• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMUAN PENELITIAN A. Temuan Hasil Analisis Kritis Deskriptif

2. Ibnu Khaldun a.Biografi

„Abd al-Rahman Abu Zaid Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Khaldun (lebih dikenal dengan Ibn Khaldun)lahir di Thunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 M. dan meninggal di Cairo tanggal 25 Ramadhan 808 H/19 Maret 1406 M.42 Sejak kecil, Ibnu Khaldun adalah seorang yang haus akan ilmu pengetahuan, Ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah diperolehnya. Hal ini menyebabkan beliau mempunyai banyak guru.Tidak heran jika beliau termasuk orang yang pandai dalam ilmu Islam, tidak saja dalam bidang agama, tapi juga di

39

Zainuddin, Op. Cit., h. 78.

40

Muzayyin, Op. Cit., h. 95.

41

Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan, (Bandung: Angkasa, 2003), h. 67.

42

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, edisi revisi, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 91

41

bidang-bidang umum lainnya, seperti sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan lain-lain.43

Ketika sudah mencapai usia untuk belajar, beliau melanjutkan pelajarannya dan berguru kepada sejumlah ahli. Ibnu Khaldun mulai menghafal Al-Qur’an dan

tajwidnya sesuai dengan metode yang berlaku di sebagian besar Negara Islam.Ibnu Khaldun juga belajar tentang dasar-dasar ilmu bahasa Arab, kesusastraan, gramatika, lalu mendalami ilmu ushul fiqh dan fiqh dari mazhab Maliki.44

Sebagaimana parapemikir Islam lainnya, pendidikan masa kecilnya berlangsung secara tradisional. Artinya, ia harus belajar membaca al-Qur’an, hadits,

fiqih, sastra, dan nahwu sharaf dengan sarjana-sarjana terkenal pada masanya. Pada umur 20 tahun ia telah bekerja sebagai sekretaris Sultan Fez di Maroko.45

Dalam menuntut berbagai ilmu tersebut, ada beberapa ulama yang dikenal sebgaai gurunya, diantaranya dalam pelajaran bahasa beliau peroleh dari Abu Abdullah Muhammad bin Arabi Hasyayiri, Abu Abbas Ahmad bin al-Qaushhar, dan Abu Abdillah. Pelajaran hadis diperolehnya dari Syamsuddin Abu Abdillah al-Wadiyasyi.Beliau juga belajar fiqh kepada Abdillah Muhammad al-Jiyani dan Muhammad al-Qashir.46

b. Konsep Pendidikan

Menurut Khaldun, manusia bukan merupakan produk nenek moyangnya, akan tetapi produk sejarah, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat. Karena itu, lingkungan sosial merupakan pemegang tanggung jawab dan sekaligus memberikan

43

A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 45

44

Kosim, op. cit., h. 15.

45

Nata, loc. cit., h. 171.

46

corak perilaku seorang manusia.Hal ini memberikan arti, bahwa pendidikan menempati posisi sentral dalam rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan.47

Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya, sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof, baik Islam maupun luar Islam.Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiologi dan antropologi.48

Menurut Ibnu Khaldun, manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia di samping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat yang antara satu dan lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat.Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain yang telah dahulu mengetahuinya. Mereka itulah yang kemudian disebut guru. Agar proses pencapaian ilmu yang demikian itu maka perlu diselenggarakan kegiatan pendidikan.49

Dalam proses belajar, akal pikiran memungkinkan orang untuk menangkap pengertian baik dari ucapan maupun dari tulisan serta mampu pula mengambil kesimpulan-kesimpulan tentang hukum-hukum yang membentuk susunan dan relasi antara berbagai pengertian yang berbeda. 50

47

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, op. cit., , h. 93

48

Nata, op. cit., 174

49

Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan, (Bandung: Angkasa Press, 2003), h. 72

50

43

Ibnu Khaldun juga berpendapat dalam proses belajar atau menuntut ilmu pengetahuan manusia di samping harus bersungguh-sungguh juga harus memiliki bakat. Menurutnya dalam mencapai pengetahuan yang bermacam-macam itu seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat.Berhasilnya suatu keahlian dalam suatu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.51

Dengan demikian, penulis ingin menjabarkan lebih lanjut lagi tentang konsep pendidikan yang diterapkan oleh Ibnu Khaldun melalui beberapa aspek pendidikan, seperti:

a. Tujuan Pendidikan

Ibnu Khaldun tidak menuliskan dalam satu pembahasan tentang tujuan pendidikan Islam. Meskipun demikian para tokoh pendidikan Islam mencoba untuk menyimpulkan tujuan pendidikan Islam yang ditawarkan Ibnu Khaldun dengan melacak pemikirannya tentang pendidikan sebagaimana tertuang dalam kitab

Muqaddimah.52Ibnu Khaldun percaya bahwa upaya mencapai dan memiliki

pengetahuan adalah kebutuhan pokok kehidupan manusia, karena manusia memiliki kemampuan berpikir dan bernalar.53

Menurut Ibnu Khaldun, paling tidak ada 3 tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:

1. Pengembangan kemahiran (al-makalah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa memiliki pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuan. Akan tetapi, potensi al-makalah tidak bisa dimiliki oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami satu disiplin tertentu.

51

Alavi, loc. Cit., h. 72

52

Kosim.Op. cit., 58..

53

2. Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman link and match. Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh keterampilan yang tinggi pada profesi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di muka bumi. Pendidikan yang meletakan keterampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai, dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan memajukan peradaban secara keseluruhan.

3. Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan garis pembeda antar manusia dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya diformat dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik.54

Tujuan Pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah “untuk membuat kaum

Muslimin percaya dan meyakini Tuhan melalui mempelajari Al-Qur’an dan ilmu

pengetahuan keagamaan.Ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan keyakinan dan hukum Islam akan membuat kaum Muslimin mengetahui realitas yang diarahkan

pada upaya mendapatkan akhlak yang baik.”55

Dari tujuan di atas tampak bahwa menurut Ibnu Khaldun pendidikan atau ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian dalam membangun masyarakat manusia.Pernyataan ini mengindikasikan bahwa maksud dari pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mengubah nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat mempertahankan eksistensi manusia.56

b. Kurikulum Pendidikan

Dalam kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun memang tidak membicarakan tentang definisi, komponen, atau karakteristik kurikulum secara sistematis.Beliau

54

Al-Rasyidin, op.cit., h. 94

55

Alavi, Loc. Cit., h. 72.

56

45

juga tidak menggunakan istilah kurikulum dalam kitab tersebut.Namun Ibnu Khaldun banyak berbicara tentang ilmu dan klasifikasinya.Untuk itu, Muhammad Kosim dalam bukunya mengelompokkan pemikiran tentang ilmu dan klasifikasi ini dalam kurikulum.sebab, ilmu dan klasifikasinya tersebut merupakan materi dalam pendidikan dan materi tersebut merupakan salah satu komponen dasar dalam kurikulum.Dengan demikian, kurikulum yang dibicarakan disini bukanlah kurikulum dalam arti luas, melainkan dalam arti sempit dan hanya terbatas pada materi saja.57

Macam-macam ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun di

dalam bukunya “Muqaddimah Ibnu Khaldun” ada dua macam yaitu:

1) Alami bagi manusia yaitu dengan melalui bimbingan pikirannya.

2) Tradisional yaitu pengetahuan yang diperoleh dari orang yang menciptakan. Menurut Ibnu Khaldun, manusia memperoleh ilmu itu melalui kemampuannya untuk berfikir, yang demikian itu sudah merupakan watak baginya dan dengan persepsi manusiawinya manusia terbimbing kepada objek dengan problem argument dan metode pengajaran sehingga mengetahui perbedaan antara yang benar dan yang salah di dalam suatu ilmu. Ilmu yang tradisional yang semuanya

bersandar kepada informasi berdasarkan autoritas syari’at yang diberikan, dasar dari

semua ilmu tradisional ini adalah materi al-Qur’an dan sunah, yaitu hukum yang telah

berhubungan dengan materi tersebut, dalam arti bahwa kita dapat memetik manfaat dari padanya.58

Menurut Ibnu Khaldun yang telah dikutip oleh Suwito dan Fauzan di dalam

bukunya “Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan” bahwa Ibnu Khaldun sangat

memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu-ilmu naqliyah, yaitu al-Qur’an, Hadist,

57

Ibid., h. 64.

58

dan Teologi spekulatif. Kemudian terdapat Ilmu aqliyah seperti ilmu pengetahuan fisika dan filsafat.59

Pengklasifikasian Ibnu Khaldun yang dikutip oleh M. Arifin di dalam

bukunya “Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner” tentang ilmu dasar pengetahuan Islam yang bersumber

dari al-Qur’an meliputi sebagai berikut:

1. Ilmu pengetahuan filosofis dan intelektual

Semua ilmu pengetahuan dapat dipelajari oleh manusia melalui akal pikiran dan penalaran yang bersifat alami, yang terbawa sejak lahir.

2. Ilmu pengetahuan yang disampaikan (transmitted sciences)

3. Ilmu tersebut terdiri dari ilmu al-Qur’an, tafsir, dan tajwid, ilmu hadist, ilmu fiqih, teologi (ilmu ketuhanan), dan bahasa. Walaupun tidak semua ilmu pengetahuan ditransmisikan melalui institusi pendidikan formal, namun ilmu tersebut dapat berkembang dari zaman ke zaman.

Menurut Arifin, ilmu pengetahuan di atas banyak bergantung pada kepandaian guru dalam mempergunakan metode-metode yang tepat dan baik. Oleh karena itu, guru wajib mengetahui kegunaan dari suatu metode yang akan dipakai.60

Dalam sumber lain, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban. Terjadinya perbedaan lapisan sosial dalam masyarakat akibat dari hasil kecerdasan yang diperoses melalui pengajaran.Beliau tidak setuju dengan pendapat sebagian kalangan yang mengatakan terjadinya lapisan sosial disebabkan perbedaan hakikat kemanusiaaan.Ia membagi ilmu pengetahuan menjadi 3 kelompok yaitu:

59

Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa Press, 2003), h. 71

60

47

1. Ilmu lisan (bahasa), yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis.

2. Ilmu naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi. Ilmu ini berupa membaca kitab suci Al-Qur’an dan tafsirnya, sanad dan hadits

pentashihannya serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqih.

3. Ilmu aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir kecerdasannya kepada filsafat dan semua pengetahuan, yang termasuk dalam kategori ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu teknik, ilmu hitung, ilmu tingkah laku (psikologi), ilmu sihir, dan ilmu nujum.61

Berkenaan dengan pelajaran bahasa, Ibnu Khaldun memiliki pandangan, bahwa belajar bahasa seperti belajar suatu keterampilan atau keahlian, dan hanya orang yang memiliki kecakapan yang dapat mengatasi kesulitan dalam belajar bahasa.62

c. Metode Pendidikan

Mengenai metode pendidikan dalam mengajara, Ibnu Khaldun memiliki enam metode sebagaimana yang penulis kutip dari Kosim, yaitu:

1) Metode Hafalan

Tidak semua bidang’mata pelajaran cocok menggunakan metode hafalan

ini.Metode ini lebih cocok digunakan dalam pelajaran yang terkait dengan bahasa. Beliau beranggapan bahwa dengan banyak membaca dan menghafal seseorang akan memperoleh keahlian berbahasa.

2) Metode Dialog

61

Ahmad, Op. Cit., h. 106-107.

62

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa tidak semua bidang pelajaran cocok dengan metode hafalan terutama dalam hal penguasaan tentang suatu ilmu secara utuh hingga memiliki kompetensi dalam ilmu tersebut. Menurut Ibnu Khaldun, metode dialog lah yang paling tepat untuk digunakan dalam memperoleh penguasaan terhadap disiplin ilmu. Hal ini dikarenakan metode hafalan tidak dapat membuat anak didik menguasai persoalan, sehingga ia tidak dapat memiliki kemampuan mengenai ilmu tersebut.

3) Metode Widya Wisata

Metode ini ditunjukkan oleh Ibnu Khaldun untuk orang yang menuntut ilmu hanya melalui kitab-kitab, tanpa bertemu langsung dengan penulis kitab tersebut dapat membuat bingung mereka dan tidak mengerti secara utuh apa yang dimaksud oleh penulis kitab tersebut. Widya wisata yang dimaksud dari metode ini adalah, mengunjungi penulis kitab secara langsung dan meminta penjelasan langsung dari penulis/guru tersebut, sehingga dapat membuat peserta didik lebih paham dan mengerti.

4) Metode Keteladanan

Seorang individu pasti memiliki kecenderungan untuk meniru karakter orang lain. Seperti, kaum lemah yang cenderung meniru orang kuat, bawahan cenderung meniru atasannya, termasuk anak-anak yang suka meniru orang dewasa.

Hubunganya dengan peserta didik adalah, seorang peserta didik sering kali memperhatikan gurunya, baik sikap, gaya bicara ataupun penampilan. Seorang guru secara tidak disadari merupakan idola bagi anak didiknya.Lalu jika dikaitkan dengan pembelajaran metode keteladanan ini merupakan sarana bagi guru untuk mengajarkan suatu materi kepada peserta didik, terutama materi yang berkaitan dengan kepribadian. Hal tersebut dikarenakan sekalipun seorang guru telah mempersiapkan materi dengan matang tapi jika tidak diimbangi dengan

49

keteladanan seorang guru, niscaya akan sulit membentuk kepribadian peserta didik.

5) Metode Pengulangan dan Bertahap

Metode ini juga biasa disebut dengan at-tikrar dan at-tadrij, metode ini secara tidak langsung menegaskan bahwa kemampuan peserta didik dalam menerima ilmu itu membutuhkan proses. Metode ini dappat dilakukan melalui tiga tahapan:

pertama, guru memberikan baahasan maalah terkait dengan topic pokok suatu bab, kemudian menerangkan secara umum tanpa menge-nyampingkan kemampuan anak didik untuk memahaminya. Kedua, karena kemampuan anak didik masih lemah, maka sebaiknya guru mengulangi lagi dengan pembahasan yang sama hanya saja ditambahkan cakupannya dengan memberikan komentar dan penjelasan mengenai perbedaan-perbedaan pandangan pada objek kajian.

Ketiga, jika anak didik telah memahami apa yang dijelaskan oleh guru, maka seorang guru hendaknya kembali menerangkan materi pelajaran secara mendalam. Dengan demikian maka murid dapat memiliki keahlian yang sempurna.

6) Metode belajar Al-Qur’an

Dalam mempelajari Al-Qur’an, Ibnu Khaldun memiliki pandangan khusus

yang cukup keras.Beliau tidak menyukai apabila seorang anak membaca

Al-Qur’an tetapi mereka tidak memahami maksudnya.Maka dari itu, beliau menjadikan bahasa Arab sebagai dasar studi segala penegetahuan. Bahkan beliau lebih mendahulukan pengajaran bahasa Arab dari pengetahuan-pengetahuan lain, termasuk Al-Qur’an. Karena menurut Ibnu Khaldun jika seorang anak belajar Al

-Qur’an terlebih dahulu sebelum belajar bahasa Arab hanya akan mengacaukan

anak. Anak hanya akan mampu membaca tapi tidak memahami maksudnya.63 Ibnu Khaldun memberikan petunjuk bahwa seorang guru pertama kali harus mengetahui dan memahami naluri, bakat dan karakter yang dimiliki para siswa.Iaharus memulai pelajaran yang dipandang mudah dicerna oleh para siswa dan setelah itu baru dilanjutkan pada materi pelajaran yang sulit dan rumit.64

Menurut Ibnu Khaldun mengajarkan pengetahuan kepada anak didik akan berhasil apabila dilakukan dengan bertahap, setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit. Pandangan ini sesuai dengan salah satu metode yang digunakan Ibnu Khaldun, yakni metode pengulangan dan bertahap. Dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik seorang guru pertama-tama ia harus diberi pelajaran mengenai hal-hal seperti cabang pembahasan yang dipelajarinya. Penjelasan yang diberikan harus secara umum dulu dengan memperhatikan kemampuan pikir anak dan kesanggupannya memahami apa yang diberikan kepadanya. Apabila pembahasan pokok telah dipahami, maka mereka baru memperoleh keahlian dalam cabang ilmu pengetahuan yang dimaksud dan itu berarti belum lengkap.Sedangkan hasil keseluruhan dapat dilihat dari hasil pemahaman anak didik terhadap seluruh pembahasan beserta segala macam seluk-beluknya.Jika terdapat materi yang belum dikuasai anak, maka harus diulangi kembali sampai dikuasai anak sebaik-baiknya.65

Ibnu Khaldun juga menunjukkan bahwa pelajar jangan dipaksa untuk menguasai dua disiplin ilmu dalam waktu yang bersamaan, karena hal itu berarti telah membagi perhatiannya dari suatu subjek pelajaran kepada subjek pelajaran lain, hal

63

Kosim, Op. Cit., h. 83-95.

64

Ibid.,

65

51

ini membuat siswa berpikir bahwa kedua macam pelajaran tersebut sulit dan meragukan.66

Dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik, Ibnu Khaldun menganjurkan kepada guru agar mengajar dengan mennggunakan metode pembelajaran yang baik.Kesulitan yang dialami anak dalam pembelajaran biasanya lantaran guru tidak menguasai ilmu jiwa anak. Seorang anak yang diajar secara kasar, keras dan cacian akan mengakibatkan gangguan jiwa pada anak. Anak akan menjadi malas dan suka berbohong, murung dan tidak percaya diri serta berprilaku buruk, sehingga anak mengemukakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataannya karena ia takut. Maka dari itu, Ibnu Khaldun menyarankan supaya guru bersikap sopan dan lemah lembut kepada muridnya.67

Dokumen terkait