• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keywords: food availability, region carrying capacity, land man ratio

PENDAHULUAN

Latar belakang

Dalam Undang-undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dijelaskan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Undang-undang tersebut juga mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan. Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh akses masyarakat baik secara ekonomi maupun secara fisik. Masyarakat berperan dalam penyelenggaraan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi, serta sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang bermutu.

Sejalan dengan hal tersebut maka Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk lebih banyak mengatur dan mengelola pembangunan daerah, termasuk pembangunan ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan urusan wajib pemerintah daerah sesuai dengan pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan yang penyelenggaraannya berpedoman kepada standar pelayanan minimal (SPM). Ketahanan pangan harus diupayakan secara optimal dan berkesinambungan sesuai dengan potensi masing-masing wilayah di semua kabupaten/kota. Untuk itu dibutuhkan suatu bentuk perencanaan pembangunan dalam rangka menjamin ketahanan pangan wilayah secara berkelanjutan.

Perencanaan pangan dan gizi menjadi bagian dari perencanaan pembangunan wilayah dan berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pembangunan ekonomi (Todaro dalam Baliwati, 2008 ), sehingga bukan semata-mata perencanaan komoditas pangan. Selanjutnya Baliwati (2008) menyatakan bahwa ciri perencanaan pangan dalam konteks pembangunan wilayah adalah : a) memenuhi kebutuhan gizi rata-rata penduduk untuk mendukung hidup sehat, aktif dan produktif, b) mengikuti kaidah gizi seimbang, c) memperhatikan

kemampuan dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, d) sesuai dengan daya beli dan kebiasaan makan masyarakat setempat.

Menurut Karsin (2004) upaya pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi penduduk dapat dicapai melalui peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, kebijakan harga dan cadangan pangan, industri pangan, pengawasan industri pangan, serta partisipasi masyarakat. Ketersediaan pangan diarahkan untuk mencapai kondisi pangan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan serta turunannya bagi penduduk suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu, untuk hidup sehat dan produktif. Dengan kata lain, sasaran yang harus dicapai adalah jumlah ketersediaan pangan (dalam bentuk ketersediaan energi sebesar 2200 kkal/kap/hari) serta beranekaragam berdasarkan gizi seimbang yang ditunjukkan oleh skor PPH 100.

Provinsi Sumatera Selatan memiliki Program Sumatera Selatan Lumbung Pangan, yang bertujuan untuk menjadi wilayah produsen pangan dan cadangan pangan serta hasil-hasil pertanian lainnya dalam bentuk segar maupun olahan agroindustri, dimana masyarakatnya tidak hanya berkecukupan pangan tetapi juga mempunyai daya beli dan kemudahan untuk mengakses pangan sehingga mempunyai ketahanan pangan yang mantap dan memperoleh tingkat pendapatan yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidup lainnya (Perda No. 6 Tahun 2007 tentang Arah Kebijakan Sumatera Selatan Lumbung Pangan 2006-2025). Untuk mewujudkan program tersebut, maka dibutuhkan dukungan dan kerjasama dari seluruh kabupaten/kota di wilayah Provinsi Sumatera Selatan.

Salah satu kabupaten yang mendukung ketersediaan pangan Provinsi Sumatera Selatan adalah Kabupaten Muara Enim yang memiliki kekayaan sumberdaya alam terutama perkebunan dan pertambangan. Namun kondisi ketahanan pangan wilayah ini sendiri belum memadai. Ketersediaan pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2004-2008 berfluktuasi antara 1.197- 2.513 kkal/kap/hari (ketersediaan yang dianjurkan 2.200 kkal/kap/hari) dengan

mutu yang belum memenuhi skor PPH ideal. Konsumsi pangan penduduk

tergolong normal tetapi didominasi oleh padi-padian (beras), sehingga mutu konsumsi belum cukup baik (skor PPH 70,1 dari 100). Selain itu dari 22 kecamatan yang ada, terdapat 15 kecamatan beresiko rawan pangan dan gizi,

terdiri dari 1 kecamatan resiko tinggi dan 14 kecamatan resiko sedang (KKP, 2009). Menurut laporan riskesdas (riset kesehatan dasar) tahun 2009 dari Kementrian Kesehatan, peringkat status gizi buruk Kabupaten Muara Enim merupakan yang tertinggi di Sumatera Selatan (13 persen) dan peringkat gizi kurang tertinggi kedua (15,1 persen).

Terkait kondisi tersebut, menurut Jelife (1989) status gizi antara lain ditentukan oleh faktor lingkungan (fisik dan bilologis). Faktor fisik dapat diartikan sebagai lahan pertanian pangan dan faktor biologis adalah ketersediaan pangan. Oleh karena itu diperlukan suatu perencanaan ketersediaan pangan untuk menjamin kebutuhan pangan penduduk agar dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Dengan memperhatikan daya dukung pangan wilayah maka ketersediaan aneka ragam pangan dapat terjamin. Ketersediaan pangan merupakan prasyarat agar penduduk dapat mengkonsumsi aneka pangan secara cukup dan seimbang.

Dalam perencanaan pembangunan ketahanan pangan untuk menjamin ketersediaan pangan berkelanjutan, dibutuhkan data kebutuhan luas lahan pertanian pangan yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Secara faktual, berbagai data luasan lahan di Kabupaten Muara Enim yang dapat digunakan untuk pengembangan produksi aneka ragam pangan menunjukkan angka yang berbeda (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan perlunya konsolidasi data dan perencanaan pangan secara komprehensif sehingga dapat diketahui ; a) seberapa besar kemampuan produksi pangan Kabupaten Muara Enim, b) luasan lahan yang dibutuhkan agar mampu memproduksi pangan dan gizi sesuai kebutuhan gizi penduduk

Tabel 1 Perbandingan luas lahan basah dan lahan kering di Kabupaten Muara Enim

No Jenis Lahan Arahan

1)

Aktual2) Rencana Tata3)

(Ha) (Ha) Ruang (Ha)

1 Lahan basah/Sawah 21.520 36.539 9.808

2 Lahan kering/Perkebunan 514.741 336.927 416.768

Jumlah 536.261 373.466 426.576

Keterangan :

1) Balitbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2006 2) BPS, 2009

Perumusan Masalah

Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut maka perlu dianalisis :

1. Apakah situasi produksi dan ketersediaan pangan di Kabupaten Muara Enim

dapat memenuhi kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduk?

2. Bagaimana mengoptimalkan daya dukung pangan (dalam produksi pangan) di

Kabupaten Muara Enim sehingga mampu memenuhi kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduk secara berkelanjutan?

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis daya dukung wilayah untuk perencanaan ketersediaan pangan secara berkelanjutan di Kabupaten Muara Enim.

Tujuan Khusus

1. Menganalisis situasi konsumsi, ketersediaan dan produksi pangan penduduk

Kabupaten Muara Enim tahun 2003-2009.

2. Menyusun proyeksi kebutuhan konsumsi, ketersediaan dan produksi pangan

penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2010-2015.

3. Menganalisis kebutuhan daya dukung lahan untuk menjamin produksi

pangan yang memenuhi kebutuhan ideal pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2010-2015.

4. Menganalisis konsistensi dan keterpaduan kebijakan pembangunan

ketahanan pangan di Kabupaten Muara Enim.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan masukan untuk pengembangan ilmu Sumberdaya Pangan (SdP)

dan Perencanaan Pangan dan Gizi (PPG).

2. Memberikan alternatif strategi bagi Pemerintah Kabupaten Muara Enim dalam

menyusun perencanaan pembangunan pangan dan gizi wilayah untuk memenuhi standar pelayanan minimum (SPM) daya dukung wilayah.

TINJAUAN PUSTAKA

Ketahanan Pangan Konsep Ketahanan Pangan

Declaration of Human Right 1998 menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM). Hal ini berarti bahwa negara (pemerintah dan masyarakat) bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya baik akibat adanya kondisi pangan yang sulit diperoleh penduduk dan rendahnya daya beli masyarakat (baik karena pendapatan rendah atau kebijakan harga-harga pangan).

Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996). Hal ini berarti bahwa ketahanan pangan mengandung aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Tersedianya pangan yang cukup merupakan syarat terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi penduduk yang jumlahnya terus bertambah. Menurut Rustiadi (2008) untuk membangun sistem ketahanan pangan nasional yang lebih baik adalah antara lain upaya untuk tetap mempertahankan stabilitas kesetimbangan antara ketersediaan pangan dengan laju pertumbuhan penduduk, permasalahan degradasi lingkungan dan alih fungsi lahan. Untuk itu pengembangan dan pemantapan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang mendasar dan strategis dalam pembangunan nasional, karena: 1) akses terhadap pangan dengan gizi seimbang bagi penduduk merupakan hak asasi, 2) keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia sangat ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi, dan 3) ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan.

Komponen dan Indikator Ketahanan Pangan

Menurut Suryana (2002) ketahanan pangan merupakan perwujudan hasil kerja suatu sistem ekonomi pangan yang terdiri dari tiga subsistem yaitu

subsistem penyediaan, distribusi dan subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Pembangunan subsistem penyediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari dalam negeri, cadangan, maupun dari luar negeri. Pembangunan subsistem distribusi mencakup pengaturan untuk menjamin aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap pangan antar wilayah dan antar waktu, serta stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan subsistem konsumsi mencakup pengelolaan pangan ditingkat daerah maupun rumah tangga untuk menjamin setiap individu memperoleh pangan dalam jumlah, mutu gizi, keamanan, keragaman, dan keterjangkauan sesuai kebutuhan dan pilihannya.

Maxwell dan Smith (1992) mengatakan bahwa ketahanan pangan menunjukkan adanya akses setiap individu untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan setiap waktu. Hal ini berarti ketahanan pangan memiliki empat dimensi yaitu (a) kecukupan pangan, yang ditunjukkan oleh tingkat kecukupan energi untuk aktif dan hidup sehat; (b) akses pangan, yang berarti adanya kemampuan untuk memproduksi, membeli pangan maupun menerima pemberian pangan; (c) jaminan, yaitu adanya jaminan untuk memperoleh cukup pangan; dan (d) waktu, yaitu adanya jaminan untuk memperoleh cukup pangan secara berkelanjutan.

Suryana (2004) mengemukakan bahwa keberhasilan pembangunan ketiga subsistem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana, prasarana dan kelembagaan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan dan sebagainya. Disamping itu perlu juga didukung oleh faktor-faktor penunjang seperti kebijakan, peraturan, pembinaan dan pengawasan pangan. Ketahanan pangan dilaksanakan oleh banyak pelaku seperti produsen, pengolah, pemasar dan konsumen yang dibina oleh berbagai instansi sektoral, sub sektoral serta dipengaruhi interaksi antar wilayah. Output yang diharapkan dari pembangunan ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak asasi manusia akan pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional.

Menurut Soetrisno (1995) dua komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan. Tingkat ketahanan pangan suatu

negara/wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Selanjutnya Sawit dan Ariani (1997) menyatakan bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut.

Ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang terdiri atas tiga subsistem, yaitu: 1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, 2) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan 3) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan (DKP, 2006).

Ketersediaan pangan dibangun melalui peningkatan kemampuan produksi di dalam negeri, peningkatan pengelolaan cadangan, serta impor untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan. Distribusi pangan dilakukan untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga pangan antar wilayah dan waktu, yang memungkinkan masyarakat seluruh pelosok dapat mengakses pangan secara fisik dan ekonomi. Konsumsi pangan dibangun dengan meningkatkan kemampuan rumah tangga mengakses pangan yang cukup melalui kegiatan ekonomi produktifnya, baik dari usaha agribisnis pangan atau dari usaha lainnya yang menghasilkan pendapatan untuk membeli pangan, serta peningkatan pengetahuan dan kesadaran dalam mengkonsumsi pangan yang beragam, bergizi dan berimbang.

Sebagai salah satu subsistem dari sistem ketahanan pangan maka FAO mengedepankan sistem penyediaan pangan dengan lima karakteristik yang harus dipenuhi, yaitu : (1) kapasitas (capacity) : mampu menghasilkan, mengimpor, dan menyimpan makanan pokok dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk (national food sufficiency), (2) pemerataan (equity) : mampu mendistribusikan makanan pokok sehingga tersedia dalam jangkauan seluruh keluarga, (3) kemandirian (self-relience) : mampu menjamin kecukupsediaan makanan pokok dengan mengandalkan kekuatan sendiri sehingga ancaman fluktuasi pasar dan tekanan politik internasional dapat ditekan seminimum mungkin, (4) kehandalan (reliability) : mampu meredam dampak variasi musiman

maupun siklus tahunan sehingga kecukupsediaan pangan dapat dijamin setiap saat, (5) keberlanjutan (sustainability) : mampu menjaga keberlanjutan dan kecukupsediaan pangan dalam jangka panjang dengan tanpa merusak kualitas hidup (Soetrisna, 2005).

Selanjutnya menurut Soetrisno (2005), ada dua pilihan untuk mencapai ketahanan pangan pada tingkat nasional atau wilayah, yaitu dengan mencapai swasembada pangan atau mencapai kecukupan pangan. Swasembada pangan diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, yang sejauh mungkin berasal dari pasokan domestik dengan meminimalkan ketergantungan pada perdagangan pangan. Kecukupan pangan memasukkan variabel perdagangan internasional atau antar wilayah. Dengan konsep ini dituntut kemampuan untuk menjaga tingkat produksi domestik ditambah kemampuan untuk mengimpor agar dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.

Ketahanan Pangan dan Pembangunan Berkelanjutan

Komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan (World Commission on Environment and Development/WCED) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Istilah ini banyak dikritik karena dianggap memiliki makna ganda. Kemudian dalam dokumen Caring for Earth/Bumi Wahana, pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai perbaikan mutu kehidupan manusia dengan tetap berusaha tidak melampaui kemampuan ekosistem yang mendukung kehidupannya (IUCN, UNEP, WWF, 1993). Masyarakat berkelanjutan secara ekologi adalah apabila (1) melestarikan sistem-sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati, (2) menjamin keberlanjutan penggunaan sumberdaya yang dapat diperbaharui dan meminimumkan penipisan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, dan (3) berusaha tidak melampaui daya dukung ekosistem.

Agenda 21 merupakan agenda berbagai program aksi pembangunan berkelanjutan yang disepakati oleh para pemimpin dunia di KTT Bumi Rio de Janeiro tahun 1992. Chapter 14 Agenda 21 berjudul Promoting Sustainable Agriculture and Rural Development (SARD) merinci berbagai konsep dan program aksi Pertanian Berkelanjutan yang perlu dilaksanakan oleh semua negara

Menurut Agenda 21 konsep keberlanjutan merupakan konsep yang multidimensional termasuk didalamnya pencapaian tujuan ekologi, sosial dan ekonomi. Antara tiga dimensi ini terdapat kaitan dan ketergantungan yang sangat erat. Penguatan kelayakan dan kehidupan ekonomi di pedesaan merupakan dasar untuk penyediaan cara-cara untuk mempertahankan fungsi sosial dan lingkungan mereka. Menjaga kualitas lingkungan juga merupakan prasyarat atau prakondisi yang diperlukan bagi pengembangan potensi ekonomi jangka panjang di pedesaan. Integritas ekologi dan nilai lansekap pedesaan dapat merupakan daerah pedesaan sebagai kawasan wisata dan tempat hidup yang tenang dan menyenangkan sehingga dapat menarik investor untuk menanamkan modal.

Keberlanjutan pembangunan merupakan keberlanjutan peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat/penduduk tempat mereka berada dan hidup termasuk dalamnya ketersediaan berbagai jenis pangan yang cukup dan bermutu. Ketahanan pangan harus dilihat dari konteks peningkatan kualitas hidup penduduk dan lingkungan hidup di pedesaan. Pearce et al. (1994) menyatakan bahwa Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development) mempunyai makna dan tujuan yang lebih luas daripada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan atau sustainable economic growth. Tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan ekonomi pada tingkat tertentu dapat bersinergi. Namun pada kondisi- kondisi tertentu di lapangan, ketiga-tiganya dapat saling bersaing dan kurang saling mendukung. Apabila hal ini terjadi, konsep keberlanjutan mengarah pada diperlukannya keseimbangan yang benar antara tiga dimensi tersebut. Pilihan- pilihan kebijakan perlu ditetapkan secara hati-hati dengan mempertimbangkan masing-masing dimensi yang saling berkaitan.

Secara konseptual maupun historikal konsep ketahanan pangan merupakan bagian utama konsep pertanian berkelanjutan. Agenda 21 menyatakan bahwa Tujuan utama program Pertanian Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan (SARD) adalah meningkatkan produksi pangan dengan cara yang berkelanjutan serta memperkuat ketahanan pangan. Dalam pertanian berkelanjutan peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk dilaksanakan secara berkelanjutan dengan dampak yang seminimal mungkin bagi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat serta kualitas hidup penduduk di pedesaan. Program ini

meliputi berbagai kegiatan mulai dari prakarsa pendidikan, pemanfaatan insentif ekonomi, pengembangan teknologi yang tepat guna hingga dapat menjamin persediaan pangan yang cukup dan bergizi, akses kelompok-kelompok rawan terhadap persediaan pangan tersebut, produksi untuk dilempar ke pasar, peningkatan pekerjaan dan penciptaan penghasilan untuk mengentaskan kemiskinan, serta pengelolaan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan.

Peningkatan produksi pangan harus dilakukan dengan cara-cara yang berkelanjutan tidak mengurangi dan merusak kesuburan tanah, tidak meningkatkan erosi, dan meminimalkan penggunaan dan ketergantungan pada sumberdaya alam yang tidak terbarukan, mendukung kehidupan masyarakat pedesaan yang berkeadilan, meningkatkan kesempatan kerja serta menyediakan kehidupan masyarakat yang layak dan sejahtera, mengurangi kemiskinan dan kekurangan gizi, tidak membahayakan kesehatan masyarakat yang bekerja atau hidup di lahan pertanian, dan juga kesehatan konsumen produk-produk pertanian yang dihasilkan, melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lahan pertanian dan pedesaan serta selalu melestarikan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati, memberdayakan dan memandirikan petani dalam mengambil keputusan pengelolaan lahan dan usaha taninya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya sendiri, memanfaatkan dan melestarikan sumber daya lokal dan kearifan masyarakat tradisional dalam mengelola sumber daya alam.

Lebih lanjut menurut Speth (1993) diacu dalam Absari (2007), konsep dari ketahanan pangan berkelanjutan adalah mengkombinasikan pangan, pertanian dan penduduk menjadi tujuan dasar dari pembangunan. Untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan dibutuhkan lebih dari sekedar meningkatkan produktifitas pertanian dan keuntungan usahatani serta meminimalisasi kerusakan lingkungan. Konsepnya lebih luas daripada pertanian berkelanjutan, yaitu menggabungkan tujuan dari ketahanan pangan rumah tangga dan pertanian berkelanjutan. Tidak hanya membahas tentang jumlah ketersediaan pangan tetapi juga mengenai pendapatan dan distribusi lahan, mata pencaharian rumah tangga dan kebutuhan konsumsi pangan, distibusi pangan dan pangan tercecer, status

perempuan dan posisi tawar mereka, tingkat kelahiran dan populasi penduduk, perlindungan dan regenerasi sumberdaya vital bagi produksi pangan.

Dengan semakin besar dan berkembang jumlah penduduk, diharapkan sektor pertanian (sebagai sumber penghasil dan penyedia utama pangan) dapat memenuhi kebutuhan pangan yang cukup besar dan terus berkembang dalam jumlah, keragaman dan mutunya (Syafa’at dan Simatupang, 2006). Sehingga pembangunan pertanian harus diarahkan menjadi pembangunan pertanian berkelanjutan.

Menurut Sabiham (2008), agar pertanian dapat berjalan secara berkelanjutan, maka usaha dalam sektor pertanian juga harus memperhatikan daya dukung dan kesesuaian lahan untuk komoditi yang akan diusahakan. Untuk menjamin produksi pertanian yang berkelanjutan sebagai komponen ketersediaan pangan maka dibutuhkan ketersedian lahan secara berkelanjutan dalam jumlah dan mutu yang memadai. Ciri utama penggunaan lahan berkelanjutan adalah (Sabiham, 2008) :

1. Penggunaan sumberdaya lahan yang berorientasi jangka panjang,

2. Dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa

depan,

3. Pendapatan per kapita meningkat,

4. Kualitas dapat dipertahankan, bahkan kalau bisa ditingkatkan,

5. Dapat mempertahankan produktifitas dan kemampuan lahan,

6. Mampu mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi.

Daya Dukung Pangan Wilayah (Nutritional Carrying Capacity)

Definisi daya dukung dalam perspektif biofisik wilayah adalah jumlah maksimum populasi yang dapat didukung oleh suatu wilayah, sesuai dengan kemampuan teknologi yang ada (Binder dan Lopez 2000 diacu dalam Rustiadi et al. 2006). Menurut Baliwati (2008), daya dukung mempunyai dua komponen yaitu besarnya populasi manusia dan luas sumberdaya lingkungan yang dapat memberikan kesejahteraan pada populasi manusia. Daya dukung (carrying capacity) berkembang seiring dengan bertambahnya tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia (anthropogenik).

Nutritional Carrying Capacity dari wilayah adalah jumlah maksimum manusia atau penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan pangannya pada saat tertentu tanpa menyebabkan berkurangnya kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung manusia atau penduduk pada masa yang akan datang. Inovasi budaya dan teknologi dapat meningkatkan nutritional carrying capacity, namun dalam kurun waktu cukup lama apabila inovasi tersebut menyebabkan kerusakan sumberdaya alam esensial yang tidak tergantikan maka hal tersebut pada akhirnya akan menurunkan nutritional carrying capacity dari wilayah. Meskipun faktor biofisik merupakan faktor pembatas utama dari nutritional carrying capacity, akan tetapi tekanan sosial, politik dan ekonomi adalah faktor yang menentukan sampai dimana nutritional carrying capacity suatu wilayah dapat terwujud (Paul, Anne and Gretchen, 1993).

Pendekatan perhitungan daya dukung lingkungan/lahan harus dilakukan dari sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran (supply) sumberdaya dan jasa lingkungan. Langkah perhitungan dalam Pedoman Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2009) yaitu : daya dukung lahan ditentukan oleh kebutuhan (demand) dan ketersediaan (supply). Kebutuhan lahan ditentukan oleh jumlah penduduk dan tingkat konsumsi tiap penduduk, yang dipengaruhi tingkat produksi dan produktivitas lahan. Daya dukung lahan juga diperoleh dari perbandingan antara ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan.

Lahan Pertanian Pangan

Sumberdaya lahan akan semakin menurun kontribusinya terhadap pangan yang diakibatkan terjadinya tekanan jumlah penduduk yang memperkecil kepemilikan lahan perkapita serta akibat adanya kompetisi penggunaan lahan.

Hal ini menurut teori Thomas Malthus (Neo-Malthusian) diacu dalam Baliwati

(2008) bahwa penduduk cenderung bertambah menurut deret ukur dan berlipat ganda setiap 30-40 tahun (kecuali jika terjadi kelaparan). Adanya ketentuan pertambahan hasil yang semakin berkurang dari faktor produksi lahan yang jumlahnya tetap, maka kebutuhan persediaan pangan yang meningkat menurut deret hitung, membutuhkan daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan.

Aspek-aspek pengelolaan sumberdaya lahan pertanian pangan menurut Rustiadi (2008) merupakan faktor nyata yang dibutuhkan dalam proses

penyediaan pangan. Lahan pertanian pangan, khususnya sawah memiliki karakteristik sumberdaya yang dikategorikan sebagai common pool resources (CPRs) karena memiliki dua kriteria utamanya yaitu unsur subtractability karena ketersediaan lahan yang sesuai untuk pertanian pangan sangat dan semakin

Dokumen terkait