Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
FITRIANA NIM : 1111048000079
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
PROGRAM STUDI I L M U HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
i
UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
FITRIANA NIM : 1111048000079
PEMBIMBING
DWI PUTRI CAHYAWATI, S.H., M.H
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI I L M U HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan telah tercantum sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan karya asli saya atau
jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. viii + 85 halaman + 77 hal lampiran. Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah upaya pembatalan putusan arbitrase berdasarkan UU No.30 Tahun 1999. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan UU No.30 Tahun 1999, untuk mengetahui pertimbangan hukum putusan Mahkamah Kontitusi No.15/PUU-XII/2014 atas pengujian penjelasan pasal 70 UU No.30 Tahun 1999 dan untuk mengetahui akibat hukum atas lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase. Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase serta mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014. Pendekatan masalah yang digunakan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus
(case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan tertier. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitan kepustakaan (library research). Hasil dari penenlitian ini adalah pertama, mengenai mekanisme pembatalan arbitrase berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 sebagaimana telah diatur dalam Ps.70 s.d Ps.72 yaitu para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan ke Pengadilan Negeri, dengan alasan pembatalan yang terdapat pada Ps.70 yang bersifat limitatif dan atas putusan PN terhadap permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat dilakukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung dengan putusan yang bersifat final dan binding. Kedua, pertimbangan hukum pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014 terhadap pengujian penjelasan pasal 70 UU No.30 Tahun 1999 adalah bahwa pasal 70 sudah cukup jelas (expressis verbis), dan penjelasan pasal 70 telah mengubah norma pasal, menimbulkan norma baru dan multitafsir sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketiga, akibat hukum atas lahirnya putusan MK No.15/PUU-XII/2014 adalah dalam hal mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase atas adanya unsur pembatalan dalam pasal 70 tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu melalui putusan pengadilan, sebagaimana ketentuan penjelasan pasal 70 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan amar putusan MK No.15/PUU-XII/2014.
Kata Kunci: Putusan Arbitrase, Pembatalan, Pasal 70, Mahkamah Konstitusi. Dosen Pembimbing: Dwi Putri Cahyawati, S.H.,M.H
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim...
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Berkat rahmat, nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Upaya Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)”. Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA,.
2. Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Dr. Djawahir Hejjaziey, S.H.,MA, MH. dan Bapak Arip Purkon, SHI., MA.
3. Pembimbing Skripsi penulis, ibu Dwi Putri Cahyawati, S.H.,M.H. Terimakasih atas waktu, arahan dan kritik serta saran yang diberikan.
4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat kepada penulis, khususnya kepada Bapak Nur Rohim Yunus, LLM dan Andi Syafrani, SH., MCCL. yang telah memberikan arahan terhadap skripsi penulis.
vi
Kedua Kakak tercinta Yuni Mega Rahayu, S.E dan Nur Rianti A.md terimakasih atas segala support, kasih sayang dan doa yang kalian berikan.
7. Teman-teman Ilmu Hukum angkatan 2011. Khususnya Sahabat-sahabatku tercinta Neysa Sabila, Verina Pradita, Citra Chandrika Gita Putri, Clara Fenty Zahara, Lidia Asrida dan Syahirah Banun dan teman-teman seperjuangan konsentrasi hukum bisnis yang telah sama sama berjuang dan saling memberikan motivasi serta semangat dalam menyelesaikan studi demi meraih cita-cita.
8. Kepada Sahabat-sahabatku tersayang Amaliah, Fitria Tanzila, Sindy Pariamanda, Tuti Purwaningsih, Serta Gusti Anugrah, Eko, Rudy dan Rano yang telah memberikan support dan semangat tiada henti kepada penulis dalam menyelesaikan studi yang penulis tempuh.
9. Semua Pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, untuk itu penulis haturkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Sekian dan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 15 April 2015
vii DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan Masalah dan Permusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Tinjauan (Riview) Studi Terdahulu ... 8
E. Kerangka Konseptual ... 10
F. Metode Penelitian ... 12
G. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II : TINJAUAN UMUM ARBITRASE A. Pengertian Arbitrase ... 18
B. Sumber Hukum Arbitrase ... 20
C. Asas-asas Dalam Arbitrase ... 24
D. Keunggulan dan Kelemahasan Arbitrase ... 27
E. Jenis-Jenis Arbitrase ... 30
F. Perjanjian Arbitrase ... 32
viii
B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase ... 40 C. Pembatalan Putusan Arbitrase ... 45
BAB IV :UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 15/PUU-XII/2014)
A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014
1. Posisi Kasus ... 53 2. Pertimbangan dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi
No.15/PUU-XII/2014 ... 59 3. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014
... 65 B. Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi
No.15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase ... 75
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 80 B. Saran ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 85 LAMPIRAN
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada kegiatan perdagangan, tak jarang timbul suatu konflik atau sengketa
dengan bentuk yang beraneka ragam. Sengketa pada dasarnya, hal yang harus
dihindari, karena akibat yang akan ditimbulkan. Sehingga, dalam hubungan
kerjasama perdagangan harus diantisipasi kemungkinan-kemungkinan timbulnya
suatu sengketa. Sebelum timbulnya sengketa, langkah terlebih dahulu yang dapat
dilakukan yaitu dengan membuat suatu perjanjian atau memasukan suatu klausul
penyelesaian sengketa dengan memilih upaya yang akan ditempuh sesuai
kesepakatan bersama melalui pengadilan atau luar pengadilan.1 Upaya penyelesaian
sengketa yang dapat ditempuh selain melalui pengadilan yakni melalui jalur non
litigasi atau di luar pengadilan yaitu melalui mediasi, negosiasi, dan konsiliasi serta
arbitrase.
Penyelesaian sengketa melalui litigasi di pengadilan, cenderung dapat
menghasilkan masalah baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time
consuming proses berperkaranya, dan terbuka untuk umum.2 Untuk itu penggunaan
1
Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2012), h.54.
2
mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan mulai di minati oleh pelaku
usaha bidang perdagangan, khususnya mekanisme penyelesaian melalui arbitrase.
Arbitrase merupakan sebuah pilihan alternatif penyelesaian sengketa yang
paling menarik, khususnya bagi kalangan atau pihak dalam kegiatan perdagangan
kerena arbitrase dinilai sebagai suatu penyelesaian sengketa yang independen dan
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan.
Arbitrase pada umumnya merupakan pemeriksaan suatu sengketa yang
dilakukan secara judisial, walaupun disederhanakan seperti yang dikehendaki oleh
para pihak yang bersengketa, dalam pemecahannya didasarkan kepada bukti-bukti
yang diajukan oleh para pihak tersebut.3
Sebagai alternatif penyelesaian sengketa
arbitrase menawarkan beberapa kelebihan di banding ranah pengadilan yaitu
penyelesaian yang relatif lebih cepat, sifat kerahasiaan sengketa terjamin dan para
pihak memiliki kebebasan untuk memilih hakimnya (arbiter) yang netral dan ahli
mengenai pokok sengketa yang dihadapi para pihak serta tentunya dengan biaya
terukur.4
Pada penyelesaian melalui arbitrase, para pihak harus menyatakan dalam
perjanjian yang memuat klausul bahwa para pihak menyetujui suatu sengketa yang
terjadi atau akan terjadi di antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase dengan
3
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Sengketa (APS), (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011), h.12
4
3
suatu perjanjian yang tertulis yang telah disepakati para pihak. Dengan begitu
penyelesaian sengketa yang timbul merupakan kewenangan dari arbitrase.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase dan Pengadilan tetap mempunyai
keterkaitan. Dalam hal ini, keterkaitan atau peranan pengadilan dalam penyelesaian
sengketa melalui arbitrase disebut dalam beberapa pasal, sebagai bentuk memperkuat
proses arbitrase sampai pelaksanaan putusan arbitrase. Dalam hal pelaksanaan
putusan arbitrase nasional, putusan arbitrase wajib diserahkan dan didaftarkan ke
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan
di ucapkan, agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan.
Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (binding), sehingga tidak dapat
diajukan upaya hukum banding dan kasasi. Namun, terhadap putusan Arbitrase dapat
diajukan upaya pembatalan putusan arbitrase apabila mengandung unsur-unsur, yang
telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi :
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
pemohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengadung unsur-unsur antara lain sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa
Selanjutnya penjelasan pasal 70 mengenai unsur pembatalan putusan
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan
arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. alasan-alasan pembohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.”
Dengan demikian, Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan ruang dalam upaya pembatalan
putusan arbitrase yang didasarkan atas terpenuhinya Pasal 70 serta penjelasan pasal
70. Persyaratan pembatalan putusan arbitrase yang tertuang dalam Pasal 70 beserta
Pejelasannya sebenarnya harus dipandang dalam satu kesatuan, hal tersebut dilakukan
untuk membatasi secara tegas agar putusan arbitrase tidak dengan mudah dibatalkan.5
Namun dalam perkembangannya, mengenai penjelasan pasal 70
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
telah diajukan permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi oleh pemohon yaitu
Ir.Darma Ambiar, M.M., Direktur PT Minerina Cipta Guna sebagai pihak pemohon
I, dan Drs.Sujana Sulaeman, Direktur utama PT. Bangun Bumi Bersatu sebagai
pihak pemohon II. Dalam hal ini kedua pemohon mempersoalkan penjelasan pasal 70
Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa karena dianggap rancu karena mengandung norma baru dan selanjutnya,
menurut pemohon karena disebabkan oleh penjelasan tersebut, norma pokok Pasal 70
sendiri menjadi tidak operasional dan menghalangi hak hukum pemohon memperoleh
5
5
keadilan dengan mengajukan pembatalan putusan arbitarase.6 Atas permohonan uji
materil penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang telah diajukan kepada Mahkamah Konstitusi,
kemudian lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014
menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan hal tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
yang membahas mengenai mekanisme dari upaya pembatalan putusan arbitrase
berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pertimbangan hukum hakim majelis Mahkamah Konstitusi
dalam Putusan No. 15/PUU-XII/2014 dan akibat hukum putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase,
sehingga penulis tuangkan dalam bentuk penelitian skripsi dengan judul “Upaya
Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 15/PUU-XII/2014).”
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan pada penelitian ini terarah dan tidak meluas maka
penulis hanya memfokuskan pembahasan pada substansi pengaturan hukum yang
terkait dengan pembatalan putusan arbitrase pada Undang-undang No.30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang penulis jelaskan dalam latar belakang
masalah, penulis merumuskan permasalahan ke dalam beberapa pertanyaan,
sebagai berikut:
a. Bagaimana mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan
Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa?
b. Bagaimana pertimbangan hukum dalam putusan nomor 15/PUU-XII/2014?
c. Bagaimana akibat hukum atas putusan Mahkamah konstitusi Nomor
15/PUU-XII/2014, terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, berikut penjelasan tujuan dan manfaat
7
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah diketengahkan oleh penulis,
maka tujuan penulisan pada penelitian ini yakni sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan
Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi
No. 15/PUU-XII/2014.
c. Untuk mengetahui akibat hukum setelah lahirnya putusan Mahkamah
konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014, terhadap upaya pembatalan putusan
arbitrase.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan penelitian ini, dibedakan menjadi dua,
yakni :
a. Manfaat Teoritis
Manfaat dari hasil penelitian ini secara teoritis, diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam Ilmu Hukum, khususnya dalam Hukum Bisnis yang
berkaitan dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
b. Manfaat Praktis
Manfaat dari hasil penelitian ini secara praktik, diharapkan dapat menambah
wawasan dan pengetahuan serta dapat menambah bahan rujukan bagi
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, penulis melakukan
pelusuran kajian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, berikut kajian
terdahulu yang penulis temukan:
1. Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro 2005, yang
disusun oleh Abdul Wahid, SH., dengan judul “Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase”, pada penelitian ini membahas mengenai mekanisme penyelesaian sengeketa melalui arbitrase dan pada penelitian ini juga
menelaah mengenai mekanisme penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase
dari pengaturan dalam peraturan perundang-undangan maupun aturan prosedural
(rules) arbitrase institusional, menelaah pada penerapan dari berbagai kasus-kasus
arbitrase. Berbeda dengan penelitian penulis yang membahas mengenai
mekanisme upaya pembatalan putusan arbitrase nasional berdasarkan
Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa dan Akibat Hukum putusan Mahkamah Konstitusi
No.15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase.
2. Tesis Fakultas Pascasarjana, Program studi kajian ilmu kepolisian, Universitas
Indonesia Jakarta Juni 2011, yang disusun oleh Arman, SIK., dengan judul
“Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan Arbitrase Di Pengadilan
9
International Piping Product (IPP) dan meneliti penerapan Undang-undang No.30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa khususnya
dalam hal pembatalan putusan arbitrase karena adanya dugaan pemalsuan
dokumen. Berbeda halnya, dengan penelitian penulis yang ingin membahas
mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-undang
No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan
khususnya menganalisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No.
15/PUU-XII/2014 dengan meneliti dasar dari putusan tersebut yaitu pertimbangan hukum
hakim majelis Mahkamah konsitusi serta meneliti akibat hukum dari lahirnya
putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014.
3. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta 2014, yang disusun oleh Atiek AF’Idata dengan judul
“Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 631 K/Pdt.Sus/2012), pada penelitian ini membahas peraturan mengenai pembatalan putusan arbitrase Internasional serta praktek beracara yang
dilakukan oleh lembaga peradilan di Indonesia terutama terkait hukum acara
arbitrase asing. Berbeda halnya, dengan penelitian penulis yang ingin membahas
mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-undang
No.30 Tahu 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan
khususnya menganalisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No.
hakim majelis Mahkamah konsitusi serta meneliti akibat hukum dari lahirnya
putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014.
E. Kerangka Konseptual
Suatu kerangka konseptual, merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.7 Dalam
kerangka konseptual ini dituangkan beberapa konsepsi atau pengertian yang
digunakan sebagai dasar dari penelitian hukum. berikut kerangka konsepsi yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini :
1. Alternatif Penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli. (Pasal 1 angka 10 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
APS)
2. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. (pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan APS)
3. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
7
11
timbulnnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa. (pasal 1 angka 3 UU No.30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan APS)
4. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
atau yang ditunjuk oleh pengadilan negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase. (Pasal 1 angka 7 UU No.30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan APS)
5. Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga
dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum
tertentu dalam hal belum timbulnya sengketa. (pasal 1 angka 8 UU No.30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan APS).
6. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu
lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik
Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang
menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan
arbitrase international. (pasal 1 angka 9 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan APS).
7. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi
tempat tinggal termohon. (pasal 1 angka 4 UU No.30 Tahun 1999 Tentang
F. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.8 Selanjutnya,
langkah-langkah yang diambil dalam suatu penelitian hukum harus jelas serta ada
pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan
tidak terkendali.9 berikut uraian mengenai metode penelitian yang akan penulis
gunakan:
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang penulis gunakan adalah yuridis normatif, yaitu
penelitian di fokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif.10 Pada penelitian ini, penulis mengacu pada norma
hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, berkaitan dengan
pembatalan putusan arbitrase nasional serta mengacu pada putusan Mahkamah
Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014.
2. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian hukum memiliki beberapa pendekatan yaitu pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan komparatif
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum h. 43.
9
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia) h. 294
10
13
(comparative approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).11
Pendekatan-pendekatan masalah tersebut digunakan tujuannya untuk mendapatkan
informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti.
Pendekatan masalah yang akan penulis gunakan yakni pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).
Pendekatan perundang-undangan merupakan suatu pendekatan yang melakukan
pengkajian peraturan perundang-undangan yang menjadi tema sentral penelitian,12
dalam penelitian ini peraturan yang menjadi tema sentral penelitian adalah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Selanjutnya, pendekatan kasus (case approach) yang
penulis gunakan yaitu mengacu pada pendekatan kasus pada putusan Mahkamah
Kontitusi No.15/PUU-XII/2014.
3. Bahan Hukum
Pada penelitian hukum normatif yang diteliti adalah bahan pustaka atau
data sekunder,13
yang terdiri dari :
a. Bahan hukum primer, adalah bahan hukum primer merupakan bahan hukum
yang bersifat autoritatif artinya yang mempunyai otoritas, yang terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005) h.133.
12
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. h. 295
13
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.14 Dalam penelitian ini bahan
hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Putusan MK
No.15/PUU-XII/2014 dan peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan
pembatalan putusan arbitrase.
b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan
terdiri dari buku-buku, artikel-artikel dalam jurnal dan karya ilmiah lainnya.
yang berkaitan dengan Arbitrase .
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,15 contohnya adalah
kamus hukum, indeks artikel, ensiklopedia yang berkaitan dengan Arbitrase.
4. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
penelitan kepustakaan (library research) dengan melakukan penelusuran untuk
mencari bahan-bahan hukum yang relevan yang dapat terdiri dari literatur
kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan sumber
lainnya.
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.181.
15
15
5. Pengolahan dan analisis bahan hukum
Adapun bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder yang telah diperoleh melalui penelitian kepustakaan serta peraturan
perundang-undangan penulis uraikan dan hubungkan, sehingga disajikan dalam
penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Kemudian, cara pengolahan bahan hukum dilakukan dilakukan secara
deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum
terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
6. Teknik Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta, tahun 2012.16
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan menelaah skripsi yang
berjudul “Upaya Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014), Maka dirasa perlu untuk
menguraikan kedalam sistematika penulisan sebagai gambaran singkat skripsi, yakni
sebagai berikut :
16
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab pertama ini penjelasannya meliputi, latar belakang
masalah, Pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kerangka konseptual, tinjauan (review) kajian terdahulu,
dan metode penelitian serta sistematika penelitian. Dengan demikian
pada bab I ini merupakan gambaran kecil pada proses menelaah
penelitian hukum.
BAB II TINJAUAN UMUM ARBITRASE
Dalam bab Kedua ini akan dibahas mengenai tinjauan umum arbitrase
yakni dengan membahas pengertian arbitrase, sumber hukum arbitrase,
asas-asas dalam arbitrase, keunggulan dan kelemahan arbitrase,
jenis-jenis arbitrase, dan perjanjian arbitrase serta kewenangan arbitrase.
BAB III PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
Dalam bab ketiga akan dibahas mengenai jenis putusan arbitrase,
pelaksanaan putusan arbitrase dan pembatalan putusan arbitrase
berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
17
Dalam bab keempat ini akan dipaparkan hasil penelitian yakni, bagian
pertama, menelaah Putusan Mahkamah Konstitusi
No.15/PUU-XII/2014 yang terdiri dari posisi kasus, pertimbangan hukum dan amar
putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 dan analisis
putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014. Bagian kedua,
mengetahui akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi
No.15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase.
BAB V PENUTUP
Dalam bab kelima merupakan bab penutup berisi tentang kesimpulan
18 A. Pengertian Arbitrase
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, definisi arbitrase pada pasal 1 ayat berbunyi:
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa”.
Mengenai arbitrase para ahli hukum juga memberikan definisinya, yakni
sebagai berikut:
Pertama, menurut Subekti arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan
bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau
para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk.17
Kedua, Abdulkadir Muhammad, memberikan definisi arbitrase adalah suatu
badan peradilan swasta diluar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus
dalam dunia perusahaan.18
17
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1987), h.1
18
19
Ketiga, Sudikno Mertokusumo memberikan definisi yaitu arbitrase adalah
suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan
para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang
wasit atau arbiter.19
Keempat, menurut Priyatna Abdurrasyid, arbitrase merupakan suatu
tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat
antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada seorang atau
beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan
final dan mengikat.20
Kelima, menurut Meria Utama, dalam bukunya hukum ekonomi internasional
memberika definisi arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada
pihak ketiga yang netral.21
Keenam, Gunawan Widjaja mendefinsikan arbitrase merupakan suatu
perjanjian yang melibatkan dua pihak yang saling bersengketa untuk mecari
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.22
Dengan merujuk pada definisi diatas, arbitrase merupakan suatu upaya
penyelesaian sengketa di luar badan peradilan, yang dapat ditempuh oleh para pihak
19
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2006) h. 25, mengutip sudikno mertokusumo, mengenal hukum: suatu pengantar (yogyakarta: penerbit Liberty), h. 144
20
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS); Suatu Pengantar (Jakarta: PT.Fikahati Aneska, 2011), h.61
21
Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional, h.58
22
yang bersengketa berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat sebelum atau setelah
terjadinya sengketa, dan dalam proses penyelesaiannya ditengahi oleh pihak ketiga
yaitu arbiter.
B. Sumber Hukum Arbitrase
Sumber hukum yang mengatur keberadaan arbitrase dalam sistem tata hukum
Indonesia, yaitu bertitik tolak pada pasal 377 Herzien Inlandsch Reglement (HIR)
atau Pasal 705 Rechtsreglement Buitengewesten (RBG), yang berbunyi: “Jika orang
Indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh
juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan yang berlaku bagi
bangsa eropa.”
Pasal ini menegaskan mengenai kebolehan pihak-pihak yang bersengketa
untuk: 23
1. Menyelesaikan sengketa melalui “juru pisah” atau arbitrase;
2. Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk “keputusan”;
3. Untuk itu, baik para pihak maupun arbitrator atau arbiter, wajib tunduk menuruti peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan eropa
Dengan demikian, berdasarkan pasal 377 HIR/705 RBG memberikan ruang
kepada para pihak untuk dapat membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul di
luar jalur kekuasaan pengadilan, apabila menghendakinya dengan begitu penyelesaian
23
21
dan keputusannya dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim
dikenal dengan nama arbitrase.24
Pada pasal 377/705 RBG yang merupakan landasan dari penyelesaian
arbitrase ini tidak memberikan aturan lebih lanjut mengenai arbitrase, hanya dalam
pasal tersebut menyebutkan “maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan
yang berlaku bagi bangsa eropa”. Maka selanjutnya mengikuti aturan yang mengatur
golongan penduduk eropa, yakni kitab undang-undang hukum acara perdata
(Reglement op de Bergerlijk rechsvordering atau RV), arbitrase diatur pada buku
ketiga tentang aneka acara.
Mengenai arbitrase, undang-undang hukum acara perdata (Reglement op de
Bergerlijk rechsvordering atau RV) mengaturnya dalam lima bagian pokok:25
1. Bagian pertama (615-623 Rv): persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbitrator atau arbiter.
2. Bagian kedua (624-630 Rv): pemeriksaan di muka badan arbitrase 3. Bagian ketiga (631-640 Rv): putusan arbitrase
4. Bagian keempat (641-647 Rv): upaya-upaya terhadap putusan arbitrase. 5. Bagian kelima (647-651 Rv): berakhirnya Acara-acara arbitrase
Kebolehan penyelesaian sengketa diluar pengadilan juga termaktub dalam
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, undang-undang
tersebut mengatur mengenai penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu
yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya
24
Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, h.2
25
dilingkup peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha
negara dan oleh Mahkamah Konstitusi. Dan mengenai kebolehan penyelesaian
sengketa melalui arbitrase termaktub dalam pasal 58 yang berbunyi: “Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilaksanakan melalui arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa.”.
Mengenai arbitrase, Indonesia telah lama membahas tentang perubahan
pedoman arbitrase yang sesuai dan dapat diterima, baik secara nasional dan
internasional serta perlunya pelembagaan alternatif penyelesaian sengketa, maka
melalui perangkat perundang-undangan pada tanggal 12 Agustus 1999 pemerintah
mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.26
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 5, objek sengketa arbitrase hanya sengketa
dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa dan
sengketa yang dapat diselesaikan melalui perdamaian. Dalam undang-undang ini
pun diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa ke dalam beberapa jenis yaitu
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Selanjutnya, pengaturan mengenai arbitrase asing di Indonesia dapat dilihat
dengan disahkannya UU No.3 Tahun 1968 yang merupakan persetujuan atas
26
23
Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antar negara dan Warga Negara Asing
Mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Disputes
Between States and national of Other States/ (ICSID)). Tujuan menetapkan
persetujuan ratifikasi atas konvensi tersebut untuk mendorong dan membina
perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia. Sebab dengan
diakui konvensi tersebut oleh Pemeritah Indonesia sedikit banyak akan memberikan
banyak keyakinan kepada pihak pemodal asing bahwa sengketa yang timbul kelak
dapat dibawa ke forum arbitrase. 27
Pengaturan lain mengenai keberlakuan arbitrase asing ialah Keputusan
Presiden (Keppres) No.34 Tahun 1981. Keppres ini mengatur tentang pengesahan
Covention on the Recognition and Enforment of Foreign Arbitral Award yang lazim
disebut Konvensi New York 1958. Dengan berlakunya Keppres ini Indonesia telah
mengikatkan diri dengan suatu kewajiban hukum, untuk mengakui dan mematuhi
pelaksanaan eksekusi atas setiap putusan arbitrase asing di Indonesia namun tidak
terlepas dengan asas resiprositas, dengan kata lain pelaksanaan putusan arbitrase
asing di Indonesia didasarkan atas asas ikatan “bilateral” atau “multilateral”. Selanjutnya, pada tanggal 1 maret 1990 telah berlaku Peraturan Mahkamah Agung
No.1 Tahun 1999 (Selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 1990). Perma No. 1
Tahun 1999 mengatur tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang bertujuan
27
untuk mengantisipasi hambatan atau permasalahan pengakuan dan pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase asing.
C. Asas-asas dalam Arbitrase
Berikut ini merupakan asas-asas umum dalam arbitrase, yaitu antara lain:28
1. Asas final dan mengikat (binding)
Asas final dan mengikat (binding) terhadap putusan arbitrase, jelas diatur
pada pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada bab VI mengenai pelaksanaan putusan
arbitrase, yang menyatakan: “putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak” dan dalam ketentuan pasal 68
ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan bahwa: “terhadap putusan ketua
pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang
mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat
diajukan banding atau kasasi”.
Menurut asas ini, putusan dari arbitrase tidak dapat diganggu gugat
walaupun oleh pengadilan, karena dalam putusan arbitrase tidak dapat dilakukan
upaya banding dan kasasi. Di sini pengadilan hanya berfungsi sebagai eksekutor,
yang hanya meneliti apakah ada pelanggaran atas asas-asas tersebut, maka
pengadilan dapat menolak pemberian eksekutor.
28
25
2. Asas resiprositas
Asas ini tercermin dalam ketentuan pasal 66 huruf a, Undang-undang
No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
menyatakan bahwa putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat
dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia. Asas ini mempunyai arti adanya ikatan
hubungan timbal balik antara suatu negara dengan negara lain dimana dalam
hubungan tersebut antara negara sama-sama mengakui putusan arbitrase negara,
begitu juga sebaliknya. Menurut asas resiprositas tidak semua putusan arbitrase
asing dapat diakui (recognize) dan dieksekusi (enforcement), hanya terbatas pada
putusan yang diambil di negara asing yang mempuyai ikatan bilateral dengan
Indonesia dan terkait bersama dengan negara Indonesia dalam suatu konvensi
internasional.29
3. Asas ketertiban umum
Asas ketertiban umum tercermin dalam ketentuan pasal 66 huruh c,
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang menentukan bahwa putusan arbitrase internasional
hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada ketentuan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum. Asas ini mempunyai arti, bahwa apabila
ada putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia,
permintaan eksekusinya dapat ditolak.
29
4. Asas separabilitas
Dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh, para pihak dapat memasukan
perjanjian arbitrase yang berupa klasula arbitrase, yang merupakan bagian dari
perjanjian tersebut atau merupakan perjanjian yang terpisah dari perjanjian pokok.
Apabila perjanjian arbitrase menjadi bagian dari perjanjian, maka hal ini sering
disebut klausul arbitrase.
Asas separabilitas atau lebih dikenal dengan severable clause ini,
mempunyai arti bahwa dalam suatu perjanjian, jika ada salah satu perikatan
dalam perjanjian tersebut batal, maka pembatalan tersebut tidak mengakibatkan
perikatan yang lain menjadi batal. Penerapan asas ini pada perjanjian arbitrase
artinya jika perjanjian pokok tersebut berakhir atau batal, klausul atau pasal
mengenai arbitrase masih tetap eksis.30
Mengenai perjanjian arbitrase Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah mengatur dalam
pasal 10 Tentang suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh
keadaan, yaitu :
a. Meninggalnya salah satu pihak b. Bangkrutnya salah satu pihak c. Novasi
d. Insolvensi salah satu pihak e. Pewarisan
f. Berlakunya Syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
30
27
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Jadi, apabila suatu perjanjian pokok batal, tidak menjadikan klausul
arbitrase yang ada didalam perjanjian pokok tersebut ikut batal namun klasul
arbitrase harus tetap dilaksanakan. Karena klausul arbitrase adalah independen
terhadap pemenuhan kewajiban atau perikatan lain dalam perjanjian tersebut dan
karenanya berlakulah asas separabilitas terhadapnya.31
D. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Upaya hukum dalam penyelesaian sengketa, para pihak dengan menimbang
keunggulan dan kelemahan suatu jalur yang akan ditempuhnya agar terakomodir
keinginan-keinginan para pihak. Dalam hal ini akan dibahas mengenai keunggulan
dan kelemahan arbitrase. Berikut penjelasan keunggulan dan kelemahan arbitrase,
menurut pendapat para ahli:32
1. Menurut Subekti, untuk dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa
lewat arbitrase atau perwasitan mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa
dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli dan secara rahasia.
2. HMN Purwosutjipto, memberikan pendapat mengenai arti penting peradilan wasit
(arbitrase) yaitu
31
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan Persoalan Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai. h.43
32
a. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat
b. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak. c. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
d. Putusan Peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia inilah yang dikehendaki oleh para pihak.
3. Gatot Sumartono, memberikan kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa melalui
arbitrase selalu didasarkan pada asumsi-asumsi, sebagai berikut:33
a. Lebih cepat, karena putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga menghemat waktu, biaya, dan tenaga;
b. Dilakukan oleh ahli di bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar dalam bidang tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakannya, sehingga hasilnya (putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan; dan c. Kerahasiaan terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak
terbuka untuk umum, sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.
4. Frans Hendra Winarta, memberikan pedapat bahwa lembaga arbitrase mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan umum, yaitu sebagai berikut:34
a. Sidang arbitrase tertutup untuk umum, sehingga kerahasiaan sengketa para pihak terjamin.
b. Kelambatan yang diakibatkan oleh hal prosedural dan adminstratif dapat dihindari.
c. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang menurut keyakinan mempunyai pengalaman, pengetahuan, jujur dan adil serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan.
33
Gatot sumartono Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2006) h. 13.
34
29
d. Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam menangani perkara arbitrase didasarkan pada sikap yang mengusahakan win-win solution terhadap pihak yang bersengketa.
e. Pilihan hukum untuk menyelesaikan sengketa serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase dapat ditentukan oleh para pihak.
f. Putusan arbitrase mengikat para pihak (Final and binding) dangan melalui tata cara (prosedur) sederhana ataupun langsung dapat dilaksanakan.
g. Suatu perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak menjadi batal karena berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
h. Di dalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus mengutamakan perdamaian diantara para pihak yang bersengketa.
Berdasarkan keunggulan yang dikemukaan oleh para ahli, maka penyelesaian
melalui arbitrase lebih disukai dan semakin dipertimbangkan selain melalui badan
peradilan. Namun selain memiliki keunggulan, Penyelesaian sengketa melalui
arbitrase juga memiliki kelemahan yaitu:35
1. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.
2. Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut.
3. Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing masih menjadi hal yang sulit.
4. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaan-perusahaan besar. Oleh karena itu untuk, mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.
5. Tidak adanya legal precendence atau keterikatan terhadap putusan arbitrase sebelumnya.36
35
Frans Hendra Winarta, h.63
36
E. Jenis-Jenis Arbitrase
Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar peradilan. Dalam Hal ini
arbitrase mempunyai dua jenis yaitu arbitrase ad hoc (arbitrase Volunter) dan
arbitrase institusional. Yang dimaksud dengan jenis arbitrase adalah macam-macam
arbitrase yang diakui eksistensinya dan kewenangannya untuk memeriksa dan
memutus perselisihan yang terjadi antara para pihak yang mengadakan perjanjian.37
Berikut penjelasannya dari kedua jenis arbitrase :38
1. Abitrase ad hoc (arbitrase volunter)
Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter merupakan arbitrase yang
dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan
tertentu.39 Arbitrase ad hoc pada dasarnya dibentuk setelah sengketa timbul, dan
akan berakhir apabila sudah selesai dan diputuskannya sengketa. Penyelesaian
melalui arbitrase ad hoc, pada umumnya ditentukan berdasarkan perjanjian yang
menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang
disepakati oleh para pihak, untuk itu perlu disebutkan dalam klausul arbitrase.40
Sebuah arbitrase ad hoc pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan
37
Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, h.104
38
Elsi Kartika Sari dan Advendi simangunsong, Hukum dalam ekonomi. h. 204
39
Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, h.105
40
31
yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, yakni Misal Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
UNCITRAL Arbitration rules dan ICC Rules.
2. Arbitrase institusional
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 8 yang dimaksud dengan
lembaga arbitrase adalah: “Badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengeta tertentu; Lembaga tersebut juga
dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum
tertentu dalam hal yang timbul sengketa”
Arbitrase institusional merupakan suatu lembaga permanen yang dikelola
oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan
sendiri.41 Badan atau lembaga dalam arbitrase institusional ini tetap berdiri,
meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.42 Arbitrase
institusional dapat ditempuh sebagai penyelesaian sengketa apabila para pihak
sepakat dan menuangkannya ke dalam perjanjian dalam hal penyelesaian
sengketa.
Arbitrase institusional, ada yang bersifat nasional dan internasional yaitu
suatu badan atau lembaga arbitrase yang berbeda ruang lingkup keberadaannya
serta yuridiksinya. Arbitrase institusional yang bersifat nasional, misalnya Badan
41
Gatot Soemartono, h.27.
42
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan
Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) di Indonesia, Nederlands
Arbitrage Institut di Belanda, dan The Japan Commercial Arbitration
Association di Jepang. Selanjutnya Contoh dari Arbitrase institusional yang
bersifat internasional, yakni Court Arbitration of the international chamber of
commerce (ICC), The International Centre For Settlement of Investment
Disputes (ICSID).
Badan atau lembaga arbitrase institusional yang bersifat nasional dan
internasional tersebut memiliki peraturan dan sistem arbitrase sendiri, jadi para
pihak terikat segala pengaturan arbitrase, dari mulai biaya, pemilihan arbiter,
prosedur serta tata cara pelaksanaan arbitrase dan lainnya.
F. Perjanjian Arbitrase
Kebolehan para pihak dalam menentukan penyelesaian suatu sengketa yang
timbul maupun yang akan timbul melalui arbitrase didasari pada pasal 7
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Dalam menentukan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, harus didasari
kesepakatan para pihak yang dituangkan secara tertulis melalui suatu perjanjian yakni
perjanjian arbitrase. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 3 yang dimaksud
33
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya
sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbulnya sengketa.”
Pada dasarnya perjanjian arbitrase adalah sebuah ikatan dan kesepakatan di
antara para pihak, bahwa mereka akan menyelesaikan perselisihan yang timbul dari
perjanjian melalui mekanisme arbitrase dan mengenyampingkan penyelesaian
melalui badan peradilan.43
Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi suatu kesatuan dengan materi
pokok perjanjian. Perjanjian arbitrase yang lazim disebut “klausul arbitrase”,
merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian pokok. meskipun
keberadaannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok, dan sama sekali tidak
mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian.
Jadi, pada prinsipnya kontrak arbitrase merupakan suatu kontrak tambahan
(accesoir), tetapi ada beberapa sifat yang menyebabkan sifatnya sebagai accesoir
tersebut tidak diikuti secara penuh, yaitu jika perjanjian pokok batal maka kontrak
arbitrase tidak menjadi batal (Pasal 10 huruf h Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Perjanjian arbitrase
terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1. Klausul arbitrase atau clause compromissoire (Pactum De Compromittendo)
43
Klausul arbitrase merupakan suatu ketentuan yang tercantum di dalam
perjanjian atau kontrak yang menyebutkan bahwa setiap perselisihan yang timbul
di kemudian hari sehubungan dengan perjanjian atau kontrak tersebut akan
diserahkan pada arbitrase untuk diputuskan.44 Dapat diketahui bahwa klausul
arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang timbul di masa
yang akan datang.
Dalam klausul arbitrase para pihak bebas menentukan sesuai kesepakatan
dengan menunjuk sebuah badan arbitrase tertentu, lokasi arbitrase berlangsung,
hukum dan aturan-aturan yang akan digunakan, kualifikasi para arbiter dan
bahasa yang dipakai dalam proses arbitrase.45
Jadi, pactum de compromittendo atau klausul arbitrase yang tercantum
dalam perjanjian pokok pada dasarnya dibuat untuk penyelesaian sengketa yang
mungkin timbul dimasa mendatang atau dibuat sebelum adanya suatu sengketa
dengan dilengkapi semua hal yang terkait penyelesaian sengketa yang akan
ditempuh sesuai kesepakatan para pihak.
2. Akta Kompromis
Akta kompromis adalah suatu kesepakatan di antara para pihak yang telah
terlibat dalam suatu sengketa, untuk mengajukan sengketa mereka agar
44
Gatot soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006) h.32
45
35
diputuskan oleh arbitrase.46 Akta kompromis pada dasarnya sebuah perjanjian
arbitrase yang dibuat setelah timbulnya perselisihan antara para pihak dalam
sebuah perjanjian tertulis yang telah ditandatangani oleh para pihak atau dibuat
dalam bentuk akta notaris. Mengenai akta kompromis telah diatur dalam pasal 9
ayat 1 s.d 4 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, berdasarkan ayat 3 mengenai persyaratan
dalam hal pembuatan akta kompromis harus memuat :
a. Masalah yang dipersengketakan;
b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e. Nama lengkap sekretaris;
f. Jangka waktu penyelesaian sengketa; g. Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase;
Persyaratan dalam hal pembuatan akta kompromis ini, bersifat wajib dan
jika tidak dipenuhi akan batal demi hukum berdasarkan pasal 9 ayat 4
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
G. Kewenangan Arbitrase
Kewenangan arbitrase pada dasarnya lahir dari suatu perjanjian arbitrase
yang dibuat oleh para pihak sehingga menghapuskan kewenangan dari pengadilan
untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau yang sengketa yang timbul dari
46
perjanjian yang memuat klasusula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum
ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.47 Hal tersebut senada dengan
pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi: “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”
Mengenai objek sengketa arbitrase, dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 5
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yang berbunyi:
Pasal 5 ayat (1): “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.
Pasal 5 ayat (2): “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui
arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan
tidak dapat diadakan perdamaian”
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.48 Jadi,
suatu sengketa bidang perdagangan, dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan
suatu sengketa yang dapat diadakannya perdamaian, dapat diselesaikan melalui
arbitrase jika telah disepakati melalui perjanjian arbitrase yang mereka buat. Dengan
demikian telah lahir kewenangan arbitrase dan menghapuskan kewenangan
pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul.
47
Gunawan Widjaja, h. 117
48
37
Namun, dalam penyelesaian melalui arbitrase, pengadilan mempunyai
beberapa keterkaitan yakni dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mencantumkan
beberapa keterkaitan serta peranan pengadilan untuk memperkuat proses arbitrase
dari awal proses arbitrase dimulai sampai pelaksanaan putusan arbitrase.49
Keterkaitan diawali dengan kewenangan arbitrase dengan penegasan
pengadilan wajib menolak dan tidak turut campur dalam penyelesaian sengketa,
yang termaktub dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan dalam proses
Pemilihan arbiter khususnya untuk arbitrase ad hoc yang diatur dalam pasal 13 ayat
(1) dan pasal 15 ayat (4), serta diatur pula pada pasal Pasal 22 Sampai dengan Pasal
25 untuk arbitase ad hoc mengenai hak ingkar. Peranan lain dari pengadilan dalam
arbitrase yaitu pengadilan merupakan tempat pendaftaran putusan arbitrase dalam
rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional yang dinyatakan dalam pasal 59 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dan khusus untuk pelaksanaan putusan arbitrase internasional,
tempat pendaftaran pelaksanaan putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketengahkan bahwa kewenangan arbitrase
dilandasi oleh pada perjanjian arbitrase dengan objek sengketa bidang perdagangan.
49
Dengan adanya perjanjian arbitrase tersebut menghapus kewenangan pengadilan,
namun penyelesaian arbitrase tetap terkait dengan pengadilan dalam hal pelaksanaan
39 BAB III
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
A. Jenis Putusan Arbitrase
Putusan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dibedakan atas
putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional. Undang-Undang No.30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak
merumuskan definisi putusan arbitrase nasional, namun hanya memberikan definisi
terhadap putusan arbitrase internasional pada pasal 1 angka 9, yang berbunyi:
“Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase international”
Dari rumusan tersebut, jelas bahwa untuk menentukan apakah putusan
arbitrase merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional digunakan faktor
tertorial.50
Senada dengan pendapat Gatot sumartono, bahwa putusan arbitrase yang
dapat dikategorikan sebagai putusan arbitrase internasional, jika diputuskan diluar
wilayah dari negara yang diminta pengakuan (recognition) dan eksekusi
(enforcement), ia pun menambahkan bahwa ciri selanjutnya mengenai putusan
arbitrase internasional adalah penggunaan pilihan hukum dalam proses penyelesaian
50