• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEWAJIBAN KOMISI INFORMASI SEBAGAI BADAN

E. Kewajiban Komisi Informasi Publik sebagai Badan Penyelesaian

Meskipun Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menjamin hak memperoleh informasi publik (yang dilakukan melalui permohonan informasi publik), namun UU KIP juga menekankan keharusan adanya alasan bagi setiap permohonan informasi publik saat mengajukan permintaan informasi publik. Aturan ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (3) UU KIP. Apa makna yang tersembunyi dari ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU KIP tersebut?

Tampaknya pembuat UU KIP menyadari bahwa dengan diundangkannya UU KIP, di kemudian hari akan terjadi puluhan bahkan ratusan gelombang permohonan informasi publik kepada Badan Publik. Suka tidak suka Badan Publik akan mengalami kewalahan dalam melayani permohonan informasi publik itu, yang bisa jadi dilakukan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pengundangan UU KIP. Pada gilirannya hal itu justru menghambat tugas-tugas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh Badan Publik. Oleh karena

itu “penyertaan alasan permintaan” dalam permohonan informasi diharapkan

mampu menjadi filter pertama (sebagai syarat prosedural) dari berbagai permohonan informasi yang dialamatkan kepada Badan Publik. Terlepas apakah alasan permintaan dalam permohonan informasi publik disampaikan secara tertulis atau tidak tertulis, yang terpenting bahwa alasan permintaan informasi

publik harus dinyatakan (declare).

Tidak dipenuhinya syarat prosedural tadi, memberi hak kepada BPOM untuk menolak permintaan informasi publik. Pasal 6 ayat (2) UU KIP menegaskan

bahwa Badan Publik dalam hal ini BPOM berhak menolak memberikan informasi publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan perUndang-undangan. Frasa “ketentuan peraturan perundang-undangan” harus ditafsirkan sebagai seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku, tentu saja termasuk UU KIP. UU KIP Pasal 4 Ayat (3) jelas memerintahkan kepada pemohon informasi publik untuk menyertakan alasan permintaan informasi publik dalam permohonan informasinya.

Harus diakui bahwa keberadaan Pasal 6 Ayat (2) Jo. Pasal 4 Ayat (3) UU KIP seolah memberi peluang kepada Badan Publik untuk mempertahankan “ketertutupannya”, karena dengan mudah hanya berdasarkan alasan prosedural dapat menolak permintaan informasi publik. Padahal tidak semua permintaan informasi publik dilakukan tanpa itikad baik, sekedar iseng atau tanpa maksud dan tujuan yang jelas sebagaimana diamanatkan oleh UU KIP. Di sini pentingnya dilakukan uji kegunaan oleh Komisi Informasi. Sedikitnya terdapat tiga alasan

juridis mengapa uji kegunaan harus dilakukan oleh Komisi Informasi.72

Pertama, pada prinsipnya disertai ataupun tidak disertai alasan permintaan informasi publik, berdasarkan ketentuan Pasal 4 Ayat (3) UU KIP, Komisi Informasi mempunyai kewenangan untuk meneliti, mengkaji, dan menguji alasan permintaan informasi publik yang dilayangkan kepada Badan Publik dalam hal ini BPOM pada setiap penyelesaian sengketa informasi publik. Pengujian ini harus dilakukan oleh Komisi Informasi untuk tujuan berikut, yaitu (i) untuk menilai ada

tidaknya kegunaan informasi publik yang dimintakan kepada

BPOM berdasarkan alasan permintaannya; (ii) untuk mencegah tindakan

72

sewenang-wenang BPOM yang menggunakan alasan tidak terpenuhinya syarat

prosedural untuk mempertahankan ketertutupannya.73

Kedua, sebagai batu uji yang memastikan terpenuhinya unsur “pengguna informasi publik” sebagai salah satu pihak dalam sengketa informasi publik. Sebagaimana disebut pada Pasal 1 angka 4 UU KIP, nyata dan jelas disebut bahwa sengketa informasi publik adalah sengketa antara badan publik dengan

pengguna informasi publik – bukan sekadar pemohon informasi publik.74

Ketiga, untuk memastikan bahwa informasi publik yang dimintakan akan digunakan oleh pengguna informasi publik secara tidak melawan hukum dan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan. Memang sangat mustahil jika Komisi Informasi dapat memastikan dan menjamin pengguna informasi publik menggunakan informasi publik yang diminta secara tidak melawan hukum dan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan, sebab kewajiban untuk menggunakan informasi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan sebagaimana disebut dalam Pasal 5 Ayat (1) UU KIP dibebankan kepada pengguna informasi publik bukan kepada Komisi

Informasi.75

Selain itu, soal “menggunakan informasi publik” dalam penyelesaian sengketa informasi terkait dengan pelaksanaan putusan Komisi Informasi, yang pada posisi ini harus diakui Komisi Informasi belum mempunyai instrumen hukum untuk menjangkau tahapan tersebut. Akibatnya Komisi Informasi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan yang memastikan pelaksanaan putusan Komisi Informasi.

73 ibid 74 ibid 75 ibid

Namun demikian, dengan melakukan uji kegunaan, kelemahan tersebut dapat diminimalisasi. Komisi Informasi secara maksimal dan optimal sesuai dengan kewenangan yang melekat padanya telah mengupayakan agar pasca- putusan penyelesaian sengketa di Komisi Informasi, pengguna informasi publik meggunakan informasi publik sesuai dengan ketentuan perUndang-undangan yang berlaku.

Lebih lanjut, UU KIP merupakan instrumen hukum nasional yang mewajibkan keterbukaan informasi publik tidak hanya bagi penyelenggara negara tetapi juga untuk badan publik nonpemerintah lainnya. Agar UU KIP kuat

fungsinya, maka penyusun UU a quo juga mensyaratkan dibentuknya satu

lembaga yang harus memberikan kekuatan agar Undang-undang ini dapat dilaksanakan dengan semestinya. “Kehadiran lembaga yang notabene dalam Undang-undang ini adalah Komisi Informasi memiliki fungsi strategis untuk menjalankan, sekaligus memelihara dan menjamin terlaksananya Undang-undang ini dengan baik. Hal ini sejalan dengan terminologi komisi informasi sebagai lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaanya, menetapkan petunjuk teknis, standar layanan informasi publik, dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi, dan/atau ajudikasi nonlitigasi.

Disini ditegaskan tugas Komisi Informasi, yang diwakili komisionernya, adalah

menjalankan UU KIP dan menjaga eksistensi UU a quo sesuai amanat Pasal 23

UU KIP. Pasal a quo menyatakan tugas Komisi Informasi yaitu, menjalankan UU

informasi publik, menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.

Dari tugas Komisi Informasi yang diatur lewat Pasal 23 tersebut, bahwa pembuat UU KIP memberikan tugas yang sifatnya implementatif dan tugas lainnya sebagai penyelesaian sengketa. Dengan demikian, kedudukan Komisi Informasi sebagai kuasi peradilan hanyalah merupakan salah satu fungsi Komisi Informasi. Padahal, metode penyelesaian sengketa dimaksud dapat dilakukan dengan penyelesaian sengketa ajudikasi lewat pengadilan arbitrase dan penyelesaian sengketa nonajudikasi lewat mediasi, konsiliasi, serta negosiasi.

Jadi dengan demikian, ketika Komisi Informasi melakukan mediasi, maka para komisioner sedang berada pada kompetensi penyelesaian sengketa nonajudikasi. Tetapi, ketika mereka selesai menyelesaikan dengan mediasi dan tidak mendapatkan putusan yang baik, kemudian mereka milih nonajudikasi, maka mereka berada pada penyelesaian ajudikasi. Sehingga, putusan-putusan ajudikasi ini memiliki kekuatan hukum yang mengikat seperti pengadilan atau arbitrase.

Terkait soal Sekretariat Komisi Informasi yang dianggap telah direduksi kemandiriannya, dalam hal penyelesaian sengketa, Sekretariat Komisi Informasi hanya bersifat fasilitatif dan tidak memiliki kewenangan apapun dalam memutus perkara. Yang bertindak menyelesaikan sengketa adalah komisioner yang independen dan tidak dapat diintervensi oleh siapa pun.

Terkait dengan keberadaan unsur pemerintah dalam Komisi Informasi, baik pusat maupun daerah, keberadaan unsur pemerintah dalam satu lembaga negara bukanlah hal yang perlu dipersoalkan karena pada praktiknya keterwakilan

pemerintah dalam komisi informasi pusat juga dilakukan melalui proses seleksi dan fit on proper test oleh DPR. Sehingga, calon dari pemerintah maupun calon komisioner lainnya tidak dibedakan.

Kemandirian atau independensi tidak bermakna bahwa lembaga negara dimaksud lepas dan tidak mempunyai kaitan apapun dengan lembaga negara lain. Kemandirian atau independensi diberikan sebatas mandiri dan independen pada soal-soal yang berkaitan dengan fungsi yang diberikan kepada lembaga tersebut. bahwa kemandirian atau independensi lembaga sebenarnya mempunyai dua aspek, yaitu aspek eksternal dan aspek internal.Bahwa aspek eksternal deklaratoir atau pemberitahuan kepada publik tentang kemandirian atau independensi lembaga yang bersangkutan. Sedangkan aspek internal mempunyai sifat obligatoir atau kemandirian justru memberikan kewajiban-kewajiban bahkan batasan dan larangan tertentu kepada pelaksana dari lembaga yang bersangkutan. Sebab, justru dengan adanya kewajiban, batasan, atau larangan, kemandirian atau independensi

lembaga dapat direalisasi.76.

Terkait dengan kemandirian Komisi Informasi, Komisi Informasi wajib untuk mandiri ketika menjalankan fungsinya. Namun, pengertian mandiri yang dimiliki oleh Komisi Informasi tidak dapat dipersamakan dengan makna kekuasaan yang merdeka sebagaimana yang disebut dalam Pasal 24 Undang- undang Dasar Tahun 1945. Komisi informasi bukanlah penyelenggara kekuasaan kehakiman dan tidak termasuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UUD 1945. Hal tersebut sesuai dengan

76

original intent pembuatan UU a quo yang tidak bermaksud menjadikan Komisi

Informasi sebagai lembaga peradilan.77

Badan Publik dalam hal ini BPOM diberikan keleluasaan untuk mengatur SPO layananInformasi Publik sesuai dengan kondisi lembaganya sepanjang tidak bertentangan dengan PERKI No. 1. Pengaturan yang lebih ketat dan baik

sangat dianjurkan dengan mengacu pada efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan layanan Informasi Publik.

Masukan Komisi Informasi terhadap SPO tidak dapat dijadikan dasar bagi Badan Publik sebagai alasan pembenar dalam proses penyelesaian sengketa Informasi Publik di Komisi Informasi. Masukan yang telah diberikan oleh Komisi Informasi tidak mengurangi independensi Komisi Informasi dalam memutus penyelesaian sengketa Informasi Publik.

77

BAB IV

AKIBAT HUKUM DARI PENYELESAIAN SENGKETA OLEH KOMISI INFORMASI ATAS INFORMASI YANG DIBERIKAN BPOM TERKAIT

KESELAMATAN KONSUMEN

A.Perlindungan Konsumen dalam Mengkonsumsi Suatu Produk

Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menentukan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian. Dalam era globalisasi dewasa ini dimana arus informasi mengenai produk barang ataupun jasa dari para pelaku usaha demikian pesatnya mengalir kepada konsumen, yang merupakan tujuan utama bagi para pelaku usaha untuk memperkenalkan menawarkan dan membuat konsumen tertarik untuk mempergunakan produk barang ataupun jasa yang di hasilkannya. Masyarakat di tuntut untuk lebih cepat dan praktis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga untuk masyarakat cendrung memilih makanan dan minuman yang di produksi pabrik, bukan lagi alami olahan sendiri. Namun disisi lain, masyarakat sebagai konsumen, sering kali tidak memperhatikan informasi sebenarnya mengenai produk makanan dan minuman yang akan, ataupun sudah di belinya. Kenyataanya seperti itu seringkali di sebabkan karena kelelaian pelaku usaha terhadap keadaan produk yang di tawarkannya. Kelalaian seperti inilah yang dapat menimbulkan kerugian pada konsumen seperti mengganggu kesehatannya.

Menurut Pasal 1 angka 2 UUPK konsumen adalah “setiap orang pemakai

barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan”. Pengertian konsumen dalam UUPK di atas lebih luas bila di bandingkan dengan dua (2) rancangan Undang-undang perlindungan konsumen lainnya, yaitu pertama dalam rancangan Undang-undang Perlindungan konsumen yang di ajukan oleh yayasan lembaga konsumen indonesia, yang menentukan bahwa: Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang

tidak untuk di perdagangkan kembali.78

Selain itu, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam hukum sering di kenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition). Jika semua hak- hak yang disebutkan itu disusun kembali secara sistematis (mulai dari yang di asumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut :

1) Hak Konsumen Mendapat Keamanan Konsumen berhak mendapat

keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika di konsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani. Seperti zat atau obat berbahaya yang tergolong dalam narkotika dan psikotropika.

2) Hak untuk Mendapat Informasi yang Benar Setiap produk yang

diperkenalkan harus di sertai informasi yang benar.informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran kekeliruan atas produk barang dan jasa.

78

Ahmadi Miru Dan Sutarman Yodo, ,Hukum Perlindungan Konsumen,( Jakarta: Rajawali Pers,2004), Hal. 2.

3) Hak untuk Didengar Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk di dengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.

4) Hak untuk Memilih Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen

berhak menentukan pilihannya, ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli.

5) Hak untuk Mendapatkan Produk Barang dan/ atau Jasa sesuai dengan

Nilai Tukar yang Diberikan Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak wajar.

6) Hak untuk Mendapatkan Ganti Kerugian Jika konsumen merasakan,

kuantitas dan kualitas barang dan/jasa yang di konsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang di berikannya, ia berhak mendapat ganti kerugian yang pantas.

7) Hak untuk Mendapat Penyelesaian Hukum Hak untuk mendapat ganti

kerugian harus di tempatkan lebih tinggi daripada pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausul eksoneris secara sepihak.jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang layak

8) Dari pihak-pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak- pihak yang dipandang merugikan karena mengonsumsi produk itu.

9) Hak untuk Mendapat Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat Hak

konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia.

10)Hak untuk Dilindungi dari Akibat Negatif Persaingan Curang Hak

konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya oleh pemerintah guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan konsumen j. Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen Adalah memberikan pengetahuan mengenai produk baik berupa keunggulan maupun manfaat yang di peroleh dengan

mengkonsumsi dan memakai79 .

B. Hak Konsumen atas Informasi

Kebebasan memperoleh informasi (selanjutnya disebut KMI) adalah hak asasi manusia yang bersifat fundamental dan universal. Hal ini berarti setiap individu punya hak, tanpa kecuali, untuk memperoleh informasi. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, pemerintah memiliki kewajiban membuka informasi. Kebebasan memperoleh informasi ini mendapat jaminan secara internasional, terutama dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

79

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta: Sinar Grafika, 2008) Hal.32

(Universal Declaration of Human Rights) PBB dimana disebut bahwa “Setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat dan ekspresinya; hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa adanya campur tangan, dan juga hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan ide melalui media

apapun, dan tak boleh dihalangi.80Dalam laporannya kepada Komisi Hak-hak

Asasi Manusia PBB, Abid Hussain, seorang special rapporteur untuk Perserikatan

Bangsa-bangsa menyatakan, “Kebebasan informasi merupakan salah satu hak

asasi manusia yang sangat penting. Sebab kebebasan tidak akan efektif apabila orang tidak memterhadap informasi. Akses informasi merupakan dasar bagi

kehidupan demokrasi.81 Hak atas Informasi, Demokratisasi dan Good Governance

Kebebasan informasi atau jaminan atas akses publik terhadap informasi (public

access to information), sistem negara yang demokratis (democratic state) dan tata

pemerintahan yang baik (good governance) merupakan tiga konsep yang saling

terkait satu dengan lainnya. Kebebasan informasi membuat masyarakat dapat mengontrol setiap langkah dan kebijakan yang diambil oleh pejabat yang berpengaruh pada kehidupan mereka. Dalam negara demokrasi, penyelenggaraan kekuasaan harus setiap saat dapat dipertanggungjawabkan kembali kepada rakyat. Akuntabilitas membawa ke tata pemerintahan yang baik, yang bermuara pada jaminan terhadap hak asasi manusia. Untuk membangun tata pemerintahan yang

baik (good governance), pemerintah terbuka (opengovernment) merupakan salah

satu fondasinya.82

80

Haryanto, Ignatius, Apa Itu kebebasan Memperoleh Informasi?, (Jakarta:Koalisi untuk kebebasan memperoleh informasi publik dan UNESCO,2008) hal 12

81

koalisi untuk Kebebasan Informasi, Melawan Tirani Informasi, (Jakarta: Koalisi untuk Kebebasan Informasi,2001) hal. 11

82 ibid

Dalam pemerintahan yang terbuka, kebebasan informasi adalah sebuah keniscayaan. Di dalam pemerintahan yang terbuka berlangsung tata pemerintahan yang transparan, terbuka dan partisipatoris dalam seluruh proses pengelolaan kenegaraan, termasuk seluruh proses pengelolaan sumber daya publik sejak dari proses pengambilan keputusan, pelaksanaan serta evaluasinya.

Menurut Mas Achmad Santosa, 83 pemerintahan yang terbuka

mensyaratkan adanya jaminan atas lima hal:

1. Hak memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan peran

publiknya (right to observe)

2. Hak memperoleh informasi (right to information)

3. Hak terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan

publik (right to participate)

4. Kebebasan berekspresi, salah satunya diwujudkan melalui kebebasan pers

5. Hak mengajukan keberatan terhadap penolakan terhadap hak-hak di atas.

Jelas bahwa hak publik untuk memperoleh informasi merupakan salah satu prasyarat penting demi mewujudkan pemerintahan terbuka, yang dapat dilihat sebagai upaya proaktif mencegah timbulnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pengelolaan sumber daya publik. Praktek- praktek inilah yang dipercaya sebagai penyebab utama krisis multi dimensi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997.

Pengalaman di masa sebelumnya menunjukkan dengan jelas bahwa akibat tidak adanya mekanisme dan jaminan hukum terhadap akses informasi publik justru dapat menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

83

Good Governance dan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2001).

Dengan pola pemerintahan yang tertutup, lembaga-lembaga pemerintahan yang ada cenderung bekerja secara tidak profesional karena tidak ada ruang bagi publik untuk mengawasi dan mengontrol kinerja mereka. Oleh karena itu, seharusnya upaya pencegahan KKN melalui perwujudan pemerintahan terbuka dianggap lebih strategis dibandingkan upaya pemberantasan dengan cara menghukum (represif). Kebebasan memperoleh informasi bukan sekedar membawa manfaat dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan efisien sekaligus dapat mencegah praktek KKN, namun juga meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik serta pengawasan atas pelaksanaannya. Kebebasan memperoleh informasi punya dampak sangat signifikan pada demokratisasi dan upaya membangun penyelenggaraan negara

yang baik.84

Hak karena kebebasan memperoleh informasi sangat penting, maka perlu untuk memiliki mekanisme yang jelas dalam bentuk Undang-undang. Adanya undang-undang kebebasan memperoleh informasi sangat penting artinya dalam beberapa hal:

1. Sebagai indikasi apakah negara konsisten menjalankan pemerintahan yang

demokratis dan transparan

2. Mengatur pemerintah dalam menjamin hak publik untuk mengakses

informasi dan dokumen yang merupakan kepentingan publik

3. Memberi pedoman bagi pejabat publik dan badan publik yang mengelola

dan menyimpan informasi yang memiliki nuansa kepentingan publik

84

Haryanto, Ignatius, Apa Itu kebebasan Memperoleh Informasi?, (JakartaKoalisi untuk kebebasan memperoleh informasi publik dan UNESCO,2008) hal 15

dalam memberikan pelayanan bagi publik yang meminta informasi publik tersebut.

4. Menjadi pedoman untuk menentukan informasi mana yang dapat dibuka

untuk publik (accessible) dan yang dilarang untuk dibuka kepada publik,

karena sifatnya yang memang harus dirahasiakan (secret dan

confidential)85

Hak-Hak KonsumenSesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan

Konsumen, Hak-hak Konsumen adalah86 :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

85

ibid 86

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perUndang-undangan

lainnya.

Kesembilan hak konsumen tersebut yang makin perlu secara kontinu disosialisasikan kembali oleh pebisnis bersama media, YLKI, penegak hukum, pengacara, dan pengamat, terutama di daerah, agar tetap sadar adanya hak-hak

konsumen yang terhitung "demand side" dari perekonomian, yakni masyarakat

konsumen dan umum. Makin sadar akan hak dan kewajiban kedua pihak,

"supplyside" dan "demand side", maka semakin berbudaya kehidupan bangsa ini.

Sebagai bahan pembanding, yang pernah dijadikan referensi Lembaga Konsumen negeri ini, adalah hak-hak dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak tersebut pertama kali disuarakan oleh John F. Kennedy,

Presiden Amerika Serikat (AS), pada tanggal 15 Maret 1962 melalui "A special

Message for the Protection of Consumer Interest" yang dalam masyarakat

internasional lebih dikenal dengan "Declaration of Consumer Right". Dalam

literatur umumnya disebut "empat hak dasar konsumen" (the four consumer basic

rights). Hak-hak dasar yang dideklarasikan meliputi:

1. Hak untuk mendapat/memperoleh keamanan (the right to safety).

Konsumen memiliki hak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan produk dan jasa. Misalnya, makanan dan minuman yang dikonsumsi harus aman bagi kesehatan konsumen dan masyarakat umumnya. Produk makanan yang aman berarti produk tersebut memiliki standar kesehatan,

gizi dan sanitasi serta tidak mengandung unsur yang dapat membayakan manusia baik dalam jangka pendek maupun panjang. Di AS hak ini

Dokumen terkait