• Tidak ada hasil yang ditemukan

Apaya pembatalan putusan arbiterase nasional (analisis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Apaya pembatalan putusan arbiterase nasional (analisis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

FITRIANA NIM : 1111048000079

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S

PROGRAM STUDI I L M U HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

i

UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

FITRIANA NIM : 1111048000079

PEMBIMBING

DWI PUTRI CAHYAWATI, S.H., M.H

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI I L M U HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)
(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan telah tercantum sesuai dengan ketentuan yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan karya asli saya atau

jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(5)

iv

Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. viii + 85 halaman + 77 hal lampiran. Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah upaya pembatalan putusan arbitrase berdasarkan UU No.30 Tahun 1999. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan UU No.30 Tahun 1999, untuk mengetahui pertimbangan hukum putusan Mahkamah Kontitusi No.15/PUU-XII/2014 atas pengujian penjelasan pasal 70 UU No.30 Tahun 1999 dan untuk mengetahui akibat hukum atas lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase. Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase serta mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014. Pendekatan masalah yang digunakan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus

(case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan tertier. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitan kepustakaan (library research). Hasil dari penenlitian ini adalah pertama, mengenai mekanisme pembatalan arbitrase berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 sebagaimana telah diatur dalam Ps.70 s.d Ps.72 yaitu para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan ke Pengadilan Negeri, dengan alasan pembatalan yang terdapat pada Ps.70 yang bersifat limitatif dan atas putusan PN terhadap permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat dilakukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung dengan putusan yang bersifat final dan binding. Kedua, pertimbangan hukum pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014 terhadap pengujian penjelasan pasal 70 UU No.30 Tahun 1999 adalah bahwa pasal 70 sudah cukup jelas (expressis verbis), dan penjelasan pasal 70 telah mengubah norma pasal, menimbulkan norma baru dan multitafsir sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketiga, akibat hukum atas lahirnya putusan MK No.15/PUU-XII/2014 adalah dalam hal mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase atas adanya unsur pembatalan dalam pasal 70 tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu melalui putusan pengadilan, sebagaimana ketentuan penjelasan pasal 70 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan amar putusan MK No.15/PUU-XII/2014.

Kata Kunci: Putusan Arbitrase, Pembatalan, Pasal 70, Mahkamah Konstitusi. Dosen Pembimbing: Dwi Putri Cahyawati, S.H.,M.H

(6)

v

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim...

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Berkat rahmat, nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Upaya Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)”. Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA,.

2. Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Dr. Djawahir Hejjaziey, S.H.,MA, MH. dan Bapak Arip Purkon, SHI., MA.

3. Pembimbing Skripsi penulis, ibu Dwi Putri Cahyawati, S.H.,M.H. Terimakasih atas waktu, arahan dan kritik serta saran yang diberikan.

4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat kepada penulis, khususnya kepada Bapak Nur Rohim Yunus, LLM dan Andi Syafrani, SH., MCCL. yang telah memberikan arahan terhadap skripsi penulis.

(7)

vi

Kedua Kakak tercinta Yuni Mega Rahayu, S.E dan Nur Rianti A.md terimakasih atas segala support, kasih sayang dan doa yang kalian berikan.

7. Teman-teman Ilmu Hukum angkatan 2011. Khususnya Sahabat-sahabatku tercinta Neysa Sabila, Verina Pradita, Citra Chandrika Gita Putri, Clara Fenty Zahara, Lidia Asrida dan Syahirah Banun dan teman-teman seperjuangan konsentrasi hukum bisnis yang telah sama sama berjuang dan saling memberikan motivasi serta semangat dalam menyelesaikan studi demi meraih cita-cita.

8. Kepada Sahabat-sahabatku tersayang Amaliah, Fitria Tanzila, Sindy Pariamanda, Tuti Purwaningsih, Serta Gusti Anugrah, Eko, Rudy dan Rano yang telah memberikan support dan semangat tiada henti kepada penulis dalam menyelesaikan studi yang penulis tempuh.

9. Semua Pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, untuk itu penulis haturkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Sekian dan terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 15 April 2015

(8)

vii DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah dan Permusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan (Riview) Studi Terdahulu ... 8

E. Kerangka Konseptual ... 10

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : TINJAUAN UMUM ARBITRASE A. Pengertian Arbitrase ... 18

B. Sumber Hukum Arbitrase ... 20

C. Asas-asas Dalam Arbitrase ... 24

D. Keunggulan dan Kelemahasan Arbitrase ... 27

E. Jenis-Jenis Arbitrase ... 30

F. Perjanjian Arbitrase ... 32

(9)

viii

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase ... 40 C. Pembatalan Putusan Arbitrase ... 45

BAB IV :UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 15/PUU-XII/2014)

A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014

1. Posisi Kasus ... 53 2. Pertimbangan dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

No.15/PUU-XII/2014 ... 59 3. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014

... 65 B. Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi

No.15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase ... 75

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 80 B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 85 LAMPIRAN

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada kegiatan perdagangan, tak jarang timbul suatu konflik atau sengketa

dengan bentuk yang beraneka ragam. Sengketa pada dasarnya, hal yang harus

dihindari, karena akibat yang akan ditimbulkan. Sehingga, dalam hubungan

kerjasama perdagangan harus diantisipasi kemungkinan-kemungkinan timbulnya

suatu sengketa. Sebelum timbulnya sengketa, langkah terlebih dahulu yang dapat

dilakukan yaitu dengan membuat suatu perjanjian atau memasukan suatu klausul

penyelesaian sengketa dengan memilih upaya yang akan ditempuh sesuai

kesepakatan bersama melalui pengadilan atau luar pengadilan.1 Upaya penyelesaian

sengketa yang dapat ditempuh selain melalui pengadilan yakni melalui jalur non

litigasi atau di luar pengadilan yaitu melalui mediasi, negosiasi, dan konsiliasi serta

arbitrase.

Penyelesaian sengketa melalui litigasi di pengadilan, cenderung dapat

menghasilkan masalah baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time

consuming proses berperkaranya, dan terbuka untuk umum.2 Untuk itu penggunaan

1

Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2012), h.54.

2

(11)

mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan mulai di minati oleh pelaku

usaha bidang perdagangan, khususnya mekanisme penyelesaian melalui arbitrase.

Arbitrase merupakan sebuah pilihan alternatif penyelesaian sengketa yang

paling menarik, khususnya bagi kalangan atau pihak dalam kegiatan perdagangan

kerena arbitrase dinilai sebagai suatu penyelesaian sengketa yang independen dan

sesuai dengan keinginan dan kebutuhan.

Arbitrase pada umumnya merupakan pemeriksaan suatu sengketa yang

dilakukan secara judisial, walaupun disederhanakan seperti yang dikehendaki oleh

para pihak yang bersengketa, dalam pemecahannya didasarkan kepada bukti-bukti

yang diajukan oleh para pihak tersebut.3

Sebagai alternatif penyelesaian sengketa

arbitrase menawarkan beberapa kelebihan di banding ranah pengadilan yaitu

penyelesaian yang relatif lebih cepat, sifat kerahasiaan sengketa terjamin dan para

pihak memiliki kebebasan untuk memilih hakimnya (arbiter) yang netral dan ahli

mengenai pokok sengketa yang dihadapi para pihak serta tentunya dengan biaya

terukur.4

Pada penyelesaian melalui arbitrase, para pihak harus menyatakan dalam

perjanjian yang memuat klausul bahwa para pihak menyetujui suatu sengketa yang

terjadi atau akan terjadi di antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase dengan

3

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Sengketa (APS), (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011), h.12

4

(12)

3

suatu perjanjian yang tertulis yang telah disepakati para pihak. Dengan begitu

penyelesaian sengketa yang timbul merupakan kewenangan dari arbitrase.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase dan Pengadilan tetap mempunyai

keterkaitan. Dalam hal ini, keterkaitan atau peranan pengadilan dalam penyelesaian

sengketa melalui arbitrase disebut dalam beberapa pasal, sebagai bentuk memperkuat

proses arbitrase sampai pelaksanaan putusan arbitrase. Dalam hal pelaksanaan

putusan arbitrase nasional, putusan arbitrase wajib diserahkan dan didaftarkan ke

Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan

di ucapkan, agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan.

Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (binding), sehingga tidak dapat

diajukan upaya hukum banding dan kasasi. Namun, terhadap putusan Arbitrase dapat

diajukan upaya pembatalan putusan arbitrase apabila mengandung unsur-unsur, yang

telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi :

“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan

pemohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengadung unsur-unsur antara lain sebagai berikut :

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.

b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa

Selanjutnya penjelasan pasal 70 mengenai unsur pembatalan putusan

(13)

“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan

arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. alasan-alasan pembohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.”

Dengan demikian, Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan ruang dalam upaya pembatalan

putusan arbitrase yang didasarkan atas terpenuhinya Pasal 70 serta penjelasan pasal

70. Persyaratan pembatalan putusan arbitrase yang tertuang dalam Pasal 70 beserta

Pejelasannya sebenarnya harus dipandang dalam satu kesatuan, hal tersebut dilakukan

untuk membatasi secara tegas agar putusan arbitrase tidak dengan mudah dibatalkan.5

Namun dalam perkembangannya, mengenai penjelasan pasal 70

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

telah diajukan permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi oleh pemohon yaitu

Ir.Darma Ambiar, M.M., Direktur PT Minerina Cipta Guna sebagai pihak pemohon

I, dan Drs.Sujana Sulaeman, Direktur utama PT. Bangun Bumi Bersatu sebagai

pihak pemohon II. Dalam hal ini kedua pemohon mempersoalkan penjelasan pasal 70

Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa karena dianggap rancu karena mengandung norma baru dan selanjutnya,

menurut pemohon karena disebabkan oleh penjelasan tersebut, norma pokok Pasal 70

sendiri menjadi tidak operasional dan menghalangi hak hukum pemohon memperoleh

5

(14)

5

keadilan dengan mengajukan pembatalan putusan arbitarase.6 Atas permohonan uji

materil penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa yang telah diajukan kepada Mahkamah Konstitusi,

kemudian lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014

menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Berdasarkan hal tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian

yang membahas mengenai mekanisme dari upaya pembatalan putusan arbitrase

berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, pertimbangan hukum hakim majelis Mahkamah Konstitusi

dalam Putusan No. 15/PUU-XII/2014 dan akibat hukum putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase,

sehingga penulis tuangkan dalam bentuk penelitian skripsi dengan judul “Upaya

Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 15/PUU-XII/2014).”

6

(15)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan pada penelitian ini terarah dan tidak meluas maka

penulis hanya memfokuskan pembahasan pada substansi pengaturan hukum yang

terkait dengan pembatalan putusan arbitrase pada Undang-undang No.30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan analisis Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang penulis jelaskan dalam latar belakang

masalah, penulis merumuskan permasalahan ke dalam beberapa pertanyaan,

sebagai berikut:

a. Bagaimana mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan

Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa?

b. Bagaimana pertimbangan hukum dalam putusan nomor 15/PUU-XII/2014?

c. Bagaimana akibat hukum atas putusan Mahkamah konstitusi Nomor

15/PUU-XII/2014, terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, berikut penjelasan tujuan dan manfaat

(16)

7

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah yang telah diketengahkan oleh penulis,

maka tujuan penulisan pada penelitian ini yakni sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan

Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS.

b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi

No. 15/PUU-XII/2014.

c. Untuk mengetahui akibat hukum setelah lahirnya putusan Mahkamah

konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014, terhadap upaya pembatalan putusan

arbitrase.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan penelitian ini, dibedakan menjadi dua,

yakni :

a. Manfaat Teoritis

Manfaat dari hasil penelitian ini secara teoritis, diharapkan dapat memberikan

kontribusi dalam Ilmu Hukum, khususnya dalam Hukum Bisnis yang

berkaitan dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

b. Manfaat Praktis

Manfaat dari hasil penelitian ini secara praktik, diharapkan dapat menambah

wawasan dan pengetahuan serta dapat menambah bahan rujukan bagi

(17)

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, penulis melakukan

pelusuran kajian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, berikut kajian

terdahulu yang penulis temukan:

1. Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro 2005, yang

disusun oleh Abdul Wahid, SH., dengan judul “Mekanisme Penyelesaian

Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase”, pada penelitian ini membahas mengenai mekanisme penyelesaian sengeketa melalui arbitrase dan pada penelitian ini juga

menelaah mengenai mekanisme penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase

dari pengaturan dalam peraturan perundang-undangan maupun aturan prosedural

(rules) arbitrase institusional, menelaah pada penerapan dari berbagai kasus-kasus

arbitrase. Berbeda dengan penelitian penulis yang membahas mengenai

mekanisme upaya pembatalan putusan arbitrase nasional berdasarkan

Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa dan Akibat Hukum putusan Mahkamah Konstitusi

No.15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase.

2. Tesis Fakultas Pascasarjana, Program studi kajian ilmu kepolisian, Universitas

Indonesia Jakarta Juni 2011, yang disusun oleh Arman, SIK., dengan judul

“Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan Arbitrase Di Pengadilan

(18)

9

International Piping Product (IPP) dan meneliti penerapan Undang-undang No.30

Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa khususnya

dalam hal pembatalan putusan arbitrase karena adanya dugaan pemalsuan

dokumen. Berbeda halnya, dengan penelitian penulis yang ingin membahas

mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-undang

No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan

khususnya menganalisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No.

15/PUU-XII/2014 dengan meneliti dasar dari putusan tersebut yaitu pertimbangan hukum

hakim majelis Mahkamah konsitusi serta meneliti akibat hukum dari lahirnya

putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014.

3. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta 2014, yang disusun oleh Atiek AF’Idata dengan judul

“Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 631 K/Pdt.Sus/2012), pada penelitian ini membahas peraturan mengenai pembatalan putusan arbitrase Internasional serta praktek beracara yang

dilakukan oleh lembaga peradilan di Indonesia terutama terkait hukum acara

arbitrase asing. Berbeda halnya, dengan penelitian penulis yang ingin membahas

mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-undang

No.30 Tahu 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan

khususnya menganalisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No.

(19)

hakim majelis Mahkamah konsitusi serta meneliti akibat hukum dari lahirnya

putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014.

E. Kerangka Konseptual

Suatu kerangka konseptual, merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.7 Dalam

kerangka konseptual ini dituangkan beberapa konsepsi atau pengertian yang

digunakan sebagai dasar dari penelitian hukum. berikut kerangka konsepsi yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini :

1. Alternatif Penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda

pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di

luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau

penilaian ahli. (Pasal 1 angka 10 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

APS)

2. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum

yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para

pihak yang bersengketa. (pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan APS)

3. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang

tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum

7

(20)

11

timbulnnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para

pihak setelah timbul sengketa. (pasal 1 angka 3 UU No.30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan APS)

4. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa

atau yang ditunjuk oleh pengadilan negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk

memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan

penyelesaiannya melalui arbitrase. (Pasal 1 angka 7 UU No.30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan APS)

5. Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa

untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga

dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum

tertentu dalam hal belum timbulnya sengketa. (pasal 1 angka 8 UU No.30 Tahun

1999 Tentang Arbitrase dan APS).

6. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu

lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik

Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang

menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan

arbitrase international. (pasal 1 angka 9 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

dan APS).

7. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi

tempat tinggal termohon. (pasal 1 angka 4 UU No.30 Tahun 1999 Tentang

(21)

F. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu

atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.8 Selanjutnya,

langkah-langkah yang diambil dalam suatu penelitian hukum harus jelas serta ada

pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan

tidak terkendali.9 berikut uraian mengenai metode penelitian yang akan penulis

gunakan:

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang penulis gunakan adalah yuridis normatif, yaitu

penelitian di fokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau

norma-norma dalam hukum positif.10 Pada penelitian ini, penulis mengacu pada norma

hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, berkaitan dengan

pembatalan putusan arbitrase nasional serta mengacu pada putusan Mahkamah

Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014.

2. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian hukum memiliki beberapa pendekatan yaitu pendekatan

perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach),

pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan komparatif

8

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum h. 43.

9

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia) h. 294

10

(22)

13

(comparative approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).11

Pendekatan-pendekatan masalah tersebut digunakan tujuannya untuk mendapatkan

informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti.

Pendekatan masalah yang akan penulis gunakan yakni pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).

Pendekatan perundang-undangan merupakan suatu pendekatan yang melakukan

pengkajian peraturan perundang-undangan yang menjadi tema sentral penelitian,12

dalam penelitian ini peraturan yang menjadi tema sentral penelitian adalah

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. Selanjutnya, pendekatan kasus (case approach) yang

penulis gunakan yaitu mengacu pada pendekatan kasus pada putusan Mahkamah

Kontitusi No.15/PUU-XII/2014.

3. Bahan Hukum

Pada penelitian hukum normatif yang diteliti adalah bahan pustaka atau

data sekunder,13

yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, adalah bahan hukum primer merupakan bahan hukum

yang bersifat autoritatif artinya yang mempunyai otoritas, yang terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

11

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005) h.133.

12

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. h. 295

13

(23)

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.14 Dalam penelitian ini bahan

hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Putusan MK

No.15/PUU-XII/2014 dan peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan

pembatalan putusan arbitrase.

b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan

terdiri dari buku-buku, artikel-artikel dalam jurnal dan karya ilmiah lainnya.

yang berkaitan dengan Arbitrase .

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,15 contohnya adalah

kamus hukum, indeks artikel, ensiklopedia yang berkaitan dengan Arbitrase.

4. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

penelitan kepustakaan (library research) dengan melakukan penelusuran untuk

mencari bahan-bahan hukum yang relevan yang dapat terdiri dari literatur

kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan sumber

lainnya.

14

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.181.

15

(24)

15

5. Pengolahan dan analisis bahan hukum

Adapun bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder yang telah diperoleh melalui penelitian kepustakaan serta peraturan

perundang-undangan penulis uraikan dan hubungkan, sehingga disajikan dalam

penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan. Kemudian, cara pengolahan bahan hukum dilakukan dilakukan secara

deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum

terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

6. Teknik Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta, tahun 2012.16

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan menelaah skripsi yang

berjudul “Upaya Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014), Maka dirasa perlu untuk

menguraikan kedalam sistematika penulisan sebagai gambaran singkat skripsi, yakni

sebagai berikut :

16

(25)

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab pertama ini penjelasannya meliputi, latar belakang

masalah, Pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kerangka konseptual, tinjauan (review) kajian terdahulu,

dan metode penelitian serta sistematika penelitian. Dengan demikian

pada bab I ini merupakan gambaran kecil pada proses menelaah

penelitian hukum.

BAB II TINJAUAN UMUM ARBITRASE

Dalam bab Kedua ini akan dibahas mengenai tinjauan umum arbitrase

yakni dengan membahas pengertian arbitrase, sumber hukum arbitrase,

asas-asas dalam arbitrase, keunggulan dan kelemahan arbitrase,

jenis-jenis arbitrase, dan perjanjian arbitrase serta kewenangan arbitrase.

BAB III PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

Dalam bab ketiga akan dibahas mengenai jenis putusan arbitrase,

pelaksanaan putusan arbitrase dan pembatalan putusan arbitrase

berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

(26)

17

Dalam bab keempat ini akan dipaparkan hasil penelitian yakni, bagian

pertama, menelaah Putusan Mahkamah Konstitusi

No.15/PUU-XII/2014 yang terdiri dari posisi kasus, pertimbangan hukum dan amar

putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 dan analisis

putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014. Bagian kedua,

mengetahui akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi

No.15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase.

BAB V PENUTUP

Dalam bab kelima merupakan bab penutup berisi tentang kesimpulan

(27)

18 A. Pengertian Arbitrase

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, definisi arbitrase pada pasal 1 ayat berbunyi:

“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan

umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh

para pihak yang bersengketa”.

Mengenai arbitrase para ahli hukum juga memberikan definisinya, yakni

sebagai berikut:

Pertama, menurut Subekti arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau

pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan

bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau

para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk.17

Kedua, Abdulkadir Muhammad, memberikan definisi arbitrase adalah suatu

badan peradilan swasta diluar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus

dalam dunia perusahaan.18

17

R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1987), h.1

18

(28)

19

Ketiga, Sudikno Mertokusumo memberikan definisi yaitu arbitrase adalah

suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan

para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang

wasit atau arbiter.19

Keempat, menurut Priyatna Abdurrasyid, arbitrase merupakan suatu

tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat

antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada seorang atau

beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan

final dan mengikat.20

Kelima, menurut Meria Utama, dalam bukunya hukum ekonomi internasional

memberika definisi arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada

pihak ketiga yang netral.21

Keenam, Gunawan Widjaja mendefinsikan arbitrase merupakan suatu

perjanjian yang melibatkan dua pihak yang saling bersengketa untuk mecari

penyelesaian sengketa di luar pengadilan.22

Dengan merujuk pada definisi diatas, arbitrase merupakan suatu upaya

penyelesaian sengketa di luar badan peradilan, yang dapat ditempuh oleh para pihak

19

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2006) h. 25, mengutip sudikno mertokusumo, mengenal hukum: suatu pengantar (yogyakarta: penerbit Liberty), h. 144

20

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS); Suatu Pengantar (Jakarta: PT.Fikahati Aneska, 2011), h.61

21

Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional, h.58

22

(29)

yang bersengketa berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat sebelum atau setelah

terjadinya sengketa, dan dalam proses penyelesaiannya ditengahi oleh pihak ketiga

yaitu arbiter.

B. Sumber Hukum Arbitrase

Sumber hukum yang mengatur keberadaan arbitrase dalam sistem tata hukum

Indonesia, yaitu bertitik tolak pada pasal 377 Herzien Inlandsch Reglement (HIR)

atau Pasal 705 Rechtsreglement Buitengewesten (RBG), yang berbunyi: “Jika orang

Indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh

juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan yang berlaku bagi

bangsa eropa.”

Pasal ini menegaskan mengenai kebolehan pihak-pihak yang bersengketa

untuk: 23

1. Menyelesaikan sengketa melalui “juru pisah” atau arbitrase;

2. Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk “keputusan”;

3. Untuk itu, baik para pihak maupun arbitrator atau arbiter, wajib tunduk menuruti peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan eropa

Dengan demikian, berdasarkan pasal 377 HIR/705 RBG memberikan ruang

kepada para pihak untuk dapat membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul di

luar jalur kekuasaan pengadilan, apabila menghendakinya dengan begitu penyelesaian

23

(30)

21

dan keputusannya dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim

dikenal dengan nama arbitrase.24

Pada pasal 377/705 RBG yang merupakan landasan dari penyelesaian

arbitrase ini tidak memberikan aturan lebih lanjut mengenai arbitrase, hanya dalam

pasal tersebut menyebutkan “maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan

yang berlaku bagi bangsa eropa”. Maka selanjutnya mengikuti aturan yang mengatur

golongan penduduk eropa, yakni kitab undang-undang hukum acara perdata

(Reglement op de Bergerlijk rechsvordering atau RV), arbitrase diatur pada buku

ketiga tentang aneka acara.

Mengenai arbitrase, undang-undang hukum acara perdata (Reglement op de

Bergerlijk rechsvordering atau RV) mengaturnya dalam lima bagian pokok:25

1. Bagian pertama (615-623 Rv): persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbitrator atau arbiter.

2. Bagian kedua (624-630 Rv): pemeriksaan di muka badan arbitrase 3. Bagian ketiga (631-640 Rv): putusan arbitrase

4. Bagian keempat (641-647 Rv): upaya-upaya terhadap putusan arbitrase. 5. Bagian kelima (647-651 Rv): berakhirnya Acara-acara arbitrase

Kebolehan penyelesaian sengketa diluar pengadilan juga termaktub dalam

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, undang-undang

tersebut mengatur mengenai penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu

yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya

24

Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, h.2

25

(31)

dilingkup peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha

negara dan oleh Mahkamah Konstitusi. Dan mengenai kebolehan penyelesaian

sengketa melalui arbitrase termaktub dalam pasal 58 yang berbunyi: “Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilaksanakan melalui arbitrase atau alternatif

penyelesaian sengketa.”.

Mengenai arbitrase, Indonesia telah lama membahas tentang perubahan

pedoman arbitrase yang sesuai dan dapat diterima, baik secara nasional dan

internasional serta perlunya pelembagaan alternatif penyelesaian sengketa, maka

melalui perangkat perundang-undangan pada tanggal 12 Agustus 1999 pemerintah

mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.26

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 5, objek sengketa arbitrase hanya sengketa

dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa dan

sengketa yang dapat diselesaikan melalui perdamaian. Dalam undang-undang ini

pun diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa ke dalam beberapa jenis yaitu

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

Selanjutnya, pengaturan mengenai arbitrase asing di Indonesia dapat dilihat

dengan disahkannya UU No.3 Tahun 1968 yang merupakan persetujuan atas

26

(32)

23

Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antar negara dan Warga Negara Asing

Mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Disputes

Between States and national of Other States/ (ICSID)). Tujuan menetapkan

persetujuan ratifikasi atas konvensi tersebut untuk mendorong dan membina

perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia. Sebab dengan

diakui konvensi tersebut oleh Pemeritah Indonesia sedikit banyak akan memberikan

banyak keyakinan kepada pihak pemodal asing bahwa sengketa yang timbul kelak

dapat dibawa ke forum arbitrase. 27

Pengaturan lain mengenai keberlakuan arbitrase asing ialah Keputusan

Presiden (Keppres) No.34 Tahun 1981. Keppres ini mengatur tentang pengesahan

Covention on the Recognition and Enforment of Foreign Arbitral Award yang lazim

disebut Konvensi New York 1958. Dengan berlakunya Keppres ini Indonesia telah

mengikatkan diri dengan suatu kewajiban hukum, untuk mengakui dan mematuhi

pelaksanaan eksekusi atas setiap putusan arbitrase asing di Indonesia namun tidak

terlepas dengan asas resiprositas, dengan kata lain pelaksanaan putusan arbitrase

asing di Indonesia didasarkan atas asas ikatan “bilateral” atau “multilateral”. Selanjutnya, pada tanggal 1 maret 1990 telah berlaku Peraturan Mahkamah Agung

No.1 Tahun 1999 (Selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 1990). Perma No. 1

Tahun 1999 mengatur tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang bertujuan

27

(33)

untuk mengantisipasi hambatan atau permasalahan pengakuan dan pelaksanaan

eksekusi putusan arbitrase asing.

C. Asas-asas dalam Arbitrase

Berikut ini merupakan asas-asas umum dalam arbitrase, yaitu antara lain:28

1. Asas final dan mengikat (binding)

Asas final dan mengikat (binding) terhadap putusan arbitrase, jelas diatur

pada pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada bab VI mengenai pelaksanaan putusan

arbitrase, yang menyatakan: “putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai

kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak” dan dalam ketentuan pasal 68

ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan bahwa: “terhadap putusan ketua

pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang

mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat

diajukan banding atau kasasi”.

Menurut asas ini, putusan dari arbitrase tidak dapat diganggu gugat

walaupun oleh pengadilan, karena dalam putusan arbitrase tidak dapat dilakukan

upaya banding dan kasasi. Di sini pengadilan hanya berfungsi sebagai eksekutor,

yang hanya meneliti apakah ada pelanggaran atas asas-asas tersebut, maka

pengadilan dapat menolak pemberian eksekutor.

28

(34)

25

2. Asas resiprositas

Asas ini tercermin dalam ketentuan pasal 66 huruf a, Undang-undang

No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang

menyatakan bahwa putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat

dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia. Asas ini mempunyai arti adanya ikatan

hubungan timbal balik antara suatu negara dengan negara lain dimana dalam

hubungan tersebut antara negara sama-sama mengakui putusan arbitrase negara,

begitu juga sebaliknya. Menurut asas resiprositas tidak semua putusan arbitrase

asing dapat diakui (recognize) dan dieksekusi (enforcement), hanya terbatas pada

putusan yang diambil di negara asing yang mempuyai ikatan bilateral dengan

Indonesia dan terkait bersama dengan negara Indonesia dalam suatu konvensi

internasional.29

3. Asas ketertiban umum

Asas ketertiban umum tercermin dalam ketentuan pasal 66 huruh c,

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa yang menentukan bahwa putusan arbitrase internasional

hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada ketentuan yang tidak

bertentangan dengan ketertiban umum. Asas ini mempunyai arti, bahwa apabila

ada putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia,

permintaan eksekusinya dapat ditolak.

29

(35)

4. Asas separabilitas

Dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh, para pihak dapat memasukan

perjanjian arbitrase yang berupa klasula arbitrase, yang merupakan bagian dari

perjanjian tersebut atau merupakan perjanjian yang terpisah dari perjanjian pokok.

Apabila perjanjian arbitrase menjadi bagian dari perjanjian, maka hal ini sering

disebut klausul arbitrase.

Asas separabilitas atau lebih dikenal dengan severable clause ini,

mempunyai arti bahwa dalam suatu perjanjian, jika ada salah satu perikatan

dalam perjanjian tersebut batal, maka pembatalan tersebut tidak mengakibatkan

perikatan yang lain menjadi batal. Penerapan asas ini pada perjanjian arbitrase

artinya jika perjanjian pokok tersebut berakhir atau batal, klausul atau pasal

mengenai arbitrase masih tetap eksis.30

Mengenai perjanjian arbitrase Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah mengatur dalam

pasal 10 Tentang suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh

keadaan, yaitu :

a. Meninggalnya salah satu pihak b. Bangkrutnya salah satu pihak c. Novasi

d. Insolvensi salah satu pihak e. Pewarisan

f. Berlakunya Syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;

30

(36)

27

g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau

h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Jadi, apabila suatu perjanjian pokok batal, tidak menjadikan klausul

arbitrase yang ada didalam perjanjian pokok tersebut ikut batal namun klasul

arbitrase harus tetap dilaksanakan. Karena klausul arbitrase adalah independen

terhadap pemenuhan kewajiban atau perikatan lain dalam perjanjian tersebut dan

karenanya berlakulah asas separabilitas terhadapnya.31

D. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase

Upaya hukum dalam penyelesaian sengketa, para pihak dengan menimbang

keunggulan dan kelemahan suatu jalur yang akan ditempuhnya agar terakomodir

keinginan-keinginan para pihak. Dalam hal ini akan dibahas mengenai keunggulan

dan kelemahan arbitrase. Berikut penjelasan keunggulan dan kelemahan arbitrase,

menurut pendapat para ahli:32

1. Menurut Subekti, untuk dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa

lewat arbitrase atau perwasitan mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa

dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli dan secara rahasia.

2. HMN Purwosutjipto, memberikan pendapat mengenai arti penting peradilan wasit

(arbitrase) yaitu

31

Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan Persoalan Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai. h.43

32

(37)

a. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat

b. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak. c. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.

d. Putusan Peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia inilah yang dikehendaki oleh para pihak.

3. Gatot Sumartono, memberikan kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa melalui

arbitrase selalu didasarkan pada asumsi-asumsi, sebagai berikut:33

a. Lebih cepat, karena putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga menghemat waktu, biaya, dan tenaga;

b. Dilakukan oleh ahli di bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar dalam bidang tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakannya, sehingga hasilnya (putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan; dan c. Kerahasiaan terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak

terbuka untuk umum, sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.

4. Frans Hendra Winarta, memberikan pedapat bahwa lembaga arbitrase mempunyai

kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan umum, yaitu sebagai berikut:34

a. Sidang arbitrase tertutup untuk umum, sehingga kerahasiaan sengketa para pihak terjamin.

b. Kelambatan yang diakibatkan oleh hal prosedural dan adminstratif dapat dihindari.

c. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang menurut keyakinan mempunyai pengalaman, pengetahuan, jujur dan adil serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan.

33

Gatot sumartono Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2006) h. 13.

34

(38)

29

d. Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam menangani perkara arbitrase didasarkan pada sikap yang mengusahakan win-win solution terhadap pihak yang bersengketa.

e. Pilihan hukum untuk menyelesaikan sengketa serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase dapat ditentukan oleh para pihak.

f. Putusan arbitrase mengikat para pihak (Final and binding) dangan melalui tata cara (prosedur) sederhana ataupun langsung dapat dilaksanakan.

g. Suatu perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak menjadi batal karena berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

h. Di dalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus mengutamakan perdamaian diantara para pihak yang bersengketa.

Berdasarkan keunggulan yang dikemukaan oleh para ahli, maka penyelesaian

melalui arbitrase lebih disukai dan semakin dipertimbangkan selain melalui badan

peradilan. Namun selain memiliki keunggulan, Penyelesaian sengketa melalui

arbitrase juga memiliki kelemahan yaitu:35

1. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.

2. Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut.

3. Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing masih menjadi hal yang sulit.

4. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaan-perusahaan besar. Oleh karena itu untuk, mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.

5. Tidak adanya legal precendence atau keterikatan terhadap putusan arbitrase sebelumnya.36

35

Frans Hendra Winarta, h.63

36

(39)

E. Jenis-Jenis Arbitrase

Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar peradilan. Dalam Hal ini

arbitrase mempunyai dua jenis yaitu arbitrase ad hoc (arbitrase Volunter) dan

arbitrase institusional. Yang dimaksud dengan jenis arbitrase adalah macam-macam

arbitrase yang diakui eksistensinya dan kewenangannya untuk memeriksa dan

memutus perselisihan yang terjadi antara para pihak yang mengadakan perjanjian.37

Berikut penjelasannya dari kedua jenis arbitrase :38

1. Abitrase ad hoc (arbitrase volunter)

Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter merupakan arbitrase yang

dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan

tertentu.39 Arbitrase ad hoc pada dasarnya dibentuk setelah sengketa timbul, dan

akan berakhir apabila sudah selesai dan diputuskannya sengketa. Penyelesaian

melalui arbitrase ad hoc, pada umumnya ditentukan berdasarkan perjanjian yang

menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang

disepakati oleh para pihak, untuk itu perlu disebutkan dalam klausul arbitrase.40

Sebuah arbitrase ad hoc pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan

37

Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, h.104

38

Elsi Kartika Sari dan Advendi simangunsong, Hukum dalam ekonomi. h. 204

39

Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, h.105

40

(40)

31

yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, yakni Misal Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

UNCITRAL Arbitration rules dan ICC Rules.

2. Arbitrase institusional

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 8 yang dimaksud dengan

lembaga arbitrase adalah: “Badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa

untuk memberikan putusan mengenai sengeta tertentu; Lembaga tersebut juga

dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum

tertentu dalam hal yang timbul sengketa”

Arbitrase institusional merupakan suatu lembaga permanen yang dikelola

oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan

sendiri.41 Badan atau lembaga dalam arbitrase institusional ini tetap berdiri,

meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.42 Arbitrase

institusional dapat ditempuh sebagai penyelesaian sengketa apabila para pihak

sepakat dan menuangkannya ke dalam perjanjian dalam hal penyelesaian

sengketa.

Arbitrase institusional, ada yang bersifat nasional dan internasional yaitu

suatu badan atau lembaga arbitrase yang berbeda ruang lingkup keberadaannya

serta yuridiksinya. Arbitrase institusional yang bersifat nasional, misalnya Badan

41

Gatot Soemartono, h.27.

42

(41)

Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Syariah Nasional

(BASYARNAS), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan

Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) di Indonesia, Nederlands

Arbitrage Institut di Belanda, dan The Japan Commercial Arbitration

Association di Jepang. Selanjutnya Contoh dari Arbitrase institusional yang

bersifat internasional, yakni Court Arbitration of the international chamber of

commerce (ICC), The International Centre For Settlement of Investment

Disputes (ICSID).

Badan atau lembaga arbitrase institusional yang bersifat nasional dan

internasional tersebut memiliki peraturan dan sistem arbitrase sendiri, jadi para

pihak terikat segala pengaturan arbitrase, dari mulai biaya, pemilihan arbiter,

prosedur serta tata cara pelaksanaan arbitrase dan lainnya.

F. Perjanjian Arbitrase

Kebolehan para pihak dalam menentukan penyelesaian suatu sengketa yang

timbul maupun yang akan timbul melalui arbitrase didasari pada pasal 7

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa. Dalam menentukan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, harus didasari

kesepakatan para pihak yang dituangkan secara tertulis melalui suatu perjanjian yakni

perjanjian arbitrase. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 3 yang dimaksud

(42)

33

tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya

sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah

timbulnya sengketa.”

Pada dasarnya perjanjian arbitrase adalah sebuah ikatan dan kesepakatan di

antara para pihak, bahwa mereka akan menyelesaikan perselisihan yang timbul dari

perjanjian melalui mekanisme arbitrase dan mengenyampingkan penyelesaian

melalui badan peradilan.43

Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi suatu kesatuan dengan materi

pokok perjanjian. Perjanjian arbitrase yang lazim disebut “klausul arbitrase”,

merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian pokok. meskipun

keberadaannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok, dan sama sekali tidak

mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian.

Jadi, pada prinsipnya kontrak arbitrase merupakan suatu kontrak tambahan

(accesoir), tetapi ada beberapa sifat yang menyebabkan sifatnya sebagai accesoir

tersebut tidak diikuti secara penuh, yaitu jika perjanjian pokok batal maka kontrak

arbitrase tidak menjadi batal (Pasal 10 huruf h Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Perjanjian arbitrase

terdiri dari dua bentuk, yaitu:

1. Klausul arbitrase atau clause compromissoire (Pactum De Compromittendo)

43

(43)

Klausul arbitrase merupakan suatu ketentuan yang tercantum di dalam

perjanjian atau kontrak yang menyebutkan bahwa setiap perselisihan yang timbul

di kemudian hari sehubungan dengan perjanjian atau kontrak tersebut akan

diserahkan pada arbitrase untuk diputuskan.44 Dapat diketahui bahwa klausul

arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang timbul di masa

yang akan datang.

Dalam klausul arbitrase para pihak bebas menentukan sesuai kesepakatan

dengan menunjuk sebuah badan arbitrase tertentu, lokasi arbitrase berlangsung,

hukum dan aturan-aturan yang akan digunakan, kualifikasi para arbiter dan

bahasa yang dipakai dalam proses arbitrase.45

Jadi, pactum de compromittendo atau klausul arbitrase yang tercantum

dalam perjanjian pokok pada dasarnya dibuat untuk penyelesaian sengketa yang

mungkin timbul dimasa mendatang atau dibuat sebelum adanya suatu sengketa

dengan dilengkapi semua hal yang terkait penyelesaian sengketa yang akan

ditempuh sesuai kesepakatan para pihak.

2. Akta Kompromis

Akta kompromis adalah suatu kesepakatan di antara para pihak yang telah

terlibat dalam suatu sengketa, untuk mengajukan sengketa mereka agar

44

Gatot soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006) h.32

45

(44)

35

diputuskan oleh arbitrase.46 Akta kompromis pada dasarnya sebuah perjanjian

arbitrase yang dibuat setelah timbulnya perselisihan antara para pihak dalam

sebuah perjanjian tertulis yang telah ditandatangani oleh para pihak atau dibuat

dalam bentuk akta notaris. Mengenai akta kompromis telah diatur dalam pasal 9

ayat 1 s.d 4 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, berdasarkan ayat 3 mengenai persyaratan

dalam hal pembuatan akta kompromis harus memuat :

a. Masalah yang dipersengketakan;

b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e. Nama lengkap sekretaris;

f. Jangka waktu penyelesaian sengketa; g. Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan

h. Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase;

Persyaratan dalam hal pembuatan akta kompromis ini, bersifat wajib dan

jika tidak dipenuhi akan batal demi hukum berdasarkan pasal 9 ayat 4

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa

G. Kewenangan Arbitrase

Kewenangan arbitrase pada dasarnya lahir dari suatu perjanjian arbitrase

yang dibuat oleh para pihak sehingga menghapuskan kewenangan dari pengadilan

untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau yang sengketa yang timbul dari

46

(45)

perjanjian yang memuat klasusula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum

ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.47 Hal tersebut senada dengan

pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi: “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk

mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”

Mengenai objek sengketa arbitrase, dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 5

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, yang berbunyi:

Pasal 5 ayat (1): “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase

hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.

Pasal 5 ayat (2): “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui

arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan

tidak dapat diadakan perdamaian”

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan antara lain: perniagaan,

perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.48 Jadi,

suatu sengketa bidang perdagangan, dan mengenai hak yang menurut hukum dan

peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan

suatu sengketa yang dapat diadakannya perdamaian, dapat diselesaikan melalui

arbitrase jika telah disepakati melalui perjanjian arbitrase yang mereka buat. Dengan

demikian telah lahir kewenangan arbitrase dan menghapuskan kewenangan

pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul.

47

Gunawan Widjaja, h. 117

48

(46)

37

Namun, dalam penyelesaian melalui arbitrase, pengadilan mempunyai

beberapa keterkaitan yakni dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mencantumkan

beberapa keterkaitan serta peranan pengadilan untuk memperkuat proses arbitrase

dari awal proses arbitrase dimulai sampai pelaksanaan putusan arbitrase.49

Keterkaitan diawali dengan kewenangan arbitrase dengan penegasan

pengadilan wajib menolak dan tidak turut campur dalam penyelesaian sengketa,

yang termaktub dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan dalam proses

Pemilihan arbiter khususnya untuk arbitrase ad hoc yang diatur dalam pasal 13 ayat

(1) dan pasal 15 ayat (4), serta diatur pula pada pasal Pasal 22 Sampai dengan Pasal

25 untuk arbitase ad hoc mengenai hak ingkar. Peranan lain dari pengadilan dalam

arbitrase yaitu pengadilan merupakan tempat pendaftaran putusan arbitrase dalam

rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional yang dinyatakan dalam pasal 59 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa dan khusus untuk pelaksanaan putusan arbitrase internasional,

tempat pendaftaran pelaksanaan putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan ke

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Berdasarkan uraian diatas, dapat diketengahkan bahwa kewenangan arbitrase

dilandasi oleh pada perjanjian arbitrase dengan objek sengketa bidang perdagangan.

49

(47)

Dengan adanya perjanjian arbitrase tersebut menghapus kewenangan pengadilan,

namun penyelesaian arbitrase tetap terkait dengan pengadilan dalam hal pelaksanaan

(48)

39 BAB III

PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

A. Jenis Putusan Arbitrase

Putusan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dibedakan atas

putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional. Undang-Undang No.30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak

merumuskan definisi putusan arbitrase nasional, namun hanya memberikan definisi

terhadap putusan arbitrase internasional pada pasal 1 angka 9, yang berbunyi:

Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase international”

Dari rumusan tersebut, jelas bahwa untuk menentukan apakah putusan

arbitrase merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional digunakan faktor

tertorial.50

Senada dengan pendapat Gatot sumartono, bahwa putusan arbitrase yang

dapat dikategorikan sebagai putusan arbitrase internasional, jika diputuskan diluar

wilayah dari negara yang diminta pengakuan (recognition) dan eksekusi

(enforcement), ia pun menambahkan bahwa ciri selanjutnya mengenai putusan

arbitrase internasional adalah penggunaan pilihan hukum dalam proses penyelesaian

50

Referensi

Dokumen terkait

Dari definisi-definisi konsep RAD ini, dapat dilihat bahwa pengembangan aplikasi market place untuk UKM dengan menggunakan metode RAD ini sangat tepat dan dapat dilakukan

Hurricane terbentuk paling sering pada akhir musim panas ketika temperatur permukaan laut mencapai 27°C atau lebih tinggi dan mampu untuk memasok kalor dan uap air yang

Karena dengan banyak pasangan, kemungkinan untuk tertular virus HPV semakin besar (1) c.. Karena dengan bersentuhan saja sudah menularkan virus

Potret Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya Nelayan Eretan Wetan Para nelayan yang ada di Desa Eretan Wetan merupakan nelayan kecil yang menggunakan peralatan relatif sederhana

Tenaga kerja (TK) adalah orang yang bekerja pada sentra industri pengolahan makanan dan minuman (industri kecil menengah) yang ada di Kecamatan Batu yang

a. Gerakan Sholat Subuh Berjamaah, progam ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Desa Betoyokauman, waktu pelaksanaanya setiap satu bulan sekali yang bertujuan

Berdasarkan gambar di atas, menunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar HDL pada mencit setelah diberi pakan diet tinggi lemak selama 28 hari, kemudian diberi perlakuan selama

1. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Universitas Gajah Mada. Universitas Sumatera Utara.