Individu Paruik
Suku
Kaum Nagari
Sumber: Sjafrudin, 1984;Navis, 1984; 1987; Nasroen, 1957;
Adaik Badunsanak, paga Dunsanak Adaik Bakampuang, paga Kampuang
Adaik Basuku, paga Suku Adaik Banagari, paga Nagari
Manusia Ideal Menurut Adat Minangkabau
KEWAJIBAN INDIVIDU DALAM NAGARI
Sumber: Sjafrudin, 1984;Navis, 1984; 1987; Nasroen, 1957;
Gambar 2.3. Kewajiban Individu Dalam Nagari
Praktiknya kemudian adalah, setiap individu mempunyai “kewajiban”18 untuk membela, mempertahankan, menjaga, membesarkan berbagai level kelompok sosial sesuai dengan “babilik ketek-babilik gadang”. Jika posisinya berada di Kaum, maka pertahankan Paruik dimata Kaum. Jika posisinya di Nagari, jaga nama Paruik, Kaum dan Suku. Begitupun jika posisinya di supra-Nagari, seperti rantau atau pada kabupaten, maka pertahankan Nagari. Hal ini tergambar dalam fenomena merantau orang Minangkabau (Pelly,1984) bahwa mereka merantau dalam rangka mengemban misi budaya bagi Nagari dan Kampungnya, dengan beragam motif seperti mendewasakan diri, ekonomi, sosial, politik (Naim, 1982) Keberhasilan di rantau kemudian dikirimkan pada Kampung halamannya, terutama ketika kembali pulang (Naim 1984; Kato 1984; Pelly 1984). Misi budaya dalam merantau, yang kemudian digambarkan oleh Pelly (1984) sebagai siklus Migrasi Minangkabau, merupakan bagian dari bukti filsafat alam di atas, dalam rangka memagar, melindungi, membangun Kampung dan Nagari.
Konsep falsafah alam dan merantau di atas, dapat diadaptasi untuk melihat, terutama proses pemilihan Legislatif dan Kepala Daerah, selanjutnya penganggaran APBD di Kabupaten Agam. Anggota DPR dan Kepala Daerah yang dilegitimasi oleh OTM, kemudian dengan Falsafah Alam memperjuangkan dan “mengirim pulang” alokasi dana APBD pada Kampung halamannya.Hal ini dimungkin dengan kondisi BP mengenai perencanaan dan penganggran yang telah pula ke luar dari fungsinya, seperti telah dijelaskan di atas. Hal ini menyebabkan peran DPRD UU No.32/2004 pasal 42 tugas dan wewenang DPRD adalah legislasi, anggaran dan pengawasan menjadi penggerak dari kepentingan OTM.
18 Kata kewajiban disini maksudnya suatu yang dianggap wajar, individu tidak merasa terpaksa melakukannya, kewajiban yang telah terinternalisasi sedemikian rupa, sehingga menjadi prilaku rutin.
2.9.Kontestasi Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan Dalam Penganggaran APBD
Dari penjelasan di atas, beberapa hal dapat disimpulkan bahwa, BP, terutama dalam perencanaan dan penganggaran telah ke luar dari fungsinya.. OTM masih pekat dan mempengaruhi proses pemilihan legislatif dan kepala derah dengan dasar filsafat alam yang berlaku di dalam Nagari-Nagari. Pekatnya filsafat Alam akan mempengaruhi persaingan dalam Pemilu Legislatif dan Eksekutif, pada akhirnya akan mempengaruhi terjadinya persaingan (kontestasi) dalam perencanaan dan penganggaran APBD.
Terjadinya persaingan tersebut dapat dijelaskan oleh dua variabel lainnya. Pertama, filsafat alam tersebut berlaku dalam Nagari menjadi bagian unsur adat Nagari, dan adat Nagari keberlakuannya hanya di dalam Nagari saja atau lazim disebut Adat Selingkar Nagari (Manan 1995; Durin 1994; Dt.Rajo Panghulu 1971). Setiap Nagari memiliki adat istiadat yang berbeda antara satu sama lainnya. Di samping itu, norma adat hanya mengikat warga dalam satu Nagari.Tidak ada norma adat yang lebih tinggi kedudukannya di atas Nagari. Pada sisi lain, kedua norma adat ini, Falsafah Alam dan Adat Salingka Nagariini dapat menjadi potensi konflik antara sesama Nagari cukup tinggi. Perbedaan adat dan kewajiban budaya yang memberi peranan kepada orang Minangkabau untuk mempertahankan kedudukan tingkat paling tinggiberada di tingkatNagari. Tidak terdapat sumber norma adat yang menjadi sumber peran, sehingga dapat menjadi acuan bertindak, untuk mempertahankan tingkat supra Nagari (kumpulan beberapa Nagari) atau setting Kabupaten dengan ajaran norma Adat Selingkar Kabupaten. Ketiadaan aturan norma adat yang mengatur tingkat di luar Nagari, menyebabkan sulitnya membangun kerjasama antar Nagari, atau merencanakan dan menganggarkan APBD dalam lingkup Kabupaten.
Kedua, potensi persaingan dalam perencanaan dan penganggaran APBD menjadi mungkin ketika ketersediaan sumberdaya yang terbatas diperebutkan oleh beberapa pihak berkepentingan. Key (1940) telah mengingatkan, bahwa permasalahan paling mendasar dalam penganggaran adalah keterbatasan sumberdaya, sedangkan kebutuhan selalu melebihinya. Ketika banyak pihak, dengan beragam kepentingan, terlibat, maka penganggaran menjadi dinamsi.
Kondisi ini menjadi prasyarat lahirnya ajang perebutan, sengketa, kompromi dan transaksional (kontestasi) yang berpangkal pada kepentingan partikular legislatif, eksekutif yang terlibat dan bertanggung jawab langsung dengan penyusunan, pembahasan dan pengesahan APBD.
Berdasarkan penjelasan di atas, potensi persaingan terlihat pada hubungan di antara sesama anggota lembaga legislatif. Setiap anggota legislatif merupakan agen yang diusung oleh basis OTM di Nagari-Nagari tertentu.Ketersediaan sumberdaya kultural (cultural stock) di Minangkabau memadai bagi munculnya kontestasi, yaknifalsafah alam dan adat salingka Nagari.Kesempatan selalu tersedia di dalam sistem sosial, yakni pada saat sumberdaya anggaran terbatas, agen OTM membawa kepentingan Nagari yang “diwakilinya”, maka persaingan di antara sesama anggota Legislatif tidak terhindarkan. Persaingan ditandai dengan perebutan alokasi anggaran untuk konstituen, yakni masyarakat Jorong dan Nagari dengan basis legitimasi OTM.
Apabila ditelaah hubungan transaksional antara lembaga legislatif dan eksekutif, terdapat potensi kerjasama yang dapat diwujudkan dalam tindakan kompromi serta tawar menawar dalam rangka penyusunan anggaran daerah. Proses kompromi serta tawar menawar di antara ke dua lembaga tersebut mendapatkan basis legitimasi secara legal karena di dalam proses penganggaran APBD, relasi di antara eksekutif dengan legislatif telah diatur dalampasal 20A UUD 1945 dan UU No.32 Tahun 2004. Menurut ketentuan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan tersebut, pihak eksekutif (kepala daerah) dapat diusulkan untuk dimakzulkan oleh legislatif, eksekutif harus mempertanggungjawabkan penggunaan dana yang telah dipergunakannya setiap tahun anggaran, serta pada masa berakhirnya masa pemerintahannya (5 tahun).
Di samping itu, UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Tatib DPR/DPRD mengindikasikan bahwa intervensi hak budgeting-nya legislatif menjadi kuat. Hal ini sesuai dengan kajian Dobell dan Ulrich (2002) yang menyatakan bahwa peran penting legislatif adalah mewakili kepentingan rakyat, pemberdayaan pemerintah dan mengawasi kinerja pemerintah. Dengan peran tersebut, birokrasi merespon semua tekanan yang diberikan oleh legislatif dalam proses penganggaran, legislasi serta membuat kebijakan publik. Menurut Samuels
(dalam Abdullah 2006), legislatif dapat melakukan perubahan terhadap usulan anggaran yang diajukan pemerintah, terutama dalam dua hal19, pertama, merubah jumlah anggaran. Kedua, merubah distribusi belanja atau pengeluaran dalam rancangan anggaran tersebut.
19Mengikuti kekuasaan legislatif yang umum, terdapat empat kemungkinan perubahan yang dilakukan legialatif terhadap rencana rancangan anggaran, pertama, mengurangi atau menaikkan pendapatan. Kedua, meminta pengesahan eksekutif sebelum keputusan akhir untk menaikkan pengeluaran. Ketiga, dapat menaikkan pengeluaran, jika pendapatan nya juga naik. Keempat, legislatif dapat menaikkan, menurunkan pengeluaran atau pendapatan tanpa ada pembatasan.