• Tidak ada hasil yang ditemukan

AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH A Wafatnya Rasulullah dan Perdebatan di Saqifah

D. Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Gejolak Politik Pada Masa Pemerintahannya

Pasca peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin ‘Affan, situasi di Madinah semakin panas dan bergejolak. Pemerintahan tertinggi kepemimpinan umat Islam sempat mengalami kekosongan. Krisis politik pun muncul, keadaan masyarakat Muslim juga sangat tidak stabil dan menuntut penanggulangan krisis dengan cara yang cepat dan bijak. Dalam situasi tersebut, mengandung berbagai kemungkinan buruk, tokoh-tokoh Bani Umayyah yang selama ini memperoleh kepercayaan penuh dari Khalifah Utsman tidak mengambil tindakan apa pun juga.

Marwan bin Al-Hakam108 dan kawan-kawannya pergi meninggalkan

Madinah. Amr bin Al-Ash, pada saat-saat Khalifah Utsman dikepung kaum muslimin yang memberontak, cepat-cepat pergi ke Palestina. Sedangkan Muawiyah bin Abi Sufyan sendiri juga tidak mengambil inisiatif apa pun. Begitu pula Abdullah bin Abi Sarah yang sedang menjadi penguasa daerah Mesir. Semuanya diam, seolah-olah tak pernah terjadi suatu peristiwa politik yang besar dan gawat.109 Orang bertanya-

tanya: “Mengapa para penguasa Bani Umayyah yang berkuasa di Mesir dan di Syam tidak segera memberi pertolongan kepada Khalifah Utsman? Kemudian setelah Khalifah Utsman terbunuh, mengapa mereka tak segera mengirimkan pasukan untuk bertindak tegas terhadap kaum pemberontak dan menangkap oknum-oknum yang merencanakan dan melaksanakan pembunuhan atas diri Khalifah itu? Kenapa mereka berpangku tangan, padahal mereka mempunyai kekuatan cukup untuk melakukan tindakan hukum, sebelum Khalifah yang baru diangkat? ”

Ahmad Syalabi berpendapat, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu cukup wajar. Sebab, para penguasa Bani Umayyah dan tokoh- tokohnya bukan orang-orang ‘kemarin sore’. Mereka sangat berpengalaman dalam politik, terutama pada waktu mereka dulu mengorganisasi dan memimpin orang-orang kafir Quraisy dalam 108 Ahmad Amin berpendapat dalam buku Islam dari Masa ke Masa, (Bandung: Rusyda, 1987), h. 87, bahwa Marwan ibn Hakam pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Ustman bin Affan hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah Utsman mengangkat banyak anggota keluarganya dalam posisi-posisi penting pemerintahan, termasuk Marwan, khalifah Utsman laksana boneka di hadapan kerabatnya. Ia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dan ia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahannya. Harta kekayaan Negara, oleh kerabatnya dibagi-bagi tanpa terkontrol oleh khalifah Utsman sendiri.

melancarkan perlawanan bersenjata terhadap Rasulullah dan kaum muslimin. Nampaknya mereka bukan tidak bertindak, tetapi ada perhitungan lain. Mereka sengaja membiarkan Utsman sendirian mengahdapi masalah, dan mereka hendak mengambil kesempatan dalam situasi yang kacau tersebut. 110

Pada masa itu tokoh Bani Umayyah yang paling terkemuka ialah Muawiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi sejarah keislamannya tidak memungkinkan dirinya dapat dipilih sebagai Khalifah pengganti Khalifah Utsman bin Affan. Ia memeluk Islam setelah tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin. Ia masuk Islam kurang lebih dua tahun sebelum wafatnya Rasul Allah s.a.w. Sebelum itu ia sangat gencar memerangi kaum muslimin dalam usaha memukul Islam.111 Pada momentumnya nanti, bani

Umayyah yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan segera melancarkan pemberontakan kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, dan secara politis berhasil melemahkan atau bahkan menggulingkan posisi Imam ‘Ali sebagai pemimpin tertinggi umat Islam.

‘Ali bin Abi Thalib dibai’at sebagai khalifah beberapa hari pasca khalifah Utsman wafat. Pada saat itu, situasi dan kondisi sangat tidak menguntungkan khalifah ‘Ali. Selain tensi politik yang sangat panas, 110 Jika diteliti lebih dalam, sesungguhnya bani Umayyah sudah membiarkan Utsman seorang diri menebus dan menerima akibat kesalahan-kesalahan yang ditimpakan kepadanya. Mereka menjauhkan diri dari Utsman semenjak munculnya gejala-gejala kerusuhan dan pemberontakan, dan semenjak pemberontakan-pemberontakan itu benar-benar mengancam khalifah Utsman. Ada yang berpendapat bahwa mereka sengaja menghindarkan diri dengan tidak ikut campur dalam hal itu, supaya persilisihan antara pemberontak dengan kkhalifah Utsman dipandang sebagai perselisihan khalifah dengan kaum Muslimin saja, bukan dengan bani Umayyah.

keadaan masyarakat Muslim pada waktu itu juga sangat tidak stabil dan penuh gejolak. ‘Ali diwarisi segudang permasalahan oleh Utsman bin ‘Affan, termasuk krisis serius yang terjadi dalam tubuh umat Islam. Langkah pertama yang diambil Khalifah ‘Ali setelah dibai’at oleh mayoritas umat Muslim, adalah memanggil sejumlah sahabat penting untuk diminta sumpah setianya. Diantaranya, ia sempat memanggil Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, dan Usamah bin Zaid. Sa’ad dan Usamah malu-malu untuk tidak membai’at ‘Ali dan meminta diberi waktu untuk berpikir. Namun Abdullah bin Umar lah yang secara terang- terangan menolak membai’at ‘Ali, ia beralasan bahwa akan bersedia membai'at ‘Ali kalau semua orang sudah menyatakan bai'atnya. Melihat sikap Abdullah yang demikian itu, Al Asytar, seorang sahabat setia Imam ‘Ali tidak dapat menahan kemarahannya. Kepada Imam ‘Ali, Al-Asytar berkata: "Ya Amirul Mukminin, pedangku sudah lama menganggur. Biar kupenggal saja lehernya!" Beliau menjawab dengan tenang ucapan Al- Asytar: "Aku tidak ingin ia menyatakan bai'at secara terpaksa,

biarkanlah ia!"112

Selain itu, untuk membenahi keadaan yang serba labil, khalifah ‘Ali segera memulihkan ketertiban, khususnya di ibukota Madinah. Ribuan kaum pemberontak yang bertebaran di ibukota berhasil dihimbau dan dijinakkan sampai mereka berhasil dipulihkan kembali ke dalam kehidupan normal.

Langkah selanjutnya, khalifah ‘Ali mengeluarkan beberapa ketetapan, langkah yang beliau ambil ini sesungguhnya mencerminkan 112Ibid., h. 85.

ahklaq dan budi pekertinya. Sayyidina ‘Ali mempunyai karakter dan pribadi sendiri, suka berterus terang, tegas bertindak dan tidak suka berminyak air. Ia tidak takut akan celaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Disebabkan oleh kepribadian yang dimilikinya itu, beliau kemudian mengeluarkan beberapa ketetapan. Adapun ketetapan- ketetapan itu adalah sebagai berikut:

a) Memecat kepala-kepala daerah angkatan Utsman. Dikirimnya kepala daerah baru yang akan menggantikan. Beberapa kepala daerah ‘Ali itu terpaksa kembali saja ke Madinah karena tidak dapat memasuki daerah yang ditugaskan kepadanya (Terutama daerah Syam yang dengan tegas melakukan penentangan terhadap pemerintahan khalifah ‘Ali).113

b) Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan Utsman kepada famili-famili dan kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah dan pemberian Utsman kepada siapapun yang tiada beralasan, semua diambil kembali oleh khalifah ‘Ali.114

c) Menerapkan kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang- orang Islam sebagaimana pernah ditetapkan Umar bin Khattab.115

d) Membagikan harta ghanimah dari Baitul Mal kepada umat Muslim dengan sisten pembagian yang merata. Orang-orang dari kaum Muhajirin dan Anshar menerima tiga dinar, dan kaum lainnya juga menerima tiga dinar. Pada saatnya nanti, pembagian harta ini akan 113 A. Syalabi, Sejarah Peradaban..., h. 246.

114Ibid., h. 246.

115 Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989), h. 62.

menjadi pemicu konflik antara khalifah Ali dengan sejumlah sahabat seperti Thalhah dan Zubair.

Boleh dikatakan bahwa hampir seluruh ahli sejarah dan ahli ketimuran mengkritik ketetapan khalifah ‘Ali dalam kebijakan politiknya. Dikatakan bahwa khalifah ‘Ali tidak bijaksana, dan tidak mendapat taufiq dalam hal ini. Tetapi berbeda dengan A. Syalabi, ia mengatakan bahwa tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Imam ‘Ali sangatlah berlebihan. Orang banyak menerima begitu saja dan ikut pula menuduh tanpa dipelajari dan diselidiki. Dalam hal ini A. Syalabi mengemukakan sejumlah pertanyaan:

a) Mungkinkah kiranya Ali (setelah diangkat menjadi khalifah) membiarkan pejabat-pejabat yang telah berbuat aniaya di masa Ustman bekerja terus, padahal ‘Ali sendiri yang selalu menasihati dan mengkritik Utsman supaya mencopot beberapa pejabatnya yang berlaku tidak baik kepada umat Muslim?

b) Atau mungkinkah kiranya ‘Ali (setelah diangkat menjadi khalifah) meneruskan atau menyetujui tindakan Utsman memberikan tanah milik Baitul Mal begitu saja kepada kerabatnya tanpa sebab-sebab yang sah, sedangkan sebelum itu ia tiada setuju dengan tindakan itu? c) Benarkah pemberontakan terhadap ‘Ali timbul karena beliau

memecat pejabat-pejabat, dan mengambil kembali tanah-tanah yang disebutkan itu? Kalau benar demikian, mengapa Thalhah dan Zubair ikut melakukan pemberontakan, dan mencetuskan perang Al- Jamal

d) Dapatkah kiranya ahli-ahli sejarah itu menggambarkan pada pikiran umum bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan bersedia memberikan sumpahnya setianya kepada ‘Ali dengan sukarela, sekiranya ia tidak dipecat?

e) Dapatkah kiranya kita mengharapkan dari ‘Ali suatu pribadi yang bukan pribadinya? Mengharapkan supaya beliau membiarkan seorang kepala daerah yang korup, atau membiarkan singa menjelma menjadi seekor kucing? Mustahil hal tersebut terjadi pada khalifah ‘Ali.116

Mengecam khalifah ‘Ali bin Abi Thalib memang bukan tindakan yang arif, banyak para ahli tarikh dan ahli ketimuran yang tidak melihat fakta lain yang terjadi. Mereka tidak melihat bagaimana membingungkannya kondisi masyarakat pada waktu itu, bagaimana pula situasi politik yang tidak menguntungkan umat Islam dan khalifah ‘Ali. Seandainya bukan ia yang diangkat menjadi khalifah, tidak ada jaminan bahwa pemberontakan dan pertikaian tidak akan terjadi. Kubu Bani Umayyah telah bangkit dengan kekayaan dan kekuasaannya di Syam, Thalhah dan Zubair mendapat simpati dan dukungan dari Siti ‘Aisyah isteri Nabi, demikian juga pihak ‘Ali dan Ahl Baitnya yang bangkit dan mendapat kepercayaan/dukungan dari masyarakat Muslim. Benturan bisa terjadi, dan orang-orang yang disebutkan pada masa itulah yang menjadi aktor kunci dalam benturan politik pada masa itu.

Kurang lebih lima tahun masa pemerintahan khalifah ‘Ali. Sejak awal, khalifah ‘Ali telah dihadapkan pada persoalan-persoalan serius dan rumit. Pertentangan, perpecahan dan perang saudara merupakan ancaman 116 A. Syalabi, Sejarah Peradaban..., h. 247.

terbesar yang selalu menghantuinya. Hingga tibalah waktu di mana ujian dari Allah menimpa umat Muslim, perbedaan di kalangan sahabat semakin meruncing, perseteruan semakin tersulut, sehingga kepentingan pribadi dan kelompok lebih diutamakan dari pada kepentingan umum. Perang Jamal adalah ujian berat pertama yang dihadapi umat Islam. Perang Jamal adalah perang yang terjadi antara pihak pemerintahan ‘Ali bin Abi Thalib dengan pihak Siti ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Dinamakan perang Jamal (unta) karena Siti ‘Aisyah isteri Rasulullah dan puteri Abu Bakar ikut dalam peperangan ini dengan mengendarai unta. Betapapun peranan ‘Aisyah dalam perang ini tidak begitu besar, tapi kehadiran ‘Aisyah cukup memberi pengaruh besar pada pasukan Jamal dalam perang ini. Sejarawan berbeda pendapat tentang motif Siti ‘Aisyah dalam mengikuti perang melawan pemerintahan ‘Ali bin Abi Thalib. Pendapat pertama, mengatakan bahwa ‘Aisyah ikut berperang karena murni menuntut bela atas kematian Utsman. Pendapat lain mengatakan, ‘Aisyah ikut ambil bagian dalam perang Jamal karena tidak suka dengan pengangkatan ‘Ali sebagai khalifah. Dugaan itu bukan tanpa alasan, karena di antara ‘Aisyah dan ‘Ali tidak memiliki hubungan yang baik. Kita bisa melihatnya pada saat peristiwa tertuduhnya Siti ‘Aisyah (Haditsatul ifk), pendirian ‘Ali pada saat itu memberatkan ‘Aisyah. 117

Kaum Syi’ah juga berpendapat, perang ini dikobarkan karena kedengkian ‘Aisyah terhadap Sayyidina ‘Ali, dan kecemburuannya terhadap Siti Fatimah puteri Nabi.118

117Ibid., h. 249.

Apapun motif ‘Aisyah dan teman-temannya, perang Jamal yang dikobarkan dengan maksud menuntut keadilan atas pembunuhan Utsman, pada akhirnya dapat dipadamkan oleh pasukan ‘Ali bin Abi Thalib. Sebelum perang terjadi, ‘Ali selalu menyempatkan diri untuk menyurati dan menasihati sahabat-sahabat yang ingin memeranginya, terutama Thalhah dan Zubair. Pada awal mula perang, khalifah ‘Ali meminta Thalhah dan Zubair untuk berunding dengannya. Dalam pembicaraan itu, ‘Ali menasihati keduanya (tentang bai’at dan sumpah setia mereka yang dulu pernah mereka berikan) dan berhasil membuat mereka sadar. Akhirnya mereka mundur dari peperangan tetapi terbunuh oleh beberapa orang dari pasukan Jamal yang tidak suka melihat mereka kembali ta’at pada khalifah ‘Ali.119 Tetapi pertempuran tidak dapat dihentikan,

sekalipun Thalhah dan Zubair mundur, pasukan perang Jamal tetap pada pendirian mereka. Pertempuran pun terjadi, ribuan umat Muslim mati terbunuh dengan kemenangan di pihak ‘Ali bin Abi Thalib. Sementara itu, Siti ‘Aisyah dipulangkan dengan hormat ke Makkah selayaknya Ummul Mukmin oleh khalifah ‘Ali.

Walaupun pemberontakan pasukan Jamal dapat dipadamkan, stabilitas pemerintahan khalifah ‘Ali belum aman. Di tempat lain telah muncul satu faksi kuat yang terus tumbuh. Mereka adalah kubu Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sementara pasukan khalifah ‘Ali menderita 119 Tentang Zubair, khalifah ‘Ali pernah mengatakan bahwa bai’at yang diberikan Zubair kepadanya tidak dengan hatinya. Zubair bin ‘Awwam memberikan bai’atnya kepada khalifah ‘Ali, tetapi tetapi melanggarnya sendiri. Kadang-kadang Zubair mengajukan dalih bahwa ia terpaksa membai’at dan bahwa bai’at yang dipaksakan bukanlah bai’at. Kadang-kadang ia mengatakan bahwa bai’at itu hanya sekedar pertunjukan, hatinya tidak sesuai dengan itu. Lihat Sayid Abu al- Hasan Ali ibn al-Husain ar-Radi al-Musawi, Nahj al-Balaghah., h. 44.

luka dan kelelahan pasca peperangan Jamal, pasukan Mu’awiyah semakin kuat dan sangat siap untuk menantang pasukan khalifah ‘Ali. Sama hal nya seperti kubu ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair, kubu Mu’awiyah menjadikan kasus terbunuhnya Utsman bin ‘Affan sebagai dalih untuk memerangi khalifah ‘Ali, dan menuntut sang khalifah untuk menghukum pembunuh-pembunuh Utsman. Bahkan, mereka menuduh ‘Ali terlibat dalam persoalan pembunuhan itu.120 Walaupun sejatinya,

maksud dan tujuan Mu’awiyah tidak lain hanya ingin menduduki puncak kepemimpinan.

Sebetulnya, Mu’awiyah masih memiliki ikatan darah dengan Utsman bin ‘Affan. Sepertinya masuk akal, ketika Mu’awiyah menuntut keadilan atas pembunuhan sanak keluarganya. Selain itu, Mu’awiyah juga seorang pejabat yang loyal pada Utsman. Tetapi, hal itu bukanlah suatu alasan yang kuat bagi Mu’awiyah untuk bergerak membela Utsman. Penulis masih bersukukuh pada pendapat A. Syalabi, bahwa Bani Umayyah memiliki perhitungan lain. Mereka melihat ada kesempatan ketika jatuhnya kekhalifahan Utsman, dan menjadikannya sebagai momentum untuk merebut puncak kekuasaan yang telah lama tidak mereka nikmati. Jika mereka tidak berkepentingan terhadap kekuasaan, mengapa Mu’awiyah dan kawan-kawanya hanya diam ketika Ustman masih terkepung di kediamannya? Kemana saja mereka di saat khalifah Utsman membutuhkan perlindungan? Mengapa yang melindungi Utsman justeru Sayyidina ‘Ali dan keluarganya?

120 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan,

Dengan adanya penentangan Mu’awiyah terhadap pemerintahan pusat, maka ‘Ali berupaya menundukkan Mu’awiyah dan mengajaknya supaya berbai’at kepada ‘Ali. Ia telah berulang-ulang kali melakukan pendekatan kepada Mu’awiyah untuk menjelaskan permasalahan terbunuhnya Utsman. Namun sayang sekali, pendekatan dan ajakan damai ‘Ali tidak berhasil. Akhirnya, peperangan pun terjadi antara kedua pihak selama beberapa hari di Siffin, perang itu terjadi pada tahun 37 H. Sebenarnya, kemenangan hampir saja di didapatkan oleh pihak khalifah ‘Ali, namun sebelum pasukan ‘Ali berhasil menaklukkan pasukan Mu’awiyah, kubu Mu’awiyah meminta tahkim121 (arbitrase), dengan mengangkat al-Qur’an di ujung tombak mereka.122 Sebagian sejarawan

berpendapat, bahwa kubu Mu’awiyah memang sengaja mempersiapkan siasat untuk memenangi pertempuran dengan khalifah ‘Ali, termasuk menyiapkan siasat untuk melakukan tahkim. Akhirnya, pertempuran pun terhenti123, dan perundingan kedua pihak dimulai.

121 Tentang Tahkim, Sayid Abu al-Hasan Ali ibn al-Husain ar-Radi al-Musawi menjelaskan dalam Nahj al-Balaghah (Puncak Kefasihan: Pilihan Khotbah, Surat dan Ucapan Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib R.A), (Jakarta: Lentera, 2000) halaman108, ia menjelaskan ketika semangat pasukan ‘Ali telah mematahkan semangat pasukan Mu’awiyah, Amr ibn Ash menyarankan siasat licik kepada Mu’awiyah supaya mengangkat mushaf Qur’an di ujung tombak dan berteriak-teriak mendesak untuk menggunakannya sebagai hakim seraya mengatakan, “sebagian orang akan berusaha menghentikan peperangan dan sebagian lagi hendak meneruskannya. Dengan demikian maka kita akan memecah belah mereka dan akan dapat menangguhkan peperangan sampai pada kesempatan lain.” Sesuai dengan saran itu, mushaf- mushaf itu diangkat pada ujung tombak. Hasilnya, sebagian orang yang tak berpikir membuat huru-hara dan berseru serta menimbulkan perpecahan dan kekacauan di kalangan tentara ‘Ali, dan perjuangan tentara ‘Ali akhirnya terkecoh dan meredakan serangan mereka yang hampir memperoleh kemenangannya. Tanpa memahami sesuatu, mereka menjerit-jerit menghendaki keputusan Qur’an atas peperangan yang terjadi di antara mereka.

122 Faisol Nasar bin Madi, Konsep Imamah..., h.118.

123 Sebelum tentara ‘Ali menghentikan pertempuran, ‘Ali sempat berkata kepada pasukannya: “Wahai manusia, janganlah kamu terjebak setiap orang dari mereka. Mereka bukan penganut Qur’an dan bertindak menurut perintah Qur’an. Demi Allah, janganlah kamu terjebak dalam tipu daya mereka. Teruskan dengan tekad dan berani, dan baru terhenti setelah mengalahkan musuh yang sedang sekarat” Namun, siasat itu telah termakan sebagian pasukan

Pada perundingan itu, kubu khalifah ‘Ali terpaksa mengutus Abu Musa al-Asy’ari, dan kubu Mu’awiyah mengutus Amr ibn ‘Ash. Dalam berbagai riwayat, mengatakan bahwa kedua utusan ini bersepakat mencopot ‘Ali dan Mu’awiyah dari masing-masing jabatannya. Dan apabila mereka hendak mengumumkan kesepakatan mereka kepada umat Muslim, Abu Musa meminta Amr bin ‘Ash menyampaikan keputusan terlebih dahulu. Namun ia menolak dan berkata: “Allah telah memberi anda keutamaan melebihi saya di dalam keimanan dan penghijrahan. Anda mewakili rakyat Yaman kepada Rasulullah dan wakil Rasulullah kepada mereka anda harus bangkit dan berseru.” Kemudian Abu Musa setuju dan berdiri di depan umat Muslim, ia berkata: “Amr dan saya bersepakat mencopot ‘Ali dan Mu’awiyah, dan menyerahkannya (urusan kekhalifahan) kepada umat Muslim.” Kemudian tatkala ‘Amr ibn ‘Ash berdiri dan berkata: “Wahai kaum Muslimin, ini adalah Abu Musa, Syaik bagi kaum Muslimin dan ulama dari Iraq yang tidak akan menjual agama demi keuntungan dunia. Beliau telah mencopot ‘Ali dari jabatan khalifah, dengan demikian saya sahkan Mu’awiyah sebagai khalifah.” Dengan berakhirnya pidato Amr bin ‘Ash, terjadilah pertengkaran mulut antara kedua belah pihak, mereka saling melaknat dan mencemo’oh. Namun Sayyidina ‘Ali tidak tinggal diam, karena ia memandang pertikaian antara pemerintahannya dengan pemberontak adalah persoalan

‘Ali. Orang-orang itu mengambil sikap membangkan dan memberontak. Mis’ar ibn Fadaki at Tahmimi dan Zaid ibn Husain ath-Tha’i, menghadap khalifah ‘Ali seraya berkata: “Hai ‘Ali, Apabila Anda tidak menyambut seruan al-Qur’an, kami akan memperlakukan Anda seperti kami memperlakukan Utsman, segeralah akhiri pertempuran, dan tunduklah kepada keputusan al- Qur’an.” Lihat Sayid Abu al-Hasan Ali ibn al-Husain ar-Radi al-Musawi, Nahj al-Balaghah..., h. 108.

pembunuhan Utsman bukan masalah jabatan kekhalifahan. Maka ‘Ali berpidato di hadapan kaum Muslimin:

Sungguh kedua orang yang kalian pilih untuk menjadi hakim penengah telah membuang jauh-jauh hukum al-Qur’an, dan masing- masing itu telah mengikuti hawa-nafsunya tanpa petunjuk dari Allah, dan mereka telah menjatuhkan putusan tanpa hujah yang jelas ataupun sunnah yang berlaku, dan mereka telah berbeda pendirian dalam keputusan yang mereka ambil, mereka tidaklah berada di atas kebenaran.”124

Dengan kejadian ini, maka umat Islam semakin terpecah belah. Ukhuwah di antara kaum Muslimin pun benar-benar hancur. Di antara mereka saling menyalahkan, saling melaknat, saling mengangkat pedang, bahkan ada yang mengkafirkan satu sama lain.

E. Terjatuhnya Posisi Kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib dan Munculnya