak percaya pada kejadian yang didasari pada impuls atau dorongan sehingga ia mampu menyimpan perasaannya dalam kontrol yang tersembunyi, jarang bersikap agresif,

dan tidak mudah kehilangan temperamentalnya. Dia dapat dipercaya karena pandai menyimpan rahasia, kadang pesimis, dan orang dengan standar nilai etika yang tinggi.

Sikap introversi akan membuat individu mempunyai kecenderungan mengarahkan energi psikis yang ia miliki ke dalam dirinya atau ke dalam dunia subyektif (O’Connor, 1985:52). Hal ini menyebabkan sikap introvert menjadi tertutup serta lebih menyukai sendiri dibandingkan bergaul dengan orang lain. Mereka adalah orang yang tidak suka keramaian, cenderung malu- malu, serta mawas diri. Selain itu, orang introvert selalu membuat rencana dan tidak percaya pada faktor kebetulan sehingga orang introvert menyukai keteraturan untuk hidup nya (Pervin, Cervone, & John, 2005:235).

Orang introvert merasa kesulitan dalam menjalin hubungan serta menyesuaikan diri dengan dunia luar. Ia kurang percaya pada kemampuannya sendiri, sehingga sering menghindari komunikasi dengan orang lain dengan cara menjaga jarak terutama dengan orang yang belum dikenal baik. Selain itu, tipe ini juga cenderung sukar bergaul karena merasa kurang dapat menarik hati orang lain (Suryabrata, 1982:194). Orang dengan tipe kepribadian introvert akan mengalami gangguan atau hambatan dalam berkomunikasi.

Sedangkan orang dengan tipe kepribadian ekstravert menurut Eysenck (dalam Eysenck, 1969:118) mempunyai karakteristik ramah, suka bergaul, menyukai pesta, memiliki banyak teman, menyukai

rangsangan, serta berperilaku dengan mengacu pada gerakan. Orang ekstravert selalu membutuhkan orang lain untuk diajak berbicara serta kurang suka melakukan kegiatan sendirian. Tipe ini menyukai keramaian, suka menonjolkan diri, serta menyukai lelucon (Pervin, Cervone, & John, 2005:235). Orang ekstravert cenderung menjadi agresif dan mudah kehilangan temperamental dengan cepat karena pada umumnya ia spontan dan kurang mampu menyimpan perasaannya dalam kontrol yang kuat.

Ekstraversi berpegang pada suatu matra, bergerak dari perilaku diam, pasif, dan terintroversi ke perilaku sosial, keluar atau terekstraversi (Berry, Poortinga, Segal, dan Dasen, 1999:151). Sikap ekstravert mengarahkan seseorang pada dunia luar obyektif, yaitu dunia di luar dirinya (O’Connor, 1985:52). Pikiran, perasaan, dan tindakannya ditentukan oleh lingkungan sosial dan non-sosial. Sikap ekstravert mendorong orang untuk bersikap positif terhadap lingkungannya.

Orang yang memiliki tipe kepribadian ekstravert biasanya tertarik dan antusias terhadap segala hal. Individu ekstravert dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya tidak didominasi oleh norma yang berlaku di masyarakat. Ia adalah individu yang mandiri dan memiliki perasaan penting dalam lingkungan sosial maupun hidupnya (O’Connor, 1985:52).

Introversi dan ekstraversi berada dalam satu garis kontinum (Monte, 1995:787). Kedua tipe kepribadian ini mempunyai karakteristik yang saling berlawanan tetapi biasanya salah satu diantaranya dominan dan disadari, sedangkan yang lain kurang dominan dan tidak disadari. Jung menegaskan bahwa tidak ada individu yang murni ekstravert atau murni introvert. Setiap individu memiliki dua kecenderungan ini dala m dirinya. Kedua sifat ini bervariasi secara kompleks. Seperangkat karakteristik dalam tipe kepribadian ini selalu dominan (sadar) dan yang lain terepresikan (tidak sadar). Sebagai contoh, apabila ego bersifat ekstravert dalam berelasi dengan dunia maka ketidaksadaran pribadinya akan memiliki karakteristik introvert (Hall dan Lindzey, 1993:192).

Dokumen terkait