• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewajiban Puasa Ramadhan

Dalam dokumen Berjalan Meraup Hidayah | Ma'had al-Mubarok (Halaman 36-38)

Allahta'alaberfirman (yang artinya),“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian puasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian,

mudah-mudahan kalian bertakwa.”(al-Baqarah: 183)

Imam Ibnu Katsirrahimahullahberkata, “Melalui ayat ini, Allahta'alaberfirman kepada

orang-orang yang beriman. Allah memerintahkan mereka untuk berpuasa, yaitu menahan diri dari menikmati makanan, minuman, dan hubungan badan, dengan niat yang ikhlas untuk Allah'azza wa jalla. Sebab, di dalam ibadah puasa itu terkandung penyucian jiwa, pembersihan dan penjernihannya dari segala kotoran dosa dan akhlak yang rendah. Allah menyebutkan bahwa Allah mewajibkan puasa kepada mereka

sebagaimana Allah juga mewajibkannya kepada orang-orang sebelum mereka. Sehingga mereka memiliki teladan dalam hal itu. Oleh sebab itu hendaknya mereka bersungguh-sungguh dalam menunaikan kewajiban ini lebih sempurna daripada yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka.” (lihatTafsir al-Qur'an al-'Azhim

[1/277] cet. Maktabah at-Taufiqiyah) Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

rahimahullahberkata, “Di dalam ayat

“Sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian.” terkandung beberapa faidah.

Pertama: pentingnya puasa, dimana Allah'azza wa jallajuga mewajibkannya kepada umat-umat sebelum kita. Hal ini menunjukkan kecintaan Allah

'azza wa jallaterhadapnya, dan bahwasanya ibadah ini wajib bagi setiap umat.Kedua: meringankan beban umat ini, dimana mereka tidak sendirian dalam pembebanan ibadah puasa ini yang terkadang bisa menimbulkan kesulitan bagi jiwa (perasaan) dan badan.Ketiga: isyarat yang menunjukkan bahwasanya Allahta'alatelah menyempurnakan agama bagi umat ini tatkala Allah sempurnakan untuk mereka berbagai keutamaan yang pernah ada pada umat-umat sebelum mereka.” (lihatSyarh Tsalatsah al-Ushul, hlm. 52)

Syaikh as-Sa'dirahimahullahberkata, “Sesungguhnya puasa merupakan salah satu sebab paling utama untuk meraih ketakwaan. Karena di dalamnya terkandung penunaian perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Selain itu, kandungan takwa yang terdapat di dalam ibadah ini adalah: seorang yang berpuasa meninggalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah kepadanya yaitu makan, minum, jima', dan lain sebagainya yang hawa nafsunya cenderung kepadanya. Dia melakukan hal itu demi

mendekatkan diri kepada Allah. Dia mengharapkan pahala dari-Nya tatkala meninggalkan itu semua. Maka ini adalah termasuk bentuk ketakwaan. Selain itu,

kandungan takwa yang terdapat di dalam ibadah ini adalah: seorang yang berpuasa

menggembleng dirinya untuk merasa senantiasa diawasi oleh Allahta'ala, sehingga dia akan meninggalkan apa yang diinginkan oleh hawa

nafsunya walaupun sebenarnya dia mampu untuk melakukannya karena dia mengetahui bahwa Allah mengetahui apa yang dilakukannya. Selain itu, dengan puasa akan menyempitkan jalan-jalan setan, karena sesungguhnya setan itu mengalir dalam tubuh manusia sebagaimana peredaran darah. Dengan puasa niscaya akan melemah kekuatannya dan mempersedikit kemaksiatan yang mungkin terjadi. Selain itu, orang yang berpuasa biasanya lebih banyak berbuat ketaatan, sedangkan ketaatan merupakan bagian dari ketakwaan. Selain itu, orang yang kaya apabila merasakan susahnya rasa lapar niscaya hal itu akan membuatnya peduli dan memiliki empati dengan orang-orang miskin papa, dan ini pun termasuk bagian dari ketakwaan.” (lihatTaisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 86)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

rahimahullahberkata, “Puasa Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah (penghambaan) kepada Allah

subhanahu wa ta'aladengan meninggalkan makan, minum, dan jima' (hubungan suami-istri) sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Inilah hakikat puasa, yaitu seseorang beribadah kepada Allah dengan meninggalkan

perkara-perkara ini, bukan meninggalkannya hanya sebagai sebuah kebiasaan atau karena ingin menjaga kesehatan badan. Akan tetapi dia

beribadah dengannya kepada Allah. Dia menahan dari menikmati makanan, minuman, dan

berhubungan, demikian pula seluruh pembatal lainnya, dari sejak terbitnya fajar hingga

terbenamnya matahari, dari sejak terlihatnya hilal Ramadhan hingga tampak hilal Syawwal.” (lihat

Syarh Riyadhus Shalihin[3/380] cet. Dar al-Bashirah)

Imam Abu Ishaq asy-Syairazirahimahullah

berkata, “Puasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam dan salah satu kewajiban agama yang harus ditunaikan. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu 'Umar

radhiyallahu'anhu, bahwa Nabishallallahu 'alaihi wa sallambersabda,“Islam dibangun di atas lima perkara; syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah, mendirikan sholat, membayarkan zakat, haji, dan puasa Ramadhan.”

(HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16).” (lihat

al-Muhadzdzab fi Fiqhi al-Imam asy-Syafi'i

[1/324])

Dari Thalhah bin 'Ubaidillahradhiyallahu'anhu, beliau menuturkan: Ada seorang arab badui yang datang kepada Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallamdengan rambut yang acak-acakan. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! Kabarkan kepadaku sholat apa yang diwajibkan kepadaku?”. Beliau menjawab, “Sholat lima waktu, kecuali kalau kamu mau menambah sholat sunnah.” Lalu dia berkata, “Kabarkan kepadaku puasa apa yang diwajibkan kepadaku?”. Beliau menjawab, “Puasa di bulan Ramadhan, kecuali kamu mau menambah puasa sunnah.” (HR. Bukhari dalam Kitab ash-Shaum [1891] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [11]) Syaikh Abdullah al-Bassamrahimahullahberkata, “Hadits-hadits yang menunjukkan kewajiban puasa cukup banyak. Kaum muslimin pun telah sepakat bahwa barangsiapa yang mengingkari kewajibannya maka dia kafir.” (lihatTaudhih al-Ahkam[3/439])

Imam Ibnul Qayyimrahimahullahberkata, “Tatkala mengekang hawa nafsu dari hal-hal yang

disenangi dan diinginkan termasuk perkara yang paling berat dan sulit, maka kewajibannya pun diakhirkan hingga pertengahan masa Islam yaitu setelah hijrah; yaitu pada saat hawa nafsu mereka telah terdidik dengan tauhid dan sholat serta terbiasa dengan perintah-perintah al-Qur'an. Maka sesudah itu baru beralih kepada

diwajibkannya puasa secara bertahap. Puasa baru diwajibkan pada tahun kedua setelah hijrah. Tatkala wafat, Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallamtelah menjalani sembilan kali puasa Ramadhan. Pada awalnya, puasa diwajibkan dengan disertai pilihan; antara berpuasa atau memberikan makan kepada satu orang miskin sebagai ganti satu hari tidak puasa. Kemudian berpindah dari keadaan boleh memilih ini kepada diwajibkannya puasa. Pada saat itulah ditetapkan bahwa memberikan makan berlaku untuk

kakek-nenek yang sudah tua renta apabila mereka tidak kuat berpuasa. Mereka boleh tidak puasa, dan sebagai gantinya mereka harus memberikan makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Demikian pula, Allah

berikan keringanan bagi orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa dan

meng-qodho'/mengganti di waktu yang lain. Ketentuan serupa juga berlaku bagi wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan kondisi tubuhnya. Namun, apabila mereka khawatir akan kondisi bayinya maka selain meng-qodho' mereka juga harus memberikan makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Mereka itu berbuka bukan karena khawatir sakit, karena pada saat itu mereka dalam keadaan sehat-sehat saja. Maka sebagai penggantinya mereka harus memberikan makan kepada orang miskin sebagaimana hukum orang sehat yang memilih tidak puasa di masa awal Islam. Sehingga ada tiga tahapan diwajibkannya puasa: Pertama, diwajibkannya puasa dengan disertai pilihan lain (antara puasa atau memberikan makan, pent). Kedua: diwajibkannya puasa saja; akan tetapi ketika itu orang yang berpuasa dan tertidur sebelum berbuka maka dia tidak boleh makan dan minum hingga datang malam berikutnya.

Kemudian hukum ini dihapus dengan tahapan ketiga, yaitu sebagaimana yang sudah menjadi aturan baku dalam syari'at dan berlaku hingga hari kiamat.” (lihatadh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir[1/331])

~ Sedikit Faidah Seputar Hadits Niat

Dalam dokumen Berjalan Meraup Hidayah | Ma'had al-Mubarok (Halaman 36-38)

Dokumen terkait