• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewarganegaraan Dan Diskriminasi Masyarakat Etnis Cina

Dalam dokumen Politik Identitas Etnis Cina Di Indonesia. (Halaman 63-69)

BAB II : ETNIS CINA DI INDONESIA DAN PEMBUKTIAN

E. Kewarganegaraan Dan Diskriminasi Masyarakat Etnis Cina

Salah satu bentuk diskriminasi nyata yang dilakukan secara instutional di Indonesia adalah penerapan ketentuan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia atau populer denga sebutan SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Cina beserta keturunannya. Meskipun ketentuan ini bersifat adminstratif, secara esensi, penerapan SKBRI sama artinya dengan upaya menempatkan WNI etnis Cina pada posisi status hukum warga negara yang ”masih dipertanyakan” (status quo)26. Akibatnya, seseorang WNI etnis Cina yang meskipun sudah beberapa generasi lahir ”hingga menutup mata” ditumpah darah Indonesia, setiap waktu harus membuktikan dirinya sebagai warga negara Indonesia. Dalam berbagai proses administratif publik, dari pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), memasuki daerah pendidikan, menyatakan hak politik, membuat surat perjalanan keluar negeri, sampai menikah dan meninggal dunia pun harus membuktikan dirinya warga negara Indonesia melalui SBKRI.

Permasalahan pembuktian kewarganegaraan Republik Indonesia dan SBKRI, seperti yang sudah diulas sebelumnya, sebenarnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1947 yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 3 Tahun 1946 tentang penduduk dan warga negara ditegaskan secara eksplisit bahwa dalam sistem Undang-Undang warganegara Indonesia suatu bentuk

kewargaan negara Indonesia TIDAK DIPERLUKAN untuk orang-orangyang       

26

tentu dan diharapkan tentu menjadi wagranegara Indonesia; yaitu orang Indonesia asli dan untuk orang peranakan. Artinya, penduduk etnis Cina yang

sudah menjadi WNI sejak kelahirannya tidak lagi membutuhkan pembuktian atas kewarganegaraan Republik Indonesia-nya.

Namun, dalam perkembangannya setelah terjadi penyerahan kedaulatan setelah Konfrensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, permasalahan pembuktian kewarganegaraan RI muncul, yang oleh mantan Menteri kehakiman dan HAM, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra dikatakan sebagai konsekuensi dari klaim politik pemerintahan Mao Tse Tung bahwa semua orang Cina diseluruh dunia, termasuk Indonesia, adalah warga negara Republik Rakyat Tiongkok karena asas ius sanguinis (keturunan darah), yang kemudian ditindaklanjutin dengan perjanjian dwi kewarganegaraan RI-RRT antara Perdana Menteri RRT Chou En Lai, dan Menteri Luar Negeri RI, Mr. Soenari pada tahun 1955 (Media Indonesia, 7 Februari 2004). Permasalahan klaim pemerintah era Mao Tse Tung melalui Chou Enlai sendiri dalam konteks hukum internasional masih diperdebatkan. Berdasarkan Konvensi Den Haag tahun 1930, sebenarnya Republik Indonesia mempunyai legitimasi untuk menentukan siapa yang menjadi warga negaranya sendiri sebagai wujud kedaulatan.

Kemudian dalam Pasal 12 Bab II Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1959 tentang pelaksanaan Undang-Undang tentang Persetujuan antara Republik Indonesia (RI) dan Republik Rakyat Tiongkok(RRT) disebutkan ada berbagai kelompok warga negara Indonesia dikelompokan sebagi WNI tunggal atau

mereka yang tidak diperkenankan memilih kewarganegaraan RI-RRT dan tetap menjadi WNI, yaitu mereka yang berstatus sebagai tentara, veteran, pegawai pemerintah, yang pernah membela nama Republik Indonesia di dunia Internasional, petani, atau bahkan secara implisit mereka yang sudah pernah ikut pemilihan umum tahun 1955. Beberapa tokoh Tionghoa waktu itu, sebut saja Liem Koen Hian, yang terlibat dalam BPUPKI, atau Tan Joe Hok yang membela nama Indonesia di dunia Internasional, dapat dikategorikan sebagai WNI tunggal tersebut. Namun, kenyataannya secara tidak konsekuen tetap saja perjanjian dwi kewarganegaraan dengan kewajiban memilih kewarganegaraan RI atau RRT diterapkan kepada mereka.

Selanjutnya dalam proses opsi tersebut keluar peraturan kabinet yang sudah diskriminatif karena jelas-jelas menunjukan semangat dan politik rasialistik kepada kalangan etnis Cina. Bahkan ini juga diterapkan kepada pedagang kecil masyarakat etnis Cina yang sudah lama ada dipedalaman yang sehari-harinya telah melayani kebutuhan masyarakat dipelosok-pelosok Indonesia yang terpencil. Peraturan kabinet tersebut kemudian dikukuhkan dengan peraturan Presiden Nomor 10 tahun 1959 tentang larangan bagi usaha pedagang kecil eceran yang bersifat asing di Luar Ibukota daerah Swatantra tingkat I, II, serta Keresidenan (yang sering juga disebut dengan PP 10) pada tanggal 16 Nopember 1959.27 Tentu saja istilah ”bersifat asing” menjadi tanda tanya besar apakah hanya ditetapkan kepada WNA atau juga WNI dalam pengertian keturunan asing, yang pasti dalam

      

kenyataannya peraturan tersebut ditujukan kepada etnis Cina, termasuk mereka yang WNI.

Keluarnya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959, dua bulan sebelum dilaksanakannya opsi dwi kenegaraan yang dimulai pada tanggal 20 Januari 1960 mengakibatkan ”pengusiran” dan ”eksodus” besar-besaran terhadap etnis Cina. Diperkirakan jumlahnya 140.000 keluarga28 dari daerah tingkat kabupaten meskipun sebenarnya mereka masih berstatus WNI. Kebijakan PP No. 10/1959 tersebut menunjukan ”politik rasialis” pemerintah saat itu yang melakukan pengingkaran terhadap kesepakatan bilateral yang sebelumnya sudah dijalankan pada tahun 1958 mengenai penyelesaian kewarganegaraan. Politik rasial inilah kemudian menjadi salah satu penyebab –yang sampai hari ini masih menyisakan permasalahan penduduk etnis Cina stateless di Indonesia.

Perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRT ini yang dituangkan dalam UU No. 2/1958 pada tanggal 11 Januari 1958 dan diimplementasikan dengan PP No. 20/1959 tersebut dengan masa opsi 20 Januari 1960 sampai dengan 20 Januari 1962, sudah menyelasaikan permasalahan dwi kewarganegaraan RI-RRT. Karenanya, setelah perjanjian dwi kewarganegaraan tersebut dibatalkan ada tanggal 10 April 1969 dengan Undang-Undang No.4 tahun 1969, permasalahan status warga negara Indonesia etnis Cina sudah terselesaikan dan anak-anak WNI etnis Cina yang lahir setelah tanggal 20 Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal, setelah dewasa tidak diperbolehkan lagi memilih kewarganegaraan lain, selain

      

kewarganegaraan Indonesia (Penjelasan Umum UU No. 4 tahun 1969) dan tidak perlu lagi membuktikan kewarganegaraan sengan SBKRI.

Dalam sejarahnya, SBKRI atau permasalahan kewarganegaraan Indonesia masyarakat etnis Cina sering kali dihubungkan, bahkan dilegitimasikan dengan persoalan loyalitas mereka terhadap Indonesia (nasionalisme)29. Orang-orang etnis Cina sering di-prejudice massih berkiblat ke negeri leluhur (RRT) karena melaksanakan budaya dan adat leluhur mereka. Atas dasar prejudice tersebut seakan-akan mereka pantas dikenai kebijakan SBKRI.

Pendapat tersebut sangatlah terkesan mencampurbaurkan persoalan identitas politik (Kewarganegaraan) dan identitas budaya yang universal dalam masyarakat. Persoalan kewarganegaraan (politik) sudah selesai ketika seorang dinyatakan secara sah sebagai warga negara dari suatu negara, terlepas apapun identitas budayanya. Budaya Cina seperti Imlek pada dasarnya merupakan budaya yang melekat pada komunitas Cina dalam arti universal, dimanapun komunitas tersebut budaya. Budaya tersebut tidak melekat pada atau bahkan dimiliki oleh suatu negara, dalam hal ini RRT, walaupun komunitas Cina terbesar berada disana. Karenanya, komunitas Cina (dalam konteks Indonesia) leluasa untuk melaksanakan ekspresi budaya mereka di negara manapun, tanpa perlu dilekatkan sebagai bagian dari RRT. Namun tentu saja kemudian, budaya tersebut mengalami penyesuaian-penyesuaian mengikuti kondisi negara tempat komunitas itu berada.

      

29   Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan Jawa, dalam tulisan berjudul ‘Asimilasi Golongan

Diskriminasi dalam konteks kultural, hubungan antar individu, sebenarnya merupakan fenomena umum terjadi di mana pun di belahan dunia ini. Naamun, fenomena tersebut menjadi tidak lazim dan menjadi permasalahan serius ketika suatu pemerintahan negara yang berdasarkan kepada hukum negaranya sendiri, melalui berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan, yang merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Dalam konteks Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan diskriminasi adalah setiap pmbatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan kepada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Sementara itu, pengertian diskriminasi rasial menurut Kovensi Internasioanal tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on Elimintion of All Forms of Racial Discrimination,

ICERD 1965) yang diratifikasi oleh Republik Indonesia pada tahun 1999, adalah

berarti segala bentuk perbedaan, pengecualian, pembatasan atau pengutamaan yang didasarkan kepada ras, warna kulit, asal usul keturunan, bangsa atau etnis yang mempunyai tujuan atau akibat meniadakan atau menghalangi pengakuan,

perolehan atau pelaksana pada suatu tumpuan yang sama, akan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan hakiki di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan masyarakat.

Dalam dokumen Politik Identitas Etnis Cina Di Indonesia. (Halaman 63-69)

Dokumen terkait