BAB II : TINJAUAN UMUM ARBITRASE
G. Kewenangan Arbitrase
Kewenangan arbitrase pada dasarnya lahir dari suatu perjanjian arbitrase
yang dibuat oleh para pihak sehingga menghapuskan kewenangan dari pengadilan
untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau yang sengketa yang timbul dari
46
perjanjian yang memuat klasusula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum
ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.47 Hal tersebut senada dengan
pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi: “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”
Mengenai objek sengketa arbitrase, dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 5
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yang berbunyi:
Pasal 5 ayat (1): “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.
Pasal 5 ayat (2): “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui
arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan
tidak dapat diadakan perdamaian”
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.48 Jadi,
suatu sengketa bidang perdagangan, dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan
suatu sengketa yang dapat diadakannya perdamaian, dapat diselesaikan melalui
arbitrase jika telah disepakati melalui perjanjian arbitrase yang mereka buat. Dengan
demikian telah lahir kewenangan arbitrase dan menghapuskan kewenangan
pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul.
47
Gunawan Widjaja, h. 117
48
37
Namun, dalam penyelesaian melalui arbitrase, pengadilan mempunyai
beberapa keterkaitan yakni dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mencantumkan
beberapa keterkaitan serta peranan pengadilan untuk memperkuat proses arbitrase
dari awal proses arbitrase dimulai sampai pelaksanaan putusan arbitrase.49
Keterkaitan diawali dengan kewenangan arbitrase dengan penegasan
pengadilan wajib menolak dan tidak turut campur dalam penyelesaian sengketa,
yang termaktub dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan dalam proses
Pemilihan arbiter khususnya untuk arbitrase ad hoc yang diatur dalam pasal 13 ayat
(1) dan pasal 15 ayat (4), serta diatur pula pada pasal Pasal 22 Sampai dengan Pasal
25 untuk arbitase ad hoc mengenai hak ingkar. Peranan lain dari pengadilan dalam
arbitrase yaitu pengadilan merupakan tempat pendaftaran putusan arbitrase dalam
rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional yang dinyatakan dalam pasal 59 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dan khusus untuk pelaksanaan putusan arbitrase internasional,
tempat pendaftaran pelaksanaan putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketengahkan bahwa kewenangan arbitrase
dilandasi oleh pada perjanjian arbitrase dengan objek sengketa bidang perdagangan.
49
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa – Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional, ( Jakarta: Sinar Grafika,2011) h.65.
Dengan adanya perjanjian arbitrase tersebut menghapus kewenangan pengadilan,
namun penyelesaian arbitrase tetap terkait dengan pengadilan dalam hal pelaksanaan
39 BAB III
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
A. Jenis Putusan Arbitrase
Putusan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dibedakan atas
putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional. Undang-Undang No.30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak
merumuskan definisi putusan arbitrase nasional, namun hanya memberikan definisi
terhadap putusan arbitrase internasional pada pasal 1 angka 9, yang berbunyi:
“Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase international”
Dari rumusan tersebut, jelas bahwa untuk menentukan apakah putusan
arbitrase merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional digunakan faktor
tertorial.50
Senada dengan pendapat Gatot sumartono, bahwa putusan arbitrase yang
dapat dikategorikan sebagai putusan arbitrase internasional, jika diputuskan diluar
wilayah dari negara yang diminta pengakuan (recognition) dan eksekusi
(enforcement), ia pun menambahkan bahwa ciri selanjutnya mengenai putusan
arbitrase internasional adalah penggunaan pilihan hukum dalam proses penyelesaian
50
Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, (Jakarta: Sinar Grafika,2006). h.336
sengketa melalui arbitrase. Artinya apabila para pihak menggunakan hukum asing
sebagai dasar penyelesaian sengketa, walaupun putusannya dijatuhkan di wilayah
hukum Indonesia, putusan tersebut tetap merupakan putusan arbitrase internasional.51
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa yang menjadi ciri putusan arbitrase
internasional didasarkan pada faktor wilayah atau territory dan penggunaan pilihan
hukum dalam proses arbitrase. Sehingga dapat dikatakan bahwa, putusan arbitrase
nasional adalah putusan arbitrase yang diputuskan oleh jenis arbitrase ad hoc maupun
institusional yang dijatuhkan di wilayah hukum Indonesia dan mempergunakan
hukum yang berlaku di Indonesia.
B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, dapat dilaksanakan sesuai dari jenis
putusan arbitrase yaitu putusan arbitrase nasional atau arbitrase internasional, yang
akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional
Pada pelaksanaan putusan arbitrase nasional, para pihak harus memenuhi
apa yang telah diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi:
a. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri.
51
41
b. Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh panitera pengadilan negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.
c. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada panitera pengadilan negeri.
d. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
e. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaram dibebankan kepada para pihak.
Jadi, agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan harus memenuhi pasal 59
yakni dengan mendaftarkan putusan arbitrase berupa lembar asli atau salinan
otentik, dalam waktu paling 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan
diucapkan, kepada panitera pengadilan negeri.
Putusan arbitrase pada dasarnya harus dilakukan secara sukarela, namun
jika tidak putusan dilaksanakan berdasarkan peritah ketua pengadilan negeri atas
permohonan salah satu pihak sebagaimana yang disebutkan pada pasal 61, namun
dengan memenuhi pasal 62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi:
1. Perintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
2. Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
3. Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tdak terbuka upaya hukum apa pun.
4. Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.
Pelaksanan putusan arbitrase yang didasarkan atas permohonan salah satu
pihak agar dapat dapat dieksekusi atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, Pada
permohonan tersebut, harus diperiksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase
memenuhi kriteria, sebagai berikut:52
1. Para pihak menyutujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase.
2. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
3. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan.
4. Sengketa lain yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang tidak bertentangan dengan kesusilan dan ketertiban umum.
Jika permohonan memenuhi ketentuan tersebut, perintah Ketua
Pengadilan dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara
perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun,
apabila pada putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan-ketentuan pasal 62 ayat
(2), Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan pelaksanaan eksekusi,
atas penolakan yang menjadi putusan Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat
dilakukan upaya hukum apapun.
52
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian sengketa; Arbitrase nasional Indonesia dan Internasional. h. 71.
43
2. Pelaksanaan putusan arbitrase internasional
Semua pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di Indonesia
didasarkan pada ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pada
perkembangannya Indonesia telah meratifikasi konvensi New York dan telah
mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 1981 dan diterbitkannya Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan
Nomor 1 Tahun 1990 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
Sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958, dan selanjutnya
mengenai pengaturan tentang pelaksanaan arbitarase internasional di Indonesia
terdapat di dalam pasal 65 s.d pasal 69 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.53
Kewenangan untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Permohonan pelaksanaan dapat dilakukan setelah putusan arbitrase internasional
diserahkan dan didaftarkan ke Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan
disertai dengan hal-hal yang tercantum dalam pasal 67 angka (2) yang bersifat
administratif. Tetapi sebelum itu perlu diketahui syarat-syarat yang diperlukan
atas putusan arbitrase internasional, untuk dapat diakui dan dilaksanakan di
Indonesia sesuai pasal 66 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi, sebagai berikut:
53
Tim pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, (Jakarta: BPHN- KEMENKUMHAM RI, 2010), h.27
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Setelah didaftarkannya putusan arbitrase Internasional kepada Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, selanjutnya dapat diajukan permohonan
pelaksanaan arbitrase internasional ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Atas
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan melaksanakan
putusan arbitrase Internasional tidak dapat ajukan upaya hukum banding atau
kasasi. Namun, apabila permohonan pelaksanaaan di tolak untuk diakui dan
dilaksanakan, terbuka upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung dengan jangka
waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari untuk mempertimbangkan dan
memutuskan sejak permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
Namun, eksekusi terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional di
Indonesia sering kali dapat penolakan dari pengadilan sehingga putusan arbitrase
45
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diatur
dengan tegas. Menurut M. Husseyn Umar, yang merupakan wakil ketua Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Masalah utama yang sering dipersoalkan
dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional, sehingga mendapat penolakan
dari pengadilan adalah dengan adanya alasan bahwa putusan bertentangan dengan
public policy atau ketertiban umum, namun menurutnya penerapan kriteria
tersebut secara konkret tidak selalui jelas dan menimbulkan suatu ketidakpastian
hukum.54 Sehingga Indonesia masih sering menuai kritik dari dunia internasional
mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional dan memberikan kesan
umum bahwa Indonesia masih merupakan “an arbitration unfriendly country”
dimana sulit untuk dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional di
Indonesia.
C. Pembatalan Putusan Arbitrase
Pada dasarnya putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, atau merupakan
putusan pada tingkat terakhir serta mengikat para pihak sehingga tidak dapat diajukan
upaya hukum apapun. Namun menurut Yahya Harahap, mengenai putusan arbitrase
yang bersifat final dan mengikat tersebut, terdapat pengecualian atas alasan yang
sangat eksepsional sehingga dapat diajukan perlawanan atau plea dalam bentuk
54
M. Husseyn Umar, Pokok-pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di
Indonesia, artikel diakses 25 April 2015
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbd785494fc7/pokokpokok-masalah-pelaksanaan-putusan-arbitrase-internasional-di-indonesia-br-oleh-m-husseyn-umar-.
permintaan annulment atau pembatalan putusan,55 hal tersebut senada dengan
pernyataan dari Bambang Sutiyoso dalam bukunya penyelesaian sengketa bisnis,
bahwa pada putusan arbitrase dapat dilakukan pembatalan jika terdapat hal-hal yang
bersifat luar biasa.56 Akibat dari adanya pembatalan putusan arbitrase adalah putusan
tersebut sudah dianggap lenyap secara keseluruhan wujud fisik maupun nilai
yuridisnya, atau seolah-olah sengketa tersebut belum pernah diproses dan diputus dan
secara mutlak putusan arbitrase tersebut dianggap belum pernah ada.57
Mengenai pembatalan putusan arbitrase, tentunya tak semudah yang dikira
karena harus memenuhi unsur-unsur yang dianggap patut untuk dijadikan alasan
terhadap pembatalan. Menurut ketentuan Reglement of de rechtsvordering,
Staatsblaad 1847:52 (R.V) yang berlaku, sebelum berlakunya Undang-undang No.30
Tahun1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang merupakan
pedoman beracara bagi pemeriksaan sengketa melalui lembaga arbitrase di Indonesia,
alasan-alasan yang dapat dipakai oleh para pihak untuk mengajukkan bantahan atau
perlawanan terhadap putusan arbitrase lebih bervariasi. Menurut pasal 643 R.v.,
putusan arbitrase hanya dapat dilawan atau dibantah sebagai tidak sah dalam hal-hal
sebagai berikut :58
55
Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, h.277.
56
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis (Yogyakarta: Citra Media, 2006) h. 141.
57
Yahya Harahap, h.332.
58
BANI, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 (Jakarta: BANI Arbitration Center (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), 2009)). h.14-15
47
1. Apabila putusan itu telah diberikan melewati batas-batas persetujuan;
2. Apabila putusan itu diberikan berdasarkan suatu persetujuan yang batal atau telah lewat waktunya;
3. Apabila putusan itu telah diberikan oleh sejumlah arbiter yang tidak berwenang memutus tanpa hadirnya arbiter-arbiter yang lain;
4. Apabila dalam putusan telah diputus tentang hal-hal yang tidak telah dituntut atau putusan telah mengabulkan lebih daripada yang dituntut;
5. Apabila putusan arbiter itu mengandung putusan-putusan yang satu sama lain bertentangan:
6. Apabila para arbiter telah melalaikan untuk memberikan putusan tentang satu atau beberapa hal yang menurut persetujuan telah diajukan kepada mereka untuk diputus;
7. Apabila para wasit telah melanggar formalitas-formalitas hukum acara yang harus diturut atas ancaman kebatalan; tetapi ini hanya berlaku apabila menurut ketentuan-ketentuan yang tegas dimuat dalam persetujuan, para arbiter diwajibkan mengikuti hukum acara biasa yang berlaku di muka pengadilan;
8. Apabila telah diberikan keputusan berdasarkan surat-surat yang setelah keputusan itu diberikan, diakui sebagai palsu atau telah dinyatakan sebagai palsu;
9. Apabila, setelah putusan diberikan, surat-surat yang menentukan, yang dahulu disembunyikan oleh para pihak, ditemukan lagi.
10.Apabila putusan kemudian diketahui bahwa putusan tersebut didasarkan pada kecurangan atau itikad jahat, yang dilakukan selama berjalannya pemeriksaan.
Sedangkan setelah adanya Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mengenai pembatalan putusan
arbitrase hanya dapat diajukan, jika putusan arbitrase diduga mengandung
unsur-unsur yang telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi sebagai berikut:
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
pemohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengadung unsur-unsur antara lain sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa
Selanjutnya penjelasan Pasal 70 mengenai unsur pembatalan putusan
arbitrase, yang berbunyi :
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan
arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. alasan-alasan pembohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak
permohonan”
Upaya untuk dapat membatalkan putusan arbitrase di Indonesia menurut
Munir Fuady Hanya terbatas pada Pasal 70 Undang-undang No.30 Tahun 1999,59
yang menurut Ramlan ginting, Pasal 70 tersebut bersifat alternatif, artinya
masing-masing alasan dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajukan pembatalan putusan
arbitrase.60
Namun masih terjadi ketidakseragaman pemahaman pasal 70 dalam
prakteknya, menurut Gatot Sumartono ketidakseragaman pemahaman penafsiran pasal 70, akibat dari rumusan kata “antara lain” dalam Pasal 70 tersebut sehingga banyak dimanfaatkan oleh pengacara dan hakim untuk mencari-cari (tambahan)
alasan bagi pembatalan putusan arbitrase, dengan pencampuradukan berbagai alasan,
akhirnya sulit dibedakan antara alasan-alasan yang seharusnya digunakan untuk menolak “mengakui dan melaksanakan” putusan arbitrase (Misal: alasan bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum) dan alasan-alasan untuk
59
Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesian Sengketa Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000) h.112
60
Ramlan ginting, Transaksi binis dan Perbankan Internasional (Jakarta: Salemba Empat, 2007) h.176
49
membatalkan putusan arbitrase. Dengan kata lain, frasa “antara lain” menimbulkan penafsiran bahwa atas unsur-unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase tidak
terbatas hanya pada ketiga unsur yang tercantum dalam pasal 70, artinya putusan
arbitrase dapat dibatalkan dengan unsur diluar pasal 70 tersebut. Atas kemungkinan
pembatalan putusan arbitrase di luar pasal 70 juga disampaikan oleh Hikmahanto
Juwana yang menyebut bahwa berdasar dari kewenangan prosedur pengambilan
putusan yang antara lain dalam proses pemilihan arbiter hingga pemberlakuan hukum
yang dipilih oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa, lazim dipergunakan
sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase.61 Selanjutnya, menurut Priyatna
Abdurrasyid, Pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan atas putusan dengan
kewenangan yang berlebihan (dalam hal ini putusan dapat dikesampingkan) dan
sebagian yuridiksi yang berlebihan.62 Penafsiran yang berbeda timbul tidak hanya dari kata “antara lain” tapi berasal kata “dapat” dalam pasal 70, Menurut Erman Rajagukguk kata “dapat” tersebut dapat diartikan bahwa para pihak tidak wajib mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang telah dijatuhkan karena
kata dapat sendiri mengandung makna tidak memaksa atau imperatif sehingga
terhadap hak para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase
61
Hikmahanto Juwana, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional, Jurnal hukum Bisnis, Vol.21, Oktober-November 2002. h.68
62
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Sengketa (APS), (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011), h.122
nasional yang telah ditentukan oleh pasal 70 dapat dikesampingkan, dasarnya adalah
pasal 1338 KUH Perdata.63
Selain ketidakseragaman penafsiran pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 70 tersebut pun
tidak menyebut dan menjelaskan apakah pembatalan putusan arbitrase tersebut
berlaku pula terhadap putusan arbitrase internasional. Namun, mengenai pembatalan
putusan arbitrase internasional, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
menegaskan bahwa pasal V New York Convention 1958 yang telah diratifikasi
Indonesia melalui Keputusan Presiden No.34 Tahun 1998 telah menyebut
syarat-syarat penolakan atas putusan arbitrase internasional. Adapun pembatalan putusan
arbitrase internasional merupakan kewenangan negara dimana putusan arbitrase itu
dijatuhkan termasuk beberapa pilihan hukum yang disepakati para pihak dan arbiter.64
Sehingga, dapat diketahui bahwa putusan arbitrase internasional yang dapat
dibatalkan di Indonesia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, adalah putusan
arbitrase yang dijatuhkan di wilayah indonesia.
Selanjutnya, mengenai mekanisme upaya pembatalan putusan arbitrase yang
telah diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
63
Erman Rajagukguk, Arbitrase & Kepastian Hukum, artikel diakses pada tanggal 17 April 2015 dari http://nasional.sindonews.com/read/990424/18/arbitrase-kepastian-hukum-1429235310/1
64
Hukum Online, Pengadilan Tak Bisa Batalkan Putusan Arbitrase Internsional .Artikel
diakses pada tanggal 12 April 2015 dari
http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt553641aea376d/pengadilan-tak-bisa-batalkan-putusan-arbitrase-internasional
51
Alternatif Penyelesaian Sengketa pada bab VII pada pasal 70 s.d pasal 72 tentang
Pembatalan Putusan Arbitrase, akan diuraikan sebagai berikut:
1. Memenuhi alasan pembatalan menurut Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang selengkapnya berbunyi:
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur antara lain sebagai berikut :
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat