• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Pengelolaan (authority)

Dalam dokumen 5. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 38-41)

7) Pengembangan Ekonomi

5.6. Perbaikan Pengelolaan Kawasan Minawana

5.6.1. Kewenangan Pengelolaan (authority)

Pada pengelolaan suatu sumberdaya alam, diperlukan suatu kejelasan pihak atau lembaga yang memiliki kewenangan dalam pemanfataan atau perlindungan sumberdaya alam agar tetap lestari termasuk pengelolaan mangrove. Hutan mangrove di kawasan pantai Subang bagian utara berada di bawah otoritas pengelolaan RPH Tegal-Tangkil BKPH Ciasem-Pamanukan, KPH Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat - Banten. Sejak tahun 1986 BPKH Ciasem Pamanukan telah menerapkan strategi Perhutanan Sosial (PS). Pelaksanaan Perhutanan Sosial dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif sebagai penggarap tambak. Disisi lain penggarap tambak wajib memelihara ekosistem mangrove. Pola ini kemudian disempurnakan pada tahun 1988 dengan program minawana (Perum Perhutani 1984). Sejak tahun 2001, sebagai keberlanjutan dari program Perhutanan Sosial dilanjutkan dengan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan Masyarakat Desa Hutan maupun dengan pihak lain yang berkepentingan (stakeholder). PHBM ini dengan maksud berbagai peran antara Perum Perhutani dengan LMDH. Dengan demikian, kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.

Dasar Hukum Perum Perhutani sendiri ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1978, kemudian disempurnakan/diganti berturut-turut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1986, Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2001, dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2003. Saat ini pengelolaan perusahaan Perum Perhutani dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara. Beradasarakan Peraturan Pemerintah ini, Pemerintah melanjutkan penugasan kepada Perusahaan untuk melakukan Pengelolaan Hutan di Hutan Negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten,

kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (pasal 3 ayat 1).

Pada pasal 7 PP No 72 Tahun 2010 ayat (1) disebutkan Perusahaan menyelenggarakan kegiatan Pengelolaan Hutan sebagai ekosistem sesuai dengan karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial, dan ekonomi, bagi perusahaan dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan tujuan nasional dan daerah, yang dituangkan dalam Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) yang disusun oleh Perusahaan dan disetujui oleh Menteri Teknis atau pejabat yang ditunjuk. Upaya melibatkan masyarakat sekitar hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dilakukan dengan cara :

a) memberikan dan menyelenggarakan penyuluhan, bimbingan, pendampingan, pelayanan, bantuan teknik, pendidikan, dan/atau pelatihan;

b) menyebarluaskan informasi mengenai proses pengelolaan hutan kepada masyarakat secara terbuka; dan

c) masyarakat dilibatkan pada pelaksanaan pengelolaan hutan, sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2010 Tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara, maka pengelolaan hutan merupakan kegiatan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi, dan reklamasi hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam. Oleh karena itu, ekosistem mangrove (hutan bakau) di wilayah pantai utara Subang (termasuk RPH Tegal-Tangkil) menjadi wilayah pengelolaan Perum Perhutani dalam hal ini KPH Purwakarta, BKPH Ciasem-Pamanukan.

Hasil wawancara tentang pemahaman dan pengetahuan petambak terhadap kewenangan pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil sepenuhnya dibawah kewenangan Perhutani/BKPH Ciasem-Pamanukan (100%). Akan tetapi walaupun masyarakat mengakui bahwa kawasan minawana merupakan kewenangan Perhutani, boleh melakukan kegiatan budidaya (bagi yang memiliki hak garapan) dan melakukan penangkapan kepiting, wideng, belut, ular dan burung. Bahkan penggarap tambak banyak yang melakukan penebangan dan

modifiksi terhadap tambak. Selain itu, banyak terjadi jual beli hak garapan diluar sepengetahuan pihak Perhutani. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1) Pada awalnya empang dijadikan sebagai jaminan oleh penggarap tambak

kepada orang lain (penggadai) untuk meminjam uang. Akan tetapi jika tidak terbayar empang tersebut menjadi hak garapan pihak penggadai yang tidak dilaporkan kepada pihak Perhutani

2) Penggarap tambak dengan sengaja menjual hak garapan kepada pihak lain tanpa sepengetahuan oleh pihak Perhutani

Pada umumnya penggarap tambak memperoleh hak garapan tambak berasal dari jual beli (44.44%) dan hak yang diturunkan oleh orang tua (37.04%). Penggarap tambak yang langsung memperoleh izin garapan dari Perhutani hanya 11.11%% sedangkan sisanya diperoleh melalui hasil gadaian dari pihak lain (7.41%). Untuk selengkapnya perolehan hak garapan disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27 Perolehan hak garapan empang di RPH Tegal-Tangkil

Perolehan empang % responden

Langsung dari Perhutani 11.11 Hak yang diturunkan dari orang tua 37.04

Jual-beli empang 44.44

Gadai 7.41

Total 100.00

Sumber: Hasil analisis 2012

Perolehan hak garapan dari pembelian ataupun warisan memberikan dampak yang berbeda jika diperoleh langsung dari Perhutani. Penggarap tambak yang memperoleh hak garapan dari Perhutani pada umumnya berkomitmen untuk tetap mempertahankan mangrove dibanding dengan jika didapatkan dari warisan atau dari proses jual-beli. Oleh karena itu, penebangan atau modifikasi empang biasanya dilakukan oleh penggarap tambak yang memperoleh empang dari jual beli. Hal ini dikarenakan mereka merasa empang tersebut adalah miliknya, walaupun masih mengakui tanah tersebut milik Perhutani. Selain itu, maraknya penebangan dan modifikasi empang adalah ketidaktahuan masyarakat tentang fungsi dan peranan Perhutani terhadap pengelolaan hutan Negara. Oleh karena itu, melihat permasalahan yang terjadi saat ini, hal yang perlu dilakukan oleh pihak Perhutani antara lain:

1) Sosialisasi mengenai fungsi dan peranan Perhutani terhadap kelestarian mangrove.

2) Sosialisasi bagaimana peranan (kontribusi) masyarakat terhadap pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya mangrove.

3) Sosialisasi fungsi dan peranan LMDH terhadap pengelolaan ekosistem mangrove.

4) Pemberian kewenangan kepada LMDH sebagai mitra Perhutani dalam pengelolaan minawana di RPH Tegal-Tangkil mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi bersama Perhutani (Kep. Dir Perum Perhutani N0. 682/KPTS/DIR/2009).

5) Perbaikan organisasi LMDH baik dari keaggotaan, AD/ART, visi/misi atau hal lainnya sesuai standar organisasi yang memiliki badan hukum.

6) Pengangkatan pengurus LMDH oleh masyarakat bukan oleh Perhutani. Perhutani hanyalah kontrol terhadap kinerja pengurus LMDH terkait dengan kelestarian mangrove.

Jika misalnya suatu kawasan mangrove adalah bukan milik Negara, maka kewenangan pengelolaan seharusnya diserahkan kepada kelompok masyarakat. Pemberian kewenangan kepada kelompok masyarakat tersebut harus dituangkan (dilegalkan) dalam peraturan. Pada dalam peraturan tersebut harus dituangkan dengan jelas fungsi dan peranan kelompok masyarakat terhadap pengelolaan. Selain itu, dituangkan kontrol (peranan) pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya tersebut. Hal ini untuk memperkuat posisi kelompok pengelola terhadap pengelolaaan sumberdaya mangrove.

Dalam dokumen 5. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 38-41)

Dokumen terkait