PERTEMUAN V : PERKULIAHAN 3 HUKUM ADAT KEKELUARGAANHUKUM ADAT KEKELUARGAAN
3. KETURUNAN DAN PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ADAT PADA UMUMNYAHUKUM ADAT PADA UMUMNYA
a. Pengertian keturunan menurut hukum adat pada umumnya
Berdasarkan pendapat dari Surojo Wignyodipuro yang dimaksud dengan keturunan adalah ketunggalan leluhur, yang artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang dari yang lain.18
Sedangkan menurut T I P. Astiti, Cs : dikatakan bahwa keturunan itu adalah orang-orang laki dan perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan orang yang menurunkannya.19
Dari kedua pendapat tersbut dapat dikatakan bahwa : keturunan adalah merupakan unsur yang mutlak harus ada jika satu keluarga tidak menginginkan dirinya dikatakan tidak ada generasi penerusnya.
Oleh karena itu, jika khawatir akan menghadapi kenyataan tidak mempunyai keturunan maka dapat mela-kukan pengangkatan anak untuk menghindari kepunahan.
Orang yang satu sebagai keturunan dari orang yang lain-nya mempulain-nyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban ter-tentu sesuai dengan kedudukan dalam keluarga yang ber-sangkutan.
Keluarga wajib saling membantu, saling mewakili, saling pelihara-memelihara, boleh mempergunakan nama
18 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.128.
19 TIP.Astiti,Cs, 1984, Hukum Adat Dua (Bagian II), Dokumentasi dan Publikasi Fak.Hukum Unud, Denpasar, hal.2.
keluarga mereka yang menjadi keturunan seorang bapak akan menjadi anggota pula dari clan bapak.
b. Sifat-Sifat Keturunan
Menurut sifatnya keturunan ada dua (2), yaitu :
a) Keturunan menurut garis lurus keatas dan kebawah, maksudnya adalah keturunan langsung keatas yaitu apabila rangkaiannya dilihat dari bawah keatas yaitu dari : anak, bapak, kakek. Sedangkan sebaliknya apabila rangkaian itu dilihat dari atas kebawah yang disebut lurus kebawah yaitu dari : kakek, bapak, anak.
b) Keturunan menurut garis menyimpang, menyamping atau bercabang yaitu : apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur, yang disebut dengan “sepupu”.
c) Hubungan darah antara seseorang dengan orang lainnya.
Menurut T.I.P. Astiti, dapat pula dilihat dari jauh dekatnya hubungan tersebut, karena jauh dekatnya hubungan darah ini akan membawa akibat hukum yang berbeda.
Jadi harus dibedakan antara hubungan darah yang sangat dekat dengan hubungan darah yang cukup dekat. Terhadap hubungan darah yang sangat dekat mengakibatkan adanya larangan yang sangat mutlak bahwa diantara mereka ada larangan perkawinan, seperti antara : bapak dengan anak atau antara kakek dengan cucunya, atau antara saudara kandung.
Sedangkan mereka yang mempunyai hubungan darah cukup jauh secara relatif masih dimungkinkan untuk melangsungkan perkawinan. Dan mereka yang mempunyai hubungan darah yang jauh, diantara mereka sudah tidak ada lagi istilah untuk menyebutkan hubungan itu.20
20 Ibid, hal.3.
Selain ada istilah melihat garis keturunan melalui sifat-sifatnya, maka keturunan dapat pula dilihat melalui derajat atau tingkatannya yang disebut dengan derajat keturunan. Hal ini juga untuk menentukan jauh dekatnya hubungan kekeluargaan seseorang dengan orang lain yang akan bermanfaat dalam menentukan siapa yang akan muncul sebagai ahli waris pertama apabila ada seseorang yang meninggal, apakah dia berada pada derajat I (anak), pada derajat II (kakek), pada derajat III (cucu). Dan seterusnya.
Keturunan mempunyai arti penting karena :
a. Sebagai penerus generasi sehingga seseorang tidak dikatakan punah (caput).
b. Merupakan harapan dan tujuan dari setiap perkawinan.
c. Sebagai ahli waris apabila ada yang meninggal.
d. Wadah atau tempat orang tua atau keluarga berharap dan berlindung.
e. Melalui keturunan dapat dibuat ssisilah keluarga yang akan memberikan gambaran dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang atau suami istri, baik yang lurus keatas maupun kebawah, menyimpang, menyamping baupun bercabang.
f. Berkaitan dengan masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah diantara mereka ada hubungan darah dekat yang merupakan larangan untuk mereka kawin (menjadi suami-istri), misalnya adik dengan kakak sekandung.
Ketiadaan keturunan atau anak dapat menimbulkan berbagai akibat hukum atau peristiwa hukum seperti yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto yaitu perceraian, poligami atau pengangkatan anak, walaupun itu bukan
merupakan alasan satu-satunya dalam perkawinan karena tidak adanya keturunan.21
c. Pengangatan Anak
Suami istri yang telah lama melangsungkan perka-winan dan kemudian tidak mempunyai anak, maka mereka kadang-kadang meminjam anak kecil dari orang lain yang sering disebut istilah pinjam anak kecil sebagai “penuntun”.
Tetapi ada pula dengan cara lain untuk mendapatkan anak yaitu dengan cara mengangkat anak.
Mengangkat anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengambil anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang mengangkat dengan orang yang diangkat itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri.22 Sedangkan menurut Ter Haar, pengangkatan anak mempunyai sifat sebagai suatu perbuatan hukum yang rangkap dab juga bersifat magis religius, terang dan tunai.23 Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa pengangkatan anak itu mempunyai sifat:
1. Perbuatan hukum yang rangkap berarti ada dua per-buatan hukum yang harus dilalui dalam proses pe ngan-katan anak yaitu di satu pihak melepaskan anak ter-sebut dari ikatan kekeluargaan dengna orang tua kan-dungnya dan di pihak lain memasukkan anak tersebut ke dalam ikatan kekeluargaan orang tua angkatnya.
2. Magis religius berarti pada saat pengambilan anak tersebut harus disertai suatu upacara penyerahan suatu benda sebagai pengganti anak tersebut.
21 Soerjono Soekanto dan Soleman Biasana Taneko, Op.Cit, hal.275.
22 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.141.
23 Ter Haar, Op.Cit, hal.153.
3. Terang artinya agar pengangkatan anak tersebut dikatakan sah, maka dalam proses pengesahannya haruslah disaksikan oleh dihadapan kepala desa dan selanjutnya diumumkan secara luas keseluruhan desa.
4. Tunai artinya bahwa pengambilan anak harus disertai dengan penyerahan benda yang kelihatan sebagai pengganti anak tersebut pada saat upacara yang dilaksanakan pada saat yang bersamaan.
Pengangkatan anak melalui dua tahapan seperti tersebut diatas. Dalam pengangkatan anak selalu diadakan upacara keagamaan yang di Bali disebut “upacara pemerasan”.
Yang dimaksud dengan perbuatan magis religius dalam pengangkatan anak ini adalah upacara tunai dalam hal penyerahan anak disertai dengan penyerahan benda sebagai pengganti si anak kepada orang tua si anak yang dilakukan pada saat itu juga sedangkan sifat terang yang dimaksudkan disini adalah adanya kesaksian dari pengurus desa.
Alasan-Alasan Pengangkatan Anak :
1. Tidak diperolehnya anak dalam suatu perkawinan (karena tidak mempunyai anak);
2. Karena adanya rasa belas kasihan;
3. Untuk memperoleh tenaga kerja.
Tujuan pengangkatan anak
1. Untuk mendapatkan anak sebagai pelanjut keturunan atau penerus generasi;
2. Sebagai penuntun agar memperoleh anak;
3. Untuk menghindari perkawinan yang rangkap atau bertukar;
4. Untuk mendapatkan tenaga kerja.
Pengangkatan anak memerlukan beberapa persyaratan
baik bagi orang tua yang mengangkat maupun bagi anak yang akan diangkat :
Persyaratan bagi orang tua angkat antara lain :
1. a. Anak angkat harus dicari dari lingkungan keluarga terdekat menurut garis ayah;
b. apabila tidak ada anak dilingkungan keluarga purusa, maka dapat dicari dari lingkungan keluarga garis ibu.
c. Apabila tidak didapat anak baik dari keluarga bapak maupun keluarga ibu barulah dapat dicari dari keluarga lain dan bahkan dari anak yang tidak ada hubungan kekeluarganya.
2. Harus mendapat persetujuan dari keluarga atau kerabatnya.
3. Sudah pernah atau masih ada dalam ikatan perkawinan bagi suami istri yang akan mengangkat anak. Tetapi keadaan sekarang sudah berubah dan lebih diutamakan adalah adanya hubungan batin antara anak yang diangkat dengan orang tua angkatnya.
Persyaratan bagi anak yang akan diangkat : 1. Belum dewasa;
2. Usianya lebih muda daripada yang mengangkat;
3. Diutamakan laki-laki.
Prosedur pengangkatan anak :
1. Secara umum proses pengangkatan anak menurut hukum adat didahului dengan mencari kesepakatan diantara keluarga si pengangkat dan di keluarga anak yang akan diangkat.
2. Adanya upacara pelepasan antara orangtuanya dengan anak yang akan diangkat. Demi adanya kepastian
hukum saat ini anak angkat dimintakan penetapannya ke Pengadilan Negeri karena anak angkat akan mem-punyai kedudukan yang sama dengan anak kandung.
Apabila anak angkat tidak melaksanakan dharmanya sebagai anak, maka anak angkatpun dapat dipecat sebagai anak misalnya : tidak menuruti perintah yang baik dari orang tua angkatnya, tidak melakukan kewajiban-kewajiban yang menjadi beban orang tua angkatnya.
4. HUBUNGAN HUKUM DALAM HUKUM KEKELUARGAAN Apabila yang dimaksud dengan keturunan ini adalah anak, maka dalam masyarakat hukum adat pada umumnya akan dikenal macam-macam atau jenis-jenis anak yaitu :
1. Anak sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah orang tuanya.
Yang dimaksud dalam kelompok anak yang demikian adalah :
a. Anak kandung.
b. Bukan anak kandung, meliputi : anak angkat, anak tiri dan anak piara.
2. Anak tidak sah anak luar kawin (natuurlijk kind) atau anak alam, yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan perkawinan yang tidak pernah disahkan. Sebagai konsekwensi dari kedudukan anak yang demikian menurut hukum adat mereka hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya saja. Dalam UU No.1 Tahun 1974, anak tidak sah hanya mempunyai hubungan keperdataan saja dengan ibu dan keluarga ibu. Berbeda halnya dalam hukum barat, yang perlu mendapatkan pengakuan terlebih dahulu dari ibu maupun laki-laki yang mengawini ibunya. Anak
luar kawin disebut dengan “anak bebinjat atau anak haram”.
Dari bermacam-macam jenis anak seperti tersebut diatas perlu dijelaskan atau diberi pengertian antara lain :
- Anak kandung adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari orang tuanya.
- Anak angkat adalah anak orang lain yang lahir dari perkawinan yang sah yang diangkat sebagai anak karena alasan-alasan dan tujuan tertentu.
- Anak tiri adalah anak dari salah satu pihak baik dari suami maupun istri yang dibawa kedalam perkawinan mereka.
- Anak piara adalah anak orang lain yang dipelihara oleh seseorang karena orang tuanya tidak mampu memeliharanya dan status anak yang demikian tetap ada pada orang tua kandungnya.
Penggolongan anak seperti tersebut diatas mempunyai arti penting dalam hal :
1. Hubungan antara anak dengan orang tuanya.
2. Hubungan antara anak dengan kerabat/keluarga.
Perbedaan antara hubungan anak dengan orang tuanya dengan hubungan anak dengan kerabat/keluarga/
sanak saudaranya merupakan hal penting untuk diketahui karena hubungan-hubungan tersebut diberbagai sistem kekeluargaan nilai untuk anak akan berbeda dalam berbagai hubungan-hubungan hukum seperti kewajiban memelihara, hak untuk dipelihara, wewenang untuk mengawinkan, hubungan waris dan lain sebagainya.
a. Hubungan Hukum Antara Anak Dengan Orang Tua Hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya
dikatan ada, apabila pada waktu anak tersebut lahir, orang tuanya ada dalam perkawinan yang sah. Pekawinan yang sah baik menurut hukum adat maupun Undang-Undang No.1 Tahun 1974 apabila perkawinan itu telah dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaannya seperti dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan.
Pada umumnya terdapat suatu hubungan hukum berdasarkan atas hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya. Akibat hukum yang timbul dari adanya hubungan hukum itu adalh beraneka ragam, tergantung dari bentuk perkawinan orang tuanya. Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang sah wajib dipelihara oleh orang tuanya.
Dan dalam pemeliharaan itu orang tua tidak membedakan jenis kelamin dari anak-anaknya baik yang laki maupun perempuan, anak tertua maupun terkecil sama-sama dipelihara oleh ayah dan ibu mereka. Hubungan hukum antara anak dengan orang tua sudah dimulai sejak si anak masih berada dalam kandungan, kemudian lahir, hidup menjadi dewasa sampai kemudian kawin. Dan hubungan ini dapat dibuktikan dengan adanya upacara dan upakara yang dilakukan terhadap si anak dan juga memelihara orang tua yang sudah tidak mampu bekerja lagi. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan hukum antara anak dengan orang tua secara umum akan menimbulkan hak dan kewajiban antara anak dengan orang tua secara bertimbal balik.
Kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya antara lain : memelihara dan mendidiknya, menjamin kesejahteraannya sesuai dengan kemampuan orang tua.
Seperti, upacara perkawinan dan lain sebagainya dan juga memberikan pembagian warisan (kalau punya harta warisan). Dan si anak berhak memakai nama keluarga
bapaknya. Sebaliknya orang tua mengharapkan dari anak-anaknya antara lain mengenai :
- Sebagai penegak dan penerus generasinya.
- Menggantikan kedudukan orang tua.
- Memberikan nafkah dan memelihara orang tua kalau sudah tidak mampu lagi.
Sebagai akibat hukum atau konsekwensi adanya hubungan hukum antara orang tua dengan anak adalah :
- Adanya larangan kawin diantara mereka. Karena apabila ketentuan ini dilanggar maka akan timbul adanya delik adat dan pelakunya akan dijatuhi reaksi dan koreksi adat sesuai dengan ketentuan yang berlaku di desa masing-masing.
- Berhak memakai nama keluarga bapaknya.
- Berhak sebagai ahli waris.
- Timbul hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak (alimentasi).
Hubungan antara anak dengan orang tua dapat putus dalam hal anak dipecat sebagai anak karena dianggap durhaka terhadap orang tua. Akibatnya si anak dapat tidak diberikan hak untuk mewaris.
b. Hubungan Hukum Antara Anak Dengan Kerabat Orang Tuanya
Dalam sistem kekeluargaan yang bersifat patrilinial, maka hubungan antara anak dengan kerabat ayahnya, lebih erat dan lebih penting daripada hubungan dengan kerabat ibunya penentuan hubungan kekeluargaan ini di dasarkan atas adanya ketunggalan leluhur atau “kawitan” karena garis kebapaan. Disamping itu dapat pula ditentukan hubungan kekeluargaan berdasarkan garis ibu, yang timbul karena
perkawinan.
Hubungan anak dengan leluhurnya yang dihitung lurus ke atas dapat disebutkan dengan tingkatan-tingkatan sebagai berikut: 1. Anak, 2. Ayah, 3. Kakek, 4. Buyut, 5...
dst. Sedangkan hubungan kekeluargaan kesamping dapat disebut dengan tingkatan-tingkatan seperti : 1. Sepupu dan sebutan lainnya. Adanya hubungan kekeluargaan ini juga berperan untuk menentukan ada dan tidaknya larangan perkawinan, seperti larangan perkawinan antara mereka yang masih ada hubungan darah yang sangat dekat misalnya antara anak dengan bibinya.
Hubungan kekeluargaan antara anak dengan kerabat ibunya tidak menimbulkan adanya hubungan dalam hal waris. Karena itulah yang menyebabkan si anak tidak mempunyai kewajibanhukum pada kerabat ibunya.
c. Pemeliharaan Anak Yatim Piatu
Dalam sistem kekeluargaan patrilinial dimana kedudukan keluarga ayah lebih penting dari pada keluarga ibu, hal ini akan lebih jelas tampak di dalam upacara-upacara, terlebih –lebih dalam bidang hukum waris.
Bilamana ayah meninggal dunia terlebih dahulu, maka si ibu meneruskan memegang kekuasaan atas keluarganya. Si ibu tetap mendidik anak-anaknya. Tetapi kalau si ibu kawin lagi dengan orang lain yang bukan dari saudara suaminya, maka kekuasaan dan kewenangannya untuk mendidik maupun memelihara anak-anak menjadi putus dan berarti si ibu tersebut telah memutuskan tali kekeluargaannya dengan keluarga suami dan anak-anaknya tetapi dipelihara dan tetap berada dilingkungan keluarga suami. Demikian pula kalau si ibu yang meninggal dunia
atau orang tuanya yang meninggal dunia, maka si anak tetap berada dan dipelihara oleh keluarga bapaknya yang terdekat.
Dalam hubungan dengan pemeliharaan terhadap anak yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya, tidak mempunyai kewajiban hukum terhadap orang yang memeliharanya. Si anak hanya mempunyai kewajiban moral dan kewajiban membantu mereka yang telah memeliharanya.
Bahan Bacaan :
1. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
2. Chidir Ali, 1979, Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.
3. Hazairin, 1968, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tinta Mas, Jakarta.
4. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.
5. Soepomo R, 1976, Bab-Bab Tentang Hukum adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
6. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di Indonesia, Sumur, Bandung.
7. Sagung Ngurah dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD, Denpasar.
8. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.